Lepas kebersamaan mereka malam itu, rasa cinta semakin membuncah di hati Selena. Perasaannya kepada Bayyu sudah menjelma candu. Candu itulah yang membawa langkahnya kian bersemangat memasuki kantor pagi itu. Tak langsung menuju meja kerjanya, ia terlebih dulu menghampiri sebuah ruangan yang belakangan terakhir menjadi tempat favoritnya di kantor. Berharap seseorang yang dinantinya telah bertengger di sana. Tapi, nihil. Rindunya tak mendapatkan tempat pagi itu. Ia terpaksa berbalik menuju ruang kerjanya. Hatinya mendengus kecewa.
***
“Assalamualaikum, Mas. Sudah sampai mana?”
“Walaikumsalam, Ai. Masih di rumah, nih. Bentar lagi berangkat. Tunggu, ya.”
“Oke, Mas. Hati-hati di jalan. Jangan ngebut, tapi cepetan, ya,” tutup seorang gadis di ujung telepon dengan tawa khasnya. Lelaki itu mengulas senyum yang hanya bisa ia nikmati seorang diri. Ia baru menyadari jika mereka jarang sekali tertawa bersama belakangan ini.
Bayyu memasuki mobil yang sedari tadi telah ia panasi. Perlahan sedan hitam itu meninggalkan pelataran rumahnya menuju alamat yang sudah berada di luar kepalanya semenjak empat tahun terakhir. Rumah Airin. Butuh waktu sekitar 30 menit untuk sampai di tempat calon istrinya itu. Tangannya lincah menekan tombol audio mobil untuk mengusir jenuhnya menyisir jalanan pagi seorang diri. Di sela-sela pendengarannya menikmati alunan musik, memorinya kembali memungut ingatan semalam. Badannya masih terasa panas mengingat peristiwa itu. Aroma parfum perempuan itu masih melekat jelas dalam ingatannya.
Sungguh ia hanyut terbawa suasana malam itu. Sebagai lelaki normal, tentu ia tak bisa menolak pesona Selena. Perempuan blasteran itu adalah dambaan segala lelaki. Bayyu tentu tak ingin melewatkan kesempatan emas di hadapannya. Terlebih Selena juga tidak menolak itu. Ia bahkan berpikir untuk mengulangi momen itu sesekali nantinya. Ah, mendadak bayangan Airin menghalau niatan buruknya.
Ia buru-buru mengemasi ingatannya itu ketika laju kendarannya memelan memasuki halaman rumah bernuansa hijau yang ia tuju. Perempuan yang tadi menelponnya telah duduk manis menantinya di kursi taman samping rumah. Bergegas ia mengambil langkah menuju mobil yang sedari tadi telah ia tunggu-tunggu. Seberkas senyum menyapa sosok di balik kemudi.
“Pagi, calon suamiku. Syukurlah tepat waktu,” sapanya masih tetap dengan tawa khas milik perempuan berhijab tosca itu seraya membuka pintu mobil dan mengisi kursi kosong di samping kemudi lelakinya. Sementara itu, lelaki yang disapa ‘calon suami’ itu hanya membalasnya dengan senyuman kecil. Jauh di lubuk hatinya, rasa bersalah menyisir dadanya dua kali lipat. Satu, untuk penolakannya menonton film dan dua, untuk malam yang telah membuatnya berkhianat. Ia berjanji akan menebus dua kesalahan itu meski ia belum tahu harus menebusnya dengan cara apa dan bagaimana.
“Oh, ya, Mas, semalam pesanku kok nggak dibalas, sih?” tanya Airin sementara tangannya sibuk membetulkan hijab yang sebenarnya masih cukup terlihat rapi.
“Oh, uda tidur. Capek banget sampai nggak sempat lihat HP. Sorry, ya,” kilah Bayyu beralasan. Jelas saja ia telah menyiapkan sederet alasan yang cukup logis menurutnya untuk menjawab beberapa kemungkinan-kemungkinan pertanyaan yang ia prediksikan akan keluar dari mulut kekasihnya itu. Mendapat seperti itu, Airin hanya ber’oh’ saja. Lalu topik pembicaraan mereka beralih ke hal lain.
