Bab 4. Melihat Sisi Lain
Kennan meringis mengingat perkataannya beberapa hari lalu. Dia sendiri tidak yakin ucapan itu keluar dari bibirnya. Tapi, sudah telanjur basah, jadi menurut Kennan sekalian saja dibasahi sampai kuyup.
Dia sedang duduk di ruang santai rumahnya, sendirian. Ayahnya sudah kembali ke Jepang menemani ibunya yang memang lebih suka tinggal di tanah lahirnya. Jefry sendiri mendapat tugas kerja ke kantor cabang di Singapura. Dan berakhir lah dia tanpa kawan seorang pun.
Memangnya siapa lagi yang Kennan harapkan. Wilona sudah resmi bertunangan, jadi mana mungkin perempuan itu mau berlama-lama menghabiskan waktu dengannya seperti dulu.
Tempo hari, dia datang tepat beberapa menit sebelum acara pertunangan Wilona selesai. Sengaja. Karena sebelumnya, Kennan justru tidak ingin menginjakkan kaki di acara itu. Terlalu menyakitkan melihat perempuan yang dicintai, bahagia bersama laki-laki lain.
Beranjak dari duduknya, Kennan memutuskan untuk mencari angin di luar. Hari sudah sore dan terasa hangat karena matahari yang bersinar cerah. Dia memakai celana jeans selutut dan polo shirt putih. Ditambah kacamata hitam yang dia sambar dari atas meja.
Berkeliling sore bukan salah satu hobi Kennan, hanya saja demi menghabiskan waktu di hari libur, dia pun memilih opsi itu. Tak ada salahnya.
Tidak cukup jauh dari rumahnya, Kennan menghentikan laju mobilnya tiba-tiba. Di seberang jalan, di sebuah halte, berdiri seorang perempuan yang baru beberapa kali tak sengaja bertemu, namun familier diingatannya. Perempuan yang ia tawari untuk mengandung anaknya.
Kennan memutuskan untuk menghampiri Yuna, mungkin dia bisa konfirmasi perkataannya kemarin.
Membuka kaca mobil sebelah penumpang, Kennan menekan klakson mobilnya pelan, mencoba menarik perhatian Yuna. “Kamu mau pulang?” tanya Kennan, ramah. Hal yang jarang sekali dia lakukan pada orang asing.
Sedikit membungkukkan badan, Yuna melirik sang pengendara mobil yang menghalangi pandangannya. Dia sedikit berjengit kaget, namun tak lama kembali menguasai diri. “Belum,” sahutnya jujur, sembari menggelengkan kepala.
Kennan mengernyit. “Naik, aku antar,” putusnya.
Membeliak, Yuna kembali menggelengkan kepala. “Tidak perlu, saya—”
“Ayo cepat, nanti macet kelamaan berhenti,” desak Kennan memotong penolakan Yuna.
Yuna bergeming, hingga klakson mobil di belakang saling bersahutan, membuat dia segera membuka pintu mobil dan masuk.
Kennan tersenyum miring, merasa menang kali ini. Karena gadis di sebelahnya beberapa kali menolak pemberian darinya. Aneh, ‘kan. Di saat banyak gadis tergila-gila padanya yang dingin namun baik hati. Yuna justru lebih sering menghindari kontak langsung dengannya. Gadis itu seperti ketakutan melihat dirinya.
“Di mana rumahmu?” tanya Kennan, melirik Yuna sekilas sebelum kembali melihat jalanan.
Memilin ujung bajunya. Yuna menjawab kikuk, “Saya bekerja.”
“Bekerja di akhir pekan seperti ini?” kernyit Kennan. Dia kembali melirik Yuna yang sedari tadi terus saja menundukkan kepala.
Ayolah, harusnya gadis itu terkagum akan interior mobilnya yang masih baru. Harusnya bangga juga karena Yuna orang pertama yang dia izinkan masuk ke mobil sport hitam-nya ini.
Tapi, mana tahu Yuna akan hal itu. Yuna hanya gadis kampung yang kebetulan tinggal di kota bertahun-tahun.
“Tidak ada hari libur untuk saya,” sahut Yuna kalem. Menatap tepat ke manik hitam Kennan. Tak lama kemudian dia segera menundukkan kepala.
“Kenapa tidak ambil kesempatan dariku?”
“Kesempatan?” Yuna membeo. Matanya mengerjap polos. Tampak mengingat-ingat.
