Share

Rencana Rahasia

"Oke." Yusra mengacungkan jempolnya. Sebisa mungkin Yusra bersikap biasa. Walaupun dalam hatinya terasa canggung. Rasanya tak patut lagi dia bersikap manja seperti seorang anak kandung. Meskipun ibu selalu mengatakan tak ada yang boleh berubah. "Si Bungsu, Ibu" begitu timang Raisyifa sejak dulu. 

Setelah memarkirkan mobil ke garasi, Najib dan Raisyifa duduk di ruang tamu. Yusra datang membawa sepiring mangga dan segelas air putih sambil menunggu kedatangan anak-anak. 

Halaman rumah masih sepi, mungkin karena anak didik Najib belum ramai yang datang. 

"Udah mau jam dua yang datang baru tiga anak, Yah." Ibu menengok ke teras. 

"Ndak apa-apa, Bu. Yang lain mungkin lagi di jalan," terka Najib sembari mencomot mangga. 

Najib tak pernah bosan atau pun kehilangan semangat mengajarnya. Bagi Najib mengajarkan ilmu agama ngaji dan salat seperti menabung untuk bekal di kehidupan setelah meninggal nanti. Tak apa jika belum banyak anak yang ingin belajar di tempatnya. Meski pun sudah diberikan gratis, tetapi masih saja ada anak dan orang tua yang tidak mau belajar agama.  

"Kalau Yusra tidak keberatan, Ayah mintak tolong bantu mengurusi yayasan yang baru. Nanti Ayah carikan teman." Ayah Yusra menghela, tatapannya yang semula lurus ke depan beralih menatap anak gadisnya. 

Yusra tak lekas mengiyakan permintaan sang ayah. Dia butuh waktu untuk berpikir, menimbang-nimbang sebelum mengambil keputusan. Selain takut tak mampu mengemban amanah, dia juga belum sepenuhnya mau tinggal di kota ini. Niat kepulangannya hanya untuk menikah, setelah itu Yusra berencana kembali hidup di kota Jakarta bersama suaminya, Ervin. 

"Berarti Yusra enggak kerja lagi ke Jakarta, Yah?" tanyanya pelan. 

"Loh, memangnya ngurus yayasan itu ndak kerja? Yusra mau Ayah gaji?" ledek Najib, yang justru membuat Yusra malu mendengarnya. 

Tujuannya memang bukan uang saja, tetapi dia merasa jurusan kuliah yang dipilihnya tidak tepat. Yusra memilih jurusan ekonomi, tetapi diam-diam gadis itu menggeluti dunia tarik suara  yang menjadi passionnya sedari dulu. 

Yusra memang melakukannya diam-diam.  Sebab dia tahu sang ayah akan marah besar jika anaknya menjadi penyanyi. Bagi Najib, seorang perempuan tidak elok mengubar suaranya. 

Kalau hanya mengurusi yayasan, Yusra pikir Izzan atau pun orang lain juga bisa. Mengapa harus dia? Sungguh Yusra keberatan. Namun, enggan untuk mengatakannya. Dia memilih diam. 

"Yusra ...." Gadis itu tak dapat melanjutkan kata-katanya. Tiba-tiba saja dia teringat kembali bagaimana kasih sayang keluarga selama ini. 

Yusra tersadar siapa dirinya. Pantaskah dia menolak keinginan sang ayah? Alangkah buruk perangainya bila dia menolak. Tak tahu terima kasih, tak mau berbalas budi kepada keluarga. Toh, tanpa mereka aku bukanlah apa-apa. Batin Yusra. 

"Kalau kamu belum siap. Ya, ndak apa-apa. Iya kan, Yah?" Raisyifa memecah keheningan di ruang tamu siang itu. 

"Memangnya ayah maksa, Yusra? Ndak kan? Sesuatu yang dipaksa biasanya akan menghasilkan hasil yang kurang baik. Iya kan, Bu?" 

Perempuan itu mengangguk sembari tersenyum kepada anak gadisnya. Yusra jadi kikuk, rasa bersalah terbit begitu saja, mereka adalah orang baik yang sengaja diberikan Allah untuk Yusra. Pantaskah dia menolak? 

"Yusra takut enggak bisa, Yah. Enggak sesuai keinginan Ayah nantinya," ucapnya memberikan alasan. 

"Loh, kamu ini bagaimana? Belum dicoba sudah banyak takutnya. Ada ayah, Izzan, sama Ervin. Sebenarnya ayah mau abangmu, tapi kamu liat sendiri kan, abangmu bagaimana?" 

"Yusra pikir-pikir dulu, ya, Yah?" Yusra rasa itu adalah jawaban terbijaknya. Meskipun esok harinya, dia tidak akan mengatakan "iya". 

