Bab 3. Mengambil Langkah
Kennan mengedarkan pandangannya ke seluruh kantin, menelisik wajah-wajah perempuan cantik di kantornya. Semua terlihat ramah dan sopan dalam balutan pakaian kerja. Sedikit banyak, dia terpengaruh akan ucapan Jefry. Mencari perempuan yang bisa bekerja sama.
Tapi siapa? Lagi, pertanyaan itu menghampiri benaknya. Jika Kennan sembarang memilih perempuan, nanti keturunannya yang dipertaruhkan. Jika dia memilih perempuan di kantornya, dia akan merusak image-nya yang sempurna. Nanti, dia di cap lelaki hidung belang.
Kennan berdecak. Buntu. Usulan Jefry yang ngawur kenapa dianggap serius?
Melangkahkan kakinya menjauh dari area kantin. Kennan memilih kembali ke ruang kerjanya. Lebih baik dia menyelesaikan pekerjaannya daripada mencari hal yang masih belum masuk di nalarnya.
“Sial.” umpat Kennan dalam hati.
Jefry berhasil membodohinya dengan banyak bualan. Harusnya ucapan Jefry, Kennan anggap angin lalu. Tapi, kenapa justru semakin melekat diingatannya. Dia tergiur bualan itu. Karena tidak dipungkiri, se-kakunya Kennan sebagai laki-laki, dia tetap menginginkan seorang anak.
Baru beberapa detik Kennan menghempaskan tubuh di kursi, ponselnya berdering. Nama Wilona tertera di layarnya yang menyala dengan foto perempuan itu sebagai profil. Kennan mendesah, diraihnya benda itu dan segera menempelkannya di telinga. Menyapa dengan enggan, ketika suara Wilona memerangkap gendang telinganya.
“Kamu akan datang nanti malam, bukan?”
Kennan menggeleng namun bibirnya berucap beda. “Aku usahakan.”
“Harus ya, Ken. Aku ingin kamu menjadi saksi di hari bahagiaku.”
“Hm,” Kennan berdeham, ditambahi sebuah senyuman. Getir. Andai Wilona tahu, mungkin perempuan itu tidak akan sampai hati memberi Kennan kabar bahagianya.
Hening. Tidak ada lagi sahutan satu sama lain. Seolah masing-masing tengah berusaha membaca apa yang lawan bicaranya pikirkan.
“Kamu kenapa sih? Akhir-akhir ini seperti menghindariku. Enggak senang ya, aku tunangan.”
Hati Kennan mencelos mendengar penuturan Wilona. Selama ini, dia pikir Wilona tidak akan menyadari perubahan sikapnya. Sedikit banyak, Kennan memang berubah, namun segalanya dilakukan dengan apik. Tanpa sedikitpun celah untuk sebuah kecurigaan.
Kennan menelan ludah gugup sebelum akhirnya menyahut, “Tidak seperti itu. Aku sedang sibuk sekali.”
Wilona mendengkus cukup keras. Sengaja, agar Kennan mendengar dan tahu jika dia tidak semudah itu dibodohi.
“Ya sudah. Aku tutup. Mau siap-siap.” ketus Wilona. Tanpa menunggu balasan dari Kennan, dia menutup panggilan.
Kennan memejamkan mata. Diembuskannya napas perlahan. Masalah hati memang selalu jadi momok nomor satu baginya.
***
“Kita cari perempuan, Ken.” Jefry merangkul bahu Kennan. Mengajaknya memasuki restoran dengan semangat menggebu.
Kennan tidak menyahut sama sekali. Namun, tetap membiarkan lengan Jefry merangkul bahunya.
“Melanjutkan pembicaraan tempo hari. Aku menyimpulkan kalau ayahmu tidak akan mempedulikan dengan siapa kamu menikah ataupun punya anak,” Jefry berucap panjang. Dia mengambil duduk di kursi depan kaca, alasannya untuk memperhatikan mobil sport-nya yang siapa tahu ada tangan nakal.
