Di ruang keluarga yang tak seberapa besar, ibu dan ayah sudah duduk menunggunya. Yusra menghampiri sisi kiri ibu, lalu duduk di samping.
"Ra, kamu benaran ndak mau perpanjang kontrakmu?" tanya Najib membuka percakapan.
"Sebenarnya bukan enggak mau, tapi Yusra pengen ...."
"Pengen kawin?" celutuk Izzan.
"Hus! Abang," tegur ibu lembut.
Yusra tersipu, secara tidak langsung apa yang ingin disampaikannya terwakili candaan Izzan.
"Kalau pun iya, kenapa malu? Kamu sudah cukup dewasa untuk menikah, Ra. Jangan menunggu abangmu. Dia anak laki-laki, menikah di umur tiga puluh lima pun tak masalah. Beda sama anak perempuan. Kamu sudah selesai kuliah, sudah menggapai apa yang kamu impikan, sudah kerja, apa yang lagi kamu tunggu selain jodoh?"
Gadis itu tersenyum menatap ayahnya, sungguh ini benar-benar sebuah keberuntungan. Gayung bersambut, dia harus bicara tentang hubungannya dengan Ervin.
"Iya, Ibu setuju. Anak perempuan baiknya menikah di umur dua puluhan. Kalau memang sudah ada jodohnya lebih baik kita segerakan, Nak."
"Cie yang mau kawin," ejek Izzan lagi.
Senyum Yusra mengembang, pipinya merona. Dia tersenyum, mengangguk malu-malu.
"Tapi nanti Ayah ... A--Yah endak bisa menjadi walimu," ucap ayahnya terbata-bata. Mimik Yusra seketika berubah sedih, cemas, bingung bercampur satu. Ditatapnya laki-laki yang duduk di hadapannya itu, dengan raut tak percaya, kenapa tak mau menjadi wali? Apa ayah tahu aku diam-diam menjalin hubungan dengan Ervin? Apa ayah marah? terka Yusra dalam hatinya.
"Abangmu juga tak bisa menjadi wali." Suara ayahnya terdengar lirih lalu tertunduk.
Beberapa saat hening lebih menguasai ruangan. Mereka semua larut dalam pikiran masing-masing. Yusra menunggu dengan gelisah, apa alasan ayahnya tak ingin menjadi wali. Semenit dua menit Najib masih membisu, terlihat tak tega untuk menyampaikan kenyataan untuk gadis di hadapannya itu.
Yusra kebingungan menatap ayahnya, lalu beralih melihat ibu yang sudah terisak. Begitu pun dengan Izzan. Mereka semua tertunduk, seperti menyimpan sesuatu yang berat untuk Yusra ketahui. Akan tetapi, apa pun itu dia berhak tahu alasannya.
"Kenapa, Yah?" tanya Yusra pelan. Takut bila pertanyaannya membuat orang tuanya makin sedih.
Apa yang salah? Tanya Yusra dalam hati. Biasanya ibu selalu menegurnya dahulu sebelum masalah sampai ke ayah, tetapi kali ini berbeda. Ibunya hanya diam dan menangis.
"Bu." Yusra bersimpuh di lantai dan memegang kedua tangannya.
Namun tangisan ibunya makin menjadi, ditepuknya pundak gadis itu, lalu mengelus pucuk kepalanya berkali-kali. Sedangkan Yusra bertambah bingung, dia benar-benar tak mengerti. Ayah dan Abang Izzan terdiam dan Ibu Raisyifa terus menangis.
"Kamu, masih anak Ibu." Yusra menatap ibunya, heran mengapa perempuan yang dipanggil Ibu itu bicara demikian. Bukankah aku memang anak ibu dan ayah? Pikir Yusra.
"Ra, Ibu dan Ayah bukan orang tua kandung kamu, Nak." Ayah Yusra mengucapkan kalimat itu sangat pelan, suaranya mendadak kecil, tetapi masih bisa didengar oleh Yusra.
Gadis itu terdiam. Mulutnya terbuka, air mata perlahan mengalir, wajah seketika memucat, badannya lemas mendadak bagaikan terserang tornado besar.
