Beranda / Rumah Tangga / Kekasih Tetangga Suamiku / Bab 6. Menyelamatkan diri

Share

Bab 6. Menyelamatkan diri

Penulis: Min_zie
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-18 17:10:17

Sampai pukul dua siang, Mas Angga tidak kunjung kembali. Entah kemana dia pergi, aku tidak berani menghubunginya walaupun sangat ingin tahu. Aku berusaha keras untuk tidak terlihat masih berharap, bertarung melawan keinginanku sendiri yang benar-benar membuatku merasa semakin kacau. 

Ayah datang tiga puluh menit lalu, aku pun memutuskan untuk pulang saja. Tidak berani meninggalkan Adiba terlalu lama, yang aku titipkan bersama ibu panti. 

Saat melewati lorong rumah sakit menuju lobi utama dimana aku memesan ojek online,tanpa sengaja aku berpapasan dengan seorang lelaki yang wajahnya sedikit familiar. Tidak ingat pasti siapa sosok itu, namun wajah dan senyumnya sedikit familiar.

“Masih ingat saya?” dia menyapa, walaupun awalnya aku berusaha untuk tidak menoleh ke arahnya, tapi sudah terlanjur menyapa, akhirnya aku pun menoleh.

Jujur aku hanya ingat sekilas wajahnya saja, tapi nama dan kapan kami bertemu aku tidak dapat mengingatnya.

“Maaf, siapa?” Aku berusaha bertanya dengan nada sopan, agar lelaki itu tidak tersinggung.

“Pasti lupa ya? Kita pernah bertemu di bos waktu itu.” ucapnya, berusaha mengingatkan.

“Bis?” tapi mungkin karena aku banyak pikiran akhir-akhir ini, sampai tidak ingat apapun

“Iya, waktu itu kita duduk bersebelahan.” 

Dia berusaha menjelaskan, dan barulah aku mengingatnya. 

Dia adalah sosok lelaki yang malam itu duduk disampingku, saat aku pulang dari Bandung.

“Oh iya,, baru ingat sekarang.” balasku dengan canggung. 

“Kita belum berkenalan malam itu, nama aku Dika.” lelaki itu mengulurkan tangannya, aku tidak mungkin menolak hingga akhirnya kubalas jabatan tangannya dimana sensasi dingin langsung terasa.

“Hana.” balasku, yang segera melepaskan jabatan tangan.

“Hana,” ia mengulang namaku.

“Darimana, atau mau kemana?” tanya Dika, seolah enggan mengakhiri pertemuan.

“Ibu mertua sakit,” 

“Oh, ibu mertua.” Lagi-lagi ia mengulang ucapanku, tapi kali ini ekspresinya sedikit berbeda. 

“Iya.”

“Aku kerja disini,” ucapnya lagi, padahal tanpa memberitahu pun, aku sudah tahu dia adalah seorang dokter mengingat jas putih yang dikenakannya, sama persis dengan jas yang selalu dikenakan Mas Angga. 

“Oh,, begitu. Berarti kamu kenal Mas Angga?” 

“Angga Permadi?” 

“Betul,”

“Tentu saja kami kenal, dia suami kamu?”

Dengan tanpa ragu aku mengangguk. “Benar, dia suami ku.” 

Walaupun entah sampai kapan status kami akan menjadi sepasang suami istri tapi saat ini aku masih akan mengakuinya. 

“Ohh, begitu.” Dika menganggukkan kepalanya.

“Senang berkenalan denganmu, Hana.” 

“Iya, aku juga.” 

Obrolan singkat yang akhirnya kami memutuskan untuk berpisah, ojek online yang ku pesan sudah menunggu di lobi depan. 

Aku memutuskan untuk pulang saja, tanpa bertemu dengan Mas Angga yang memang semakin sulit untuk ditemui.

“Adiba mana, Bu?” tanyaku pada Ibu, saat kedatanganku tidak disambut gadis kecil itu. 

“Baru aja tidur.” balas Ibu.

“Nggak rewel, kan?” karena terlalu sering meninggalkan Adiba akhir-akhir ini, aku kerap dirundung rasa bersalah.

“Nggak. Mau tidur nangis sebentar, setelahnya langsung tidur. Dia sangat baik dan pengertian.” 