“Lalu?” Kennan mengedikkan bahunya acuh tak acuh. Ayahnya memang tak pernah memberi kriteria tentang perempuan yang cocok untuknya.
Jefry menjentikkan jarinya. Tersenyum miring karena satu ide muncul di otak cerdasnya. “Kamu harus menikahi gadis sederhana, syukur-syukur dari keluarga enggak punya.”
Kennan membeliak. Menatap Jefry tajam. Percuma dia mengikuti saran Jefry, karena yang ada dia akan ketularan gila.
“Kalem, Ken. Ini demi kebaikanmu. Kalau perempuan kelas atas pastinya akan ribet atau justru kamu yang akan dimanfaatkan,” sahut Jefry cepat, melihat raut wajah Kennan yang tidak sependapat.
Kennan membuang muka, tepat pada saat itu seorang pelayan datang membawa pesanan yang bahkan belum dipesannya. Dia mengernyit, menatap piring di atas meja dan Jefry bergantian.
“Aku udah booking sebelum ke sini,” jelas Jefry. Seolah tahu apa yang akan Kennan pertanyakan.
Alih-alih menyahut. Kennan justru mengeluarkan dua lembar seratus ribuan dari dompetnya dan memberikannya pada pelayan yang baru selesai meletakkan piring di meja.
Kennan ingat, pelayan itu adalah gadis yang sempat ia tabrak pagi kemarin. Niatnya sih, untuk mengganti bungkusan makanan gadis itu yang terbuang. Karena kemarin pagi, gadis itu sudah lebih dulu kabur.
“Ini untuk mengganti—”
“Tidak perlu,” potong Yuna ramah. Sebelah tangannya menahan uang yang Kennan sodorkan.
“Ambil saja Ayuna, kamu sedang beruntung,” ucap Jefry sembari menyebut nama Yuna. Tanpa sengaja membaca name tag yang Yuna pakai di dada sebelah kiri.
Yuna tersenyum hangat. “Sekali lagi, terima kasih. Tapi itu tidak perlu.” Setelahnya, Yuna segera undur diri, masih dengan senyum tipis khasnya.
“Aneh sekali,” gumam Jefry. Dia mengikuti arah Yuna menjauh dengan tatapan menelisik.
Tidak berbeda jauh dari sahabatnya, Kennan pun sama, menatap Yuna di kejauhan.
“Mungkin, kamu harus mencari perempuan seperti itu,” lagi, Jefry bergumam.
Kepala Kennan mengangguk, entah apa maksudnya. Mengiyakan gumaman Jefry atau karena dia sedang berpikir hal lain.
Bisa saja Kennan memilih seorang pelayan untuk menjadi ibu bagi anak-anaknya. Dia bukan tipikal orang yang membeda-bedakan. Jika perempuan yang ia cintai berasal dari kalangan bawah sekalipun, Kennan mungkin akan lebih senang karena bisa memiliki.
Melupakan sedikit masalah itu, Kennan lebih memilih menyantap makan siangnya. Bukankah untuk lari dari kenyataan menyakitkan, dia butuh energi lebih.
***
“Berkas meeting buat nanti sore sudah kamu periksa?” tanya Jefry sekembalinya dia dan Kennan ke kantor.
“Sudah, ada di tas kerjaku.”
Jefry mengangguk. Namun sedetik kemudian matanya membulat. “Tas kerjamu di mana?”
Kennan yang hendak merebah di sofa, memutar bola matanya malas. “Di atas meja. Aku gabung dengan berkas meeting tadi pagi.”
“Enggak ada. Enggak ada apa pun di mejamu.”
Kennan segera menegakkan tubuh. Mengedarkan pandangan, mencari tas kerjanya yang ia lupa taruh di mana. Padahal sedetik lalu, dia yakin sekali meletakkan tasnya di atas meja.
“Sial.” umpatnya ketika tidak menemukan tas kerjanya di seluruh ruang. “Meeting jam berapa?” tanyanya gusar.
Jefry yang sedang berjongkok mencari di kolong meja menyahut singkat. “Setengah tiga.”
