"Ndak, Sayang. Kamu tetap anak Ibu dan Ayah. Kamu tetap si bungsu Ibu. Kamu boleh cari orang tua kandungmu tapi kamu ndak boleh pergi dari rumah ini."
Selama ini, mereka memberikan yang terbaik untuk Yusra, layaknya anak kandung tak ada yang pilih kasih. Bahkan mereka lebih menyayangi Yusra dibandingkan Izzan. Meskipun bukan orang tua kandung, tetapi mereka memberikan kasih sayangnya dengan tulus. Memanjakannya, mengajari agama, menasihati jika salah. Mengabulkan permintaan Yusra selagi mereka mampu dan baik menurut syariat agama. Ah, Yusra, dia benar-benar si buntung yang beruntung.
Harusnya Yusra bersyukur, karena belum tentu hidup seberuntung seperti sekarang ini. Walaupun dia anak pungut, tetapi kasih sayang orang tuanya sama seperti abangnya-- Izzan.
Apalagi mengingat kedua orang tua kandungnya, Yusra masih bayi saja, mereka tega membuang Yusra. Lantas, kenapa sekarang terpikir untuk mencari mereka?
Ini memang terlalu berat untuk Yusra. Pantaslah selama ini, mereka menyinggung fisiknya yang berbeda. Tak ada sedikit pun perawakan ayah atau ibu yang diwarisi ke Yusra. Bahkan, perangai mereka pun demikian, tak ada yang keras kepala sepertinya di rumah itu.
"Ayah istirahat dulu." Laki-laki berkopiah putih itu ijin pamit, tetapi masih berdiri menunggu Raisyifa untuk ke kamar.
Yusra tahu ayahnya tak kuat bila melihat mereka menangis.
"Udah, Bu. Ajak Yusra istirahat," pinta Najib.
Adakah mereka menyimpan rahasia lain? Yang tak boleh diketahui Yusra. Atau juga mereka sengaja menundanya. Padahal masih banyak pertanyaan yang belum selesai di ruangan itu. Terlebih lagi dengan Yusra, seribu pertanyaan tentang hidupnya masih menggantung. Akan tetapi, dia takut. Asam lambung Najib naik lagi. Dengan terpaksa disimpannya kembali perasaan-perasaan yang menjanggal di ulu hatinya.
Jam berdentang mengagetkan Yusra. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, ibu yang sudah tampak lelah menuntunnya masuk ke kamar. Gadis itu berharap esok hari semuanya seperti biasa.
Di kamar ayah Yusra tak sepenuhnya terlelap. Laki-laki itu hanya memejamkan mata, sedangkan jiwanya masih bersama Yusra. Dia berharap anak gadisnya tak lagi sedih. Namun, nyatanya Yusra tetap bersedih tak mudah baginya menerima kenyataan hidup.
Seperti Najib sepanjang malam Yusra juga tak tidur. Diingatnya kembali kenangan semasa kecil yang selalu dimanja, tak pernah orang tuanya berlaku kasar apalagi mencubitnya jika dia nakal.
Ya Allah, malu rasanya bila aku tak membalas kebaikan keluarga ini. Dengan cara apa aku membalas semuanya? Tanya Yusra dalam hatinya.
***
Akhirnya Yusra punya keberanian untuk memberitahu Ervin. Sebenarnya gadis itu malu sekaligus takut. Takut jika laki-laki pujaan tak mau menerimanya. Takut kalau orang tua Ervin keberatan dengan statusnya yang tak jelas anak siapa. Entahlah, ada banyak rasa takut yang menguasai Yusra saat ini.
Maka saat ayah dan ibu menghadiri acara syukuran di rumah Bude Ratmi, Yusra menelepon Ervin sambil menangisi nasibnya. Dia pun tak tahu kelanjutan hubungan mereka, karena sampai saat ini Yusra belum membicarakan pada Najib dan Raisyifa. Selain menunggu waktu luang sang ayah, dia juga berusaha menstabilkan perasaannya.
