LOGIN“Hana, kenalkan ini anak ibu namanya Angga,” . lelaki berparas tampan itu tersenyum, mengangguk samar dan mengulurkan tangannya.
“Angga Permadi, dan kamu Hana, kan?” Aku malu saat hendak membalas uluran tangannya, bahkan bibirku tiba-tiba kelu hanya untuk menjawab sapaan darinya. “Iya, Mas. Hana,” balasku dengan hanya mengangguk samar, tidak berani membalas uluran tangan darinya. “Cantik, kan?” tanya Ibu lagi, yang membuatku semakin malu saja. “Iya, cantik sekali.” Pujian yang begitu membekas dalam hatiku sampai saat ini. Sekelebat bayangan dimana kami pertama kali bertemu terus berputar dalam ingatan. Saat paling mendebarkan dalam hidupku untuk yang pertama kalinya, dimana aku benar-benar merasakan jatuh cinta pada seorang lelaki pada pandangan pertama. Parasnya yang tampan, tutur katanya yang begitu santun, bahkan perlakuan lembutnya pada sang ibu, membuatku merasa kagum. Perkenalan pertama yang juga membuka jalan perjodohan kami hingga akhirnya kami resmi menjadi sepasang suami istri. Dibalik ketidak beruntunganku selama ini, karena aku sengaja di buang oleh kedua orang tuaku, untuk pertama kalinya aku merasakan keberuntungan dimana dunia benar-benar berpihak padaku, setelah menikah dan memiliki keluarga utuh. Aku seperti terlahir kembali, memiliki dua orang tua utuh yang tidak menganggapku sebagai menantu, tapi sebagai anak kandungnya sendiri. Kasih sayang yang tidak pernah dibeda-bedakan, juga memiliki suami idaman semua wanita. Aku merasa tidak ada celah yang dapat membuatku merasa tidak beruntung lagi, aku sudah menemukan tujuan hidupku, kebahagiaan yang kucari selama ini. Empat tahun menjalin rumah tangga pun, aku merasa begitu dicintai, apalagi setelah Adiba lahir, kebahagiaan kami semakin terasa lengkap saja. Namun badai besar tiba-tiba datang tanpa diduga, tanpa pernah aku bayangkan sedikitpun saat kami berada di atas puncak kebahagiaan, tiba-tiba saja fakta menyakitkan itu menghantamku hingga ke dasar jurang. Mungkinkah selama ini hanya aku yang merasa bahagia sendiri, sementara Mas Angga justru tidak bahagia? Sering ponsel membuyarkan lamunan, menarik kembali diriku dari kenangan masa lalu. Aku menoleh ke arah ponsel yang sejak tadi dibiarkan begitu saja tergeletak di atas nakas, dan dengan malas aku mengambilnya. Entah mengapa benda itu semakin tidak menarik saja untukku, apalagi setelah Mas Angga kian sulit untuk dihubungi. Nama mas Aldi muncul di layar, sosok lelaki yang selalu menunjukkan perhatiannya walaupun aku jarang membalas pesan atau menerima panggilan darinya. Begitu juga yang kurasakan saat ini, dengan membiarkan Mas Aldi menunggu sementara aku tidak berniat untuk menerima panggilan darinya. Lebih baik membiarkan waktu memutus sendiri panggilan, berpura-pura sibuk jauh lebih baik daripada harus berbasa-basi disaat seperti ini. Aku benar-benar kehabisan tenaga dan minta. Setiap harinya hanya menjalani hari tanpa tahu kemana dan apa yang harus aku lakukan. Tapi sepertinya Mas Aldi bosan dengan pengorbanan ku selama ini, terbukti saat ponsel kembali berdering dengan namanya yang masih sama muncul di layar. Tiga kali panggilan tidak terjawab, namun usahanya masih terlihat dengan terus menghubungi tanpa jeda. Terpaksa aku menekan tombol hijau di layar, menerima panggilan dari Mas Aldi. “Hana,” suaranya terdengar dari seberang sana. “Iya, Mas.” jawabku dengan suara lemah, berharap ia mengerti dan paham situasiku saat ini yang memang tidak ingin bicara panjang lebar. “Kamu dimana?” tanya Mas Aldi lagi “Di rumah.” aku hanya menjawab singkat dari setiap pertanyannya. “Bisa ke rumah sakit sekarang?” “Kayaknya aku,,” “Anggan