Home / Rumah Tangga / Kekasih Tetangga Suamiku / Bab 5. Tidak ada itikad baik

Share

Bab 5. Tidak ada itikad baik

Author: Min_zie
last update Last Updated: 2025-10-18 12:45:13

Jika saja kondisi ibu membaik dengan cepat, mungkin aku dan Mas Angga akan segera memproses kelanjutan hubungan rumah tangga kami yang sudah tidak terselamatkan lagi. 

Satu Minggu berlalu, kondisi ibu semakin memburuk saja dan hubungan kami pun tidak kalah buruk. Yang aku dengar dari Mas Aldi, Mbak Kinan datang ke Jakarta, menyusul Mas Angga yang tidak kunjung kembali ke Bandung, mengingat kondisi ibu yang semakin memburuk.

Aku tidak tahu pasti dimana Mbak Kinan tinggal saat ini, sebab aku pun masih bolak-balik antara rumah ibu dan rumah panti. 

Aku tidak punya tempat tinggal pasti saat ini, seperti terombang-ambing tanpa kepastian. Bukan hanya status saja, tapi tempat tinggal pun sama tidak pastinya.

“Makan, Hana. Jangan bengong terus.” suara ayah membuyarkan lamunan ku.

Terlalu bingung hingga membuat ku kerap melamun tidak jelas. 

“Iya, Ayah.” aku menatap kembali piring berisi nasi goreng buatan Mbak Asti yang sebelumnya menjadi menu sarapan paling favorit di rumah ini, hanya saja saat ini nasi goreng tersebut tidak lagi menggiurkan seperti dulu, padahal aku belum makan sejak kemarin.

“Makan yang banyak, jangan mengabaikan kesehatan. Kasihan Adiba,” 

Ayah seakan kembali mengingatkan bahwa ada sosok anak kecil yang masih sangat bergantung padaku, dia adalah Adiba. 

“Iya, ayah.” walau sedikit terpaksa, aku mengambil sendok dan menyuap nasi goreng.

“Angga belum pulang?” tanya ayah lagi.

“Belum, masih di rumah sakit. Setelah sarapan, aku akan kesana, gantian jaga.” 

Karena ibu saat ini ada di ruangan khusus yang tidak boleh sembarang orang masuk, jadwal besuk pun harus bergantian. Malam hari jadwal mas Angga dan untuk siang harinya, antara aku dan ayah. Siapa saja yang bisa, sebab aku pun harus mengurus putri kecilku yang tidak mungkin sering dibawa ke rumah sakit, belum juga toko bunga yang harus tetap dipastikan berjalan setiap harinya. 

Penghasilan dari toko bunga memang tidak besar, tapi sangat membantu kebutuhan sehari-hari untuk keluarga.

“Kamu berangkat duluan, nanti siang ayah menyusul.”

“Baik, ayah.” 

Untuk sementara, Adiba aku titip bersama ibu di panti, karena Mbak Asih terlalu kerepotan mengurus rumah dan toko bunga secara bersamaan. Beruntung anak itu memiliki toleransi yang sangat tinggi, hingga ia tidak pernah rewel apalagi sampai menghambat aktivitasku dalam menjaga dan mengurus ibu. 

“Hana,” panggil ayah lagi, setelah beberapa saat kami terdiam.

“Iya, ayah. Kenapa?” tanyaku, sambil menoleh ke arahnya.

Sosok lelaki yang bukan hanya sekedar ayah mertua, tapi sudah dianggap seperti ayah kandung. 

Selama aku dilahirkan ke dunia ini, aku tidak pernah merasakan hangatnya kasih sayang orang tua, tapi ayah dan ibu berhasil memberiku kasih sayang yang tidak pernah aku rasakan selama ini. Sungguh luar biasa, dan aku tidak akan pernah melupakan mereka berdua walaupun pada akhirnya aku dan Mas Angga tidak dapat lagi bersama. 

“Ayah tahu, mungkin permintaan ayah saat ini terlalu berlebihan. Tapi, ayah menaruh harapan besar padamu.” tatapan ayah berbuah serius, aku pun menatapnya sama. 