Ternyata memang tidak mudah menjadi anak pungut. Andai dia tahu sedari dulu mungkin dia akan menjadi anak yang patuh, tak akan melanggar semua peraturan sang Najib. Yusra kecil memang suka berbohong, keras kepala dan manja. Terlebih bila menginginkan sesuatu, orang tuanya harus bisa mengabulkan. Yusra menarik napas berat, terasa ada beban baru di pundaknya saat ini. Gadis itu benar-benar malu bila mengingat itu semua.
"Aku malu jadi Anak Ayah," ucapnya terbata-bata sambil terisak.
"Aku tahu perasaan kamu, tapi ini udah takdir. Kamu enggak minta kan, diambil Pak Ustaz? Kenapa kamu malu?" Laki-laki itu mencoba menenangkannya.
"Aku malu selama ini aku belum menjadi anak yang Soleha, belum bisa membuat keluarga ini bangga. Aku sering tak menuruti kemauan Ayah. Entahlah, aku benar-benar malu dan merasa tak tahu diri kalau ingat itu semua." Dengan suara yang masih parau Yusra menceritakan keresahannya pada Ervin.
"Iya, aku tahu perasaan kamu. Aku selalu berdoa yang terbaik buat kamu. Kamu sudah dewasa. Kamu tahu bagaimana berterima kasih dengan orang tuamu. Terkadang yang disebut keluarga itu tidak harus selalu ada ikatan darah, tapi orang yang sejak kamu dilahirkan sampai sekarang selalu ada, mereka yang mengasuh kamu, menyayangi dengan tulus, memberikan seluruh cinta kasihnya. Apa itu kurang untuk menyebutnya sebagai keluarga? Jangan sedih terus, ya," pinta Ervin.
Sambil terisak, gadis itu mengangguk-angguk seolah-olah Ervin--kekasih ada di depannya.
"Aku belum bicara rencana lamaran. Abang Izzan juga udah tahu hubungan kita. Aku boleh minta sesuatu enggak?"
"Apa?"
"Aku mau kamu bicara dulu sama orang tuamu tentang statusku, aku enggak mau suatu saat nanti mereka menolakku."
"Status apa lagi? Mama pasti senang kok, punya mantu cantik kayak kamu."
Ervin berusaha menghilangkan kesedihan Yusra, tapi tidak dengan gadis itu. Hatinya kian porak poranda setelah tahu bahwa dirinya bukanlah anak kandung Najib dan Raisyifa.
"Vin, aku serius. aku enggak mau nanti di keluargamu ada yang menolak aku." Yusra bersungut.
"Yusra, semuanya yang terjadi juga bukan kehendak kamu kan? Kenapa takut ditolak orang lain, sementara kamu sendiri saja belum menerima takdirmu. Jangan merisaukan sesuatu yang belum terjadi, Yusra. Itu rahasia Allah."
Kata-kata Ervin terasa menohok, membuat Yusra kembali mengeluarkan air mata. Kali ini dia menangis terharu, antara sedih, bahagia dan bersyukur memiliki kekasih seperti Ervin.
Laki-laki dengan tinggi 170 sentimeter itu selalu mengerti keadaan Yusra. Dari awal mengikat kasih, Ervin selalu memahami Yusra. Agaknya cinta Ervin begitu besar untuk gadis itu.
"Makasi Vin. Eh, itu kayaknya suara mobil ayah. Sudah pulang mereka, aku tutup dulu, ya?"
"Iya udah. Bye." Ervin mengakhiri obrolan.
Yusra meletakkan ponselnya lalu segera bangkit ke kamar mandi untuk mencuci muka. Dia merapikan penampilannya sebentar dengan sedikit bedak agar terlihat lebih segar, kemudian keluar menyambut kedatangan Najib dan Raisyifa.
"Ibu bawa apa?" tanya Yusra seraya melihat ke arah dalam mobil. Terkadang gadis itu, seperti anak kecil. Menunggu orang tuanya pulang membawakan jajanan.