“Syukurlah,” aku menghela.

Sebelum menemui Adiba di kamar, terlebih dulu aku membersihkan diri, mandi dan mengganti pakaian. Rasanya sangat segar mengingat cuaca Jakarta sangat panas memasuki musim kemarau bulan ini. 

Aku masuk kedalam kamar secara perlahan, agar kehadiranku tidak mengganggu tidur Adiba. 

Dia terlihat sangat pulas, dengan posisi menyamping, memeluk guling kecil kesukaannya. .saat menatap wajah Adiba yang terlihat damai dan tenang, aku merasa begitu bersalah padanya. 

Anak sekecil itu dipaksa harus menerima keadaan kami yang belum juga menemukan arah. Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman dimana kasih sayang kedua orang tua tercurah untuknya, kini seakan samar. 

Bahkan aku mulai meragukan kasih sayang Mas Angga, dimana ia tidak lagi menanyakan keadaan Adiba seperti yang kerap dilakukannya dulu kala kami masih berjauhan, aku di Jakarta dan dia di Bandung.

Perubahan yang begitu kentara, seakan menjadi jarak yang sebelumnya terlihat samar namun kini semakin jelas. 

“Hana,” kamar yang ditempati Adiba tidak memiliki pintu, hanya tertutup tirai biru tua, hingga kedatangan Ibu tidak kusadari. 

“Ibu,” aku menoleh ke arah Ibu, dimana ia sudah berdiri tak jauh dari tempatku berada.

“Ibu mau bicara sebentar, bisa?” 

Aku mengangguk, “Tentu, ayo kita bicara diluar.” 

Adiba sangat sensitif dengan suara, saat ia terlelap pun mampu merasakan suara-suara di sekitarnya yang mungkin akan membuat tidurnya tidak nyaman.

Aku dan Ibu memutuskan untuk bicara di ruangan terpisah, yakni di ruang tamu. 

Bangunan yang kami tempati memang tidak terlalu besar, ruangan utama yang menampung tiga puluh anak tidak beruntung ada di sebelah, tempat yang aku tinggali saat ini adalah tempat tinggal pribadi Ibu, yang semula berukuran besar namun semakin sempit saja saat penghuni panti semakin banyak. 

“Bagaimana keadaan ibu mertuamu?” tanya Ibu, saat kami duduk di ruang tamu.

“Masih belum menunjukkan perubahan, aku nggak bisa jelaskan dengan pasti.”

“Ibu harap, kondisinya semakin membaik.” 

Aku mengangguk, karena aku pun berharap demikian. Kesehatan ibu akan membuka jalan kemana pernikahan ini berakhir.

“Lalu, bagaimana dengan kalian?” 

Dia memang tidak melahirkanku ke dunia, bahkan aku mengenalnya pun saat aku usia tujuh tahun, saat aku dititipkan dan tidak pernah dijemput kembali. Meski begitu, nalurinya sebagai seorang ibu sangat tajam.

“Kami masih belum menemukan kata sepakat, Bu. Mas Angga semakin sulit untuk ditemui.” jujurku. Aku tidak mungkin menutupi apa yang terjadi, aku tidak punya siapapun lagi, selain Ibu yang menjadi tempatku pulang, jika suatu hari nanti aku tidak lagi menyandang status sebagai istri Mas Angga. 

“Aku dengan dari Mas Aldi, mbak Kinan datang ke Jakarta.” 

“Benarkah?” 

Aku mengangguk. “Entah pertanda buruk untukku ataupun sebaliknya. Aku benar-benar tidak tahu,” 

Ibu mengusap pundakku dengan lembut. 

“Jika terlalu berat, nggak apa-apa kamu memilih untuk berpisah. Karena sejatinya, lelaki yang bisa membagi cintanya adalah lelaki yang tidak dapat kamu pegang ucapannya. Dia sudah sangat tidak jujur padamu,” 

Ibu mendukungku berpisah, walau aku tahu dia tidak ingin melihatku menderita.

“Jangan jadikan balas budi sebagai rantai yang mengikat dirimu. Banyak jasa yang dilakukan keluarganya Permadi, tapi kamu berhak untuk menentukan sendiri.” 

