Home / Romansa / Kekasih Tuan Muda / Bab 5. Menerima Apa adanya

Share

Bab 5. Menerima Apa adanya

Author: reinsabiila
last update Last Updated: 2024-11-11 14:43:30

Bab 5. Menerima Apa Adanya

Kennan melirik jam yang melingkar apik di pergelangan tangan kirinya. Mendesah berat ketika jarum jam menunjukkan pukul empat sore. Dia lupa makan siang, terlalu sibuk dengan berbagai pekerjaan yang lambat laun semakin menguras waktunya.

Dan perlahan, dia pun merindukan perhatian. Seharian ini tidak ada yang mengingatkannya untuk makan, apalagi mengajaknya makan bersama. Membuat dia bertambah malas untuk menyentuh makanan.

Melepas jas kantornya, Kennan menanggalkannya di atas kursi. Mejanya sudah rapi, dengan tumpukan berkas yang selesai dia periksa.

Kennan baru akan keluar ruangan, ketika sebuah ketukan di pintu mengurungkannya. Terlihat Rita dengan senyum ramahnya menyembul di balik pintu.

“Ada apa?” tanya Kennan, dia duduk di pinggiran meja dengan sebelah tangan tersimpan rapi di saku celana depan.

“Ada tamu yang ingin menemui Anda, Pak,” kata Rita, sembari membuka daun pintu lebih lebar.

Kennan yang tadinya mengernyit, seketika menyeringai tipis melihat seseorang yang berdiri di sisi belakang Rita. Dia segera menegakkan tubuh. “Suruh masuk,” perintahnya.

Yuna meringis, melangkah masuk ke dalam ruangan yang terasa mencekam baginya. Dia melirik sesaat ke arah Kennan, sebelum mengalihkan tatapannya pada Rita yang berlalu. Meninggalkan debam pintu yang menggema gendangnya.

Kennan duduk di salah satu sofa single sembari meminta Yuna untuk duduk. “Kamu sudah memutuskan?” tanya Kennan to the point. Beberapa detik setelah Yuna menyamankan duduknya.

Yuna mengangguk. Mengangkat sedikit dagunya, dan sedikit lebih berani untuk bersitatap langsung dengan manik Kennan.

“Jadi?”

“Saya menerimanya.”

Kennan tersenyum tipis. Benaknya berbangga diri. “Kalau begitu, besok kita akan menandatangani kesepakatan.”

Menggigit bibir bawahnya, Yuna mencoba merangkai kata dalam pikirannya. Lamat-lamat dia menatap Kennan dengan tatapan meragu. “Tapi—”

Menaikkan sebelah alisnya, Kennan menunggu kelanjutan ucapan Yuna. “Kamu ingin menambahi?” tanya Kennan akhirnya.

“Saya ...,” jeda. Yuna menarik napas pelan. Susah sekali kata yang sudah berada di ujung lidahnya terucap. “saya tidak ingin mengandung di luar pernikahan.”

Membeliak. Kennan menatap lekat gadis muda di depannya. Apa yang baru didengarnya, lelucon kah?

“Sepertinya kamu belum membaca rinci kesepakatan itu. Aku tidak ingin menikah atau membangun rumah tangga.” Kennan mendesahkan napas. “Tidak ada komitmen. Yang aku inginkan hanya mendapat keturunan. Jadi, karena itu aku membuat hal seperti ini.”

“Bukan, bukan seperti itu. Ini hanya pernikahan yang berbatas waktu, sama seperti yang Anda inginkan. Anda bisa langsung memutuskan hubungan sesuai yang ada dalam kesepakatan.” Yuna tersenyum, senyum buatan yang dia usahakan. Hatinya perih demi satu keputusan berat yang diambilnya.

Bukan main-main. Dia menggantungkan hidupnya pada suatu hal menggelikan. Karena demi satu keputusan itu pula, Yuna berani mengesampingkan harga dirinya. Tak lagi peduli jika dianggap rendahan ataupun murahan.