"Liat sendiri tuh, di mobil Pasti suka." Perempuan bergamis syari itu tersenyum melihat Yusra.
Raisyifa berbuat seperti biasa, memanjakan Yusra meski dengan hal-hal kecil. Mangga harum manis menjadi buah kesukaan Yusra sedari dulu. Melihat Yusra menyambut kepulangannya, Raisyifa semakin sadar bahwa Yusra tetaplah si bungsu di rumah ini.
"Wah, mangga harum manis, memangnya udah musim, ya?" tanyanya senang.
"Kapan-kapan diajak jalan-jalan anaknya, Yah. Kasihan cuma di rumah sampai enggak tahu musim buah apa." Ibu terbahak, " Ya, udah sana kupasi buat Ayah," imbuh Raisyifa, yang disambut hangat oleh Yusra.
Ia memang tak meyangkal pesona Idham. Sebagai wanita normal tentu saja lelaki di sampingnya kini tampak mendekati kata sempurna. Andai dibagikan rating penilaian maka nilai Idham adalah sembilan dari sepuluh angka yang disodorkan. Namun, bukan berarti pesona itu mudah mengubah segalanya. Karena hingga sampai saat ini, tetaplah Ervin yang bertahta di hatinya.Hening kembali menyelimuti mereka. "Aku enggak tahu dan enggak mau tahu masa lalu kamu. Aku pikir kita sudah cukup dewasa. Lagi pula percuma juga kita mempertahankan ego, sementara hati masih memikirkan perasaan orang lain. Bukankah itu sama saja dengan menzolimi diri sendiri?" tanya Idham yang masih acuh tanpa melihat ekspresi Yusra yang sedang menahan kesal."Iya aku tahu. Aku cuma butuh waktu. Aku butuh privasi. Hargai itu!" Idham tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. Ternyata selain manja dan keras kepala istrinya juga tak mau mengalah. Berlagak berbicara waktu dan privasi? Bukankah, itu sudah dilakukannya. Mereka hanya
Hari yang tak diinginkan oleh Yusra pun tiba. Dibalut gaun pengantin yang sederhana namun tampak mewah, Ia dan Idham berdiri berdampingan menyalami para tamu undangan. Sah sudah keduanya dalam sebuah ikatan pernikahan. Meski hati salah satunya menolak, tapi kenyataan berkata lain. Dan hari ini Yusra menyerah. Karena sampai detik ini, ia tak memiliki ruang sedikit pun untuk melarikan diri. Seperti hatinya sekarang yang tak ada celah secuil pun untuk suaminya masuk.Memang butuh waktu untuk menerima status barunya, dan Yusra terlihat pasrah meski dalam hati masih berharap Ervin datang membawanya pergi. Tak peduli kemana lelaki itu akan membawanya. Yang terpenting pergi dari sini. Ia tersiksa berada di pelamin bersama Idham, mengikuti semua arahan pembawa acara, memaksakan senyum yang terus dibuat-buat. Serta melayani foto bersama. Kini detik yang dilalui terasa lambat berkali-kali lipat, Ia merasa sudah berabad lamanya duduk di kursi pengantin. Yusra rasa tak sabar ingin berbicara lan
Hampir setengah jam mereka sama-sama terdiam. Yusra melirik jam di pergelangan tangan menunggu detik-detik jawaban dari Ervin. Setelah ide gilanya disampaikan, keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Lelaki itu tak tahu harus bagaimana menyadarkan Yusra, berkali menasehati rasanya percuma. Gadis itu tetap dalam pendiriannya. Lamunan Yusra tentang Ervin melintas kembali pada awal mereka bertemu setelah sama-sama melanjutkan pendidikan di kota yang berbeda. Pada saat itu salah seorang teman mereka mengadakan acara peresmian cafe baru yang kebetulan mereka hadiri. Keduanya terkejut, tak menyangka bertemu lagi setelah perpisahan ketika berseragam abu-abu. Ervin yang memang menyukai gadis itu sejak dulu tak mau membuang kesempatan. Ia meminta nomor kontak lalu perbincangan berlanjut sampai mereka akhirnya memiliki hubungan spesial. Keduanya sepakat untuk tidak mengumbar hubungan, lebih tepatnya menjaga rahasia kisah cinta mereka. Tak ada yang tahu selama beberapa tahun sampai akhir
