Share

Chapter 8

HACHUUU!

Entah bersin yang ke berapa yang sudah Mia keluarkan hari ini. Sejak pulang dari kampus hujan-hujanan kemarin, ia merasa tak enak badan. Saat bangun tadi pagi, tubuhnya terasa panas dingin dan hidungnya meler tanpa henti.

Ia bahkan sudah membeli obat di warung dekat rumahnya namun tetap tak mempan sama sekali. Mungkin ini karena perjalanannya yang kini semakin jauh dari kampus ke tempat tinggalnya.

Pasalnya sejak dua hari yang lalu Mia tidak tinggal bersama keluarga Omnya lagi. Ia memutuskan untuk menyewa satu apartemen kecil yang berada cukup jauh dari kampusnya namun dekat dari kediaman Adit.

Paham kan sekarang? Kenapa Mia rela jauh dari kampusnya, padahal kediaman om nya jauh lebih dekat dari kampus.

Semua itu karena Adit.

Mia memasang jaket tebalnya. Ia bermaksud untuk pergi berobat ke klinik yang berjarak tak jauh dari apartemennya. Hanya itu yang bisa ia tempuh dengan berjalan kaki. Karena mobil yang ia punya sedang berada di bengkel.

Jam masih menunjukkan pukul delapan pagi, dan ia yakin klinik itu belum terlalu ramai pasien.

Dengan sedikit tertatih-tatih dan kepala serasa pusing, Mia berjalan terus menuju klinik tersebut sampai langkahnya memasuki pintu klinik.

"Ada yang bisa saya bantu mbak?" tanya seorang wanita berseragam perawat.

"Saya demam kak, dari tadi pagi nggak berhenti bersin dan muntah juga." ucap Mia dengan raut wajah yang semakin pucatnya.

Perawat tersebut mencatat semua data-data Mia yang diperlukan. Setelahnya ia memeriksa Mia dan meminta gadis itu berbaring.

"Mbak tunggu sebentar, dokter sebentar lagi datang." Ucap wanita tersebut yang diangguki oleh Mia.

Mia memejamkan matanya. Kepalanya sungguh pusing. Ia bahkan menghalangi wajahnya dari cahaya menggunakan hoodie jaket yang tadi ia pakai.

Sembari menunggu dokter, Mia memejamkan mata sampai suara seorang pria yang sedang bicara dengan seorang wanita terdengar di telinganya.

Si wanita tengah menceritakan keadaannya dan ia yakin, wanita itu bicara dengan dokter.

Dan benar saja, tirai yang menutupi ranjang Mia tiba-tiba terbuka.

"Permisi mbak, saya akan periksa sebentar."

Mia membuka kain yang menutup wajahnya dan betapa terkejutnya Mia saat ia melihat siapa dokter yang tengah berdiri di sampingnya. Dokter tersebut adalah Dokter Adit yang menjadi target incarannya untuk ia jadikan pendamping wisudanya sekaligus kekasihnya.

Sama halnya dengan Mia yang terkejut melihat keberadaan Adit, Adit pun mengeluarkan ekspresi yang sama saat melihat keberadaan Mia ada di klinik tempat ia praktek hari ini.

"Adit?" Panggil Mia kaget.

"Kamu Mia bukan? sepupunya Rendi?" tanya Adit yang langsung di iyakan oleh Mia.

Adit tak terlalu banyak bicara setelah ia memastikan jika itu benar Mia. Pria itu langsung mengecek keadaan gadis tersebut.

"Maaf saya pegang sedikit."ucap Adit kembali.

'Lama juga nggak apa-apa.' gumam Mia dalam hatinya.

Lalu pria tersebut menekan bagian perutnya yang membuat Mia langsung meringis kesakitan.

"Apa kau sudah makan?" tanya Adit.

Mia menggeleng jujur, "dari tadi pagi muntah terus." jawabnya lemas.

"Sehari ini sudah berapa kali?" tanya Adit lagi.

Mia tampak berpikir, "Kira-kira nyaris delapan kali." jawab Mia.

Adit mengangguk paham. Pria itu lalu memutar badannya dan pergi meninggalkan Mia.

"Gitu doang?" ucap Mia kehabisan kata-kata.

Ia paham Adit seorang dokter, tapi kenapa dingin seperti itu? Apalagi saat ini statusnya adalah pasien dari Adit. Apa ia harus berubah menjadi gadis penggoda agar Adit mau meliriknya? Secara pria banyak yang tertarik dengan gadis-gadis penggoda. Dan sangat jarang pria yang menolak gadis yang menggodanya.

Haaah! Mia. Sepertinya perjuanganmu masih panjang.

Asik bermonolog dengan pikirannya sendiri, Mia dikejutkan dengan kedatangan Adit kembali. Pria itu membawa resep yang harus Mia tebus di apotik dan lagi-lagi, Adit pergi begitu saja setelah pria itu menyerahkan kertas resepnya.

Mia menggigit bibir bawahnya kesal. Ia tak terima diperlakukan seperti ini oleh Adit.

Setidaknya beritahu apa sakitnya agar ia bisa berjaga-jaga setelah ini.