Kennan diam, dia tidak sampai berpikiran ke arah pernikahan. Baginya, mahligai pernikahan adalah komitmen seumur hidup yang dijalani dengan orang terkasih. Bukan di atas kesepakatan seperti ini.

“Kamu yakin?” tanya Kennan meragu. “Kita bisa saja menikah, tapi tentunya secara diam-diam. Tidak ada status yang kamu harapkan, murni hanya hitam di atas putih.”

Yuna mengangguk. Dia sudah memilih, dan siap untuk segala resiko yang akan diterima nantinya. Daripada dia mengandung namun tidak dengan ikatan. Biarlah seperti ini. Mungkin, bisa disebut kawin kontrak. Sejenis itulah.

Yang jelas, jika dia memiliki anak nantinya. Anak itu berasal dari sebuah ikatan pernikahan. Yuna tidak ingin menodai apa yang ayah dan ibunya ajarkan dan tanamkan dalam dirinya sejak dulu. Meski dilihat dari sudut pandang mana pun, kawin kontrak bukanlah hal lazim dalam masyarakat.

***

“Kamu mau makan apa?” Kennan membuka buku menu. Mendongak sesaat melihat Yuna yang juga sedang memilih menu.

Yuna bergeming, menelisik setiap gambar beserta nama masakannya. Selama ini, dia hanya sering mengantar makanan-makanan seperti itu, namun hitungan jari dia pernah memakannya.

“Terserah Anda saja,” sahut Yuna. Menutup buku menu dan meletakkannya di meja.

Saat ini, dia dan Kennan sedang makan sore menjelang gelap, setelah tadi menentukan tepatnya hari untuk menikah. Yuna tidak diperuntukkan mempersiapkan apa pun, karena kata Kennan, sudah ada orang yang ditunjuk mempersiapkan segalanya.

Kennan mengangguk, memesankan banyak makanan yang sekiranya Yuna suka.

“Kamu tinggal di sini dengan siapa?” tanya Kennan, membuka pembicaraan. Meski dia bisa mencari tahu dari laporan detektifnya. Basa basi begitulah. Masa iya, mau menikah tidak ada pembicaraan. Bukankah tidak ada paksaan.

“Saya tinggal sendiri. Dulu memang ada teman dari desa tinggal bersama, tapi sekarang sudah tidak lagi.”

Yuna mengingat bagaimana awal kedatangannya ke kota. Dia bekerja menjadi babysitter lebih dulu, hanya satu tahun. Sebelum memutuskan untuk keluar dan mencari pekerjaan lain. Alasannya karena pendapatannya tidaklah cukup. Dan pilihannya jatuh pada pelayan restoran, ada banyak waktu luang baginya. Sehingga dia bisa mencari pendapatan tambahan dengan bekerja sampingan.

“Kamu tinggal di rumah atau ....”

“Saya tidak punya rumah di sini. Jadi, menyewa kamar kos.”

Kennan membulatkan bibirnya. “Oh, lalu adikmu?”

Diam beberapa saat, Yuna mengukir senyuman sebelum menjawab. “Ada saudara jauh yang mau menampung kami dulu. Dan ketika cukup besar, saya memasukkan adik ke asrama, selama saya pergi untuk bekerja.”

Kennan mengernyit, nyatanya sisi lain dari kemewahan ada banyak orang yang harus menerima hidup sederhana. Seperti Yuna misalnya. Dia masih belia untuk menghidupi adiknya seorang diri. Namun, dari apa yang Kennan lihat di mata Yuna. Tidak ada lelah di bola mata cokelat gelap itu.

“Kenapa kamu mau menerima tawaranku? Setelah sebelumnya menolak mentah-mentah.”

Yuna terkekeh pelan. Menampilkan deretan gigi yang tertata apik. “Anda sedang menginterogasi saya?”

Memilih tidak menjawab, Kennan hanya mengedikkan bahunya.

“Saya realistis saja.”

Kennan menyipit, namun tak berniat berucap karena sepertinya Yuna belum selesai.

