LOGINSituasinya tidak lebih membaik setelah aku memutuskan untuk pulang ke panti. Bukan hanya kondisi hatiku yang semakin kacau, juga kondisi ibu yang kian parah.
Mas Angga tidak hentinya menyudutkan ku, menganggap akulah yang telah membuat keadaan kacau. Sosok lelaki lembut, penuh perhatian dan selalu mengutamakan keluarga itu seolah berubah drastis menjadi sosok yang kerap mencari pembenaran. Banyak tuduhan dengan berbagai alasan yang dilontarkan, yang membuatku merasa sakit hati. “Inikan yang kamu mau, Hana?! Kamu ingin melihat keluargaku hancur?!” kalimat yang terus diulang berkali-kali, ditujukan padaku dengan tatapan menyala. “Apa?! Mas nggak mikir, semua ini terjadi karena apa? Karena mas yang memulai!” Satu malam berada di panti membuatku tidak tenang, apalagi setelah mendengar keadaan Ibu dari Mbak Asti, yang mengatakan kesehatannya semakin menurun saja. Aku memutuskan untuk menjenguk ibu, namun sebelum masuk kedalam kamar dimana ibu dirawat, aku bertemu mas Angga terlebih dulu yang memang sudah mengetahui kedatanganku dari Mbak Asti. “Aku sudah berusaha menjelaskan, tapi kamu selalu berkeras hati tidak mau mendengarkan. Kamu memilih kekacauan ini daripada mendengarkan penjelasanku.” serangnya. Tatapan lembut dan perlakuan manisnya tidak terlihat lagi, seolah hilang tanpa bekas. Yang tersisa hanya tatapan tajam penuh kebencian, dari seorang lelaki yang merasa telah dikhianati. Padahal, akulah yang sangat tersakiti. Melihat sosok suami yang kerap aku banggakan, ternyata berkhianat.. “Apa yang mau Mas jelaskan? Tentang hubungan kamu dan Kinan?” “Masalahnya nggak sesederhana itu, Hana.” suaranya semakin meninggi. “Aku bisa jelaskan.” Aku mengangguk samar, “Aku memang bersikeras tidak mau mendengarkan penjelasan Mas Angga, aku melakukannya bukan tanpa alasan tapi aku berusaha menjaga diriku sendiri. Apakah aku harus tahu bagaimana awal dan sampai akhirnya kalian menikah? Haruskah aku mendengar kisah manis perjalanan cinta kalian?” aku memberanikan diri menatapnya dengan tatapan tajam, hal yang tidak pernah kulakukan selama kami menikah. “Aku sama seperti manusia lainnya, aku punya hati, bahkan aku juga bisa merasakan sakit. Salah, saat aku berusaha melindungi hatiku?” tanya ku dengan tatapan penuh kecewa dan suara bergetar. Aku berusaha untuk tidak menangis, aku sudah menumpahkan segalanya lewat tangisan sejak kemarin, aku tidak ingin lelaki itu melihat sisi terpuruk dalam diriku. Walaupun aku yakin dia sudah melihatnya saat ini. “Adakah alasan untukku bertahan? Sekalinya kamu menjelaskan alasan yang kamu anggap logis dan masuk akal?” aku mengepalkan kedua tangan kuat-kuat. “Keputusanku nggak akan berubah, Mas. Pilih aku atau Mbak Kinan.” “Hana!” “Kamu bisa memilih, tapi jangan harap aku akan bersedia berbagi.” ucapku final, menatapnya tajam. “Pikirkan baik-baik.” Aku kembali melanjutkan langkah menuju ruangan dimana ibu dirawat. Jantungku seperti dihantam batu besar, sesak dan sakit. Nyaris membuatku sulit bernafas, hingga aku butuh beberapa kali menghela untuk memberikan pasokan oksigen ke paru-paru yang begitu terasa sesak dan sakit. Memukul hatiku berulang kali, berharap sesak itu hilang namun nyatanya tidak kunjung hilang ataupun berkurang, justru semakin sakit dan sesak. Sosok lelaki yang seharusnya membelaku, melindungi ku, kini justru berubah. Aku tidak mengenal sosok mas Angga sekarang, dia bukan suami yang sangat aku cintai seperti beberapa hari lalu, dimana aku bersedia memberikan seluruh hati dan duniaku untuknya, tapi yang aku temui beberapa menit lalu seperti orang asing, kasar dan egois. Aku tidak mengenalnya. Apakah cintanya untukku luntur dengan semudah itu? Hanya dalam waktu enam bulan saja, cintanya sudah bukan lagi untukku? Aku menghabiskan nyaris lima tahun dengannya dan aku sudah berhasil memberikan hatiku sepenuhnya. “Hana,,,” tiba-tiba terdengar suara ayah, rupanya sosok lelaki itu sudah berdiri tak jauh dari tempatku berdiri. “Ayah,” aku buru-buru menghapus air mata yang membasahi wajah. “Hana,” tatapan ayah terlihat sedih, entah