“Terima kasih.” Dirga menerima sebotol air mineral yang diberikan Armila. Mereka baru saja memberikan pengarahan pada anggota tim terkait pekerjaan yang akan dimulai pekan depan. “Kalau proyek kali ini sukses juga, mungkin kita akan menjadi perwakilan kerjasama dari perusahaan masing-masing selamanya, Bee.” Armila tersenyum lebar sambil mengangguk. Wanita itu meletakkan helm proyek yang dipakainya. Dia duduk di samping Dirga yang sedang menyelonjorkan kaki.Dirga hanya menanggapi ucapan Armila dengan anggukan kecil. Matanya menatap sekitar. Rencana pembangunan jalan karena akses daerah terputus akibat longsor beberapa bulan lalu mulai mereka tangani.Entah bagaimana caranya para petinggi perusahaan bekerja hingga akhirnya proyek ini bisa dimenangkan oleh mereka. Cuaca yang cukup panas membuat Dirga langsung menenggak habis sebotol air yang diberikan Armila.“Bee?” Armila terus memandangi wajah Dirga yang tidak sekalipun menatapnya. Bee, panggilan sayang darinya untuk Dirga semasa ber
“Mari, Pak Afrizal, Pak Aditya.” Ralin mengangguk sopan dan mengikuti manajernya untuk mulai melakukan pemotretan.Afrizal mengangguk-angguk. Lelaki itu tersenyum lebar melihat ketegangan antara Ralin, Jihan dan Aditya. Apapun yang terjadi, dia akan mendapat keuntungan dari kerjasama ini. Apalagi kalau sampai ada singgungan lagi antara mereka. Produk yang dia keluarkan akan semakin booming. Zaman ini, apapun yang viral akan cepat mendapat perhatian.“Cakra Buana.” Afrizal mendesiskan nama orangtua Aditya. “Tidak kusangka, bisnis kita akan bersinggungan kembali. Puluhan tahun lalu kita gagal saat bekerjasama. Kini, semoga kerjasama ini akan berhasil dan membawa keuntungan besar.” Afrizal memandang nama perusahaan Mata Air Buana yang megah. Simbol kejayaan perusahaan itu di masanya.“Sehat, Pak Afrizal?” Pertanyaan Jihan membuat Afrizal mengalihkan perhatian dari hamparan air yang menjadi latar nama perusahaan Buana. Dia sedikit keheranan kenapa pengusaha itu sampai meluangkan waktu han
Ralin tersenyum lebar sambil membalas tatapan Jihan. Ucapan Jihan terdengar tenang, tapi meluluh lantakkan harga diri Ralin. Seperti biasa, Jihan memang selalu tampil tenang dan bisa mengendalikan diri. Suatu sikap yang sangat dibenci oleh Ralin. Dalam pandangannya, Ibu beranak dua itu selalu ingin terlihat tampil sempurna. Munafik. “Mbak nyindir aku?” Ralin membasahi bibir dengan lidah. Dia belajar banyak dari sikap Jihan. Cara wanita itu mengendalikan diri dan keadaan kadang justru memberikan intimidasi yang lebih kuat daripada kalimat-kalimat tajam.“Menurutmu?” “Kalau suami orangnya seperti Mas Aditya, ya wajar saja kalau takut kehilangan, Mbak. Mas Aditya itu lelaki langka. Tampilan fisiknya bagus, rekeningnya OK, staminanya saat di ranjang pun bisa membuat menggelepar. Mas Aditya main nggak cukup sekali ‘kan?” Ralin mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah. Seolah sedang kepanasan karena membayangkan kegagahan Aditya.“Iya, kami biasanya main sampai pagi. Service yang suami