Semalam Airin memang meminta Bayyu untuk mengantarnya ke kampus dan pesan itu baru dibaca lelaki itu pagi tadi selepas ia bangun. Bayyu mengiyakan, sebab pagi itu ia memang tidak langsung ke kantor. Ada meeting yang harus ia hadiri pukul 10.00 pagi, sehingga ia memutuskan untuk berangkat dari rumah. Lagian, tempat meeting dan kampus Airin kebetulan memang searah. Tentu ia sudah memberi tahu sekretarisnya untuk tidak ke kantor pagi itu, tapi ia lupa memberitahu seseorang yang ternyata begitu menanti-nanti kedatangannya.
“Ada apa harus ke kampus pagi-pagi?” tanya Bayyu berupaya menunjukkan perhatiannya.
“Bu Hera memintaku untuk mengisi kelas beliau pagi ini. Ada agenda mendadak ke luar kota katanya.”
Airin telah menyelesaikan S2-nya sedikit lebih cepat dari waktu tempuh seharusnya. Kini, di sela-sela penantiannya menunggu wisuda, ia terima tawaran mantan dosen pembimbingnya itu untuk menjadi asisten beliau mengajar mahasiswa S1. Selain itu, ia juga masih aktif mengajar bimbel di sore hari. Perempuan itu memang tidak bisa diam dan itupula yang dulu sempat menjadi magnet ketertarikan Bayyu. Lelaki itu menyukai wanita yang pintar, aktif, dan tentu saja cantik.
Tak membutuhkan waktu lama untuk sampai di kampus Airin. Bayyu menepikan mobilnya ketika telah sampai di depan gedung kelas yang Airin tuju. Perempuan itu kembali merapian hijabnya yang masing baik-baik saja. Mengambil bedak dan lisptik dari tas kecilnya dan membubuhkannya di wajahnya tipis-tipis.
“Udah cantik, kok,” goda Bayyu sambil melirik ke perempuan di sampingnya itu.
“Cantikan mana sama dia?” Tahu siapa dia yang dimaksud Airin, Bayyu hanya membalasnya dengan cubitan manja di perut Airin. Untung saja perempuan itu berhasil menghindar. Alhasil, bedak dan lipstik yang masih berada di pegangannya terjatuh begitu saja.
Perempuan itu membungkuk memungut senjata kaum hawa itu. Tak sengaja, matanya beradu pada sebuah benda yang terselip di balik karpet mobil yang hanya terlihat ujung putihnya saja. Tangan lembutnya meraih kertas kecil itu dan segera memasukkannya ke dalam tas bersamaan dengan bedak dan lisptiknya. Ia berpamintan pada lelakinya dan tak lupa berpesan untuk berhati-hati di jalan. Ia berjalan memunggungi laju mobil yang bergerak menjauhi gedung kampus swasta terbaik di kota itu.
***
“Kamu kenapa dari tadi bolak-balik dari ruangannya Pak Bayyu, Len? Ada sesuatu yang mau disampaikan? Titipkan ke aku saja,” tanya Mbak Shinta, sekretaris Bayyu sekaligus teman kuliahnya dulu.
“Oh, enggak. Pak Bayyu belum datang?” tanya Lena menutupi kegelisahannya.
“Siangan sepertinya. Ada meeting pagi ini. Ada apa?”
“Ooh.. enggak. Makasih, Mbak,” buru-buru Selena meninggalkan Mbak Shinta yang mulai menatapnya curiga. Perempuan itu sudah mencium gelagat tak biasa dari hubungan kedua rekan kerja itu.
***
Siang itu, kelas yang Airin ajar sudah usai. Ia beristirahat sebentar di lobi untuk sekedar mengambil nafas sembari memesan ojek daring melalui aplikasi di ponselnya. Saat mengambil ponsel di dalam tasnya, ia teringat kertas kecil yang tadi pagi sempat ia pungut dari mobil Bayyu. Urung ia mengambil ponselnya, perhatiannya tertuju pada kertas bercorak tak asing itu yang kini berada di genggamannya.
