Share

Bab 7

Author: Min_zie
last update Last Updated: 2025-10-29 09:54:49

“Hana, kenalkan ini anak ibu namanya Angga,” . lelaki berparas tampan itu tersenyum, mengangguk samar dan mengulurkan tangannya.

“Angga Permadi, dan kamu Hana, kan?”

Aku malu saat hendak membalas uluran tangannya, bahkan bibirku tiba-tiba kelu hanya untuk menjawab sapaan darinya.

“Iya, Mas. Hana,” balasku dengan hanya mengangguk samar, tidak berani membalas uluran tangan darinya.

“Cantik, kan?” tanya Ibu lagi, yang membuatku semakin malu saja.

“Iya, cantik sekali.”

Pujian yang begitu membekas dalam hatiku sampai saat ini.

Sekelebat bayangan dimana kami pertama kali bertemu terus berputar dalam ingatan. Saat paling mendebarkan dalam hidupku untuk yang pertama kalinya, dimana aku benar-benar merasakan jatuh cinta pada seorang lelaki pada pandangan pertama.

Parasnya yang tampan, tutur katanya yang begitu santun, bahkan perlakuan lembutnya pada sang ibu, membuatku merasa kagum. Perkenalan pertama yang juga membuka jalan perjodohan kami hingga akhirnya kami resmi menjadi sepasang suami istri.

Dibalik ketidak beruntunganku selama ini, karena aku sengaja di buang oleh kedua orang tuaku, untuk pertama kalinya aku merasakan keberuntungan dimana dunia benar-benar berpihak padaku, setelah menikah dan memiliki keluarga utuh. Aku seperti terlahir kembali, memiliki dua orang tua utuh yang tidak menganggapku sebagai menantu, tapi sebagai anak kandungnya sendiri. Kasih sayang yang tidak pernah dibeda-bedakan, juga memiliki suami idaman semua wanita. Aku merasa tidak ada celah yang dapat membuatku merasa tidak beruntung lagi, aku sudah menemukan tujuan hidupku, kebahagiaan yang kucari selama ini.

Empat tahun menjalin rumah tangga pun, aku merasa begitu dicintai, apalagi setelah Adiba lahir, kebahagiaan kami semakin terasa lengkap saja. Namun badai besar tiba-tiba datang tanpa diduga, tanpa pernah aku bayangkan sedikitpun saat kami berada di atas puncak kebahagiaan, tiba-tiba saja fakta menyakitkan itu menghantamku hingga ke dasar jurang.

Mungkinkah selama ini hanya aku yang merasa bahagia sendiri, sementara Mas Angga justru tidak bahagia?

Sering ponsel membuyarkan lamunan, menarik kembali diriku dari kenangan masa lalu.

Aku menoleh ke arah ponsel yang sejak tadi dibiarkan begitu saja tergeletak di atas nakas, dan dengan malas aku mengambilnya.

Entah mengapa benda itu semakin tidak menarik saja untukku, apalagi setelah Mas Angga kian sulit untuk dihubungi.

Nama mas Aldi muncul di layar, sosok lelaki yang selalu menunjukkan perhatiannya walaupun aku jarang membalas pesan atau menerima panggilan darinya.

Begitu juga yang kurasakan saat ini, dengan membiarkan Mas Aldi menunggu sementara aku tidak berniat untuk menerima panggilan darinya. Lebih baik membiarkan waktu memutus sendiri panggilan, berpura-pura sibuk jauh lebih baik daripada harus berbasa-basi disaat seperti ini. Aku benar-benar kehabisan tenaga dan minta. Setiap harinya hanya menjalani hari tanpa tahu kemana dan apa yang harus aku lakukan.

Tapi sepertinya Mas Aldi bosan dengan pengorbanan ku selama ini, terbukti saat ponsel kembali berdering dengan namanya yang masih sama muncul di layar.

Tiga kali panggilan tidak terjawab, namun usahanya masih terlihat dengan terus menghubungi tanpa jeda.

Terpaksa aku menekan tombol hijau di layar, menerima panggilan dari Mas Aldi.

“Hana,” suaranya terdengar dari seberang sana.

“Iya, Mas.” jawabku dengan suara lemah, berharap ia mengerti dan paham situasiku saat ini yang memang tidak ingin bicara panjang lebar.

“Kamu dimana?” tanya Mas Aldi lagi

“Di rumah.” aku hanya menjawab singkat dari setiap pertanyannya.

“Bisa ke rumah sakit sekarang?”

“Kayaknya aku,,”

“Anggan dan Kinan ada di sini.”

nyaris saja aku menyela dan menolak, namun dua nama yang membuat hidupku seperti kehilangan arah disebut dengan sangat jelas.

Aku merasa adrenalin kembali hadir kembali, lebih kua4t.

“Apa? Mas nggak salah lihat?” tanyaku untuk memastikan.

“Nggak. Aku melihatnya dan itu benar Angga.” Mas Aldi pun terdengar yakin.