Kennan menggertakkan gigi. Rupanya Yuna melupakan perkataannya tempo hari. Sialan sekali perempuan itu.
“Tentang ibu bagi anak-anakku,” terang Kennan. Sedetik kemudian dia mengutuk ucapannya sendiri. Kalau sampai Jefry atau siapa pun mendengar yang ia bicarakan, mereka pasti akan tertawa terbahak tak ada habisnya.
Yuna menganga, matanya membulat polos. “Saya kira hanya bercanda.”
Kennan mengetuk stir mobilnya dengan jari. Ingin tertawa, tapi, masa iya menertawakan diri sendiri. Enggak etis.
“21 tahun, ya?” gumam Kennan. Keningnya berkerut, apa perempuan 21 tahun di zaman sekarang begitu polos seperti Yuna. Atau hanya Yuna saja, tidak dengan yang lain.
“Aku tidak pernah bercanda,” tandas Kennan akhirnya.
Yuna menelan ludah, merunduk takut ketika Kennan menajamkan ucapan. Dia memang tak jarang mendapat omelan dari atasannya. Tapi, auranya tidak semenyeramkan Kennan.
“Adikmu masih SMP bukan?”
“Dari mana Anda tahu?”
Kennan mengedikkan bahunya. “Teman kerjamu,” kilah Kennan. “Aku bisa menjamin sekolah adikmu sampai Universitas, bahkan kehidupannya akan aku cukupi.”
Yuna mencerna baik-baik kalimat yang Kennan ucapkan. “Tapi ….”
“Cukup jadi perempuan yang mengandung anakku. Apa pun yang kamu inginkan akan terpenuhi. Aku tidak menuntut apa pun kecuali seorang anak. Kamu akan sangat diuntungkan dalam hal ini.” Kennan mengembuskan napas. Sedikit banyak dia sudah mengambil perannya. Entah gadis di sampingnya akan setuju atau lari tunggang langgang darinya.
Tapi harusnya, tidak ada gadis yang menolaknya. Apalagi seseorang seperti Yuna. Beberapa hari ini, Kennan meminta seorang detektif andal untuk mengorek informasi tentang Yuna sampai ke akar-akarnya. Dia harus memastikan perempuan yang mengandung anaknya nanti adalah perempuan baik-baik yang bersih dari penyakit.
“Kenapa Anda memilih saya? Kita bahkan tidak saling mengenal. Dan juga, pasti ada banyak perempuan yang mengagumi Anda,” Yuna melirih, wajahnya memerah gugup. Seketika ketakutan menyergap tubuhnya, membuatnya menggigil tanpa alasan.
“Entahlah, hanya feeling,” aku Kennan jujur. Sampai di tahap kengawuran seperti ini saja, Kennan tidak tahu asal pikirannya dari mana. Dia yang tadinya acuh tak acuh akan permintaan ayahnya, justru tergiur karena Jefry memberi jawaban lain.
Yuna menggigit bibirnya. Dia awam untuk masalah seperti ini. Bukankah selama ini dia hanya hidup untuk bekerja, demi kebahagiaan adiknya. Menguasai kegugupannya, Yuna segera membuka suara. “Saya turun di sini saja.”
Kennan mengembuskan napas. Seperti yang dia perkirakan, Yuna akan menolak. Tapi bukan Kennan jika menyerah dengan satu-dua penolakan. Menepikan mobilnya, Kennan mengambil tempat di depan deretan ruko. Dia melepaskan genggamannya dari kemudi lalu mengambil sebuah map di jok belakang.
“Ini perihal yang aku inginkan. Kamu bisa memikirkannya lebih dulu. Dan jika ingin, kamu pun bisa menambahkan,” ucap Kennan, menyerahkan map itu pada Yuna. Rincian tentang perjanjian antara dia dan Yuna, andaikata, gadis itu mau menyetujui tanpa syarat lain.
Yuna menahan map itu dengan tangan. “Tidak perlu, saya cukup dengan apa yang saya dapatkan sekarang.”
Tersenyum, Kennan membuka map itu dan mengambil berkas di dalamnya. “Maksimal dua tahun, minimalnya satu tahun, setelah itu kamu bebas. Aku akan menjamin kehidupanmu dan adikmu, seperti yang kubilang diawal tadi.”
Yuna bergeming, dia menatap wajah Kennan yang tampak serius. Nada suara laki-laki itu lebih lembut dibanding tadi ataupun yang kemarin-kemarinnya.