Nia menatap datar pada Armila yang menghampirinya. Wanita itu mengedarkan pandangan, tempat makan itu tidak terlalu ramai. Ada banyak meja kosong yang tersedia. Kenapa pula wanita itu harus duduk satu meja dengannya?“Ada yang ingin kubicarakan. Sejak kejadian setahun yang lalu, kita tidak pernah lagi saling sapa. Kau selalu menghindariku, padahal ada banyak yang ingin kubicarakan denganmu.”Nia menarik napas panjang. Dia mempersilakan Armila duduk dengan menunjuk kursi menggunakan dagunya. Dia sedikit penasaran dengan apa yang ingin dibicarakan oleh mantan selingkuhan suaminya itu. Terakhir, mereka bertemu saat acara makan siang. Itupun hanya basa basi ringan sebagai bentuk formalitas saja.“Miso ramen, minumnya ocha dingin. Terima kasih.” Armila menyerahkan kembali buku menu pada pramusaji. Sebenarnya, dia berencana mengajak makan malam Dirga di sini. Namun, lelaki itu menolak dan memilih pulang. Andai Dirga mau, dia bisa membuat hubungan suami istri itu semakin renggang. “Tadi Dirg
“Jihan Qirani, Aditya Buana dan Ralin Kamala, masih jelas dalam ingatan kita semua, dua tahunan yang lalu tiga nama besar itu terlibat kasus cinta segitiga yang sampai saat ini kebenarannya masih menjadi tanda tanya.Satu pengusaha besar dan dua model dengan prestasi yang tidak main-main. Dikabarkan terlibat kisah cinta terlarang. Ralin yang saat itu masih berusia dua puluh lima tahun dengan kesadaran dan kemauan sendiri mengaku telah menjadi simpanan Aditya.Sampai detik ini, tidak ada klarifikasi apapun dari Aditya maupun Jihan. Pasangan suami istri itu sepakat bungkam dari media. Mereka hanya menampilkan keharmonisan hingga akhirnya berita menggemparkan itu hilang begitu saja ….”Kotak bekal di tangan Jihan terlepas. Bunyi berkelontangan memenuhi ruangan hingga membuat Sumi yang tengah menggoreng telur mata sapi di dapur berlarian ke ruang makan. Potongan sushi, buah melon dan pir berjatuhan memenuhi lantai. Beberapa bahkan mengenai kaki Jihan. Nasi dan potongan ayam krispi memenuh
Jihan menarik napas panjang. Wanita itu menggeleng pada Sumi hingga ART itu urung mematikan televisi. Jihan paham sekali, jejak digital tidak akan pernah bisa dihilangkan walau sampai kapanpun. Dia dan Aditya sudah menuliskan catatan kelam yang akan dituntut penjelasan oleh kedua anaknya kelak. Tidak sekarang, maka nanti pasti waktunya akan tiba.Namun, Jihan tidak menyangka akan secepat ini. Saat dia masih berusaha menata hati dan Aditya berjuang untuk meningkatkan perusahaan lagi, waktu itu datang. Rayna meminta penjelasan. Saat usianya sedang dalam masa emosi yang labil, pertanyaan yang dilemparkan oleh Rayna terdengar sangat menakutkan bagi Jihan.Salah bicara, bisa-bisa mempengaruhi pandangan anaknya tentang kehidupan di masa depan. Trauma, rasa tidak percaya pada diri sendiri dan orang terdekat, menyalahkan keadaan dan masih banyak lagi dampak buruk yang dikhawatirkan Jihan akan mempengaruhi pertumbuhan anaknya."Dalam dunia entertainment, ada yang disebut dengan gimmick." Jihan
Aditya menoleh pada Jihan saat mendengar berita dari radio. Seperti biasa, Pardi akan menyalakan radio di mobil untuk mendengarkan kabar-kabar sepanjang perjalanan menuju kantor Aditya.“Apa ini salah satu strategi yang sengaja disusun?” Ralin langsung bertanya sebelum Aditya membuka percakapan. “Tepat tiga hari sebelum produk diluncurkan, berita tentang perselingkuhan yang Mas dan wanita itu lakukan bertahun lalu kembali diungkit. Inikah yang Pak Afrizal katakan tentang strategi branding produk tidak dimulai dari nol?”Aditya menahan napas saat Jihan memberondongnya dengan banyak pertanyaan. Dia yang masih berusaha mencerna apa yang sebenarnya sedang dibicarakan hanya bisa terdiam dan terus mendengarkan.“Bukankah Mas sudah berjanji perbuatan hina itu tidak akan diungkit lagi? Mas berjanji tidak akan menggadaikan kebahagiaan anak-anak?” Jihan tersengal melihat Aditya yang membisu. “JAWAB, ADITYA! APA KAU SENGAJA MENGELUPASKAN KEMBALI LUKA DIHATIKU YANG BAHKAN BELUM KERING BENAR? KAU