“Hssht, rupanya kau menolakku demi untuk pergi dengan jalang itu, Mas,” Airin mendengus kesal dan mengumpat dalam hati. Guratan kecewa memenuhi hatinya melihat kertas kecil itu yang dipegangnya itu adalah tiket film yang begitu ingin ditontonnya. Dan Bayyu telah mendustainya demi bersama perempuan lain.
Airin tak mampu lagi menahan amarahnya. Terlebih ketika ia menemukan sekalimat yang sepertinya ditulis perempuan jalang itu untuk lelakinya. Sebuah ucapan terima kasih dan emotikon cium tampak sedang mengejek Airin yang semakin geram dibautnya. Tak lupa, tulisan tangan yang cukup terlihat rapi itu juga dibubuhi tiga tanda love. Mendidih darah Airin dibuatnya. Ia segera meraih ponsel di dalam tasnya. Mencari ikon telepon dan mencari nomor seseorang yang cukup dekat dengannya.
“Halo, Mbak Shinta, bisa minta tolong kirimi aku nomor perempuan itu, Mbak? Segera ya, Mbak. Makasih,” Airin menutup telepon itu tak sabar. Tak berselang lama, aplikasi perpesanan hijau miliknya menampilkan notifikasi pengiriman kontak seseorang. Bergegas ia membuka pesan itu dan melihat kontak yang ia minta telah ada di sana. Sambil menarik napas dalam, ia menekan tombol ‘kirimi pesan’. Sebaris kalimat telah berhasil ia kirim pada seseorang yang telah merenggut bahagianya bahkan menjelang hari bahagianya. Ia telah memutuskan untuk menyelamatkan biduk asmaranya, meski itu artinya ia harus meruntuhkan harga dirinya.
Beberapa bulan berlaluIntensitas Glenn Bagas bertemu Airin sedikit berkurang. Bukan karena rasa kecewanya. Itu bukan kali pertama ia mendapatkan penolakan Airin. Sudah biasa. Tapi, ia memang sedang disibukkan menyiapkan keberangkatannya ke Negeri Kincir Angin.Sementara itu, Airin sudah memulai aktivitas barunya menjadi dosen Sastra Inggris. Di tengah kesibukannya itu, batinnya masih terus berkonflik. Ada rasa yang hilang di hatinya. Juga rasa bersalah. Airin dilema sendiri menafsiran perasaannya. Beberapa waktu ketika ia benar-benar sendiri, barulah ia merasakan betapa kehadiran Glenn begitu berarti. Tapi, ia juga belum bisa untuk memulai hubungan yang baru. Masih dihantui rasa takut dengan kegagalannya yang dulu.Maka, demi memperoleh kemantapan hatinya untuk melangkah ke depan, ia melakukan salat istikharah. Meminta petunjuk kepada Allah untuk memilih jalan hidupnya.Ia tak ingin salah langkah lagi. Maka, kali ini, ia tak hanya melibatkan Allah, tapi memang sepenuhnya menyerahkan
Selena diam-diam menyelinap ke kamar mandi membawa sepucuk surat titipan dari Bayyu. Shinta yang telah membawakan untukknya. Tak sabar membaca isi tulisan tangan mantan kekasih yang masih disimpannya rapat dalam hati itu.Tentang Tamu Spesial'Surat ini aku tulis tepat sehari sebelum pernikahanmu. Hai, apa kabar? Semoga kamu baik-baik saja dan semestinya memang baik-baik saja. 🙂Oh, ya, selamat atas pernikahamu. Maaf, aku tidak bisa datang. Padahal, dulu, saat aku menikah, kamu berjiwa besar untuk memenuhi undanganku. Tapi, aku sebaliknya.Jujur, aku belum sanggup. Maaf, ya. Semoga melalui surat ini sudah terwakilkan kehadiranku. Semoga kamu tak kecewa.Aku mau jujur dan berterima kasih karena kamu dulu mau datang ke pernikahanku. Aku yakin itu bukan hal yang mudah untukmu. Tapi, terima kasih dan minta maaf, jika ada hal yang kurang berkenan.