“Dari dua pilihan, antara saya yang egois untuk berjuang sendiri atau memilih berkorban demi kehidupan layak. Kalaupun saya mati-matian bekerja, belum tentu bisa membiayai kehidupan adik saya sampai kuliah.”

“Jujur sekali,” batin Kennan. Senyum miring tersungging di bibirnya.

Yuna menarik napas, sedikit sesak namun lega di ujungnya. Dia merasa seperti pengecut yang membohongi diri sendiri. Dia terlalu sempit dalam berpikir, menilai sama rata dengan apa yang dia lakukan. Bisa saja nasibnya berubah, bukan dengan jalan menjual diri seperti ini. Ada banyak pekerjaan yang menjanjikan. Kegagalan bukan lantas menjadi satu alasan untuk menyerah.

“Yuna,” panggil Kennan sedikit keras.

Tersentak. Yuna mengerjap beberapa kali demi mengembalikan kesadarannya. “Maaf,” lirihnya.

“Kamu tidak ingin makan?”

Yuna menggigit bibir bawahnya, melirik mejanya yang kali ini sudah dipenuhi banyak sekali makanan. Karena sempat melamun tadi, dia tidak menyadari pelayan yang datang meletakkan makanan. “Banyak sekali,” gumamnya.

Kennan menaikkan sebelah alisnya. “Kenapa?”

“Terlalu banyak, tidak akan habis.”

Tergelak. Kennan mengibaskan sebelah tangannya. “Tidak apa-apa. Aku tidak tahu apa yang kamu suka, jadi ya ... aku pesan semua.”

Yuna mengembuskan napas. “Saya suka semua makanan, kecuali daun bawang.”

Kennan mencibir, “Suka semua tapi ada pengecualian.”

“Memangnya salah kalau tidak suka daun bawang?”

“Tidak ada yang salah. Tapi itu bukan semua makanan kamu suka. Karena nyatanya ada satu yang kamu benci,” jelas Kennan, mengakhiri ucapannya dengan decakkan.

Yuna mendengkus lirih, “Daun bawang bau, saya tidak suka.”

Tawa Kennan tertahan. Dia memilih menggelengkan kepala tidak percaya. Baru kali ini dia melihat sisi kanak-kanak Yuna, setelah sejak pertemuan pertama gadis itu mempertahankan kedewasaan.

“Apa ini enak dimakan?” tanya Yuna menunjukkan makanan yang sedang dia sendok.

Kennan menunduk, menyahut acuh tak acuh “Itu daun bawang.”

“Tidak ada daun bawang kekuningan seperti ini,” lirih Yuna. Dia beralih mengambil makanan di piring lain, yang lebih familier di matanya.

“Kamu pelayan restoran, kenapa tidak paham jenis makanan seperti itu?” cecar Kennan. Dia mengambil gelas minumnya, menyesapnya sedikit dan kembali meletakkannya.

Yuna menghentikan kegiatan menyuapnya. “Saya hanya pelayan, bukan chef-nya. Wajar kalau tidak tahu,” bela Yuna. Tidak terima laki-laki di hadapannya mencecar pekerjaannya selama ini.

“Oh, berani sekarang.”

Yuna bergeming, menelan ludah gugup. Dia tidak bermaksud sama sekali. Hanya saja, terkadang kebawelannya memang kambuh seperti itu. Tidak diam ketika apa yang dia perjuangkan dicecar. “Maaf.”

Dan Yuna tersadar akan posisinya. Dia hanya harus menurut tanpa bantahan. Tanpa ada kesempatan untuk sekadar membela.

Kennan melirik Yuna yang menunduk dalam, ada sedikit sesal karena sempat berucap tinggi pada gadis itu. Nyatanya, Yuna memang masih terlalu polos.

“Ya sudah, cepat makan. Dan habiskan,” perintah Kennan, kali ini dia sedikit menurunkan suaranya. Terbukti dengan Yuna yang menganggukkan kepala dan segera melahap makanan di atas meja.

Kennan tersenyum. Kata Yuna, makanan yang Kennan pesan kebanyakan dan tidak akan habis, tapi nyatanya, gadis itu sudah menghabiskan separuh makanan itu sendiri.