Aku menatap kedua mata ibu, merasa takjub dengan instingnya sebagai seorang ibu dimana ia paham betul keraguan yang kurasakan selama ini. 

“Banyak hal yang sangat aku takuti, Bu. Nggak hanya tentang aku dan Adiba, tapi juga ibu dan anak panti disini.” 

Aku tidak mungkin berbohong, bahkan pernikahan aku dan mas Angga menjadi sebuah keuntungan yang tidak hanya untukku saja, tapi juga anak-anak panti. 

Keluarga Mas Angga menjadi donatur tetap, menjadi sumber kelangsungan kehidupan anak panti. Kami sangat terbantu dan jika hubunganku dan Mas Angga berakhir, bagaimana nasib anak panti? 

Aku sangat takut ibu mertua menghentikan donasi setiap bulannya hanya karena aku dan Mas Angga tidak lagi bersama.

“Kamu tidak perlu mengkhawatirkan kami, saat dirimu pun berada di ujung jurang. Selamatkan dirimu, setelah kamu bisa berdiri dengan kedua kakimu, barulah datang dan tolong kami.” 

“Ibu,,”

“Kamu harus menyelamatkan dirimu dan Adiba, itu yang paling penting.” ibu kembali meyakinkan. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kekasih Tetangga Suamiku    Bab 14

    Aku sempat menertawakan seorang wanita yang rela bertahan dengan tidak berpisah walau sudah mengetahui suaminya berselingkuh. Aku pikir wanita itu terlalu bodoh karena tetap bertahan setelah tahu suaminya membagi cinta dan menikah lagi, namun saat ini aku sangat menyesali perbuatanku itu, setelah aku mengalami sendiri bagaimana bodohnya menjadi seorang istri yang tidak tegas dan tetap mengikuti alur rumah tangga walaupun tahu biduk rumah tangga kami tidak lagi sama. Retak dan berlubang.Aku bahkan bersedia mengikuti skenario Mas Angga hanya untuk menyenangkan ibu. Mungkin karena rasa balas budi yang masih tertanam dalam hati, membuatku kerap meragukan untuk mengatakan apa keinginanku saat ini. Melihat bagaimana kesehatan ibu yang semakin membaik, keinginan untuk berpisah pun semakin samar.Benarkah aku sudah memaafkan Mas Angga?Atau mungkin hanya sebatas balas budi dan takut ibu kembali sakit. Entahlah, aku tidak tahu pasti. 

  • Kekasih Tetangga Suamiku    Bab 13

    Aku pernah melihat seorang artis ibu kota, namanya cukup terkenal dengan kepribadian ceria dan lucu. Guyonannya kerap membuat siapa saja tertawa, dan semua orang nyaris menyukainya tidak hanya dari kalangan orang tua, anak-anak pun menyukai kepribadiannya yang ramah dan murah senyum. Suatu hari, tanpa sengaja aku melihatnya di area parkir salah satu mall ternama. Aku ingin menyapa secara langsung, mungkin memintanya berfoto sekalian. Tapi langkahku saat itu terhenti saat melihatnya dalam keadaan marah pada salah satu kru atau mungkin asisten pribadinya. Entah apa penyebabnya, namun yang dapat kubaca dari ekspresi si artis, ia tengah marah besar. Aku mengurungkan niatku menghampirinya, kembali mundur ke tempat semula. Namun yang tidak aku ketahui selama ini, yakni sisi lain dari dirinya. Dia tidak selalu terlihat ceria seperti yang kerap dipertontonkan, bahkan dia pun marah, memaki hingga melontarkan kata-kata yang tidak enak di dengar. Peran yang dipertontonkan h

  • Kekasih Tetangga Suamiku    Bab 12

    Hana 12“Ibu senang akhirnya kalian berdua rujuk.” Ibu mengusap punggung tanganku dengan senyum lembut, sementara aku hanya terdiam dengan tatapan bingung. Rujuk?Sejak kapan?Bahkan kami tidak saling bicara, tidak juga bertemu, tidak juga saling menanyakan kabar, padahal aku tahu selama ibu sakit nyaris dua Minggu ini, Mas Angga ada di Jakarta. Tapi seolah tidak ingin menjelaskan apapun padaku, justru menyudutkan dengan memutar balikkan fakta, bahkan aku seperti tidak memiliki hak untuk bertanya, menegaskan pernikahan kami. Dan sekarang, tiba-tiba saja Ibu mengatakan rujuk.Lucu sekali, rupanya lelaki itu kembali memutar balikkan fakta. Aku menatap ke arahnya, dimana Mas Angga pun tengah menatap ke arahku. Selama hampir lima tahun mengenalnya dan aku merasa sudah sangat memahami dirinya, rupanya ada satu hal yang tidak mampu ku ketahui dari dirinya, yakni Mas Angga selalu menempatkan ibu di atas segalanya. 