Airin menghujani wajah tampan putranya dengan ciuman dan pelukan untuk pertama dan terakhir kalinya. Wajah putihnya tampak seperti bayi yang tengah tertidur pulas. Damai sekali. Sayang sekali, Airin belum sempat melihat putranya membuka mata atau mendengar tangisnya sekalipun.Bayi itu hanya mampu bertahan empat jam saja sejak ia dilahirkan. Memang masih memasuki 8 bulan, belum waktunya lahir. Terlebih, kondisi jantungnya melemah. Sempat masuk ruang NICU, tapi, nyatanya nyawanya tak bisa bertahan lebih lama. Airin saja belum sempat melihat wajahnya apalagi memeluk atau menyusuinya. Ia sudah harus kehilangan bahkan sebelum ia memiliki sepenuhnya. Itu yang sangat-sangat disesalkannya sebagai ibu.Air matanya sudah mulai surut, tapi kesedihan di wajahnya masih menggenang. Berulang kali ia berusaha menyadari kenyataan bahwa kehilangan di hadapannya adalah nyata, berulang kali pula ia harus membuka hatinya lapang-lapang. Ikhlas itu memang berat
"Pergilah. Sekeras apapun usahamu meminta maaf, itu akan sia-sia. Rasa sakitku belum kering. Mustahil aku bisa memaafkanmu sekarang. Pergilah dari hadapanku segera."Airin menolak permintaan maaf Selena. Bukan karena tak punya hati, sebab memang sudah tak ada lagi ruang di hatinya untuk memberi maaf. Baik untuk Selena ataupun Uttara Bayyu. Rasa sakit hati dan kecewanya benar-benar telah menutup pintu maafnya rapat-rapat.Tapi, bukan Selena jika mudah menyerah begitu saja. Terlebih, ketika ia menyadari kehadiran seseorang di balik pintu depan. Sedang mengamati percakapannya dan Airin. Selena buru-buru mengatur strategi untuk mencari muka. Berupaya memperbaiki nama baiknya.Selena segera bangkit dan mendekat ke arah Airin duduk. Menekuk kakinya di depan Airin. Berlutut meminta maaf. Airin terkejut melihat pemandangan tak biasa di depannya. Buru-buru ia berdiri dan menjauh dari Selena. Tapi, tangan Selena menahan Airin. Memaksanya berhenti sejenak."Ak
Pak Bram menugasi Bayyu untuk menggantikan dirinyameetingdengan perusahaan mitra. Ia juga memandatkan Selena mendampingi, sebab Tita yang seharusnya menjalankan itu sedang cuti.Tentu Bayyu tak bisa menolak. Semenjak mendapatkan teguran Pak Bram tempo hari, ia berusaha keras untuk memperbaiki kinerja dan citra dirinya. Khususnya di mata Pak Bram."Siapkan semua berkas untukmeetinghari ini, ya. 10 menit lagi kita berangkat. Aku tunggu di mobil," perintah Bayyu pada Selena melalui telepon. Ia sendiri sudah selesai menyiapkan bahan presentasinya nanti. Bergegaslah mengambil mobil.Sesaat setelah Bayyu berada di balik kemudi, Selena menyusul. Membuka pintu belakang dan duduk di belakang Bayyu. Bayyu melirik daricenter mirror."Aku bukan sopir yang mau mengantar majikan atau penumpangnya, lho, ya," sindir Bayyu."Oh, maaf." Selena langsung paham maksud Bayyu dan ber