"Ayah dan Ibu juga tidak tahu siapa orang tua kamu, kami sudah mencarinya namun tidak berhasil, Ra. Maafkan kami." Laki-laki tua itu menghela napas, terlihat berat setiap kata yang diucapkannya. "Kamu ditemukan di teras musola, saat Ayah mau salat Subuh," imbuhnya lagi.
Oh, Tuhan, teriak Yusra dalam hati. Aku benar-benar tak sanggup mendengarkannya. Jadi, siapa orang tuaku? Mengapa mereka tega membuangku! Aku tidak minta dilahirkan di dunia, aku tak minta dipungut di keluarga ini. Aku ....
"Ayah tahu ini sulit. Tapi kamu harus tahu, Ayah rasa kamu cukup dewasa untuk menerimanya. Kamu masih keluarga ini, Nak. Kamu masih anak Ayah dan Ibu." Akhirnya ayah Yusra menangis ketika mengucapkan kalimat yang terakhir.
"Kamu tetap menjadi Adik, Abang." Abang Izzan yang sedari terdiam ikut menguatkannya.
Bingung, sedih, sakit, semuanya bercampur satu, Yusra menatap Ibunya mencoba mencari kebenaran lain di sana. Berharap ibunya mengatakan bahwa semuanya tidak benar. Seperti waktu dia kecil yang selalu dibela sang Ibu.
"Ayah tidak bisa menikahkan kamu, Nak." Terdengar sesal yang teramat dalam saat kalimat itu kembali diucapkan ayahnya.
Tangisan Yusra dan ibunya pecah memenuhi ruangan. Dalam pandangan Yusra, lampu hias di sudut ruangan berubah menjadi ribuan kunang-kunang yang berhasil membuat kepalanya seketika pusing mendadak. Dia tak tahu harus berbuat apa? Ingin marah tetapi kepada siapa? Ingin menuntut tetapi dengan siapa? Harusnya dia bersyukur karena ayah dan ibunya menganggap dirinya seperti anak sendiri. Bahkan, ibu lebih menyayanginya dibandingkan Abang Izzan.
Pantas saja selama ini, ayah selalu mengingatkannya untuk tetap memakai kerudung walaupun di hadapan Abang Izzan. Lamat-lamat Yusra ingat kembali ketika pulang ke rumah, ayah selalu berwudu setelah bersalaman dengannya. Yusra paham ayahnya memang berusaha menjaga wudu. Jadi dia tak pernah berpikir aneh-aneh, yang dikiranya sang ayah pasti buang angin.
Dia juga ingat ketika salat terawih di rumah, di musim pandemi tahun lalu. Setelah salat Isya semua saling bersalaman dan ayah meminta semuanya untuk berwudu kembali sebelum salat terawih, kecuali ibu. Agar salatnya lebih khusuk begitu alasan yang diberikan ayahnya.
Yusra menatap Raisyifa, yang kini beranjak duduk disampingnya. Ditatapnya perempuan yang berwajah ayu itu, yang sekarang memegang kedua pipi Yusra. Dengan gerakan cepat dihapusnya air mata, lalu mencium kepala anak gadis itu berkali-kali. Namun tak juga mereda, Yusra masih tersedu sedan sampai Najib pun terpaksa beralih mendekati, lalu ikut memeluknya.
Mereka sama-sama menangis. Bagi Yusra, baru kali ini melihat sang ayah benar-benar mengeluarkan air mata dan terisak. Pikirannya yang ingin pergi dari rumah rasanya meluap seketika. Entahlah, dia merasa tak pantas menjadi bagian dari keluarga ini. Namun, dia juga tak tega meninggalkan orang tuanya. Sekarang, semua rasa yang berkecamuk membuatnya semakin terpojok.
"Kamu endak ke mana-mana, Nak. Kamu tetap anak di rumah ini." Seakan tahu pikiran anaknya, ayah mengusap kepala Yusra pelan.
"Ibu, di mana aku harus mencari orang tua kandungku? Kenapa mereka membuangku, Bu?" Tangis Yusra kembali pecah.
"Ra, maafin Ayah sama Ibu, ya, karena belum nemuin orang tua kandung kamu. Kita bakal cari lagi, Nak. Kamu yang sabar, setiap manusia itu diuji Allah dengan cara yang berbeda-beda sesuai kemampuannya. Kamu bisa melewati ini semua. Ibu yakin Allah sayang sama kamu, Nak. Kamu hanya butuh waktu menerima semuanya, menerima apa yang sudah ditetapkan untuk takdirmu," nasihat Raisyifa.