“Apa maksud pemberitaan ini, Dik?” Jefry menatap Ralin yang duduk di sampingnya. Mata Ralin menatap layar televisi berukuran 50 inch di hadapan mereka. Lelaki berusia tiga puluh satu tahun itu memperhatikan adiknya yang baru saja sampai kurang dari satu jam yang lalu.“Semua pihak seolah bungkam. Dua hari sejak berita lama itu terkuak kembali, tak ada satupun dari Jihan, Aditya ataupun Ralin yang memberikan klarifikasi. Benarkah Ralin menjadi model di perusahaan Aditya untuk mendongkrak usaha Mata Air Buana yang akhir-akhir ini menurun?”Jefry menarik napas panjang melihat wajah Ralin terpampang di layar kaca. Sejak dua hari yang lalu, berita yang menyebabkan kegaduhan itu terus ditayangkan. Dia akhirnya meminta Ralin pulang. Mereka harus bicara. Jangan sampai kesalahan Ralin dua tahun yang lalu terulang kembali.“Ralin?” Jefry menatap Ralin yang membisu. Lelaki itu menghela napas panjang. Sejak kejadian waktu itu, hubungan mereka menjadi renggang. Dia yang tidak membenarkan tindakan
"Itulah salah satu keluhan pengunjung yang berhasil kami wawancarai. Menurut pantauan tim kami, aplikasi Mata Air Buana saat ini juga sedang tidak dapat diakses. Padahal, banyak calon pengunjung yang ingin membatalkan booking tiket mereka.Keributan ini juga memenuhi media sosial. Calon pengunjung ramai-ramai melakukan komplain di sana. Mereka minta uang mereka dikembalikan karena tidak ingin menghabiskan liburan di tempat yang bermasalah.Sampai berita ini kami turunkan, belum ada klarifikasi apapun dari pihak Mata Air Buana. Baik secara langsung maupun melalui media sosial yang mereka punya.Keadaan ini tentu membuat publik menduga-duga, akankah Aditya dan Jihan memilih bungkam seperti tiga tahun lalu?""Bungkam bukan pilihan yang tepat karena usaha mereka sedang berada di puncaknya. Seharusnya, Aditya bisa meredam berita ini. Tapi, apa pula yang mau diredam? Foto dan video itu jelas dirinya." Afrizal kembali terbahak-bahak.Dia mengangguk-angguk menyadari kepintarannya merancang st
“APA YANG ADA DI OTAKMU SELAIN S*LANG*ANGAN WANITA, ADITYA? B*NGSAT!” Cakra Buana langsung melompat ke arah saung. Bogem mentahnya langsung menghantam rahang tegas Aditya.“Kakek!” Rayna memekik kencang. Jihan dengan sigap menarik Rayna. Hati wanita itu perih menyadari kedua anaknya harus menyaksikan kekacauan ini tepat di depan mata mereka. Trauma. Pasti kejadian hari ini akan membekas selamanya di memori jangka panjang Damar dan Rayna.“Kau membuat malu keluarga dengan kelakuan bejatmu itu!” Sekali lagi, bogem Cakra telak mengenai hidung Aditya. Darah segar terciprat ke jilbab Jihan yang duduk di samping suaminya. Wanita itu menatap jerih pada cairan merah yang meresap ke dalam serat-serat kain jilbab yang dia kenakan.“B*DOH!” Saat bogem ketiga menghantam wajah Aditya, lelaki itu terkulai lemah.“Anakku!” Aditya masih sempat mendengar suara sang Mama sebelum kesadarannya benar-benar hilang. Sementara disini, Cakra Buana terduduk dengan wajah bersimbah air mata. Lelaki berusia senj