“Ayah harap kamu dan Angga dapat menyelesaikan masalah ini dengan bijak. Pertimbangan kembali sebab akibat yang akan kalian hadapi nantinya, jangan karena emosi sesaat, kalian berdua mengambil langkah yang salah.” 

Sekilas, aku sudah mulai mengerti kemana arah pembicaraan ayah. Tapi aku berusaha untuk tidak menyela, membiarkan ayah menuntaskan ucapannya. 

“Ayah tahu, kamu pasti sangat sakit hati. Bukan hanya kamu, tapi kami pun sebagai orang tua merasa sangat kecewa. Tapi Hana,” ayah mengusap lembut punggung tanganku.

“Kondisi ibu benar-benar buruk, bahkan mungkin akan semakin memburuk jika tahu kamu dan Angga memutuskan untuk berpisah.” 

Aku terdiam, bukan karena ingin mendengar pembelaan ayah terhadap putranya, juga ingin melihat bagaimana ayah menyimpulkan dari sudut pandangannya. 

“Ayah tau, terlalu egois memaksamu tetap bertahan hanya karena kesehatan ibu, tapi Hana, ibu begitu menyayangimu. Dia tidak pernah menganggap kamu sebagai menantu, tapi sebagai anak. Walaupun ibu tidak mengandung dan melahirkanmu ke dunia ini, ibu selalu menyayangimu seperti dia menyayangi Angga.” 

“Lalu bagaimana denganku, ayah?” akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya. Memang tidak salah jika ayah dan ibu memintaku untuk tetap bertahan tapi adilkah untukku dan Adiba? 

“Hana,,”

“Aku dan Mas Angga memang belum memutuskan apapun, aku masih menghargai ibu sebagai orang tuaku tapi,,, aku juga seorang istri dan seorang ibu, Yah..” lirihku.

“Ayah mengerti,” ayah paham betul responku saat ini. 

“Ayah tidak akan memaksa, tapi saat ini ayah berharap,”

“Aku tidak akan mengambil keputusan secara tergesa-gesa, mengingat kondisi ibu yang seperti saat ini..aku masih memiliki hati nurani, nggak mungkin memutuskan hubungan di tengah kondisi kritis.” 

“Terimakasih, Hana.” ucapnya.

“Ayah tahu, kamu tidak akan gegabah mengambil keputusan.”

Aku hanya tersenyum samar. Benar yang diucapkan ayah, aku memang tidak akan mengambil keputusan secara sepihak apalagi dengan kondisi ibu sakit seperti saat ini namun bukan berarti aku tidak akan menggunakan hakku sebagai seorang istri dimana aku pun berhak menentukan kemana dan bagaimana akhir rumah tangga ini.

Aku memang mencintainya, sangat mencintainya, tapi aku akan tetap mengatakan dengan tegas, aku tidak mau ada dalam hubungan cinta segitiga, yang sudah dikemas dengan pernikahan siri. 

Menuju rumah sakit, dengan diantar sopir pribadi keluarga, Pak Mul, akhirnya aku sampai di depan lobi rumah sakit. Beberapa perawat mengenaliku sebagai istri mas Angga.

“Bu Hana.” Sapa salah seorang perawat datang menghampiri.

“Mbak Dini,” aku balik menyapa.

“Mas Angga masih nunggu Ibu?” tanyaku. 

“Mas Angga sudah pulang sejak subuh tadi, kebetulan aku yang gantiin beliau.” 

“Mas Angga kemana?” tanyaku penasaran.

“Nggak tahu, Bu. Nggak bilang,” 

Aku hanya mengangguk, memang Angga tidak akan menjelaskan kemana dan apa saja kepentingannya pada seseorang yang dianggap tidak dekat, tapi dalam situasi seperti ini, kemana dia pergi?

Hubungan kami tidak jelas, bukan hanya status tapi juga komunikasi yang tidak jelas. Kami jarang berkomunikasi, jangankan saling telepon, berkirim pesan saja tidak. 