“Saya tidak bisa,” Yuna mencicit, sebelah tangannya siap membuka pintu mobil.
“Aku harap kamu akan menerimanya, Yuna,” ucap Kennan, mengiringi Yuna yang keluar mobilnya. Sesaat, ada bersit kagum di benak Kennan akan keteguhan Yuna.
***
“Apa yang salah dariku?” gumam Yuna bertanya-tanya. Dia berjalan pelan menyusuri gang sempit ke arah rumah kosnya. Suasana cukup ramai, karena ini malam minggu. Banyak muda-mudi yang berkunjung ke tempat pasangannya atau sekadar berboncengan keliling kota.
Beberapa hari belakangan, dia memang cukup terkejut dengan pernyataan laki-laki asing kepadanya.
“Kennan,” Yuna menggumam nama laki-laki asing yang tampan luar biasa. Di satu saat tampak baik dan bijaksana, namun di satu saat lain mampu membuat Yuna merunduk ketakutan. Bukan Yuna tidak terpesona, lebih dari apa pun, dia tidak ingin berpaling menatap wajah tampan itu.
Namun, dia masih sadar bagaimana dirinya. Keadaannya. Pelayan seperti dirinya, mana pantas. Mana layak untuk sekadar ber-angan terlalu jauh. Dan seperti bom yang meledak di pusat kehidupannya. Kennan memberinya penawaran yang mampu membuat Yuna menahan napas tidak percaya.
Harga dirinya sedang dipertaruhkan. Juga kehidupan adiknya yang menjadi alasan dia bertahan selama ini.
Apa yang harus Yuna pilih? Harga dirinya atau masa depan adiknya?
Jauh di dalam hatinya, Yuna ingin memberi kehidupan layak pada Sita, tidak seperti hidupnya selama ini yang pontang-panting mencari sekeping rupiah. Karena biarlah dirinya saja yang merasakan asam garamnya kehidupan tanpa orang tua, tanpa sosok kuat yang membantunya bertahan.
Dan pada kesempatan ini, dia tidak boleh egois, bukan?
Yuna menetapkan hatinya. Dia harus memilih yang terbaik, meski nantinya mungkin dia yang akan tersakiti.
Hidup memang bukan melulu tentang uang. Tapi yang saat ini paling mendesaknya adalah hal itu. Dia membutuhkan secepatnya, demi sang adik yang berjuang dengan sekolahnya.
Bab 38. Rindu MenggebuPulang dengan wajah penuh lebam dan sisa-sisa tenaga. Kennan tersenyum tipis, mendapati Yuna tengah duduk bersama ibunya di gazebo.Ah, dengan ayahnya juga.Mereka bertiga tampak akrab, terbukti dengan tawa yang terdengar hangat. Membuat Kennan iri setengah mati, karena tidak diberi izin oleh Yuna untuk berdekatan.Tadi, Kennan sempat berpikiran untuk langsung masuk kamar saja dan tidur, membiarkan lebamnya menjadi kebiruan. Namun urung, ketika ide cemerlang menyambangi. Dia bisa mendekati Yuna, memanfaatkan keberadaan ayah dan ibunya. Tidak mungkin ‘kan, Yuna menatapnya dengan tatapan sengit yang akhir-akhir ini selalu menyambutnya.Masih beberapa langkah sebelum mencapai gazebo, Kennan tersentak karena jeritan ibunya.“Ya Tuhan! Kennan!”Kennan meringis. Berdiri rapuh dengan dua tangan Nana merangkum wajahnya. Mungkin sedang meneliti, t
Bab 37.2 Luapan Emosi“Ken.”Kennan tersentak. Mengerjapkan mata dan menatap Wilona bingung. Dia kemudian melirik Jefry yang hanya mengedikkan bahu. Sama tak tahunya.“Kamu sulit sekali ditemui.” Wilona menarik salah satu kursi di dekat Kennan. Tidak menyadari jika seorang laki-laki lain, jelas keberatan.“Memangnya, Kennan itu siapanya kamu, yang harus selalu stay?” Jefry mencibir. Menyuap sesendok penuh makan siangnya dan mengunyah kasar. Tatapan sinisnya ia lemparkan tepat pada perempuan yang mengganggu acara sendu Kennan.Wilona tidak peduli. Dia hanya melirik sesaat pada Jefry sebelum kembali menatap Kennan. Kali ini, jemarinya terulur menggenggam tangan Kennan yang terkulai.“Pernikahanku gagal. Aku dipermainkan. Dan sekarang kamu tampak menjaga jarak denganku. Aku butuh kamu, Ken.&