Jihan dan Aditya saling berpandangan saat mendadak tempat itu menjadi riuh seketika. Beberapa pengunjung langsung fokus pada ponsel mereka. Bahkan, mereka yang tadinya masih mengantri untuk bermain wahana meninggalkan antrian begitu saja.“Ada apa?” Rayna langsung mencegat teman yang dikenalnya. Mereka benar-benar tidak mengerti dengan keramaian yang terjadi. Tempat yang tadinya rapi bahkan sedikit berantakan karena orang-orang berkerumun tanpa memperhatikan sekitar hingga menyenggol tanaman dan tempat sampah.“Buka ponselmu, lihat saluran berita apa saja.” Anak lelaki itu langsung pergi setelah menepuk bahu Rayna pelan. Rayna yang kebingungan langsung berlari dan mencari ponsel di tasnya.“Tepat jam setengah sebelas tadi atau beberapa menit sebelum berita ini mengudara, hampir semua stasiun televisi dan akun-akun berita di media sosial mendapat email yang isinya tidak terduga.Foto-foto Aditya Buana dan Ralin Kamala yang sedang melakukan adegan tidak senonoh di sebuah kamar hotel mem
“Alhamdulillah ya, Mas, reservasi kamar sudah penuh sampai waktu liburan selesai nanti. Tempat wisata juga semingguan ini selalu ramai.” Jihan memperhatikan pengunjung yang terus berdatangan. Baru jam sepuluh pagi, tempat wisata Mata Air Buana sudah ramai sekali. Sesuai perkiraan, pengunjung akan meningkat pesat di minggu kedua libur sekolah.“Iya, omset resto juga meningkat drastis. Kita sampai menambah tenaga harian lepas agar karyawan tidak keteteran. Sekitar lima belas orang kita rekrut untuk waktu kerja sampai masa liburan berakhir nanti.” Aditya menyelonjorkan kaki. Dia tersenyum lebar melihat wajah pengunjung yang sumringah menghabiskan waktu di sana.Hari ini, Aditya sengaja memboyong keluarga kecilnya ke tempat wisata mereka. Sejak tadi, Rayna dan Damar tak berhenti mencoba wahana yang ada. Mereka tambah semangat mencoba semua saat bertemu dengan teman yang mereka kenal.“Mama sama Papa jadi kesini, Mas?” Jihan dan Aditya tertawa berbarengan melihat Pardi dan Sumi basah kuyup
"Kenapa mundur?" Belum juga sempurna mereka duduk, pertanyaan itu sudah meluncur dari mulut Armila. Dia sudah tidak kuat menahan hati karena sepanjang perjalanan tadi mereka saling diam."Aku ingin kita tidak berhubungan lagi." Ucapan Dirga membuat Armila terbelalak. "Kalau aku terus berada di tim ini, mau tidak mau kita akan tetap berhubungan, Mil.""Karena Nia? Kau mengorbankan karirmu hanya demi dia?"Dia istriku. Ibu dari anakku. Wanita yang selama belasan tahun ini menemaniku menghabiskan malam. Dia yang merawat aku saat sakit. Dia juga yang memastikan makan dan bajuku tersedia dengan baik dan rapi. Jadi, dia bukan sekedar hanya bagiku, Mil."Armila bungkam mendengar ucapan Dirga. Sementara Dirga menarik napas dalam-dalam. Dia menunjuk minuman asal-asalan saat pramusaji menghampiri. Lelaki itu memesan sushi untuk dibawa pulang hingga membuat Armila menautkan alis.Dirga memang sengaja mengajak Armila bicara disana sekalian memesankan sushi di resto kesukaan Nia. dia berharap deng
“Aku tidak sekuat dirimu, Je.” Nia menggigit bibir.“Aku kuat karena Mas Aditya, Nia. Dia benar-benar menunjukkan perubahannya. Dia menjadi lebih perhatian pada aku dan anak-anak. Mas Aditya juga membuktikan dia tidak lagi mengulangi kesalahannya dulu. Dia berhasil meyakinkan aku bahwa keputusan yang kuambil untuk mempertahankan pernikahan kami dulu tidaklah salah.”“Aku lelah berjuang sendirian.” Nia tergugu. Akhirnya, air mata wanita itu mengalir juga. Susah payah dia menahan tangis sejak tadi, tapi ternyata dia tidak sekuat itu. “Terima kasih.” Nia menerima tisu yang diberikan Jihan.“Aku sengaja mendiamkan Dirga. Bersikap seolah pernikahan kami baik-baik saja. Tapi, dia tidak menunjukkan rasa bersalah sedikitpun. Bahkan, kata maaf tidak pernah terucap dari bibirnya karena telah menyakiti aku. Aku iri sekali dengan pernikahanmu, Je.”Jihan menarik napas panjang. Dia memegang tangan Nia dengan erat, berusaha memberikan kekuatan pada sahabatnya yang sedang sangat rapuh.“Dia tidak be