Kennan mengusap wajahnya. Dua puluh menit dari sekarang, dan dia masih belum mengingat di mana terakhir kali meletakkan tasnya. “Salinannya di mana?”
“Kamu sendiri yang simpan.”
Menggertakkan giginya, Kennan geram sendiri. Salinannya memang ada padanya, namun dia simpan di rumah. Dan jarak tempuh rumah sampai kantornya minimal 30 menit tanpa macet. Akhir-akhir ini dia teledor sekali, berkas meeting penting dengan klien besar saja sampai dia lupakan.
Dering telepon di meja Kennan memecah ketegangan. Kennan yang paling dekat serta merta mengangkatnya, masih dengan tampang garang.
“Apa!” seru Kennan tanpa basa-basi. Dia sedang kacau, disenggol sedikit saja. Selamat jadi pelampiasan.
“A ... ada yang ingin bertemu Bapak.” Perempuan di seberang telepon mencicit, membuat Kennan sedikit meluruhkan amarah.
“Siapa?”
“Seorang perempuan Pak, namanya Yuna.”
Kennan mengernyit, samar-samar teringat akan nama itu. “Suruh masuk saja,” ucapnya. Lalu segera memutus sambungan. Jika bukan hal penting, Kennan dengan senang hati melampiaskan amarahnya karena sudah berani mengganggu waktunya.
“Di mana Ken?” Jefry yang kelimpungan masih saja mondar-mandir di ruangan Kennan. Membuka semua laci dan lemari berkas.
Pintu ruangan diketuk dari luar, disusul dengan seruan khas perempuan.
“Masuk.” perintah Kennan, tanpa lebih dulu memastikan siapa orang di balik pintunya.
Yuna memasuki ruangan Kennan dengan kepala menunduk, dalam dekapannya ada sebuah tas kerja warna hitam.
Kennan mengernyit, begitu juga dengan Jefry ketika keduanya mengenali tas hitam itu.
“Saya hanya ingin mengantarkan tas ini.” Yuna mendongak, menyodorkan tas hitam yang dia yakini milik salah satu dari dua orang di dalam ruangan itu.
Jefry menyambar tas itu, membuka isinya dan mendesah lega setelahnya. “Kamu temukan di mana?”
“Di restoran, mungkin Anda tidak mengingat saya. Saya—”
“Ah, maaf. Siapa namamu?” potong Jefry. Saking bahagianya mendapatkan tas penting Kennan di waktu yang tepat.
“Ayuna,” sahut Kennan cepat.
Yuna dan Jefry menoleh serempak, menatap Kennan dengan dahi berlipat.
“Kamu tahu?” tanya Jefry heran.
Kennan mengedikkan bahu. Dia memakai jasnya, bersiap menghadiri meeting yang akan dimulai lima menit lagi.
“Kamu di sini. Tunggu sampai kami kembali.” tegas Kennan pada Yuna.
Belum sempat Yuna menyahut, Kennan sudah menghilang di balik pintu diikuti dengan Jefry di belakangnya.
Yuna mengembuskan napas lelah. Sangat lelah. Karena setelah menemukan tas itu, Yuna segera meminta izin pergi, menggunakan jam makan siangnya, dan membuat dia melewatkan istirahatnya. Kini, ketika dia akan kembali, dia sudah terlalu lelah. Kembali pun sudah terlambat, jam masuk kerjanya sudah dimulai.
“Silakan, Nona.” Rita masuk ke ruangan dengan nampan berisi minuman dan kue kering.
Yuna menoleh, sedikit terkejut dengan kedatangan Rita yang tiba-tiba. Tadinya dia sedang duduk di sofa, hampir saja terlupa, rebah dan tertidur.
“Apa masih lama? Saya akan pulang saja kalau begitu.”
“Tidak. Tunggu sebentar lagi. Pak Kennan menitipkan Nona pada saya. Memastikan agar tidak pulang sebelum beliau datang.”