“Jangan buru-buru, aku akan mengantarmu pulang,” ucap Kennan setelah mengusap bibirnya dengan sapu tangan.

Yuna tersenyum melihat Kennan yang sedang menatapnya. “Iya, terima kasih.”

Baru saja Yuna akan kembali melahap makanan lezat di hadapannya, tiba-tiba, tangan Kennan terulur dan mengusap sudut bibir Yuna dengan jemari.

“Kamu berantakan sekali.”

Yuna menegang di tempatnya, wajahnya memerah panas. Bukan karena ucapan Kennan, namun karena sentuhan laki-laki itu di bibirnya. Lembut sekali.

Buru-buru Yuna menundukkan kepala dan kembali fokus pada makannya. Mengabaikan degup jantungnya yang memburu seolah melompat-lompat.

Ada apa dengan jantungnya? Aneh sekali.

Yuna tidak tahu perasaan apa itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kekasih Tuan Muda   Bab 38. Rindu Menggebu

    Bab 38. Rindu MenggebuPulang dengan wajah penuh lebam dan sisa-sisa tenaga. Kennan tersenyum tipis, mendapati Yuna tengah duduk bersama ibunya di gazebo.Ah, dengan ayahnya juga.Mereka bertiga tampak akrab, terbukti dengan tawa yang terdengar hangat. Membuat Kennan iri setengah mati, karena tidak diberi izin oleh Yuna untuk berdekatan.Tadi, Kennan sempat berpikiran untuk langsung masuk kamar saja dan tidur, membiarkan lebamnya menjadi kebiruan. Namun urung, ketika ide cemerlang menyambangi. Dia bisa mendekati Yuna, memanfaatkan keberadaan ayah dan ibunya. Tidak mungkin ‘kan, Yuna menatapnya dengan tatapan sengit yang akhir-akhir ini selalu menyambutnya.Masih beberapa langkah sebelum mencapai gazebo, Kennan tersentak karena jeritan ibunya.“Ya Tuhan! Kennan!”Kennan meringis. Berdiri rapuh dengan dua tangan Nana merangkum wajahnya. Mungkin sedang meneliti, t

  • Kekasih Tuan Muda   Bab 37.2 Luapan Emosi

    Bab 37.2 Luapan Emosi“Ken.”Kennan tersentak. Mengerjapkan mata dan menatap Wilona bingung. Dia kemudian melirik Jefry yang hanya mengedikkan bahu. Sama tak tahunya.“Kamu sulit sekali ditemui.” Wilona menarik salah satu kursi di dekat Kennan. Tidak menyadari jika seorang laki-laki lain, jelas keberatan.“Memangnya, Kennan itu siapanya kamu, yang harus selalu stay?” Jefry mencibir. Menyuap sesendok penuh makan siangnya dan mengunyah kasar. Tatapan sinisnya ia lemparkan tepat pada perempuan yang mengganggu acara sendu Kennan.Wilona tidak peduli. Dia hanya melirik sesaat pada Jefry sebelum kembali menatap Kennan. Kali ini, jemarinya terulur menggenggam tangan Kennan yang terkulai.“Pernikahanku gagal. Aku dipermainkan. Dan sekarang kamu tampak menjaga jarak denganku. Aku butuh kamu, Ken.&

  • Kekasih Tuan Muda   Bab 37.1 Luapan Emosi

    Bab 37.1 Luapan Emosi“Aku enggak tahu ….”Jefry melongo. Enggak ada angin, enggak ada hujan, Kennan tiba-tiba berucap yang tidak ia mengerti. Dia dan Kennan sedang di kantor. Seperti biasa. Memang apa lagi yang diharapkan. Berjemur di tepi pantai lalu bermain pasir dan ombak bersama beberapa perempuan.Jangan harap.Kennan bukan tipikal seperti itu. Dan meski Jefry begitu ingin berleha-leha, dia juga masih sayang perkerjaannya. Nanti ditendang keluar kantor oleh Kennan, ‘kan enggak lucu.Jefry masih menatap Kennan, lelaki itu tengah melepas kacamata bacanya dengan gerakan luar biasa pelan.“Aku enggak tahu, jika Yuna bisa mendominasi kehidupanku.” Kennan bersuara. Melanjutkan kalimat awalnya yang sengaja menggantung.Jefry tidak terkejut. Yang terjadi pada Kennan, sudah ia perkirakan sejak Kennan memba