Bayyu keluar dari ruangan Pak Bram dengan muka lesu. Ternyata, kejadian tempo hari ia mabuk dan menceracau di bar itu sampai ke telinga Pak Bram. Entah ulah siapa. Yang jelas, berkat kejadian itu, ia mendapatkan teguran keras."Saya dengar tidak hanya sekali ini Pak Bayyu seperti itu. Saya tahu itu sudah di luar jam kantor, tapi apa yang Anda lakukan itu sangat tidak terpuji. Bisa mencederai nama baik tempat Anda bekerja juga nantinya. Apalagi jika itu mempengaruhi kinerja Anda. Maka masa depan Anda di sini juga dipertaruhkan. Anda paham itu, bukan?""Iya, Pak. Saya mohon maaf.""Bukan hanya itu saja, Pak Bayyu. Kinerja Anda akhir-akhir ini juga tampak menurun. Tidak seperti biasanya. Saya tidak tahu apa yang sedang terjadi pada kehidupan pribadi Anda, tapi, saya harap, itu tidak menjadi alasan penurunan kinerja Anda. Begitu, ya, Pak Bayyu. Semoga bisa dimengerti."Kata-kata Pak Bram masih jelas terngiang-ngiang di kepalanya. Baru sekali ini ia mendapat t
"Menikah? Kamu serius? Apa tidak terlalu cepat?""Sangat serius malah. Bagiku, keseriusan harus disegerakan.""Tapi, Mas..."Selena kehilangan kata-katanya. Perasaannya campur aduk. Bingung, terkejut, sekaligus senang.Ia merasa belum terlalu lama mengenal Adnandito, tapi lelaki itu dengan gagahnya menyodorkan sekotak cincin untuk melamarnya. Selena tak kuasa menolak.Ia biarkan Adnandito memasangkan cincin ke jari manis di tangan kirinya. Lelaki itu meraih punggung tangan kekasihnya. Mendekatkan ke hadapannya. Mengecupnya penuh mesra."Makasih, ya, sudah menerima pinanganku. Untuk resminya di depan orang tuamu, nanti segera kuagendakan."'Dengarkanlah, wanita pujaankuMalam ini akan kusampaikanHasrat suci kepadamu, dewikuDengarkanlah kesungguhan iniAku ingin mempersuntingmu
[Semoga masih ada kesempatan untukku memperbaiki keadaan.I'm terribly sorry,Ai.]Glenn Bagas menyeringai melihat kartu ucapan yang diselipkan di antara 99 tulip yang kini ada di tangannya. Untung saja ia segera mengamankan buket itu sebelum Airin menyadari keberadaannya.Tak ingin membuat hati Airin kembali goyah, Glenn segera memungutnya dari lantai teras. Mengamankan di tempat seharusnya ia berada, bahkan pengirimnya. Tong sampah."Tidak ada kesempatan kesekian untuk seorang b*jing*n macam kau.Sorry to say,tapi kesempatanmu sudah lewat.Bye!"Gleen melemparkan 99 tulip yang terangkai begitu cantik ke dalam tong sampah di pinggir jalan. Sungguh sangat disayangkan.Lemparannya dari balik kaca mobil tepat mengenai sasaran. Puas sekali ia. Tak akan ia biarkan Bayyu kembali mengemis kesempatan dan menggoyahkan hati Airin untuk berpisah darinya. Tidak lagi.
"Aku sudah mempersiapkan pengacara terbaik untuk membantu melancarkan gugatan perceraianmu nanti."Suatu sore Glenn menyempatkan melihat keadaan Airin. Mereka berbincang di ruang tamu. Ia juga telah membelikan Airin kursi roda untuk memudahkan mobilitasnya.Mau tidak mau, Airin menerimanya. Tentu dalam hati ia tetap merasa tidak enak dan tak pantas menerima semua kebaikan Bagas. Airin berjanji akan membalas kebaikan anak Bu Hera yang sudah begitu baik padanya. Meski ia tak tahu harus membalasnya dengan apa.Mengenai rencana gugatan cerai yang akhirnya akan ia layangkan juga, itu sudah ia pikirkan masak-masak. Untuk apa lagi ia mempertahankan pernikahannya yang sudah tidak layak diperjuangkan?Selama ini, ia hanya berjuang sendiri. Sedangkan, sebuah pernikahan itu dijalani berdua. Harus dua orang yang sama-sama saling berjuang. Bukan ia seorang."Tapi, gimana nasib anakku nanti, ya, Mas. Kasihan dia. Sudah harus merasakan pincang