dan Kinan ada di sini.” nyaris saja aku menyela dan menolak, namun dua nama yang membuat hidupku seperti kehilangan arah disebut dengan sangat jelas. Aku merasa adrenalin kembali hadir kembali, lebih kua4t. “Apa? Mas nggak salah lihat?” tanyaku untuk memastikan. “Nggak. Aku melihatnya dan itu benar Angga.” Mas Aldi pun terdengar yakin. “Bisa sekarang kesini? Harus secepatnya karena aku tidak bisa memastikan seberapa lama mereka ada disini.” “Baik, Mas. Aku akan segera kesana.” Tanpa pikir panjang, aju segera bergegas menuju rumah sakit, bahkan tanpa sempat pamit pada Ibu dan Adiba. Pikiranku benar-benar kacau dan ingin segera memastikan bagaimana kelanjutan rumah tangga kami. Sepuluh hari tanpa kepastian dan mas Angga masih saja menghindar tanpa mau memberikan kejelasan. Aku pergi menuju rumah sakit menggunakan ojek online, merasa alat transportasi roda dua jauh lebih cepat dan menghemat waktu. Jarak antara rumah panti dan rumah sakit lumayan jauh dan memakan waktu, belum ditambah arus lalulintas yang tidak bisa diprediksi setiap menitnya. Bisa saja saat ini lancar tanpa hambatan, tapi di menit berikutnya macet bahkan sampai tidak bisa bergerak. “Pak bisa lebih cepat,” pintaku karena sangat tidak sabar, padahal aku tahu situasi jalan saat ini sangat padat sekali hingga perjalanan kami terhambat dan laju kendaraan melambat tanpa bisa menyalip atau mendahului. “Maaf Mbak, macet banget saya nggak berani nyalip.” Aku pun tahu, hanya saja rasa ingin segera sampai terus mendes4ak hingga aku menjadi tidak sabaran. “Nyalip ke sana, Pak.” aku menunjuk ke arah kanan, sedikit ada celah, kupikir bisa dimanfaatkan agar kami bisa segera melewati kemacetan yang membuat kepalaku semakin sakit. . untuk pertama kalinya aku merasa sangat membenci kemacetan, merasa toleransi ku sudah sangat terkikis habis. Aku tidak tinggal diam, berusaha membantu pak ojek mencari celah dan memang benar, kami bisa melewati kemacetan lebih cepat, jika tidak pandai memanfaatkan kesempatan sekecil apapun, aku pastikan terjebak lebih lama lagi dan kemungkinan bertemu Mbak Kinan dan Mas Angga semakin tipis saja. Gedung rumah sakit dimana ibu di rawat sudah terlihat, aku kian tidak sabar. “Pak tolong cepat.” Entah sudah berapa ratus kali aku mengatakannya, mungkin Pak ojek akan menandaiku sebagai salah satu customer yang sangat cerewet, tapi aku tidak peduli. Jarak semakin dekat, bahkan aku sudah melihat area lobby rumah sakit “Itu, Pak! Cepetan!” Aku menepuk berulang kali pundak pak ojek, yang membuatnya menarik gas dan laju motor semakin cepat. Namun naas, motor yang kami tumpangi tiba-tiba menabrak sebuah mobil. Cukup kencang hingga aku terpental dan jatuh ke aspal.Aku sempat menertawakan seorang wanita yang rela bertahan dengan tidak berpisah walau sudah mengetahui suaminya berselingkuh. Aku pikir wanita itu terlalu bodoh karena tetap bertahan setelah tahu suaminya membagi cinta dan menikah lagi, namun saat ini aku sangat menyesali perbuatanku itu, setelah aku mengalami sendiri bagaimana bodohnya menjadi seorang istri yang tidak tegas dan tetap mengikuti alur rumah tangga walaupun tahu biduk rumah tangga kami tidak lagi sama. Retak dan berlubang.Aku bahkan bersedia mengikuti skenario Mas Angga hanya untuk menyenangkan ibu. Mungkin karena rasa balas budi yang masih tertanam dalam hati, membuatku kerap meragukan untuk mengatakan apa keinginanku saat ini. Melihat bagaimana kesehatan ibu yang semakin membaik, keinginan untuk berpisah pun semakin samar.Benarkah aku sudah memaafkan Mas Angga?Atau mungkin hanya sebatas balas budi dan takut ibu kembali sakit. Entahlah, aku tidak tahu pasti.