  • Kekasih Tetangga Suamiku    Bab 11

    Kondisiku benar-benar membaik setelah lima hari berlalu, berkat bantuan Mbak Ros, ibu dan juga obat yang diberikan Dika hari itu. Aku memang tidak menuruti saran Dika untuk kembali datang ke rumah sakit, setelah tiga hari. Sengaja memperlambat kontrol, karena selain sudah merasa lebih baik, juga karena hari ini aku mendapat informasi Ibu sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Walaupun selama lima hari aku benar-benar menghabisi waktu di rumah dan tidak pernah mengunjungi ibu di rumah sakit, tapi aku tetap memantau kondisi ibu dari ayah. Kami masih berhubungan baik, saling berkomunikasi nyaris setiap hari. Aku juga menceritakan keadaanku saat ini pada Ayah agar tidak menimbulkan salah paham. Beruntung, ayah sangat mengerti dan ia pun terlihat begitu khawatir pada kondisiku.“Mau ke rumah sakit sekarang?” tanya Ibu, muncul bersama Adiba. “Iya.” Aku mengulurkan tangan ke arah Adiba, hendak menggendongnya.“Ibu mau ketemu Nenek dulu

  • Kekasih Tetangga Suamiku    Bab 10

    “Tulis nomormu disini,” Dika mengeluarkan ponselnya ke arahku. “Seseorang pasti ingin berkomunikasi  denganmu,” ia terlihat meyakinkan. “Untuk? Kamu sudah tahu tempat tinggalku, bawa saja kesini jika ada keperluan.” Aku menolak. Entah mengapa aku merasa untuk saat ini tidak memerlukan berkomunikasi dengan siapapun. “Temanku pasti ingin bertemu denganmu, setidaknya untuk memastikan keadaanmu setelah kecelakaan hari ini.” “Tidak perlu,” aku menggelengkan kepala. “Pak Rahmat yang lebih membutuhkan tanggung jawab dari temanmu, bukan aku.” Akhirnya aku tahu nama pa ojek, namanya Rahmat.“Aku nggak apa-apa, kakiku hanya terkilir saja. Satu Minggu pasti sembuh total dan hanya butuh istirahat saja.” Aku sudah mendapatkan pemeriksaan, dokter mengatakan bahwa luka di kakiku hanya terkilir biasa, tidak perlu mendapatkan perawatan khusus apalagi sampai dirawat di rumah sakit. Hanya

  • Kekasih Tetangga Suamiku    Bab 9

    “Tunggu disini sampai ayah kembali,” ucapnya.Aku patuh, menganggukkan kepalaku dengan tas ransel yang jauh lebih besar dari ukuran normal Aku punya dua tas ransel, satu untuk sekolah berwarna merah muda dan satu lagi ransel besar berwarna coklat tua. Tas ransel berwarna merah muda yang selalu dikenakan sejak mulai sekolah menjadi satu-satunya tas yang setiap hari dipakai, dan untuk tas ransel coklat aku tidak pernah menggunakannya. Selain ukurannya yang sangat besar, juga karena tas tersebut selalu digunakan untuk kepentingan tertentu. Misal, saat aku menginap selama satu Minggu di rumah Tante, dimana kedua orang tuaku memutuskan untuk berpisah setelah bertahun-tahun lamanya bertengkar nyaris setiap hari. Pertengkaran mereka seolah menjadi makananku setiap harinya. Setelah mereka resmi berpisah, aku memutuskan ikut bapak, sementara Ibu entah kemana. Dari Informasi beberapa orang yang mengenal ibu, dia memutuskan kerja ke luar negeri, ke n

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status