"Aku kan dari awal dah bilang, lebih baik jujur. Sekarang mau bagaimana lagi, kamu sendiri 'kan yang paling merasakannya?" Yusra menoleh pada asal suara, tak menyangka ternyata Izzan memperhatikannya sejak tadi."Emang kalau aku jujur, Abang mau bantuin?" keluhnya. "Ra, yang paling bisa bantuin kamu itu, ya, kamu sendiri. Bukan orang lain, jangan berharap banyak sama orang atas kebahagiaan untuk kamu, sementara kamunya sendiri enggak berjuang," sindir Izzan. "Pasrah!" Yusra buru-buru menundukkan kepalanya. Merasa tersudut karena apa yang dikatakan Izzan benar adanya. Selama ini dirinya sendirilah yang membiarkan perjodohan ini terus berjalan. Dia pikir Izzan juga tak banyak membantu jika pendapat dan keinginannya berseberangan dengan sang ayah. "Sekarang udah enggak ada yang bisa aku lakukan kecuali bertemu dengan Ervin," lirih Yusra, matanya hampa menatap Izzan. "Ngapain ketemu Ervin?" ketus Izzan. Laki-laki itu memang bersikap netral apa yang terjadi sama Yusra, ia tak bisa ber
Hampir semalam yusra tak bisa terlelap. Gelisah karena terlalu banyak yang dipikirkan, memikirkan sesuatu yang menjadi takdir di garis hidupnya memang hal yang bodoh. Namun, gadis itu tetap saja melakukannya seperti menikmati luka pada tiap irisan hatinya. Berkali-kali ia mencoba ikhlas dengan apa yang sudah terjadi. Karena bagaimana juga kesedihannya saat ini tak bisa mengubah apa pun. Tentang kehidupan setelah pernikahan nanti agaknya paling banyak menyita pikirannya Bagaimana bisa ia melewati hari-hari bersama orang yang tak dicintainya. waktu terus bergerak menunjukkan pukul dua malam, harusnya ia terlelap mengistirahatkan tubuh dan pikiran agar tampilannya esok tampak segar di acara pertunangan. Akan tetapi, Yusra tetap saja terjaga merasakan kepalanya yang mulai berdenyut-denyut nyeri. Kebaya cokelat berserta hijab warna senada tergantung rapi di samping meja rias, keduanya seakan sedang menertawakan ketidakberdayaan gadis itu, ditatapnya sejenak dengan wajah sendu lalu beralih
Bergetar badan Yusra ketika mendengar nama perempuan itu disebut oleh Raisyifa. Ia masih ingat siapa sosok itu. Sosok yang pernah menggemparkan satu kota, heboh karena sesuatu yang buruk. Sungguh memalukan!Ada sorot kekhawatiran di mata Raisyifa. Ia paham bagaimana perasaan putrinya saat ini. sebelum menyampaikan kebenaran, ia sudah mewanti-wanti menyiapkan segala hal terburuk yang dipilih Yusra. “Maafkan ibu, Ra,” lirihnya. Air mata kedua perempuan itu luruh serentak, mereka berpelukan saling menguatkan. Ada banyak pertanyaan yang masih tertahan di antaranya. Namun, keduanya memilih larut saling mendekap.Puas menangis harusnya membuat seseorang merasa lega. Namun, tidak bagi Yusra. Sakit kepalanya semakin terasa berat dan kesusahan untuk menarik napas. Entah mengapa rasa sakitnya belum juga hilang seakan tak mengenal lelah. Ia kecewa dengan apa yang diinginkan justru sebaliknya yang terjadi. Tak pernah sedikit pun terlintas di pikiran, kalau di