Belum sempat Najib menjawab, sapaan salam dari teras memecah obrolan mereka  siang itu. 

"Assalamualaikum," sapa Idham, diiringi senyuman. 

"Waalaikumsalam. Ayo masuk, ..." ajak Najib. 

Raisyifa bergeser ke samping Najib sebelah kiri, sementara Idham duduk di samping kanan. 

"Bapak kira kamu ndak datang." 

"Alhamdulillah, sudah selesai urusannya, Pak," ujar Idham lega. Najib mengangguk memuji kerja Idham. 

Sekilas Yusra memerhatikan sosok laki-laki itu, dengan gaya rambut mode catam dipadu baju kokoh abu-abu lengkap dengan sarungnya. Idham terlihat berbeda dari laki-laki lain seusianya. Bukan hanya penampilan pakaiannya, tetapi juga pilihan hidup Idham. Karena masih muda dan memilih menjadi ustaz. 

Menurut Yusra yang merasa mengerti dunia pashion, laki-laki muda di samping ayahnya benar-benar norak, kampungan. Apakah seorang ustaz harus mengajar pakai sarung? Tidakkan? 

Dalam penilaian Yusra, Idham bisa pakai celana bahan yang tidak mencolok, dipadu dengan baju koko berwarna cerah. Karena Idham masih muda, tidak cocok dengan tampilannya seperti saat ini. Apa tidak malu sama umur? Modelnya baju kokonya saja persis seperti kepunyaan ayah Yusra. Padahal, di pasar begitu banyak baju koko dengan desain modern.

"Heem." Raisyifa berdehem. 

Yusra menundukkan pandangan, menekuri taplak meja. Mungkin gadis itu tidak menyadari kalau Raisyifa diam-diam memperhatikannya. 

"Ada apa, Bu?" tanya Najib heran. Laki-laki itu menatap istrinya sebentar. 

"Ini, ibu kelesek mangga," kilah Raisyifa. Gadis itu tersenyum mendengarnya, dia yakin ibunya hanya mengada-ngada. 

Raisyifa beralih menatap Yusra dengan senyuman yang penuh arti. Gadis itu cepat-cepat menunduk. Dia tak ingin ibunya salah mengartikan tatapannya pada Idham, meski semuanya spontan saja. Tidak ada  sedikit pun rasa suka Yusra pada Idham. 

"Yusra, ayah boleh minta tolong kamu hendel anak-anak dulu, ya. Ayah masih ada yang mau bahas sama Idham." Najib mengulurkan buku catatan yang memuat identitas anak didikannya. 

"Iya, Yah." Yusra meraih buku itu, lalu berdiri dan membawa keluar bersamanya.

Gadis itu terhenti sejenak di balik pintu sambil melihat nama-nama di catatan. Tanpa sengaja Yusra mendengar obrolan Najib dan Idham. Samar-samar dia mendengar agar dirinya dapat menjadi partner Idham untuk mewujudkan keinginan Najib. Membuat sebuah yayasan. 

Seketika, Yusra teringat kata ayahnya tempo hari. Bahwa yayasan tersebut pun akan sulit terwujud jika tidak ada campur tangan Idham, itu sebabnya laki-laki yang dipanggil ayah oleh Yusra itu juga berniat membuat hubungan mereka lebih dekat. 

Awalnya, Yusra sempat acuh dengan obrolan mereka. Namun, saat Raisyifa mengatakan kata taaruf dan lamaran hati Yusra mulai terusik. Bagaimana bisa bicara masalah ijin yayasan lalu cepat beralih ke lamaran. Siapa yang ingin taaruf? Abang Izzan? Idham? Tapi sama siapa? 

Dalam hati Yusra tak henti bertanya. Siapa yang Raisyifa maksud? Belum habis rasa  penasaran Yusra, karena banyaknya pertanyaan yang belum terjawab. Gadis itu di hadapkan kembali mendengar  pertanyaan dari Najib untuk Idham agar bisa membimbingnya. 

Yusra menutup bukunya dengan pelan. Pikirannya menjadi tak tenang. Bertimbun-timbun rasa penasarannya pada ucapan Najib siang itu. 

Ingin rasanya gadis itu ikut masuk dan duduk di kursi. Dimintai pendapatnya, karena ini akan menyakut kehidupannya nanti. Bukankah Yusra harus mengatakan 'boleh' terlebih dahulu sebelum Idham benar-benar membimbingnya. Lagi pula, Yusra juga berhak tahu bagaimana cara Idham membimbingnya.  

"Apanya yang dibimbing?" Yusra bergumam.  Kalau membimbing dalam ilmu agama mungkin saja Idham lebih hebat darinya, tetapi kalau urusan ijin, prospek yayasan? Sungguh, gadis itu merasa tidak memerlukan bimbingan dari Idham.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status