Share

Menepati Janji

Sudah satu minggu Airin mendiamkan Bayyu. Meski lelaki itu tak henti memberinya perhatian—tentu saja dianggapnya semu—namun itu tak cukup mampu membuatnya luluh. Sesungguhnya, perempuan itu tak sungguh-sungguh ingin mengakhiri hubungannya dengan Bayyu. Bagaimanapun, cinta Airin lelaki itu telanjur dalam, bahkan telah melemahkan lobus frontal yang menghuni tempurung kepalanya. Ia tak mampu lagi berpikir jernih. Ia telah terbutakan dengan cinta Uttara Bayyu, lelaki yang hampir tak memiliki cela di matanya. Tentu sebelum seorang Selena Oktora, merisak bahtera asmaranya.

Nduk, ada paket,” suara Ibu terdengar memanggilnya dari balik pintu kamar. Ia membuka daun pintu dengan wajah yang masih terlihat kusut dan menerima paket yang tak diketahui pengirimnya itu. Dahinya mengernyit.

“Katanya dari siapa, Bu?”

“Mas ojolnya tadi Cuma bilang dari Mas-Mas, gitu,” air muka Ibu terlihat mengingat-ingat perkataan ojek online  yang baru ditemuinya. Lepas Ibu meninggalkannya dengan paket misterius itu, Airin kembali menutup pintu. Pelan langkahnya menuju tempat tidur sembari terus menatap box berplastik hitam yang dipegangnya. Tak ingin memelihara rasa penasarannya, perempuan yang hobi masak itu segera menanggalkan plastik pembungkusnya.

Sebuah pemandangan tak biasa ditangkap netranya. ­Box di hadapannya terlihat seperti terror namun mampu membuatnya menyunggingkan senyum sekaligus rasa penasaran yang membuncah.

“Apaan, sih, ini?” Ia tak berhenti mengurai senyum-senyum kecil sendiri. Penasarannya semakin menjadi ketika mendapati box berbalut kertas putih itu ‘dikotori’ tulisan yang tak henti membuatnya tertawa. Ah, akhirnya ia bisa tertawa juga lepas insiden sore itu bersama Bayyu. Ah, Bayyu? Sepertinya ia kini tahu siapa tangan jail di balik bingkisan misterius itu.

‘Awas bom! Jangan dibuka, nanti jadi suka. Mau tau, apa mau tahu banget? Penasaran, ya? Ciee, ketawa. Suka, ya? Penasaran? Yaudah, deh, buka aja.’

Benar, Airin membuka kotak itu segera. Dan, matanya hangat, terkesima.

“Ah, Mas Bayyu. Ini yang tak bisa membuatku membencimu lama-lama,” Airin memeluk boneka monyet biru yang ia keluarkan dari kotak misterius tadi. Boneka itu tampak tengah tersenyum jenaka kepadanya, mirip sekali dengan ekspresi seseorang yang selalu mampu membuatnya marah dan tertawa dalam waktu yang bersamaan. Bayyu.

Tangan lembut Airin kembali merogoh kotak ‘harta karun’ itu dan ia menemukan sekotak beludru merah. Ia membukanya dan menemukan cincin lamarannya yang telah dibuangnya telah tersemat di sana. Matanya semakin menghangat. Ada genangan mata yang tak mampu lagi ia bendung. Ia biarkan meleleh menghangatkan pipinya, kala sebuah maaf terucap melalui secarik kertas bertuliskan, Ai, maafkan aku, ya. Izinkan aku menepati janjiku pada Ayah.

***

Dua tahun yang lalu.

Tahun ini adalah tahun kedua aku dan Mas Bayyu menjalin kasih. Orang tuaku, khususnya Ayah, terus saja menanyakan kapan Mas Bayyu akan memintaku. Maklum, bagi Ayah, dua tahun kami wara-wiri berdua itu tanpa ikatan itu jelas meresahkan. Apalagi, masing-masing kami sudah bekerja. Ya, meskipun aku maupun Mas Bayyu masih menjadi staff biasa yang dengan gaji yang masih jongkok.

Apalagi Mas Bayyu, kerjanya sebagai driver jelas tak bisa dijadikan pegangan, meskipun ia menjadi bagian terkecil dari perusahaan keuangan multinasional. Selain ia harus menabung sedikit demi sedikit untuk dirinya ia juga masih memiliki tanggungan untuk menjadi tulang punggung ibu dan satu adiknya. Sementara akupun juga masih ingin mengembangkan diri, mengumpulkan pundi-pundi rupiah agar kelak bisa lanjut S2, seperti yang selama ini aku impikan. Jadi. jelas tak mungkin ada pernikahan saat ini. Tidak mungkin memaksakan pernikahan ketika masing-masing masih memiliki prioritas yang harus diselesaikan.

