 LOGIN
LOGINSampai pukul dua siang, Mas Angga tidak kunjung kembali. Entah kemana dia pergi, aku tidak berani menghubunginya walaupun sangat ingin tahu. Aku berusaha keras untuk tidak terlihat masih berharap, bertarung melawan keinginanku sendiri yang benar-benar membuatku merasa semakin kacau.
Ayah datang tiga puluh menit lalu, aku pun memutuskan untuk pulang saja. Tidak berani meninggalkan Adiba terlalu lama, yang aku titipkan bersama ibu panti. Saat melewati lorong rumah sakit menuju lobi utama dimana aku memesan ojek online,tanpa sengaja aku berpapasan dengan seorang lelaki yang wajahnya sedikit familiar. Tidak ingat pasti siapa sosok itu, namun wajah dan senyumnya sedikit familiar. “Masih ingat saya?” dia menyapa, walaupun awalnya aku berusaha untuk tidak menoleh ke arahnya, tapi sudah terlanjur menyapa, akhirnya aku pun menoleh. Jujur aku hanya ingat sekilas wajahnya saja, tapi nama dan kapan kami bertemu aku tidak dapat mengingatnya. “Maaf, siapa?” Aku berusaha bertanya dengan nada sopan, agar lelaki itu tidak tersinggung. “Pasti lupa ya? Kita pernah bertemu di bos waktu itu.” ucapnya, berusaha mengingatkan. “Bis?” tapi mungkin karena aku banyak pikiran akhir-akhir ini, sampai tidak ingat apapun “Iya, waktu itu kita duduk bersebelahan.” Dia berusaha menjelaskan, dan barulah aku mengingatnya. Dia adalah sosok lelaki yang malam itu duduk disampingku, saat aku pulang dari Bandung. “Oh iya,, baru ingat sekarang.” balasku dengan canggung. “Kita belum berkenalan malam itu, nama aku Dika.” lelaki itu mengulurkan tangannya, aku tidak mungkin menolak hingga akhirnya kubalas jabatan tangannya dimana sensasi dingin langsung terasa. “Hana.” balasku, yang segera melepaskan jabatan tangan. “Hana,” ia mengulang namaku. “Darimana, atau mau kemana?” tanya Dika, seolah enggan mengakhiri pertemuan. “Ibu mertua sakit,” “Oh, ibu mertua.” Lagi-lagi ia mengulang ucapanku, tapi kali ini ekspresinya sedikit berbeda. “Iya.” “Aku kerja disini,” ucapnya lagi, padahal tanpa memberitahu pun, aku sudah tahu dia adalah seorang dokter mengingat jas putih yang dikenakannya, sama persis dengan jas yang selalu dikenakan Mas Angga. “Oh,, begitu. Berarti kamu kenal Mas Angga?” “Angga Permadi?” “Betul,” “Tentu saja kami kenal, dia suami kamu?” Dengan tanpa ragu aku mengangguk. “Benar, dia suami ku.” Walaupun entah sampai kapan status kami akan menjadi sepasang suami istri tapi saat ini aku masih akan mengakuinya. “Ohh, begitu.” Dika menganggukkan kepalanya. “Senang berkenalan denganmu, Hana.” “Iya, aku juga.” Obrolan singkat yang akhirnya kami memutuskan untuk berpisah, ojek online yang ku pesan sudah menunggu di lobi depan. Aku memutuskan untuk pulang saja, tanpa bertemu dengan Mas Angga yang memang semakin sulit untuk ditemui. “Adiba mana, Bu?” tanyaku pada Ibu, saat kedatanganku tidak disambut gadis kecil itu. “Baru aja tidur.” balas Ibu. “Nggak rewel, kan?” karena terlalu sering meninggalkan Adiba akhir-akhir ini, aku kerap dirundung rasa bersalah. “Nggak. Mau tidur nangis sebentar, setelahnya langsung tidur. Dia sangat baik dan pengertian.” “Syukurlah,” aku menghela. Sebelum menemui Adiba di kamar, terlebih dulu aku membersihkan diri, mandi dan mengganti pakaian. Rasanya sangat segar mengingat cuaca Jakarta sangat panas memasuki musim kemarau bulan ini. Aku masuk kedalam kamar secara perlahan, agar kehadiranku tidak mengganggu tidur Adiba. Dia terlihat sangat pulas, dengan posisi menyamping, memeluk guling kecil kesukaannya. .saat menatap wajah Adiba yang terlihat damai dan tenang, aku merasa begitu bersalah padanya. Anak sekecil itu dipaksa harus menerima keadaan kami yang belum juga menemukan arah. Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman dimana kasih sayang kedua orang tua tercurah untuknya, kini seakan samar. Bahkan aku mulai meragukan kasih sayang Mas Angga, dimana ia tidak lagi menanyakan keadaan Adiba seperti yang kerap dilakukannya dulu kala kami masih berjauhan, aku di Jakarta dan dia di Bandung. Perubahan yang begitu kentara, seakan menjadi jarak yang sebelumnya terlihat samar namun kini semakin jelas. “Hana,” kamar yang ditempati Adiba tidak memiliki pintu, hanya tertutup tirai biru tua, hingga kedatangan Ibu tidak kusadari. “Ibu,” aku menoleh ke arah Ibu, dimana ia sudah berdiri tak jauh dari tempatku berada. “Ibu mau bicara sebentar, bisa?” Aku mengangguk, “Tentu, ayo kita bicara diluar.” Adiba sangat sensitif dengan suara, saat ia terlelap pun mampu merasakan suara-suara di sekitarnya yang mungkin akan membuat tidurnya tidak nyaman. Aku dan Ibu memutuskan untuk bicara di ruangan terpisah, yakni di ruang tamu. Bangunan yang kami tempati memang tidak terlalu besar, ruangan utama yang menampung tiga puluh anak tidak beruntung ada di sebelah, tempat yang aku tinggali saat ini adalah tempat tinggal pribadi Ibu, yang semula berukuran besar namun semakin sempit saja saat penghuni panti semakin banyak. “Bagaimana keadaan ibu mertuamu?” tanya Ibu, saat kami duduk di ruang tamu. “Masih belum menunjukkan perubahan, aku nggak bisa jelaskan dengan pasti.” “Ibu harap, kondisinya semakin membaik.” Aku mengangguk, karena aku pun berharap demikian. Kesehatan ibu akan membuka jalan kemana pernikahan ini berakhir. “Lalu, bagaimana dengan kalian?” Dia memang tidak melahirkanku ke dunia, bahkan aku mengenalnya pun saat aku usia tujuh tahun, saat aku dititipkan dan tidak pernah dijemput kembali. Meski begitu, nalurinya sebagai seorang ibu sangat tajam. “Kami masih belum menemukan kata sepakat, Bu. Mas Angga semakin sulit untuk ditemui.” jujurku. Aku tidak mungkin menutupi apa yang terjadi, aku tidak punya siapapun lagi, selain Ibu yang menjadi tempatku pulang, jika suatu hari nanti aku tidak lagi menyandang status sebagai istri Mas Angga. “Aku dengan dari Mas Aldi, mbak Kinan datang ke Jakarta.” “Benarkah?” Aku mengangguk. “Entah pertanda buruk untukku ataupun sebaliknya. Aku benar-benar tidak tahu,” Ibu mengusap pundakku dengan lembut. “Jika terlalu berat, nggak apa-apa kamu memilih untuk berpisah. Karena sejatinya, lelaki yang bisa membagi cintanya adalah lelaki yang tidak dapat kamu pegang ucapannya. Dia sudah sangat tidak jujur padamu,” Ibu mendukungku berpisah, walau aku tahu dia tidak ingin melihatku menderita. “Jangan jadikan balas budi sebagai rantai yang mengikat dirimu. Banyak jasa yang dilakukan keluarganya Permadi, tapi kamu berhak untuk menentukan sendiri.” Aku menatap kedua mata ibu, merasa takjub dengan instingnya