  • Kekasih Tuan Muda   Bab 36. Penolakan

    Bab 36. PenolakanKennan kehilangan waktu untuk istirahat. Dia pulang ke rumah tengah malam, ketika semua penghuni rumahnya tengah terlelap.Selepas makan siang tadi, Kennan kembali menghadiri rapat bulanan perusahaan. Menghalangi niatannya untuk pulang lebih awal. Dan tidak beruntungnya, rapat itu berlangsung lebih dari dua jam. Dilanjut dengan pertemuan-pertemuan bisnis dengan beberapa klien.Kennan menghela napas, melonggarkan ikatan dasi di lehernya yang terasa mencekik. Dia tidak makan, tidak juga istrirahat. Hal penting itu menjadi sampingan yang tidak Kennan pedulikan.Ah, dia tidak tahu, harus lebih bersyukur atas tumpukan pekerjaannya atau tidak.Melangkahkan kaki memasuki rumah, Kennan disambut dengan keheningan. Tadi, yang membuka gerbang Pak Budi dan sekarang entah ke mana orang itu. Mungkin, menutup garasi.Lampu-lampu di dalam rumah sudah dipadamkan. Menyisakan l

  • Kekasih Tuan Muda   Bab 35. Konspirasi

    Bab 35. KonspirasiKennan tengah melakukan rapat dengan beberapa petinggi perusahaan. Kembali membahas penggelapan uang yang nahasnya terjadi ketika ia pergi ke Jepang. Dia berhasil memenangkan salah satu proyek di Jepang, dan menyelesaikan masalah pekerjaan di sana. Namun perusahaannya di Indonesia justru kecolongan. Sebenarnya, Kennan sudah mencurigai satu orang yang sejak awal tampak menunjukkan gerak-gerik aneh.Tidak Kennan perkirakan, orang itu bergerak lebih cepat. Pintar mencari kesempatan, padahal Kennan hanya pergi beberapa hari.Menutup rapatnya, Kennan menyuruh semua orang keluar ruangan. Meninggalkan dia dengan kepala pening bukan kepalang. Segalanya harus ia tangani sendiri.Ayahnya sedang dalam kondisi kurang fit, yang memaksa Kennan menggunakan hatinya. Dan meminta ayahnya untuk istirahat dengan cukup di rumah.Ada banyak masalah yang tiba-tiba muncul di permukaan, padahal sej

  • Kekasih Tuan Muda   Bab 34. Sebuah Fakta

    Bab 34. Sebuah FaktaHari ini adalah hari kepulangan Kennan. Kabar yang membuat dada Yuna membuncah bahagia. Dia teramat merindukan lelaki itu.“Mbak Mini, aku saja yang membereskan kamar Tuan.” Yuna menawarkan, mengerling pada Mini yang sibuk menata makan siang di atas meja.Menurut jadwal, Kennan akan tiba malam hari. Tidak sampai tengah malam juga, mungkin sekitar pukul delapan atau sembilan.Mini tersenyum. “Sudah saya bereskan tadi pagi.”Yuna mencebikkan bibir. “Kok enggak bilang.”Pada dasarnya, Yuna hanya ingin masuk ke kamar Kennan. Demi membunuh rindu yang teramat menyiksa.“Nona bisa kok, kapan saja masuk. Mengobati rindu,” goda Mini dengan senyuman geli yang tampak jelas.Yuna mendelik. Menolehkan kepala ke kanan dan kiri, khawatir jika ada yang mendengar. “Huss ... aku niat beresin. Bukan seperti itu,&rdqu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status