Aku pernah melihat seorang artis ibu kota, namanya cukup terkenal dengan kepribadian ceria dan lucu. Guyonannya kerap membuat siapa saja tertawa, dan semua orang nyaris menyukainya tidak hanya dari kalangan orang tua, anak-anak pun menyukai kepribadiannya yang ramah dan murah senyum. Suatu hari, tanpa sengaja aku melihatnya di area parkir salah satu mall ternama. Aku ingin menyapa secara langsung, mungkin memintanya berfoto sekalian. Tapi langkahku saat itu terhenti saat melihatnya dalam keadaan marah pada salah satu kru atau mungkin asisten pribadinya. Entah apa penyebabnya, namun yang dapat kubaca dari ekspresi si artis, ia tengah marah besar. Aku mengurungkan niatku menghampirinya, kembali mundur ke tempat semula. Namun yang tidak aku ketahui selama ini, yakni sisi lain dari dirinya. Dia tidak selalu terlihat ceria seperti yang kerap dipertontonkan, bahkan dia pun marah, memaki hingga melontarkan kata-kata yang tidak enak di dengar. Peran yang dipertontonkan h
Hana 12“Ibu senang akhirnya kalian berdua rujuk.” Ibu mengusap punggung tanganku dengan senyum lembut, sementara aku hanya terdiam dengan tatapan bingung. Rujuk?Sejak kapan?Bahkan kami tidak saling bicara, tidak juga bertemu, tidak juga saling menanyakan kabar, padahal aku tahu selama ibu sakit nyaris dua Minggu ini, Mas Angga ada di Jakarta. Tapi seolah tidak ingin menjelaskan apapun padaku, justru menyudutkan dengan memutar balikkan fakta, bahkan aku seperti tidak memiliki hak untuk bertanya, menegaskan pernikahan kami. Dan sekarang, tiba-tiba saja Ibu mengatakan rujuk.Lucu sekali, rupanya lelaki itu kembali memutar balikkan fakta. Aku menatap ke arahnya, dimana Mas Angga pun tengah menatap ke arahku. Selama hampir lima tahun mengenalnya dan aku merasa sudah sangat memahami dirinya, rupanya ada satu hal yang tidak mampu ku ketahui dari dirinya, yakni Mas Angga selalu menempatkan ibu di atas segalanya.
Kondisiku benar-benar membaik setelah lima hari berlalu, berkat bantuan Mbak Ros, ibu dan juga obat yang diberikan Dika hari itu. Aku memang tidak menuruti saran Dika untuk kembali datang ke rumah sakit, setelah tiga hari. Sengaja memperlambat kontrol, karena selain sudah merasa lebih baik, juga karena hari ini aku mendapat informasi Ibu sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Walaupun selama lima hari aku benar-benar menghabisi waktu di rumah dan tidak pernah mengunjungi ibu di rumah sakit, tapi aku tetap memantau kondisi ibu dari ayah. Kami masih berhubungan baik, saling berkomunikasi nyaris setiap hari. Aku juga menceritakan keadaanku saat ini pada Ayah agar tidak menimbulkan salah paham. Beruntung, ayah sangat mengerti dan ia pun terlihat begitu khawatir pada kondisiku.“Mau ke rumah sakit sekarang?” tanya Ibu, muncul bersama Adiba. “Iya.” Aku mengulurkan tangan ke arah Adiba, hendak menggendongnya.“Ibu mau ketemu Nenek dulu
“Tulis nomormu disini,” Dika mengeluarkan ponselnya ke arahku. “Seseorang pasti ingin berkomunikasi denganmu,” ia terlihat meyakinkan. “Untuk? Kamu sudah tahu tempat tinggalku, bawa saja kesini jika ada keperluan.” Aku menolak. Entah mengapa aku merasa untuk saat ini tidak memerlukan berkomunikasi dengan siapapun. “Temanku pasti ingin bertemu denganmu, setidaknya untuk memastikan keadaanmu setelah kecelakaan hari ini.” “Tidak perlu,” aku menggelengkan kepala. “Pak Rahmat yang lebih membutuhkan tanggung jawab dari temanmu, bukan aku.” Akhirnya aku tahu nama pa ojek, namanya Rahmat.“Aku nggak apa-apa, kakiku hanya terkilir saja. Satu Minggu pasti sembuh total dan hanya butuh istirahat saja.” Aku sudah mendapatkan pemeriksaan, dokter mengatakan bahwa luka di kakiku hanya terkilir biasa, tidak perlu mendapatkan perawatan khusus apalagi sampai dirawat di rumah sakit. Hanya
“Tunggu disini sampai ayah kembali,” ucapnya.Aku patuh, menganggukkan kepalaku dengan tas ransel yang jauh lebih besar dari ukuran normal Aku punya dua tas ransel, satu untuk sekolah berwarna merah muda dan satu lagi ransel besar berwarna coklat tua. Tas ransel berwarna merah muda yang selalu dikenakan sejak mulai sekolah menjadi satu-satunya tas yang setiap hari dipakai, dan untuk tas ransel coklat aku tidak pernah menggunakannya. Selain ukurannya yang sangat besar, juga karena tas tersebut selalu digunakan untuk kepentingan tertentu. Misal, saat aku menginap selama satu Minggu di rumah Tante, dimana kedua orang tuaku memutuskan untuk berpisah setelah bertahun-tahun lamanya bertengkar nyaris setiap hari. Pertengkaran mereka seolah menjadi makananku setiap harinya. Setelah mereka resmi berpisah, aku memutuskan ikut bapak, sementara Ibu entah kemana. Dari Informasi beberapa orang yang mengenal ibu, dia memutuskan kerja ke luar negeri, ke n