Meski ragu, aku sampaikan keresahan Bapak itu. Dan, persis perkiraanku, “Aku belum siap,” katanya padaku. Aku memahami itu. 

Waktu berlalu. Ayah jatuh sakit dan terdiagnosis diabetes. Dua bulan menjalani perawatan di rumah sakit dan berobat jalan, Ayah akhirnya berserah pada Sang Khalik. Sungguh, bulan-bulan setelah itu aku limbung. Kehilangan penopang hidupku. Cinta pertamaku di dunia.

“Ayah minta satu hal pada Nak Bayyu, ya?” ucap Ayah sesaat sebelum meninggal dunia. Waktu itu semua keluarga inti dikumpulkan. Paman, Tante, Pakdhe, dan Budhe yang merupakan saudara kandung dari pihak Ayah dan Ibu dipanggil ke rumah. Tidak ketinggalan pula Mas Bayyu. Ayah masih sempat memberikan pesan-pesan terakhir kepada saudara-saudaranya, juga kepada ibu dan aku, juga Mas Bayyu.

“Nak Bayyu, tolong jaga Ririn, ya. Dia satu-satunya permata hati Ayah,” pinta Ayah seraya meletakkan tangannya di atas punggung tangan Mas Bayyu. Sementara itu, Mas Bayyu hanya mampu memberi anggukan pelan. Ririn, begitu ayah selalu memanggilku dengan panggilan sayangnya. Ah, memang hanya Ayah yang memanggilku begitu.

“Insyaallah, semampu saya, Yah,” ucap Mas Bayyu kala itu menenangkan Ayah. Dua tahun dekat, baik Mas Bayyu maupun aku sudah diterima baik di kedua belah keluarga, sehingga kamipun tak sungkan untuk sama-sama memanggil Ayah atau Ibu layaknya anak sendiri.

Lepas kepergian Ayah, aku benar-benar kehilangan energi untuk melanjutkan hidup. Aku tak lagi seceria dulu, tak sesemangat dulu untuk mengejar mimpi-mimpiku. Untung selama ini, Mas Bayyu tidak pernah membiarkanku sendiri. Ia juga yang selalu menyuntikkan semangat, membawaku ke tempat-tempat berkesanku dengan ayah untuk menindas kenangan, juga sesekali mengunjungi ayah di pusaranya untuk melepas rindu. Lambat laun, aku bisa hidup kembali.

Kabar baikpun datang. Berkat kegigihan, keberuntungan, serta loyalitas Mas Bayyu terhadap atasannya, ia mendapat kesempatan untuk direkrut menjadi pegawai tetap, naik jabatan pula menjadi staff keuangan. Itu satu batu loncatan yang baik bagi Sarjana Manajemen itu.

Sembari menjalani profesi barunya, atasannya juga merekomendasikannya untuk menempuh S2 dengan dibantu beasiswa dari kantor. Peluang itu tentu tidak ia sia-siakan begitu saja, terlebih memang dia merasa mampu dan menyukai tantangan. Seperti yang diucapkan atasannya kepadanya, ia berpeluang untuk menduduki posisi yang lebih tinggi di perusahaan tersebut, salah satu jalannya adalah dengan meng-upgrade level pendidikan dan pengalamannya.

Mas Bayyu mampu menyelesaikan dua tahun pendidikannya sembari menjalankan pekerjaannya sama baik. Berkat prestasinya tersebut, Mas Bayyu mendapatkan promosi jabatan menjadi finance manager. Lebih cepat dari yang ia perkirakan. Keberuntungan itu sempat membuat rekan seniornya menaruh iri padanya. Tapi, ia memiliki koneksi dekat ke atasan yang telah bertahun-tahun mempercayainya dan melihat potensinya. Semua orang akhirnya mengakui potensi dan kinerjanya memang tidak perlu diragukan lagi meski ia hanya mantan driver. 

Mas Bayyu jauh lebih mapan dan penghasilannya jauh dari cukup untuk menyisihkan tabungan pernikahan, juga memfasilitasi impianku. Tanpa kuminta, ia mempersilakan aku untuk mengambil program magister, sesuai impianku. Aku tak percaya, terharu dibuatnya. Sepertinya, ia betul-betul tengah berusaha menepati janjinya pada ayah. Pelan-pelan mengambil peran ayah untukku.