Dirga menautkan alis melihat selembar surat yang terletak di meja kerjanya. Lelaki yang baru sampai di kantor itu meletakkan tas dan duduk di kursi. Alisnya bertaut melihat logo dari Pengadilan Agama setempat. Dengan hati berdebar, Dirga membuka amplop.Lelaki itu menggeram saat mengetahui isi amplop itu adalah surat panggilan sidang tahap pertama. Dirga meremas surat hingga tak berbentuk lagi. Lelaki itu tidak menyangka Nia akan melayangkan gugatan tanpa berbicara dengannya lebih dulu.“Lihat? Sekarang berpikirlah. Wajar mereka menginjak-injak harga diriku karena suamiku sendiri tidak bisa menghargai aku sebagai seorang istri. CERAI! Aku tidak bisa hidup dengan lelaki tidak tegas sepertimu lebih lama lagi.” Ucapan Nia saat itu terngiang kembali di telinga Dirga.Lelaki itu memijat keningnya pelan. Dia kira permasalahan mereka sudah selesai. Waktu itu hanya kemarahan sementara Nia. Berbulan-bulan sejak kejadian itu, hubungan mereka sudah baik-baik saja. Nia bahkan masih melayaninya ta
“Entahlah, kata Pak Afrizal semua sudah dia bereskan kalau kau setuju.”Ralin berpikir sejenak. Sebenarnya, tanpa bayaran pun dia mau asal bisa memberi pelajaran pada Jihan. Dia yang sudah sesumbar lelakinya berubah, ternyata masih bermain hati. Ralin tidak bisa membayangkan hancurnya wanita angkuh itu mengetahui Aditya kembali mendatanginya.“Mas Aditya tidak minum alkohol. Jangankan alkohol, merokok pun tidak. Bagaimana cara kita menjebaknya?” Ralin dapat melihat Rey tersenyum tipis. Dengan bertanya seperti itu, artinya dia sudah setuju menerima tawaran dari Afrizal.“Biar itu menjadi urusan Pak Afrizal. Tugasmu hanya memastikan Pak Aditya menghabiskan malam di kamar yang sama. Sebelum semua itu, Pak Afrizal bilang dia yang akan mengatur semua.”Ralin tersenyum lebar mengingat semua itu. Saat melihat Aditya minta izin istirahat semalam, dia langsung berjalan cepat mengejar. Setelah masuk pada kamar hotel yang memang sudah disiapkan, Ralin langsung mengirimkan foto pada Afrizal. Tak
“Kau pewaris tunggal usaha keluarga kita. Puluhan tahun Papa membangun usaha ini dengan kerja keras dan mempertahankan nama baik. Kita bukan berasal dari keluarga kaya, Dit Papa mendapatkan semua kemewahan ini dengan perjuangan dan air mata.” Suara berat papanya seolah bergema diantara gemericik air di kamar mandi.“Jauhi sedari dini. Sekali kau coba-coba, selamanya kau akan menganggap itu hal biasa dan menjadi gaya hidup. Menghabiskan malam-malam dengan teman. Merayakan keberhasilan usaha dengan alkohol menjadi hal yang biasa. JAUHI, paham?”Aditya melenguh, kenangan dua puluh enam tahun yang lalu itu seakan baru terjadi kemarin. Suara dan wajah Cakra Buana sempurna memenuhi ruang ingatan sang putra.“Jangan sampai tergelincir menyentuh benda haram itu, Dit. Karenanya otak tidak bisa bekerja, hanya menunggu waktu sampai kehancuran datang. Entah tubuh yang rusak, pikiran yang kacau atau semua yang kita miliki kembali pada ketiadaan.”Sekali, seumur hidupnya hanya sekali itu Aditya men