“Bisa sekarang kesini? Harus secepatnya karena aku tidak bisa memastikan seberapa lama mereka ada disini.”

“Baik, Mas. Aku akan segera kesana.”

Tanpa pikir panjang, aju segera bergegas menuju rumah sakit, bahkan tanpa sempat pamit pada Ibu dan Adiba. Pikiranku benar-benar kacau dan ingin segera memastikan bagaimana kelanjutan rumah tangga kami. Sepuluh hari tanpa kepastian dan mas Angga masih saja menghindar tanpa mau memberikan kejelasan.

Aku pergi menuju rumah sakit menggunakan ojek online, merasa alat transportasi roda dua jauh lebih cepat dan menghemat waktu. Jarak antara rumah panti dan rumah sakit lumayan jauh dan memakan waktu, belum ditambah arus lalulintas yang tidak bisa diprediksi setiap menitnya. Bisa saja saat ini lancar tanpa hambatan, tapi di menit berikutnya macet bahkan sampai tidak bisa bergerak.

“Pak bisa lebih cepat,” pintaku karena sangat tidak sabar, padahal aku tahu situasi jalan saat ini sangat padat sekali hingga perjalanan kami terhambat dan laju kendaraan melambat tanpa bisa menyalip atau mendahului.

“Maaf Mbak, macet banget saya nggak berani nyalip.”

Aku pun tahu, hanya saja rasa ingin segera sampai terus mendes4ak hingga aku menjadi tidak sabaran.

“Nyalip ke sana, Pak.” aku menunjuk ke arah kanan, sedikit ada celah, kupikir bisa dimanfaatkan agar kami bisa segera melewati kemacetan yang membuat kepalaku semakin sakit. . untuk pertama kalinya aku merasa sangat membenci kemacetan, merasa toleransi ku sudah sangat terkikis habis.

Aku tidak tinggal diam, berusaha membantu pak ojek mencari celah dan memang benar, kami bisa melewati kemacetan lebih cepat, jika tidak pandai memanfaatkan kesempatan sekecil apapun, aku pastikan terjebak lebih lama lagi dan kemungkinan bertemu Mbak Kinan dan Mas Angga semakin tipis saja.

Gedung rumah sakit dimana ibu di rawat sudah terlihat, aku kian tidak sabar.

“Pak tolong cepat.”

Entah sudah berapa ratus kali aku mengatakannya, mungkin Pak ojek akan menandaiku sebagai salah satu customer yang sangat cerewet, tapi aku tidak peduli.

Jarak semakin dekat, bahkan aku sudah melihat area lobby rumah sakit

“Itu, Pak! Cepetan!” Aku menepuk berulang kali pundak pak ojek, yang membuatnya menarik gas dan laju motor semakin cepat.

Namun naas, motor yang kami tumpangi tiba-tiba menabrak sebuah mobil. Cukup kencang hingga aku terpental dan jatuh ke aspal.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kekasih Tetangga Suamiku    Bab 11

    Kondisiku benar-benar membaik setelah lima hari berlalu, berkat bantuan Mbak Ros, ibu dan juga obat yang diberikan Dika hari itu. Aku memang tidak menuruti saran Dika untuk kembali datang ke rumah sakit, setelah tiga hari. Sengaja memperlambat kontrol, karena selain sudah merasa lebih baik, juga karena hari ini aku mendapat informasi Ibu sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Walaupun selama lima hari aku benar-benar menghabisi waktu di rumah dan tidak pernah mengunjungi ibu di rumah sakit, tapi aku tetap memantau kondisi ibu dari ayah. Kami masih berhubungan baik, saling berkomunikasi nyaris setiap hari. Aku juga menceritakan keadaanku saat ini pada Ayah agar tidak menimbulkan salah paham. Beruntung, ayah sangat mengerti dan ia pun terlihat begitu khawatir pada kondisiku.“Mau ke rumah sakit sekarang?” tanya Ibu, muncul bersama Adiba. “Iya.” Aku mengulurkan tangan ke arah Adiba, hendak menggendongnya.“Ibu mau ketemu Nenek dulu

  • Kekasih Tetangga Suamiku    Bab 10

    “Tulis nomormu disini,” Dika mengeluarkan ponselnya ke arahku. “Seseorang pasti ingin berkomunikasi  denganmu,” ia terlihat meyakinkan. “Untuk? Kamu sudah tahu tempat tinggalku, bawa saja kesini jika ada keperluan.” Aku menolak. Entah mengapa aku merasa untuk saat ini tidak memerlukan berkomunikasi dengan siapapun. “Temanku pasti ingin bertemu denganmu, setidaknya untuk memastikan keadaanmu setelah kecelakaan hari ini.” “Tidak perlu,” aku menggelengkan kepala. “Pak Rahmat yang lebih membutuhkan tanggung jawab dari temanmu, bukan aku.” Akhirnya aku tahu nama pa ojek, namanya Rahmat.“Aku nggak apa-apa, kakiku hanya terkilir saja. Satu Minggu pasti sembuh total dan hanya butuh istirahat saja.” Aku sudah mendapatkan pemeriksaan, dokter mengatakan bahwa luka di kakiku hanya terkilir biasa, tidak perlu mendapatkan perawatan khusus apalagi sampai dirawat di rumah sakit. Hanya

