Share

Bab 8

Author: Min_zie
last update Last Updated: 2025-10-30 09:07:01

Beberapa orang datang, berkerumun hendak menolong. Aku menoleh ke arah Pak ojek, lelaki itu tergeletak tidak berdaya bahkan tidak terlihat pergerakan sedikitpun, hanya tertelungkup dengan helm penutup kepalanya lepas entah kemana. 

Yang membuatku semakin terkejut yakni saat melihat darah segar mengalir dari hidung dan keningnya. Lelaki tua itu mengalami luka parah, tidak seperti diriku yang masih dalam keadaan sadar, walaupun aku tidak bisa menggerakkan salah satu kakiku. Entah terkilir atau parah, aku tidak tahu pasti. 

Sakit dan panik bercampur aduk, beberapa orang langsung menolong kami. 

Aku dibawa oleh seorang lelaki, memangku tubuhku dan segera dilarikan ke ruang IGD. 

Aku masih terus menoleh ke arah Pak Ojek, dan lelaki itu masih belum juga sadar. Aku semakin takut dibuatnya.

“Tolong berbaring, kami harus memeriksa.” seorang perawat menginstruksikan padaku untuk diam, namun aku masih belum bisa tenang sementara bapak itu masih juga menutup kedua matanya.

“Dia nggak apa-apa, kan?” aku mencari sesuatu yang dapat menumbuhkan keyakinan dalam hati, namun sayangnya perawat justru membuat hatiku semakin gusar.

“Kami belum bisa memastikan, luka di bagian kepalanya cukup parah.”

“Ya ampun!” Aku merapalkan doa dalam hati, berharap bapak ojek tidak mengalami cedera fatal, aku takut sekali. 

“Tenang dulu ya, kakimu juga terluka. Sepertinya terkilir parah dan harus dipasang gips.” 

Aku tidak tertarik dengan penjelasan si perawat, fokus ku masih tertuju pada Pak Ojek.

“Jangan terlalu banyak bergerak, karena akan memperparah kondisinya.” 

Tiba-tiba aku melihat si bapak dibawa dari ruangan UGD, entah kemana. Aku sangat penasaran dan ingin tahu. Merasa bahwa kecelakaan itu merupakan kesalahanku yang selalu memintanya melakukan motor dengan kecepatan tinggi. Aku mengabaikan keselamatan, untuknya dan untuk diriku sendiri.

“Dia mau dibawa kemana?” tanyaku, menarik tangan perawat, yang hendak meninggalkanku.

“Ke ruang pemeriksaan, dia mengalami luka parah dan harus segera mendapatkan tindakan. Tenang, dan jangan kemana-mana ya?”

Aku tidak menjawab, kedua mataku terus mengikuti kepergian Pak ojek, yang dibawa bersama tempat tidur yang ditempatinya. Aku semakin takut, hingga tubuhku gemetar. 

Dari balik tirai yang tidak ditutup rapat, aku masih bisa melihat aktivitas di luar sana, beberapa perawat berlalu-lalang dengan langkah cepat dan tergesa. 

Sampai di satu waktu, aku melihat dua manusia yang sangat familiar dalam ingatan melintas. Mereka tidak melihat keberadaan ku, tapi aku langsung bisa mengenalnya dengan baik.

Mas Angga dan Mbak Kinan, aku tidak mungkin salah. 

Tanpa ragu apalagi berpikir dua kali, segera aku turun dari ranjang, mengabaikan larangan perawat yang memintaku untuk tidak banyak bergerak, tapi aku melakukan lebih dari sekedar bergerak. Aku turun dari atas ranjang, berjalan dengan tertatih, menahan sakit yang begitu menyiksa di salah satu kakiku. Aku harus menahannya, bertemu Mas Angga dan Mbak Kinan jauh lebih penting, tidak peduli jika kakiku akhir patah. Aku akan tetap mengejarnya. 

Langkahku terseok, bahkan nyaris terjatuh. Tapi aku berusaha mengejarnya semampuku. 

“Mas Angga!” langkah kami terlalu jauh, sulit untuk mengejar dengan kondisiku seperti saat ini.

“Mas Angga!” teriakku lagi, namun mas Angga dan Mbak Kinan tidak kunjung menoleh. 

“Mas!” Aku berteriak sekencang-kencangnya, berharap lelaki itu menoleh, namun mereka tetap berjalan menuju sebuah mobil yang kukenal. Itu mobil Mas Angga.

Mobil yang selalu kami pakai selama ini, mobil yang menemani hari kami setiap kali pergi bersama, tapi kini justru dipakai bersama wanita lain.

“Mas Angga!” Aku kembali berteriak seperti orang gila, bahkan beberapa orang menoleh, menatap sinis ke arahku. Tapi aku tidak peduli. Aku ingin menahannya, setidaknya untuk memberikan penjelasan terhadap rumah tangga kami. 

Kakiku terasa nyeri, tapi hatiku jauh lebih nyeri. Aku terjatuh, kakiku tidak dapat menopang berat tubuh ku, yang terus memaksa ingin mengejar. 

Aku terjatuh, dengan air mata yang sudah membasahi wajah. 