***

Ponsel pintar Bayyu bergetar, sebuah pesan suara ia dengarkan dari perempuannya yang tengah berterima kasih. Meski tanpa melihat ekspresinya, ia dapat merasakan jika perempuan itu mengucapnya dengan malu-malu. Ia tersenyum. Satu PR-nya terselesaikan. Ia melanjutkan memeriksa berkas keuangan akhir bulan yang berada di hadapannya. Matanya sebenarnya merasakan lelah berkutat dengan berkas dan layar laptop seharian.

Ia melepaskan kacamata dan mengurut perlahan pangkal hidungnya. Seharusnya, Sabtu menjadi hari untuk bersantai dan istirahat dari penatnya pekerjaan. Karena Sabtu itu minggu keempat, akhir bulan, maka seperti biasa, aktivitas kantor justru jauh lebih padat sebab tutup buku akhir bulan. Tak jarang, juga sampai lembur malam.

“Permisi, Pak, sepertinya Anda lelah,” sapa seorang tanpa permisi membuka pintu ruang kerja Bayyu dan langsung duduk di hadapan lelaki itu seraya bertopang dagu. Siapa lagi staff yang bisa nyelonong semaunya ke ruang atasan selain Selena?

“Mau lunch  bareng?” tanyanya penuh perhatian. Ia melihat pujaan hatinya itu benar-benar kusut dan tampak lelah. Sementara yang ditanya menggeleng.

“Mager, kerjaan banyak. Delivery-in aja,” pintanya yang langsung di-OK-kan perempuan itu dan langsung memeriksa aplikasi pengantaran makanan online di ponselnya.

“Mau makan apa? Soto mau, nggak?” tawarnya.

“Boleh, deh. Soto Banjar, ya.”

Sembari menunggu pesanan makan siang mereka datang, mereka terlibat obrolan pribadi yang begitu intim. Sesekali membahas pekerjaan, tapi lebih banyak hal di luar pekerjaan mereka. Termasuk perihal menepati janji di hari Sabtu.

“Yah, Sabtu ini nggak bisa menuntaskan janji, dong, ya?” goda Bayyu mengingatkan obrolam mereka minggu lalu.

“Sejauh yang kutahu, kantor ini tidak memperkerjakan pegawainya di hari Minggu.” Bayyu tersenyum simpatik menangkap kecerdasan perempuan di hadapannya itu. Itulah yang sedari awal membuatnya tertarik. Ia tampak sebagai perempuan yang cerdas, berwawasan luas, dan tidak mudah untuk ditaklukkan. Hal yang membuatnya tertantang untuk semakin mengejarnya, sebab ia belum pernah mendapati ada perempuan yang mampu beradu argumen dengannya lama-lama, apalagi mematahkannya secara telak. Tidak juga kekasihnya.

 Airin memang juga pintar, tapi ia lebih memilih jalan pintas menjadi perempuan penurut ketimbang berdebat dengannya. Malas berkonflik, alibinya. Padahal, menurut Bayyu, debat tidak selamanya berujung konflik. Ada hal-hal lain yang memang perlu untuk didiskusikan dan didebatkan. Tentu itu membutuhkan wawasan luas dan mental yang kuat. Selena memiliki magnet seperti itu.

“Tapi Minggu besok aku sudah ada janji dengan Airin.” Setelah mendengar pesan suara Airin tadi, Bayyu masih sempat untuk mengiyakan permintaan Airin untuk menemaninya belanja beberapa persiapan pernikahan mereka. Tampak kecewa di wajah perempuan berdarah Bandung-Australia itu. Melihat itu, Bayyu paham.

“Tapi nanti aku usahakan, ya, setelah urusanku kelar sama Airin, aku ke tempatmu. Kamu siapin aja masakan terenakmu untukku. Oke?” Tangan Bayyu menyentuh lembut dagu Lena. Memaksanya bibir yang tengah manyun itu tersenyum. Pandangan mereka lekat. Perlahan badan Bayyu mendekat ke arah Selena duduk.

Dari jarak yang hanya terpaut sekian sentimeter, jelas ia dapat mencium aroma parfum yang beberapa bulan belakangan menjadi aroma favoritnya itu. Jantung keduanya berlompatan sama cepat. Terlebih Selena. Ia tidak menampik jika ketampanan Bayyu memang begitu memikat jika dilihat dari dekat. Ia memejamkan matanya. Bayyu membelai lembut paras elok di hadapannya. Ia pun memejamkan matanya. Membuat kedua wajah mereka tak berjarak.