"Yusra sayang Ibu, Yusra enggak mau pisah sama Ibu. Yusra ...," ucapan Yusra terhenti seakan takut membayangkan kehilangan orang tuanya. Meskipun Najib dan Raisyifa bukanlah orang tua kandung Yusra.
"Ndak, Sayang. Kamu tetap anak Ibu dan Ayah. Kamu tetap si bungsu Ibu. Kamu boleh cari orang tua kandungmu tapi kamu ndak boleh pergi dari rumah ini." Selama ini, mereka memberikan yang terbaik untuk Yusra, layaknya anak kandung tak ada yang pilih kasih. Bahkan mereka lebih menyayangi Yusra dibandingkan Izzan. Meskipun bukan orang tua kandung, tetapi mereka memberikan kasih sayangnya dengan tulus. Memanjakannya, mengajari agama, menasihati jika salah. Mengabulkan permintaan Yusra selagi mereka mampu dan baik menurut syariat agama. Ah, Yusra, dia benar-benar si buntung yang beruntung. Harusnya Yusra bersyukur, karena belum tentu hidup seberuntung seperti sekarang ini. Walaupun dia anak pungut, tetapi kasih sayang orang tuanya sama seperti abangnya-- Izzan. Apalagi mengingat kedua orang tua kandungnya, Yusra masih bayi saja, mereka tega membuang Yusra. Lantas, kenapa sekarang terpikir untuk mencari mereka? Ini memang terlalu bera
"Oke." Yusra mengacungkan jempolnya. Sebisa mungkin Yusra bersikap biasa. Walaupun dalam hatinya terasa canggung. Rasanya tak patut lagi dia bersikap manja seperti seorang anak kandung. Meskipun ibu selalu mengatakan tak ada yang boleh berubah. "Si Bungsu, Ibu" begitu timang Raisyifa sejak dulu.Setelah memarkirkan mobil ke garasi, Najib dan Raisyifa duduk di ruang tamu. Yusra datang membawa sepiring mangga dan segelas air putih sambil menunggu kedatangan anak-anak.Halaman rumah masih sepi, mungkin karena anak didik Najib belum ramai yang datang."Udah mau jam dua yang datang baru tiga anak, Yah." Ibu menengok ke teras."Ndak apa-apa, Bu. Yang lain mungkin lagi di jalan," terka Najib sembari mencomot mangga.Najib tak pernah bosan atau pun kehilangan semangat mengajarnya. Bagi Najib mengajarkan ilmu agama ngaji dan salat seperti menabung untuk bekal di kehidupan setelah meninggal nanti. Tak apa jika belum banyak anak
Wajah Yusra berbinar-binar mendapati sosok yang sangat dia rindukan, kini duduk bersama dengan Najib dan Idham di teras. "Siapa?" Yusra kaget saat ibu mendapatinya berdiri mengintip dari jendela. Perempuan itu masuk tanpa sepengetahuan Yusra."Bukan siapa-siapa, Bu," ujarnya sembari tersenyum."Masa?" Perempuan itu ikut tersenyum seraya mengusap kepala anaknya yang masih tertutup mukena, kemudian dia meminta Yusra membuatkan teh hangat.Sudah beberapa pekan Yusra pulang. Namun, dia belum juga sempat menyampaikan tentang hubungannya dengan Ervin, hingga laki-laki yang mampu mencuri hati Yusra itu nekat mendatangi rumahnya. Dengan alasan ingin mengunjungi temannya Izzan.Bukan main senangnya hati Yusra, tak henti-henti gadis itu menebarkan senyum selama membuatkan teh."Sudah tehnya? Biar ibu saja yang antar, ya?" Ibu meraih nampan dan menyusun beberapa cangkir teh lalu keluar dari dapur.Yusra
"Bukan. Temannya Bang Izzan, Yusra kenalnya waktu mengisi di acara pesantren dulu, Bu. Udah lama, Yusra juga udah lupa siapa namanya.""Oh, ibu kira teman dekat kamu, Nak." Raisyifa bangkit hendak keluar kamar."Dia minta ajari adik sepupunya main drum, Bu. Boleh enggak? Apa aku buka kursus main drum aja, ya. Menurut Ibu gimana?" tanya Izzan yang ikut berdiri."Kamu ini." Perempuan itu menepuk pundak Izzan. “Tanya ayahmu saja, Zann,” lanjutnya sambil meninggalkan Yusra dan Izzan, lalu kedua kakak beradik itu terdiam larut dengan pikiran masing-masing. Agaknya Yusra lebih berat yang di pikirkannya, anak mana yang mau melawan kehendak orang tuanya, bisa-bisa dikatai anak durhaka. Walaupun dia sendiri anak pungut di rumah itu.“Ngobrolnya di belakang, yuk,” ajak Izzan. Yang disambut anggukkan Yusra. "Tadi, ayah cerita apa saja, Bang?" tanya Yusra ketika baru tiba kolam ikan di belakang.