Mia mencoba untuk duduk dari berbaringnya dan turun dari tempat tidur. Dengan tertatih ia berjalan menuju perawat yang tadi melayaninya.

"Mana dokter Adit?" tanya Mia kesal.

Perawat tersebut menatap Mia dengan tatapan sedikit bingung.

"Ada apa ya mbak nyari dokter Adit? Apa ada hal penting yang--"

"Ih, jangan banyak basa-basi deh. Mana Adit."

Perawat tersebut memejamkan matanya sembari menghela nafas panjang dan membuka matanya lagi, "Mbak, saya harus tahu dulu kenapa mbak nyari dokter Adit? Karena pagi ini saya suster jaga, jadi--"

"Ada apa ini?" tanya Adit yang tiba-tiba keluar dari sebuah ruangan.

Mia yang melihat itu langsung berjalan cepat dan mendorong Adit masuk lagi ke dalam dan mengunci pintu saat mereka sudah di dalam sana.

"Apa-apaan ini?" bentak Adit kesal.

"Kamu yang apa-apaan. Aku sakit dan tanpa jelasin apa sakit aku, kamu tiba-tiba pergi dan balik lagi bawa resep obat. Kamu dokter atau bukan sih?" kesal Mia. Gadis itu menyentuh kepalanya yang mendadak kembali pusing.

Adit mendelik kesal. Ia berdecak lalu duduk di kursinya.

"Duduk lo!" perintah Adit.

Mia yang memang merasa kepalanya semakin sakit, memilih untuk menurut. Padahal nyatanya ia ingin sekali memarahi Adit lagi.

"Gue jelasin! pertama, lo gue kasih resep, lo mahasiswa otomatis lo bisa nanya ke apoteker di tempat lo tebus obat. Dan kedua, Sebanyak itu perawat di luar, dan lo mendadak jadi gadis bodoh yang tak tahu harus nanya fungsi obatnya buat apa?"

Mia merasa kalimat yang Adit keluarkan ada benarnya juga.

"Lo itu ngelakuin hal yang sia-sia tahu nggak. Tapi oke, gue bakal jelasin. Lo itu demam disertai asam lambung. Lo juga muntah cukup sering, tubuh lo panas sampai 39°C. Dalam resep yang gue kasih, ada obat penurun demam dan pereda sakit, obat buat magh lo dan vitamin penambah nafsu makan. Apa penjelasan gue cukup?" ucap Adit dengan wajah yang sudah kesal.

Ia tak habis pikir, pasien pertamanya adalah Mia dan gadis di hadapannya ini sangat menyebalkan.

Tapi bukannya Mia tinggal bersa Rendi? Ia masih ingat saat di acara Bakti Sosial, Rendi mengatakan jika Mia adalah sepupunya dan mereka tinggal satu rumah. Lalu kenapa gadis ini ada di apotik ini? Bukannya dari rumah Rendi ke apotik ini sangat jauh?.

Adit menatap wajah Mia yang meringis dan tangan Mia menyentuh perut. Sepertinya asam lambung gadis itu mulai bereaksi lagi.

Adit mengacak rambutnya kesal. Ia membuka jas dokternya dan memakau jaket yang tadi ia kenakan saat ke sini.

"Gue antar lo pulang!" titah Adit.

Mia sebenarnya terkejut dengan tawaran Adit, namun ia tak bisa bicara karena kepala dan perutnya sangat sakit.

Adit membantu Mia berdiri. Satu tangan Mia ia lingkarkan di lehernya dan tangannya sendiri ia lingkarkan di pinggang Mia. Ia membantu Mia berjalan. Namun saat Adit dan Mia sudah keluar dari ruangan pria tersebut, Mia mendadak tak sadarkan diri. Gadis itu terkulai lemah begitu saja, beruntung Adit sigap menangkap Mia. Jadilah tubuh gadis tersebut tak berbenturan dengan lantai.

"Shit! Ni cewek nyusahin banget." gerutu Adit.

"Tari, ambilin NaCL.!" perintah Adit pada perawat yang tadi bersitegang dengan Mia.

Sembari Tari pergi mengambil cairan infus tersebut, Adit menggendong tubuh Mia dan membawanya ke ruang yang tadi pertama kali Mia diperiksa dan membaringkannya di sana.

Adit segera memeriksa detak nadi Mia, "Ini dokter!"

Dengan sigap Adit memasangkan infus itu pada Mia. Setelah selesai, ia berpamitan pada Tari.

"Saya keluar sebentar. Hubungi saja kalau pasien sudah sadar!" perintah Adit.

"Baik dokter."

Setelahnya Adit pergi keluar dengan mobilnya. Ia ingin menghubungi Rendi namun ia takut terlalu ikut campaur. Ia tak tahu alasan Mia ada di klinik sejauh ini.

Dan satu lagi, ia tak ada hubungan apapun dengan Mia, jadi ia tak perlu repot mengurus gadis tersebut.

Hanya untuk kali ini ia akan bersabar.

Dan mencari sarapan yang lunak untuk gadis itu adalah pilihan pertamanya. Ia tak mau direpotkan terlalu lama oleh Mia. Karena semakin siang pasiennya akan semakin banyak.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status