“Permisi,” sapa kurir di balik pintu seraya menyebutkan aplikasi yang menaunginya, diiringi tiga kali ketukan. Kontan saja kehadirannya membuat Bayyu terperanjat dan refleks menjauhkan tubunya dari Selena. Sementara itu, Selena bergegas menuju pintu menerima antaran Soto Banjar yang tadi dipesannya. Bayyu mendengus kecewa, demikian juga Lena, meski ia berusaha menujukkan ekspresi sewajar dan setenang mungkin. Perempuan itupun pamit untuk makan siang di ruang kerjanya. Bayyu hanya mengangguk mengiyakan. Soto Banjar yang tidak salah apa-apapun menjadi luapan kekesalannya.

****

“Ada yang kurang, nggak? “ tengok Bayyu pada Airin yang tengah sibuk mengecek belanjaan mereka yang sudah nangkring manis di bagasi sedan hitamnya.

“Sepertinya yang di-list ini sudah terbeli semua,” jawab Airin tanpa mengalihkan pandangannya dari catatan kecil yang dipegangnya. Ia harus memastikan jika semua yang tertulis di sana telah terbeli semua. Tak banyak waktu Bayyu yang bisa ia manfaatkan untuk pergi bersama meski itu menyangkut keperluan sakral mereka berdua. Bayyu sepenuhnya menyerahkan segala urusan pernikahan mereka pada Airin, tentu dengan bantuan wedding organizer yang telah dipilihanya. Tapi, terkadang, untuk beberapa hal, Airin ingin melakukannya sendiri, tentu tidak benar-benar sendiri yang diinginkannya, tapi berdua bersama calon suaminya. Tapi, lebih sering Bayyu beralibi sibuk, jika ia memang sedang malas pergi atau sedang ada janji dengan kekasih satunya. Seperti hari ini, ia tampak terburu-buru mengajak pulang.

“Yaudah, pulang, yuk,”

“Yah, kok, langsung pulang? Nggak pengen jalan-jalan dulu, kita nonton, yuk, Mas? Aku pengen banget nonton Imperfect, Mas,” pinta Airin. Ia memang sedang ingin sekali menonton film yang sedang jadi trending topic di sosmed itu.

“Memang kamu nggak capek sudah keliling mall seharian. Masih kurang jalannya? Kapan-kapan aja, deh, nontonnya, Aku capek. Ada kerjaan juga yang harus kusiapkan untuk besok,” kilah Bayyu. Jika sudah membawa alasan pekerjaan, maka Airin tak mampu lagi memaksakan kehendaknya untuk dituruti. Sebab ia sadar dan tahu betul, berkat kesibukan Bayyu, pekerjaannya, ia dapat pula menikmati mengejar impiannya, S2. Airin mengikuti Bayyu memasuki mobil.

Di perjalanan, keduanya larut dalam kediaman masing-masing menikmati alunan musik. Terkadang, Bayyu bagi Airin memang semisterus itu, terkadang bisa mendadak romantis, seperti mengiriminya paket misterius tempo hari, tapi tak jarang pula menjadi sosok tak acuh dan dingin.  Meski namanya Bayyu, bermakn angin dalam bahasa Jawa, tapi sifatnya lebih seperti laut yang sulit ditebak.

***

“Maaf, honey, sudah membuatmu menunggu lama,” sapa Bayyu ketika dirinya telah berada di teras rumah Selena, setelah lebih dulu mengantar Airin pulang. Pukul 5 sore, meski badannya terasa lelah, tapi menemui sephia­-­nya adalah penawar lelah itu.

It’s okay. Mau masuk dulu atau langsung berangkat?” tawar Selena yang telah rapi dengan dress hitam selutut, dipadupadankan tas dan sepatu warna senada. Semakin menegaskan betapa elegannya dirinya. Bayyu yang sedari tadi mematung juga menikmati anugerah terindah Tuhan di hadapannya itu. Tapi segera ia menguasai dirinya dan mengajak sephia-nya itu untuk langsung berangkat menuju bioskop.

“Mau nonton apa?” tanya Bayyu selepas tiba di bioskop favoritnya, lebih tepatnya favorit Airin.

“Imperfect.” Bayyu sedikit terkejut mendengar judul film yang tadi ditolaknya pada Airin, kini harus ia tonton bersama Selena. Meski sedikit merasa bersalah, tapi Bayyu tetap mengabulkan keinginan Lena. Setelah memiliki tiket dan beberapa snack di tangan, mereka memasuki bioskop  dengan satu tangan Bayyu merangkul Lena. Di dalam bioskop, tangan merekapun tak lepas dari saling mengerat. Bayyu memegang erat jemari Selena, seolah memang benar tak ingin melepaskannya. Sesekali, ia menarik kepala Lena untuk bersandar di bahunya.