  • Kekasih Tetangga Suamiku    Bab 9

    “Tunggu disini sampai ayah kembali,” ucapnya.Aku patuh, menganggukkan kepalaku dengan tas ransel yang jauh lebih besar dari ukuran normal Aku punya dua tas ransel, satu untuk sekolah berwarna merah muda dan satu lagi ransel besar berwarna coklat tua. Tas ransel berwarna merah muda yang selalu dikenakan sejak mulai sekolah menjadi satu-satunya tas yang setiap hari dipakai, dan untuk tas ransel coklat aku tidak pernah menggunakannya. Selain ukurannya yang sangat besar, juga karena tas tersebut selalu digunakan untuk kepentingan tertentu. Misal, saat aku menginap selama satu Minggu di rumah Tante, dimana kedua orang tuaku memutuskan untuk berpisah setelah bertahun-tahun lamanya bertengkar nyaris setiap hari. Pertengkaran mereka seolah menjadi makananku setiap harinya. Setelah mereka resmi berpisah, aku memutuskan ikut bapak, sementara Ibu entah kemana. Dari Informasi beberapa orang yang mengenal ibu, dia memutuskan kerja ke luar negeri, ke n

  • Kekasih Tetangga Suamiku    Bab 8

    Beberapa orang datang, berkerumun hendak menolong. Aku menoleh ke arah Pak ojek, lelaki itu tergeletak tidak berdaya bahkan tidak terlihat pergerakan sedikitpun, hanya tertelungkup dengan helm penutup kepalanya lepas entah kemana. Yang membuatku semakin terkejut yakni saat melihat darah segar mengalir dari hidung dan keningnya. Lelaki tua itu mengalami luka parah, tidak seperti diriku yang masih dalam keadaan sadar, walaupun aku tidak bisa menggerakkan salah satu kakiku. Entah terkilir atau parah, aku tidak tahu pasti. Sakit dan panik bercampur aduk, beberapa orang langsung menolong kami. Aku dibawa oleh seorang lelaki, memangku tubuhku dan segera dilarikan ke ruang IGD. Aku masih terus menoleh ke arah Pak Ojek, dan lelaki itu masih belum juga sadar. Aku semakin takut dibuatnya.“Tolong berbaring, kami harus memeriksa.” seorang perawat menginstruksikan padaku untuk diam, namun aku masih belum bisa tenang sementara bapak itu

  • Kekasih Tetangga Suamiku    Bab 7

    “Hana, kenalkan ini anak ibu namanya Angga,” . lelaki berparas tampan itu tersenyum, mengangguk samar dan mengulurkan tangannya. “Angga Permadi, dan kamu Hana, kan?” Aku malu saat hendak membalas uluran tangannya, bahkan bibirku tiba-tiba kelu hanya untuk menjawab sapaan darinya. “Iya, Mas. Hana,” balasku dengan hanya mengangguk samar, tidak berani membalas uluran tangan darinya. “Cantik, kan?” tanya Ibu lagi, yang membuatku semakin malu saja. “Iya, cantik sekali.” Pujian yang begitu membekas dalam hatiku sampai saat ini. Sekelebat bayangan dimana kami pertama kali bertemu terus berputar dalam ingatan. Saat paling mendebarkan dalam hidupku untuk yang pertama kalinya, dimana aku benar-benar merasakan jatuh cinta pada seorang lelaki pada pandangan pertama. Parasnya yang tampan, tutur katanya yang begitu santun, bahkan perlakuan

  • Kekasih Tetangga Suamiku    Bab 6. Menyelamatkan diri

    Sampai pukul dua siang, Mas Angga tidak kunjung kembali. Entah kemana dia pergi, aku tidak berani menghubunginya walaupun sangat ingin tahu. Aku berusaha keras untuk tidak terlihat masih berharap, bertarung melawan keinginanku sendiri yang benar-benar membuatku merasa semakin kacau. Ayah datang tiga puluh menit lalu, aku pun memutuskan untuk pulang saja. Tidak berani meninggalkan Adiba terlalu lama, yang aku titipkan bersama ibu panti. Saat melewati lorong rumah sakit menuju lobi utama dimana aku memesan ojek online,tanpa sengaja aku berpapasan dengan seorang lelaki yang wajahnya sedikit familiar. Tidak ingat pasti siapa sosok itu, namun wajah dan senyumnya sedikit familiar.“Masih ingat saya?” dia menyapa, walaupun awalnya aku berusaha untuk tidak menoleh ke arahnya, tapi sudah terlanjur menyapa, akhirnya aku pun menoleh.Jujur aku hanya ingat sekilas wajahnya saja, tapi nama dan kapan kami bertemu aku tidak dapat mengingatnya.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status