sebagai seorang ibu dimana ia paham betul keraguan yang kurasakan selama ini. “Banyak hal yang sangat aku takuti, Bu. Nggak hanya tentang aku dan Adiba, tapi juga ibu dan anak panti disini.” Aku tidak mungkin berbohong, bahkan pernikahan aku dan mas Angga menjadi sebuah keuntungan yang tidak hanya untukku saja, tapi juga anak-anak panti. Keluarga Mas Angga menjadi donatur tetap, menjadi sumber kelangsungan kehidupan anak panti. Kami sangat terbantu dan jika hubunganku dan Mas Angga berakhir, bagaimana nasib anak panti? Aku sangat takut ibu mertua menghentikan donasi setiap bulannya hanya karena aku dan Mas Angga tidak lagi bersama. “Kamu tidak perlu mengkhawatirkan kami, saat dirimu pun berada di ujung jurang. Selamatkan dirimu, setelah kamu bisa berdiri dengan kedua kakimu, barulah datang dan tolong kami.” “Ibu,,” “Kamu harus menyelamatkan dirimu dan Adiba, itu yang paling penting.” ibu kembali meyakinkan.
Kondisiku benar-benar membaik setelah lima hari berlalu, berkat bantuan Mbak Ros, ibu dan juga obat yang diberikan Dika hari itu. Aku memang tidak menuruti saran Dika untuk kembali datang ke rumah sakit, setelah tiga hari. Sengaja memperlambat kontrol, karena selain sudah merasa lebih baik, juga karena hari ini aku mendapat informasi Ibu sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Walaupun selama lima hari aku benar-benar menghabisi waktu di rumah dan tidak pernah mengunjungi ibu di rumah sakit, tapi aku tetap memantau kondisi ibu dari ayah. Kami masih berhubungan baik, saling berkomunikasi nyaris setiap hari. Aku juga menceritakan keadaanku saat ini pada Ayah agar tidak menimbulkan salah paham. Beruntung, ayah sangat mengerti dan ia pun terlihat begitu khawatir pada kondisiku.“Mau ke rumah sakit sekarang?” tanya Ibu, muncul bersama Adiba. “Iya.” Aku mengulurkan tangan ke arah Adiba, hendak menggendongnya.“Ibu mau ketemu Nenek dulu
“Tulis nomormu disini,” Dika mengeluarkan ponselnya ke arahku. “Seseorang pasti ingin berkomunikasi denganmu,” ia terlihat meyakinkan. “Untuk? Kamu sudah tahu tempat tinggalku, bawa saja kesini jika ada keperluan.” Aku menolak. Entah mengapa aku merasa untuk saat ini tidak memerlukan berkomunikasi dengan siapapun. “Temanku pasti ingin bertemu denganmu, setidaknya untuk memastikan keadaanmu setelah kecelakaan hari ini.” “Tidak perlu,” aku menggelengkan kepala. “Pak Rahmat yang lebih membutuhkan tanggung jawab dari temanmu, bukan aku.” Akhirnya aku tahu nama pa ojek, namanya Rahmat.“Aku nggak apa-apa, kakiku hanya terkilir saja. Satu Minggu pasti sembuh total dan hanya butuh istirahat saja.” Aku sudah mendapatkan pemeriksaan, dokter mengatakan bahwa luka di kakiku hanya terkilir biasa, tidak perlu mendapatkan perawatan khusus apalagi sampai dirawat di rumah sakit. Hanya