Yuna mengernyit sesaat, sebelum kemudian mengangguk dan kembali menyandarkan punggung di sofa empuk di belakangnya. Dia jadi ngantuk sekali, kasur di kamarnya tidak ada apa-apanya dibandingkan sofa yang tengah dia duduki.
Ketika Yuna tengah terkantuk-kantuk, derap langkah seseorang kembali membuatnya terjaga.
“Anda sudah selesai?” Rita menyambut kedatangan Kennan. Perempuan itu berdiri dan segera keluar ruangan setelah Kennan menyahut ucapannya. Membiarkan bos besarnya hanya berdua dengan Yuna.
Yuna berkedip, sedikit kikuk menghadapi Kennan yang tanpa ekspresi. “Anda sudah selesai. Jadi saya boleh pulang?”
“Kamu pelayan restoran itu?” tanya Kennan mengabaikan ucapan Yuna sebelumnya. Dia mengambil tempat di sofa single tak jauh dari Yuna.
“Benar,” jawab Yuna. Beberapa kali diliriknya Kennan yang menumpukan kaki.
Kepala Kennan mengangguk. “Sudah berapa lama?”
Meski sedikit tidak mengerti dengan arah pembicaraan, Yuna tetap saja menjawab jujur. “Sekitar tiga tahun.”
Kali ini, Kennan mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas paha. Memperkirakan hal yang akan dirinya bicarakan. Terlalu cepat dan berlebihan mungkin. Tapi, tidak apa, dia akan mencoba.
“Mau pindah pekerjaan. Menjadi ibu bagi anak-anakku.”
Bab 38. Rindu MenggebuPulang dengan wajah penuh lebam dan sisa-sisa tenaga. Kennan tersenyum tipis, mendapati Yuna tengah duduk bersama ibunya di gazebo.Ah, dengan ayahnya juga.Mereka bertiga tampak akrab, terbukti dengan tawa yang terdengar hangat. Membuat Kennan iri setengah mati, karena tidak diberi izin oleh Yuna untuk berdekatan.Tadi, Kennan sempat berpikiran untuk langsung masuk kamar saja dan tidur, membiarkan lebamnya menjadi kebiruan. Namun urung, ketika ide cemerlang menyambangi. Dia bisa mendekati Yuna, memanfaatkan keberadaan ayah dan ibunya. Tidak mungkin ‘kan, Yuna menatapnya dengan tatapan sengit yang akhir-akhir ini selalu menyambutnya.Masih beberapa langkah sebelum mencapai gazebo, Kennan tersentak karena jeritan ibunya.“Ya Tuhan! Kennan!”Kennan meringis. Berdiri rapuh dengan dua tangan Nana merangkum wajahnya. Mungkin sedang meneliti, t
Bab 37.2 Luapan Emosi“Ken.”Kennan tersentak. Mengerjapkan mata dan menatap Wilona bingung. Dia kemudian melirik Jefry yang hanya mengedikkan bahu. Sama tak tahunya.“Kamu sulit sekali ditemui.” Wilona menarik salah satu kursi di dekat Kennan. Tidak menyadari jika seorang laki-laki lain, jelas keberatan.“Memangnya, Kennan itu siapanya kamu, yang harus selalu stay?” Jefry mencibir. Menyuap sesendok penuh makan siangnya dan mengunyah kasar. Tatapan sinisnya ia lemparkan tepat pada perempuan yang mengganggu acara sendu Kennan.Wilona tidak peduli. Dia hanya melirik sesaat pada Jefry sebelum kembali menatap Kennan. Kali ini, jemarinya terulur menggenggam tangan Kennan yang terkulai.“Pernikahanku gagal. Aku dipermainkan. Dan sekarang kamu tampak menjaga jarak denganku. Aku butuh kamu, Ken.&