Aku ragu untuk menanyakan keberadaannya, tapi aku sangat penasaran kemana perginya Mas Angga saat ini, mungkinkah dia menemui mbak Kinan? 

Hatiku tidak karuan, ada rasa cemburu yang menyeruak begitu kencang. Tapi aku merasa tidak mampu untuk mengungkapkannya, jangan memberitahu isi hatiku saat ini, menahannya untuk tetap berada di sisiku saja aku tidak mampu..

Aku sangat ingin mempertahankannya, aku sanggup menyulam kembali hatiku yang sudah terlanjur terluka dan berdarah, asalkan Mas Angga mau memperbaiki rumah tangga kami. 

Namun aku tidak melihat itikad baiknya dengan membujuk atau menahanku untuk tidak pergi, yang dilakukan hanya menyudutkan ku, membuatku terlihat seperti penyebab kekacauan ini terjadi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kekasih Tetangga Suamiku    Bab 14

    Aku sempat menertawakan seorang wanita yang rela bertahan dengan tidak berpisah walau sudah mengetahui suaminya berselingkuh. Aku pikir wanita itu terlalu bodoh karena tetap bertahan setelah tahu suaminya membagi cinta dan menikah lagi, namun saat ini aku sangat menyesali perbuatanku itu, setelah aku mengalami sendiri bagaimana bodohnya menjadi seorang istri yang tidak tegas dan tetap mengikuti alur rumah tangga walaupun tahu biduk rumah tangga kami tidak lagi sama. Retak dan berlubang.Aku bahkan bersedia mengikuti skenario Mas Angga hanya untuk menyenangkan ibu. Mungkin karena rasa balas budi yang masih tertanam dalam hati, membuatku kerap meragukan untuk mengatakan apa keinginanku saat ini. Melihat bagaimana kesehatan ibu yang semakin membaik, keinginan untuk berpisah pun semakin samar.Benarkah aku sudah memaafkan Mas Angga?Atau mungkin hanya sebatas balas budi dan takut ibu kembali sakit. Entahlah, aku tidak tahu pasti. 

  • Kekasih Tetangga Suamiku    Bab 13

    Aku pernah melihat seorang artis ibu kota, namanya cukup terkenal dengan kepribadian ceria dan lucu. Guyonannya kerap membuat siapa saja tertawa, dan semua orang nyaris menyukainya tidak hanya dari kalangan orang tua, anak-anak pun menyukai kepribadiannya yang ramah dan murah senyum. Suatu hari, tanpa sengaja aku melihatnya di area parkir salah satu mall ternama. Aku ingin menyapa secara langsung, mungkin memintanya berfoto sekalian. Tapi langkahku saat itu terhenti saat melihatnya dalam keadaan marah pada salah satu kru atau mungkin asisten pribadinya. Entah apa penyebabnya, namun yang dapat kubaca dari ekspresi si artis, ia tengah marah besar. Aku mengurungkan niatku menghampirinya, kembali mundur ke tempat semula. Namun yang tidak aku ketahui selama ini, yakni sisi lain dari dirinya. Dia tidak selalu terlihat ceria seperti yang kerap dipertontonkan, bahkan dia pun marah, memaki hingga melontarkan kata-kata yang tidak enak di dengar. Peran yang dipertontonkan h

  • Kekasih Tetangga Suamiku    Bab 12

    Hana 12“Ibu senang akhirnya kalian berdua rujuk.” Ibu mengusap punggung tanganku dengan senyum lembut, sementara aku hanya terdiam dengan tatapan bingung. Rujuk?Sejak kapan?Bahkan kami tidak saling bicara, tidak juga bertemu, tidak juga saling menanyakan kabar, padahal aku tahu selama ibu sakit nyaris dua Minggu ini, Mas Angga ada di Jakarta. Tapi seolah tidak ingin menjelaskan apapun padaku, justru menyudutkan dengan memutar balikkan fakta, bahkan aku seperti tidak memiliki hak untuk bertanya, menegaskan pernikahan kami. Dan sekarang, tiba-tiba saja Ibu mengatakan rujuk.Lucu sekali, rupanya lelaki itu kembali memutar balikkan fakta. Aku menatap ke arahnya, dimana Mas Angga pun tengah menatap ke arahku. Selama hampir lima tahun mengenalnya dan aku merasa sudah sangat memahami dirinya, rupanya ada satu hal yang tidak mampu ku ketahui dari dirinya, yakni Mas Angga selalu menempatkan ibu di atas segalanya. 