Yusra sudah menduga kemana arah pembicaraan ini jika dia tetap diam. Akan tatapi, dia pun tak punya kuasa untuk bicara terlebih lagi kondisi Najib yang memprihatinkan.Laki-laki tua itu sudah dua tahun belakangan ini sering terganggu kesehatannya. Kata dokter yang sering dia kunjungi tensi darah, kencing manis atau diabetesnya kadang kumat sulit terkendali. Najib hanya butuh obat dan istirahat yang cukup jika sudah merasa enakkan, dia akan kembali beraktivitas seperti biasa."Yusra," panggil Najib lagi, seakan menyadarkan gadis di samping bahwa pertanyaannya belum mendapatkan jawaban."Heem. Yusra malu, Yah, Yusra ...." Lama Najib menunggu Yusra menyelesaikan kata-katanya. Namun, hampir belasan menit Yusra tak juga menyelesaikan ucapannya.Najib menduga mungkin putrinya malu untuk mengakui ketertarikannya pada Idham."Yusra, ayah mau kamu jujur, Nak. Bilang saja kalau ada yang tidak sesuai dengan dugaan ayah dan ibu.""Ma
Seorang pria tampan dengan kaus berkerah hitam dipadu jeans abu-abu gelap turun dari mobil sedannya. Ia tersenyum sambil berjalan mendekati kekasih yang sudah menunggunya sejak tadi. Riuhnya suara band kafe dan pengunjung lain membuat Ervin tak sabar untuk sampai di hadapan Yusra. Maaf, ya, telat, " sapanya. Yusra tersenyum tipis dan menunjukkan minuman yang sudah
Yusra menggeleng. “Aku takut kalau jujur. Aku takut kamu marah,” ujar Yusra terbata-bata.“Kamu ini aneh, belum cerita tapi sudah takut. Kamu maling, ya?” canda Ervin.Hening. Yusra tak merespons candaan. Hatinya benar-benar porak-poranda setelah mendengar percakapan Najib tempo hari.Sebagai anak pungut yang dibesarkan dengan cinta kasih tanpa kurang apa pun, rasanya ia malu menolak permintaan dari orang tua. Selama ini, mereka tak pernah meminta Yusra melakukan apa yang mereka mau. Bahkan ketika gadis itu memilih sendiri kuliah di jurusan yang tidak disukai Najib sekali pun. Mereka tak mempermasalahkannya.Permintaan ayahnya kali ini mungkin terdengar menguntungkan untuk Yusra. Idham bukanlah pemuda sembarangan, ia dan keluarganya dikenal baik, santun. Jelas mapan karena punya usaha sendiri, taat beragama, dan pasti tampan. Idham memang berbeda dari sekian anak muda seusia dengannya, ia rela menjadi tenaga suka
Yusra membuka matanya secara perlahan. Ia bangun kemudian duduk bersandar pada tembok. Kepalanya terasa berdenyut. Ulu hatinya terasa nyeri. Badannya lemah untuk melangkah ke kamar mandi. Namun ia tetap memaksakan diri untuk berwudu, lalu salat Subuh. Dalam sujudnya yang panjang, Yusra memohon agar ada keajaiban, perjodohan ini dibatalkan tanpa harus melukai hati siapa pun.Mata gadis itu kembali memanas seiring napasnya yang menjadi sesak. Dihirupnya oksigen banyak-banyak, berusaha mena