“Tunggu disini sampai ayah kembali,” ucapnya.Aku patuh, menganggukkan kepalaku dengan tas ransel yang jauh lebih besar dari ukuran normal Aku punya dua tas ransel, satu untuk sekolah berwarna merah muda dan satu lagi ransel besar berwarna coklat tua. Tas ransel berwarna merah muda yang selalu dikenakan sejak mulai sekolah menjadi satu-satunya tas yang setiap hari dipakai, dan untuk tas ransel coklat aku tidak pernah menggunakannya. Selain ukurannya yang sangat besar, juga karena tas tersebut selalu digunakan untuk kepentingan tertentu. Misal, saat aku menginap selama satu Minggu di rumah Tante, dimana kedua orang tuaku memutuskan untuk berpisah setelah bertahun-tahun lamanya bertengkar nyaris setiap hari. Pertengkaran mereka seolah menjadi makananku setiap harinya. Setelah mereka resmi berpisah, aku memutuskan ikut bapak, sementara Ibu entah kemana. Dari Informasi beberapa orang yang mengenal ibu, dia memutuskan kerja ke luar negeri, ke n
Beberapa orang datang, berkerumun hendak menolong. Aku menoleh ke arah Pak ojek, lelaki itu tergeletak tidak berdaya bahkan tidak terlihat pergerakan sedikitpun, hanya tertelungkup dengan helm penutup kepalanya lepas entah kemana. Yang membuatku semakin terkejut yakni saat melihat darah segar mengalir dari hidung dan keningnya. Lelaki tua itu mengalami luka parah, tidak seperti diriku yang masih dalam keadaan sadar, walaupun aku tidak bisa menggerakkan salah satu kakiku. Entah terkilir atau parah, aku tidak tahu pasti. Sakit dan panik bercampur aduk, beberapa orang langsung menolong kami. Aku dibawa oleh seorang lelaki, memangku tubuhku dan segera dilarikan ke ruang IGD. Aku masih terus menoleh ke arah Pak Ojek, dan lelaki itu masih belum juga sadar. Aku semakin takut dibuatnya.“Tolong berbaring, kami harus memeriksa.” seorang perawat menginstruksikan padaku untuk diam, namun aku masih belum bisa tenang sementara bapak itu
“Hana, kenalkan ini anak ibu namanya Angga,” . lelaki berparas tampan itu tersenyum, mengangguk samar dan mengulurkan tangannya. “Angga Permadi, dan kamu Hana, kan?” Aku malu saat hendak membalas uluran tangannya, bahkan bibirku tiba-tiba kelu hanya untuk menjawab sapaan darinya. “Iya, Mas. Hana,” balasku dengan hanya mengangguk samar, tidak berani membalas uluran tangan darinya. “Cantik, kan?” tanya Ibu lagi, yang membuatku semakin malu saja. “Iya, cantik sekali.” Pujian yang begitu membekas dalam hatiku sampai saat ini. Sekelebat bayangan dimana kami pertama kali bertemu terus berputar dalam ingatan. Saat paling mendebarkan dalam hidupku untuk yang pertama kalinya, dimana aku benar-benar merasakan jatuh cinta pada seorang lelaki pada pandangan pertama. Parasnya yang tampan, tutur katanya yang begitu santun, bahkan perlakuan
Sampai pukul dua siang, Mas Angga tidak kunjung kembali. Entah kemana dia pergi, aku tidak berani menghubunginya walaupun sangat ingin tahu. Aku berusaha keras untuk tidak terlihat masih berharap, bertarung melawan keinginanku sendiri yang benar-benar membuatku merasa semakin kacau. Ayah datang tiga puluh menit lalu, aku pun memutuskan untuk pulang saja. Tidak berani meninggalkan Adiba terlalu lama, yang aku titipkan bersama ibu panti. Saat melewati lorong rumah sakit menuju lobi utama dimana aku memesan ojek online,tanpa sengaja aku berpapasan dengan seorang lelaki yang wajahnya sedikit familiar. Tidak ingat pasti siapa sosok itu, namun wajah dan senyumnya sedikit familiar.“Masih ingat saya?” dia menyapa, walaupun awalnya aku berusaha untuk tidak menoleh ke arahnya, tapi sudah terlanjur menyapa, akhirnya aku pun menoleh.Jujur aku hanya ingat sekilas wajahnya saja, tapi nama dan kapan kami bertemu aku tidak dapat mengingatnya.