  • Kekasih Tetangga Suamiku    Bab 11

    Kondisiku benar-benar membaik setelah lima hari berlalu, berkat bantuan Mbak Ros, ibu dan juga obat yang diberikan Dika hari itu. Aku memang tidak menuruti saran Dika untuk kembali datang ke rumah sakit, setelah tiga hari. Sengaja memperlambat kontrol, karena selain sudah merasa lebih baik, juga karena hari ini aku mendapat informasi Ibu sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Walaupun selama lima hari aku benar-benar menghabisi waktu di rumah dan tidak pernah mengunjungi ibu di rumah sakit, tapi aku tetap memantau kondisi ibu dari ayah. Kami masih berhubungan baik, saling berkomunikasi nyaris setiap hari. Aku juga menceritakan keadaanku saat ini pada Ayah agar tidak menimbulkan salah paham. Beruntung, ayah sangat mengerti dan ia pun terlihat begitu khawatir pada kondisiku.“Mau ke rumah sakit sekarang?” tanya Ibu, muncul bersama Adiba. “Iya.” Aku mengulurkan tangan ke arah Adiba, hendak menggendongnya.“Ibu mau ketemu Nenek dulu

  • Kekasih Tetangga Suamiku    Bab 10

    “Tulis nomormu disini,” Dika mengeluarkan ponselnya ke arahku. “Seseorang pasti ingin berkomunikasi  denganmu,” ia terlihat meyakinkan. “Untuk? Kamu sudah tahu tempat tinggalku, bawa saja kesini jika ada keperluan.” Aku menolak. Entah mengapa aku merasa untuk saat ini tidak memerlukan berkomunikasi dengan siapapun. “Temanku pasti ingin bertemu denganmu, setidaknya untuk memastikan keadaanmu setelah kecelakaan hari ini.” “Tidak perlu,” aku menggelengkan kepala. “Pak Rahmat yang lebih membutuhkan tanggung jawab dari temanmu, bukan aku.” Akhirnya aku tahu nama pa ojek, namanya Rahmat.“Aku nggak apa-apa, kakiku hanya terkilir saja. Satu Minggu pasti sembuh total dan hanya butuh istirahat saja.” Aku sudah mendapatkan pemeriksaan, dokter mengatakan bahwa luka di kakiku hanya terkilir biasa, tidak perlu mendapatkan perawatan khusus apalagi sampai dirawat di rumah sakit. Hanya

  • Kekasih Tetangga Suamiku    Bab 9

    “Tunggu disini sampai ayah kembali,” ucapnya.Aku patuh, menganggukkan kepalaku dengan tas ransel yang jauh lebih besar dari ukuran normal Aku punya dua tas ransel, satu untuk sekolah berwarna merah muda dan satu lagi ransel besar berwarna coklat tua. Tas ransel berwarna merah muda yang selalu dikenakan sejak mulai sekolah menjadi satu-satunya tas yang setiap hari dipakai, dan untuk tas ransel coklat aku tidak pernah menggunakannya. Selain ukurannya yang sangat besar, juga karena tas tersebut selalu digunakan untuk kepentingan tertentu. Misal, saat aku menginap selama satu Minggu di rumah Tante, dimana kedua orang tuaku memutuskan untuk berpisah setelah bertahun-tahun lamanya bertengkar nyaris setiap hari. Pertengkaran mereka seolah menjadi makananku setiap harinya. Setelah mereka resmi berpisah, aku memutuskan ikut bapak, sementara Ibu entah kemana. Dari Informasi beberapa orang yang mengenal ibu, dia memutuskan kerja ke luar negeri, ke n

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status