Bab 37.1 Luapan Emosi“Aku enggak tahu ….”Jefry melongo. Enggak ada angin, enggak ada hujan, Kennan tiba-tiba berucap yang tidak ia mengerti. Dia dan Kennan sedang di kantor. Seperti biasa. Memang apa lagi yang diharapkan. Berjemur di tepi pantai lalu bermain pasir dan ombak bersama beberapa perempuan.Jangan harap.Kennan bukan tipikal seperti itu. Dan meski Jefry begitu ingin berleha-leha, dia juga masih sayang perkerjaannya. Nanti ditendang keluar kantor oleh Kennan, ‘kan enggak lucu.Jefry masih menatap Kennan, lelaki itu tengah melepas kacamata bacanya dengan gerakan luar biasa pelan.“Aku enggak tahu, jika Yuna bisa mendominasi kehidupanku.” Kennan bersuara. Melanjutkan kalimat awalnya yang sengaja menggantung.Jefry tidak terkejut. Yang terjadi pada Kennan, sudah ia perkirakan sejak Kennan memba
Bab 36. PenolakanKennan kehilangan waktu untuk istirahat. Dia pulang ke rumah tengah malam, ketika semua penghuni rumahnya tengah terlelap.Selepas makan siang tadi, Kennan kembali menghadiri rapat bulanan perusahaan. Menghalangi niatannya untuk pulang lebih awal. Dan tidak beruntungnya, rapat itu berlangsung lebih dari dua jam. Dilanjut dengan pertemuan-pertemuan bisnis dengan beberapa klien.Kennan menghela napas, melonggarkan ikatan dasi di lehernya yang terasa mencekik. Dia tidak makan, tidak juga istrirahat. Hal penting itu menjadi sampingan yang tidak Kennan pedulikan.Ah, dia tidak tahu, harus lebih bersyukur atas tumpukan pekerjaannya atau tidak.Melangkahkan kaki memasuki rumah, Kennan disambut dengan keheningan. Tadi, yang membuka gerbang Pak Budi dan sekarang entah ke mana orang itu. Mungkin, menutup garasi.Lampu-lampu di dalam rumah sudah dipadamkan. Menyisakan l
Bab 35. KonspirasiKennan tengah melakukan rapat dengan beberapa petinggi perusahaan. Kembali membahas penggelapan uang yang nahasnya terjadi ketika ia pergi ke Jepang. Dia berhasil memenangkan salah satu proyek di Jepang, dan menyelesaikan masalah pekerjaan di sana. Namun perusahaannya di Indonesia justru kecolongan. Sebenarnya, Kennan sudah mencurigai satu orang yang sejak awal tampak menunjukkan gerak-gerik aneh.Tidak Kennan perkirakan, orang itu bergerak lebih cepat. Pintar mencari kesempatan, padahal Kennan hanya pergi beberapa hari.Menutup rapatnya, Kennan menyuruh semua orang keluar ruangan. Meninggalkan dia dengan kepala pening bukan kepalang. Segalanya harus ia tangani sendiri.Ayahnya sedang dalam kondisi kurang fit, yang memaksa Kennan menggunakan hatinya. Dan meminta ayahnya untuk istirahat dengan cukup di rumah.Ada banyak masalah yang tiba-tiba muncul di permukaan, padahal sej
Bab 34. Sebuah FaktaHari ini adalah hari kepulangan Kennan. Kabar yang membuat dada Yuna membuncah bahagia. Dia teramat merindukan lelaki itu.“Mbak Mini, aku saja yang membereskan kamar Tuan.” Yuna menawarkan, mengerling pada Mini yang sibuk menata makan siang di atas meja.Menurut jadwal, Kennan akan tiba malam hari. Tidak sampai tengah malam juga, mungkin sekitar pukul delapan atau sembilan.Mini tersenyum. “Sudah saya bereskan tadi pagi.”Yuna mencebikkan bibir. “Kok enggak bilang.”Pada dasarnya, Yuna hanya ingin masuk ke kamar Kennan. Demi membunuh rindu yang teramat menyiksa.“Nona bisa kok, kapan saja masuk. Mengobati rindu,” goda Mini dengan senyuman geli yang tampak jelas.Yuna mendelik. Menolehkan kepala ke kanan dan kiri, khawatir jika ada yang mendengar. “Huss ... aku niat beresin. Bukan seperti itu,&rdqu