untuk kesedihan yang kurasakan saat ini atau mungkin untuk kondisi istrinya yang tengah terbaring lemah di atas tempat tidur. “Ayah, gimana keadaan ibu?” aku sangat penasaran bagaimana keadaannya, walaupun situasi saat ini tidak lagi sama, bahkan mungkin tidak akan pernah seperti dulu lagi, tapi tetap menyayangi ibu dan ayah. “Masih belum stabil.” Ayah menggeser tubuhnya, mempersilahkan masuk. “Masuklah, temui dia. Sepertinya ibu sangat ingin bertemu denganmu.” Perlahan aku memasuki ruangan yang semuanya bernuansa putih, kamar rawat VIP di salah satu rumah sakit ternama jakarta. Hariku semakin hancur melihat ibunya yang tengah terbaru lemah tidak berdaya, lengkap dengan berbagai alat yang menempel di tubuhnya. Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya keadaan ibu akan separah itu. “Ibu,” panggilku dengan suara lirih. Ibu tidak menjawab, bahkan tidak merespon apapun. “Ibu kenapa, ayah?” tanyaku yang merasa bingung dengan kondisinya saat ini. Dua hari lalu ibu dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan tidak sadarkan diri, namun aku tidak pernah menyangka akan separah itu. “Ibu memang punya riwayat sakit jantung dan kejadian kemarin membuat kondisinya drop.” jelas ayah secara singkat. Aku memang tahu penyakit yang dideritanya, namun sudah sangat lama tidak pernah kambuh. Bahkan ibu dinyatakan sehat oleh dokter, tidak perlu mengkonsumsi obat-obatan dan hanya perlu mengatur pola hidup sehat saja. Namun kondisinya langsung berubah drastis, setelah pertengkaran ku dan mas Angga beberapa hari lalu. Aku merasa bersalah, menjadi penyebab sakitnya ibu. “Bukan salahmu,” ayah menepuk pelan pundakku, menyadari rasa bersalah yang kini mulai hadir dalam hati. “Memang sudah waktunya saja,” ayah mengusap pelan pundakku. “Ibu takut kamu pergi dari rumah, dan setelah tahu kamu meninggalkan rumah bersama Adiba, kondisinya semakin parah saja. Ibu terlalu sayang padamu, Hana.” Aku meraih satu tangan ibu, dimana suhu tubuhnya jauh lebih hangat dibandingkan suhu tubuh normal pada umumnya. “Ibu,” panggilku lagi, berharap ibu merespon dan mau membuka kedua matanya. “Kita hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk ibu, yang pasti semua ini bukan salahmu tapi memang sudah takdir kita semua. Harapannya memang tipis, tapi kita akan mengusahakan yang terbaik untuk ibu.” Air mataku kembali mengalir, melihat sosok wanita yang telah memperlakukanku dengan sangat baik selama ini. Tidak hanya setelah statusku menjadi menantu, tapi juga sebelumnya. Kami sudah mengenal satu sama lain sejak aku masih remaja, ibu menjadi donatur tetap di panti asuhan tempatku tinggal. Hubungan kami sangat dekat, hingga saat usiaku menginjak dewasa aku ditempatkan ibu di salah satu toko bunga miliknya. Aku bekerja disana, dan juga tinggal di kediaman ibu hingga akhirnya perjodohan itu terjadi. Pernikahanku dan mas Angga memang hasil dari perjodohan ibu, kebahagiaan yang kerap digadang-gadang olehnya, namun juga menjadi sumber penyakit untuknya saat rumah tangga kami tidak berjalan harmonis. Sangat disayangkan, tapi kenyataannya memang seperti itu.Aku sempat menertawakan seorang wanita yang rela bertahan dengan tidak berpisah walau sudah mengetahui suaminya berselingkuh. Aku pikir wanita itu terlalu bodoh karena tetap bertahan setelah tahu suaminya membagi cinta dan menikah lagi, namun saat ini aku sangat menyesali perbuatanku itu, setelah aku mengalami sendiri bagaimana bodohnya menjadi seorang istri yang tidak tegas dan tetap mengikuti alur rumah tangga walaupun tahu biduk rumah tangga kami tidak lagi sama. Retak dan berlubang.Aku bahkan bersedia mengikuti skenario Mas Angga hanya untuk menyenangkan ibu. Mungkin karena rasa balas budi yang masih tertanam dalam hati, membuatku kerap meragukan untuk mengatakan apa keinginanku saat ini. Melihat bagaimana kesehatan ibu yang semakin membaik, keinginan untuk berpisah pun semakin samar.Benarkah aku sudah memaafkan Mas Angga?Atau mungkin hanya sebatas balas budi dan takut ibu kembali sakit. Entahlah, aku tidak tahu pasti.