Bab 37.1 Luapan Emosi“Aku enggak tahu ….”Jefry melongo. Enggak ada angin, enggak ada hujan, Kennan tiba-tiba berucap yang tidak ia mengerti. Dia dan Kennan sedang di kantor. Seperti biasa. Memang apa lagi yang diharapkan. Berjemur di tepi pantai lalu bermain pasir dan ombak bersama beberapa perempuan.Jangan harap.Kennan bukan tipikal seperti itu. Dan meski Jefry begitu ingin berleha-leha, dia juga masih sayang perkerjaannya. Nanti ditendang keluar kantor oleh Kennan, ‘kan enggak lucu.Jefry masih menatap Kennan, lelaki itu tengah melepas kacamata bacanya dengan gerakan luar biasa pelan.“Aku enggak tahu, jika Yuna bisa mendominasi kehidupanku.” Kennan bersuara. Melanjutkan kalimat awalnya yang sengaja menggantung.Jefry tidak terkejut. Yang terjadi pada Kennan, sudah ia perkirakan sejak Kennan memba
Bab 36. PenolakanKennan kehilangan waktu untuk istirahat. Dia pulang ke rumah tengah malam, ketika semua penghuni rumahnya tengah terlelap.Selepas makan siang tadi, Kennan kembali menghadiri rapat bulanan perusahaan. Menghalangi niatannya untuk pulang lebih awal. Dan tidak beruntungnya, rapat itu berlangsung lebih dari dua jam. Dilanjut dengan pertemuan-pertemuan bisnis dengan beberapa klien.Kennan menghela napas, melonggarkan ikatan dasi di lehernya yang terasa mencekik. Dia tidak makan, tidak juga istrirahat. Hal penting itu menjadi sampingan yang tidak Kennan pedulikan.Ah, dia tidak tahu, harus lebih bersyukur atas tumpukan pekerjaannya atau tidak.Melangkahkan kaki memasuki rumah, Kennan disambut dengan keheningan. Tadi, yang membuka gerbang Pak Budi dan sekarang entah ke mana orang itu. Mungkin, menutup garasi.Lampu-lampu di dalam rumah sudah dipadamkan. Menyisakan l
Bab 35. KonspirasiKennan tengah melakukan rapat dengan beberapa petinggi perusahaan. Kembali membahas penggelapan uang yang nahasnya terjadi ketika ia pergi ke Jepang. Dia berhasil memenangkan salah satu proyek di Jepang, dan menyelesaikan masalah pekerjaan di sana. Namun perusahaannya di Indonesia justru kecolongan. Sebenarnya, Kennan sudah mencurigai satu orang yang sejak awal tampak menunjukkan gerak-gerik aneh.Tidak Kennan perkirakan, orang itu bergerak lebih cepat. Pintar mencari kesempatan, padahal Kennan hanya pergi beberapa hari.Menutup rapatnya, Kennan menyuruh semua orang keluar ruangan. Meninggalkan dia dengan kepala pening bukan kepalang. Segalanya harus ia tangani sendiri.Ayahnya sedang dalam kondisi kurang fit, yang memaksa Kennan menggunakan hatinya. Dan meminta ayahnya untuk istirahat dengan cukup di rumah.Ada banyak masalah yang tiba-tiba muncul di permukaan, padahal sej
Bab 34. Sebuah FaktaHari ini adalah hari kepulangan Kennan. Kabar yang membuat dada Yuna membuncah bahagia. Dia teramat merindukan lelaki itu.“Mbak Mini, aku saja yang membereskan kamar Tuan.” Yuna menawarkan, mengerling pada Mini yang sibuk menata makan siang di atas meja.Menurut jadwal, Kennan akan tiba malam hari. Tidak sampai tengah malam juga, mungkin sekitar pukul delapan atau sembilan.Mini tersenyum. “Sudah saya bereskan tadi pagi.”Yuna mencebikkan bibir. “Kok enggak bilang.”Pada dasarnya, Yuna hanya ingin masuk ke kamar Kennan. Demi membunuh rindu yang teramat menyiksa.“Nona bisa kok, kapan saja masuk. Mengobati rindu,” goda Mini dengan senyuman geli yang tampak jelas.Yuna mendelik. Menolehkan kepala ke kanan dan kiri, khawatir jika ada yang mendengar. “Huss ... aku niat beresin. Bukan seperti itu,&rdqu