Putus asa dengan semua keadaan yang terjadi, saat kesempatan ada di depan mata dan aku harus segera mengejarnya, tapi kecelakaan naas menimpa hingga membuatku tidak berdaya seperti saat ini. 

Perawatan yang melihatku segera menolong, “Bu, jangan banyak gerak, kakinya masih belum bisa digunakan berjalan.” ia menghampiri, namun aku tidak menghiraukan. 

Aku tidak bisa berjalan, tapi aku bisa menggunakan kedua lutut ku untuk mengejarnya. Masih bisa. 

“Bu,” perawat menahanku.

“Mas Angga pergi, aku harus mengejarnya!” Aku menunjuk ke arah Mas Angga, dimana mereka sudah masuk kedalam mobil. Sangat terlambat untuk mengejarnya, merangkak pun tidak akan bisa mengejarnya, tapi tetap melakukan hal sia-sia itu, membiarkan dirimu terlihat menyedihkan dan pasti jadi bahan olok-olok semua orang yang ada di tempat ini. 

Namun usahaku terhenti, aku terdiam, bahkan tidak lagi mengejar walaupun sangat ingin. 

Tiba-tiba saja aku merasa waktu seperti berhenti, saat aku melihat lelaki yang kuanggap sebagai suami terbaik di muka bumi ini, menatap ke arahku dengan tatapan dingin dan menusuk. Dia melihatku, menyadari keberadaan ku bahkan mungkin mendengar suaraku saat memanggil namanya, tapi lelaki itu memilih abai. Tatapannya hampa dan datar, seolah kami tidak saling mengenal. 

Aku terus menatapnya, walau pandanganku mulai kabur, saat air mata berdesakan ingin keluar. 

Detik ini juga akhirnya aku mendapatkan jawaban atas ketidakpastian rumah tangga kami selama ini. Mas Angga tidak menginginkanku lagi. Dia tidak lagi menganggapku sebagai istrinya lagi. 

Tatapannya sudah sangat mencerminkan jelas perasaan lelaki itu padaku, lantas untuk apa aku terus bertahan dan memohon? 

“Hana,” seseorang memanggil namaku, menyentuh pundakku dengan perlahan dan lembut. Aku tidak menoleh, bahkan aku tidak berminat mencari tahu siapa yang memanggilku.

“Hana,” panggilnya lagi, kali ini sosok itu beralih telat ke hadapanku, berjongkok mensejajarkan diri dengan diriku yang masih bersimpuh di atas lantai di ruang IGD. 

“Hana,,” 

Aku bisa melihatnya, dia adalah Dika. 

Lelaki yang baru kukenal beberapa hari lalu, di rumah sakit ini. 

“Ayo, biar aku bantu.” ucapnya, menarik satu tanganku, memapah menuju kembali ke brankar.

Tubuhku tiba-tiba lemas, tenagaku seperti tersedot semuanya hingga aku kehilangan kekuatan untuk mendapatkan kakiku di lantai. Perlahan pandanganku kabur, menggelap hingga tidak terlihat apapun lagi. Hanya terdengar suara Dika yang terus memanggil namaku, yang semakin samar hingga akhirnya tidak terdengar lagi. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kekasih Tetangga Suamiku    Bab 11

    Kondisiku benar-benar membaik setelah lima hari berlalu, berkat bantuan Mbak Ros, ibu dan juga obat yang diberikan Dika hari itu. Aku memang tidak menuruti saran Dika untuk kembali datang ke rumah sakit, setelah tiga hari. Sengaja memperlambat kontrol, karena selain sudah merasa lebih baik, juga karena hari ini aku mendapat informasi Ibu sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Walaupun selama lima hari aku benar-benar menghabisi waktu di rumah dan tidak pernah mengunjungi ibu di rumah sakit, tapi aku tetap memantau kondisi ibu dari ayah. Kami masih berhubungan baik, saling berkomunikasi nyaris setiap hari. Aku juga menceritakan keadaanku saat ini pada Ayah agar tidak menimbulkan salah paham. Beruntung, ayah sangat mengerti dan ia pun terlihat begitu khawatir pada kondisiku.“Mau ke rumah sakit sekarang?” tanya Ibu, muncul bersama Adiba. “Iya.” Aku mengulurkan tangan ke arah Adiba, hendak menggendongnya.“Ibu mau ketemu Nenek dulu

  • Kekasih Tetangga Suamiku    Bab 10

    “Tulis nomormu disini,” Dika mengeluarkan ponselnya ke arahku. “Seseorang pasti ingin berkomunikasi  denganmu,” ia terlihat meyakinkan. “Untuk? Kamu sudah tahu tempat tinggalku, bawa saja kesini jika ada keperluan.” Aku menolak. Entah mengapa aku merasa untuk saat ini tidak memerlukan berkomunikasi dengan siapapun. “Temanku pasti ingin bertemu denganmu, setidaknya untuk memastikan keadaanmu setelah kecelakaan hari ini.” “Tidak perlu,” aku menggelengkan kepala. “Pak Rahmat yang lebih membutuhkan tanggung jawab dari temanmu, bukan aku.” Akhirnya aku tahu nama pa ojek, namanya Rahmat.“Aku nggak apa-apa, kakiku hanya terkilir saja. Satu Minggu pasti sembuh total dan hanya butuh istirahat saja.” Aku sudah mendapatkan pemeriksaan, dokter mengatakan bahwa luka di kakiku hanya terkilir biasa, tidak perlu mendapatkan perawatan khusus apalagi sampai dirawat di rumah sakit. Hanya