Jauh di lubuk hati Selena, ia merasa begitu nyaman dan tentram bersama Bayyu kala seperti itu. Tentu dengan mengesampingkan bahwa pria tersebut merupakan milik orang lain, yang bahkan meski ia tak tahu kapan, akan menikah. Perlakuan Bayyu yang terkadang memperakukannya bak ratu membuatnya merindukan masa kecilnya yang sunyi. Bahkan setelah dewasa, ia mencari-cari kenyamanan yang didambakannya pada orang-orang yang lebih dewasa darinya, tapi tetap saja batinnya terasa hampa.

Sampai akhirnya, ia bertemu Uttara Bayyu dan menemukan kenyamanan yang dicarinya ada padanya. Bayyu mampu memberikan perhatian tulus kepadanya, terkadang juga menghiburnya dengan canda yang lantas membuatnya tertawa yang bahkan selama ini ia jarang melakukan itu, juga menjadi teman debat kusirnya yang menyenangkan. Ia bisa melengkapi kekosongan jiwanya setelah bertahun-tahun kehilangan figur ayah yang didambanya.

Terkadang ia juga kesal pada takdir yang mempertemukannya dengan Bayyu di waktu yang tidak tepat. Tetapi, ia kemudian membangun keyakinannya sendiri untuk bisa bertahan dalam situasi yang tidak menguntungkannya itu. Baginya, Tuhan sengaja mengirimkan seseorang yang tepat dengan terlambat, agar ia memiliki banyak waktu untuk memantaskan diri. Namun, tidak Selena ketahui jika ia sudah benar-benar terlambat.

Kedatangan Bayyu sore itu tidak lain hanya sebuah upaya untuk mengukir sedikit kenangan di sisa waktu yang masih memungkinkan mereka nikmati bersama. Ia ingin memberitahu tanggal pernikahannya lebih cepat, namun lidahnya kelu. Akhirnya ia memilih mengulur waktu.

“Mas, jika saja aku bertemu denganmu lebih cepat dari Airin, akankah aku yang akan menjadi pengantimu?” tanya Selena ketika mereka telah berada di perjalanan menuju pulang.

“Mungkin saja, entahlah,” Bayyu mengangkat bahunya sementara tangannya memegang kemudi.

“Apa yang harus aku lakukan untuk tetap bisa bersamamu?”

“Mungkin kau harus jadi istri keduaku, haha,” goda Bayyu dengan tawa jenaka yang lantas ia hentikan ketika orang yang ditolehnya tak berselera dengan humornya. Ia menepikan mobilnya. Kedua tangannya meraih wajah di sampingnya.

“Dengarkan aku, nikmati saja setiap waktu yang masih bisa kita habiskan bersama. Aku tidak menjanjikan apapun nanti, tapi yang jelas, saat ini aku cukup mencintaimu. Aku nyaman dengan keadaan kita seperti ini. Mungkin nanti memang ada saatnya aku harus melepasmu, tapi itu nanti. Ketika kamu telah mampu berdiri tanpa aku dan menemukan orang yang tepat, yang mungkin sama baiknya atau lebih dari aku,” jelas Bayyu panjang lebar, menatap perempuan itu lekat-lekat.

“Aku cuma takut kehilanganmu, Mas. Memangnya, kapan kamu menikah, sih?”

“Masih lama. Tenangkan hatimu,” Bayyu merengkuh tubuh Lena ke dalam pelukannya. Lama sekali ia menahannya di sana. Sampai pada akhirnya, sebuah kecupan hangat mendarat di kening perempuan seperempat abad itu. Ia mendongak, menatap mata elang Bayyu dan menemukan siluet dirinya di sana. Keduanya pun saling mengeratkan diri, mengulum kerinduan yang begitu dalam, layaknya pasangan LDR yang hanya sebulan sekali bertemu. Suasana malam yang lengang dan dinginnya AC mobil semakin membuat keduanya tenggelam dalam romantisme yang mereka ciptakan. Sebuah lagu mengalun dari audio mobil, semakin menenggelamkan mereka dalam kubangan rasa yang salah yang tak mampu mereka akhiri.

[Beri kisah kita sedikit waktu. Semesta mengirim dirimu dirimu untukku. Kita adalah rasa yang tepat, di waktu yang salah … ]

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
2 wanita tolol yg kehilangan logika dan hanya menurutkan kata hsti yg sesat. mampuslah kau airin dungu dan selena jalang seperti pelacur
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status