Aku pernah melihat seorang artis ibu kota, namanya cukup terkenal dengan kepribadian ceria dan lucu. Guyonannya kerap membuat siapa saja tertawa, dan semua orang nyaris menyukainya tidak hanya dari kalangan orang tua, anak-anak pun menyukai kepribadiannya yang ramah dan murah senyum. Suatu hari, tanpa sengaja aku melihatnya di area parkir salah satu mall ternama. Aku ingin menyapa secara langsung, mungkin memintanya berfoto sekalian. Tapi langkahku saat itu terhenti saat melihatnya dalam keadaan marah pada salah satu kru atau mungkin asisten pribadinya. Entah apa penyebabnya, namun yang dapat kubaca dari ekspresi si artis, ia tengah marah besar. Aku mengurungkan niatku menghampirinya, kembali mundur ke tempat semula. Namun yang tidak aku ketahui selama ini, yakni sisi lain dari dirinya. Dia tidak selalu terlihat ceria seperti yang kerap dipertontonkan, bahkan dia pun marah, memaki hingga melontarkan kata-kata yang tidak enak di dengar. Peran yang dipertontonkan h
Hana 12“Ibu senang akhirnya kalian berdua rujuk.” Ibu mengusap punggung tanganku dengan senyum lembut, sementara aku hanya terdiam dengan tatapan bingung. Rujuk?Sejak kapan?Bahkan kami tidak saling bicara, tidak juga bertemu, tidak juga saling menanyakan kabar, padahal aku tahu selama ibu sakit nyaris dua Minggu ini, Mas Angga ada di Jakarta. Tapi seolah tidak ingin menjelaskan apapun padaku, justru menyudutkan dengan memutar balikkan fakta, bahkan aku seperti tidak memiliki hak untuk bertanya, menegaskan pernikahan kami. Dan sekarang, tiba-tiba saja Ibu mengatakan rujuk.Lucu sekali, rupanya lelaki itu kembali memutar balikkan fakta. Aku menatap ke arahnya, dimana Mas Angga pun tengah menatap ke arahku. Selama hampir lima tahun mengenalnya dan aku merasa sudah sangat memahami dirinya, rupanya ada satu hal yang tidak mampu ku ketahui dari dirinya, yakni Mas Angga selalu menempatkan ibu di atas segalanya.
Kondisiku benar-benar membaik setelah lima hari berlalu, berkat bantuan Mbak Ros, ibu dan juga obat yang diberikan Dika hari itu. Aku memang tidak menuruti saran Dika untuk kembali datang ke rumah sakit, setelah tiga hari. Sengaja memperlambat kontrol, karena selain sudah merasa lebih baik, juga karena hari ini aku mendapat informasi Ibu sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Walaupun selama lima hari aku benar-benar menghabisi waktu di rumah dan tidak pernah mengunjungi ibu di rumah sakit, tapi aku tetap memantau kondisi ibu dari ayah. Kami masih berhubungan baik, saling berkomunikasi nyaris setiap hari. Aku juga menceritakan keadaanku saat ini pada Ayah agar tidak menimbulkan salah paham. Beruntung, ayah sangat mengerti dan ia pun terlihat begitu khawatir pada kondisiku.“Mau ke rumah sakit sekarang?” tanya Ibu, muncul bersama Adiba. “Iya.” Aku mengulurkan tangan ke arah Adiba, hendak menggendongnya.“Ibu mau ketemu Nenek dulu
“Tulis nomormu disini,” Dika mengeluarkan ponselnya ke arahku. “Seseorang pasti ingin berkomunikasi denganmu,” ia terlihat meyakinkan. “Untuk? Kamu sudah tahu tempat tinggalku, bawa saja kesini jika ada keperluan.” Aku menolak. Entah mengapa aku merasa untuk saat ini tidak memerlukan berkomunikasi dengan siapapun. “Temanku pasti ingin bertemu denganmu, setidaknya untuk memastikan keadaanmu setelah kecelakaan hari ini.” “Tidak perlu,” aku menggelengkan kepala. “Pak Rahmat yang lebih membutuhkan tanggung jawab dari temanmu, bukan aku.” Akhirnya aku tahu nama pa ojek, namanya Rahmat.“Aku nggak apa-apa, kakiku hanya terkilir saja. Satu Minggu pasti sembuh total dan hanya butuh istirahat saja.” Aku sudah mendapatkan pemeriksaan, dokter mengatakan bahwa luka di kakiku hanya terkilir biasa, tidak perlu mendapatkan perawatan khusus apalagi sampai dirawat di rumah sakit. Hanya
“Tunggu disini sampai ayah kembali,” ucapnya.Aku patuh, menganggukkan kepalaku dengan tas ransel yang jauh lebih besar dari ukuran normal Aku punya dua tas ransel, satu untuk sekolah berwarna merah muda dan satu lagi ransel besar berwarna coklat tua. Tas ransel berwarna merah muda yang selalu dikenakan sejak mulai sekolah menjadi satu-satunya tas yang setiap hari dipakai, dan untuk tas ransel coklat aku tidak pernah menggunakannya. Selain ukurannya yang sangat besar, juga karena tas tersebut selalu digunakan untuk kepentingan tertentu. Misal, saat aku menginap selama satu Minggu di rumah Tante, dimana kedua orang tuaku memutuskan untuk berpisah setelah bertahun-tahun lamanya bertengkar nyaris setiap hari. Pertengkaran mereka seolah menjadi makananku setiap harinya. Setelah mereka resmi berpisah, aku memutuskan ikut bapak, sementara Ibu entah kemana. Dari Informasi beberapa orang yang mengenal ibu, dia memutuskan kerja ke luar negeri, ke n