  • Kekasih Tetangga Suamiku    Bab 9

    “Tunggu disini sampai ayah kembali,” ucapnya.Aku patuh, menganggukkan kepalaku dengan tas ransel yang jauh lebih besar dari ukuran normal Aku punya dua tas ransel, satu untuk sekolah berwarna merah muda dan satu lagi ransel besar berwarna coklat tua. Tas ransel berwarna merah muda yang selalu dikenakan sejak mulai sekolah menjadi satu-satunya tas yang setiap hari dipakai, dan untuk tas ransel coklat aku tidak pernah menggunakannya. Selain ukurannya yang sangat besar, juga karena tas tersebut selalu digunakan untuk kepentingan tertentu. Misal, saat aku menginap selama satu Minggu di rumah Tante, dimana kedua orang tuaku memutuskan untuk berpisah setelah bertahun-tahun lamanya bertengkar nyaris setiap hari. Pertengkaran mereka seolah menjadi makananku setiap harinya. Setelah mereka resmi berpisah, aku memutuskan ikut bapak, sementara Ibu entah kemana. Dari Informasi beberapa orang yang mengenal ibu, dia memutuskan kerja ke luar negeri, ke n

  • Kekasih Tetangga Suamiku    Bab 8

    Beberapa orang datang, berkerumun hendak menolong. Aku menoleh ke arah Pak ojek, lelaki itu tergeletak tidak berdaya bahkan tidak terlihat pergerakan sedikitpun, hanya tertelungkup dengan helm penutup kepalanya lepas entah kemana. Yang membuatku semakin terkejut yakni saat melihat darah segar mengalir dari hidung dan keningnya. Lelaki tua itu mengalami luka parah, tidak seperti diriku yang masih dalam keadaan sadar, walaupun aku tidak bisa menggerakkan salah satu kakiku. Entah terkilir atau parah, aku tidak tahu pasti. Sakit dan panik bercampur aduk, beberapa orang langsung menolong kami. Aku dibawa oleh seorang lelaki, memangku tubuhku dan segera dilarikan ke ruang IGD. Aku masih terus menoleh ke arah Pak Ojek, dan lelaki itu masih belum juga sadar. Aku semakin takut dibuatnya.“Tolong berbaring, kami harus memeriksa.” seorang perawat menginstruksikan padaku untuk diam, namun aku masih belum bisa tenang sementara bapak itu

  • Kekasih Tetangga Suamiku    Bab 7

    “Hana, kenalkan ini anak ibu namanya Angga,” . lelaki berparas tampan itu tersenyum, mengangguk samar dan mengulurkan tangannya. “Angga Permadi, dan kamu Hana, kan?” Aku malu saat hendak membalas uluran tangannya, bahkan bibirku tiba-tiba kelu hanya untuk menjawab sapaan darinya. “Iya, Mas. Hana,” balasku dengan hanya mengangguk samar, tidak berani membalas uluran tangan darinya. “Cantik, kan?” tanya Ibu lagi, yang membuatku semakin malu saja. “Iya, cantik sekali.” Pujian yang begitu membekas dalam hatiku sampai saat ini. Sekelebat bayangan dimana kami pertama kali bertemu terus berputar dalam ingatan. Saat paling mendebarkan dalam hidupku untuk yang pertama kalinya, dimana aku benar-benar merasakan jatuh cinta pada seorang lelaki pada pandangan pertama. Parasnya yang tampan, tutur katanya yang begitu santun, bahkan perlakuan

  • Kekasih Tetangga Suamiku    Bab 6. Menyelamatkan diri

    Sampai pukul dua siang, Mas Angga tidak kunjung kembali. Entah kemana dia pergi, aku tidak berani menghubunginya walaupun sangat ingin tahu. Aku berusaha keras untuk tidak terlihat masih berharap, bertarung melawan keinginanku sendiri yang benar-benar membuatku merasa semakin kacau. Ayah datang tiga puluh menit lalu, aku pun memutuskan untuk pulang saja. Tidak berani meninggalkan Adiba terlalu lama, yang aku titipkan bersama ibu panti. Saat melewati lorong rumah sakit menuju lobi utama dimana aku memesan ojek online,tanpa sengaja aku berpapasan dengan seorang lelaki yang wajahnya sedikit familiar. Tidak ingat pasti siapa sosok itu, namun wajah dan senyumnya sedikit familiar.“Masih ingat saya?” dia menyapa, walaupun awalnya aku berusaha untuk tidak menoleh ke arahnya, tapi sudah terlanjur menyapa, akhirnya aku pun menoleh.Jujur aku hanya ingat sekilas wajahnya saja, tapi nama dan kapan kami bertemu aku tidak dapat mengingatnya.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status