Bab 4
"Kamu di mana, Sayang? Kamu beneran mengantar Salwa ke kampus, kan?" Dua pertanyaan sekaligus meluncur manis dari mulut Airin saat panggilannya tersambung.
"Aku sedang di kantor, Sayang. Iya, tenang saja. Aku sudah antar Salwa ke kampus. Kamu sendiri di mana?" Regan balik bertanya.
"Ini sedang di butik," jawabnya.
"Di butik? Memangnya kamu kuat nyetir sendiri? Kamu masih sakit!" Suara Regan mendadak gusar.
"Aku tidak sakit. Aku hanya kelelahan dan sekarang kondisiku baik-baik saja," bantahnya.
"Kamu itu sakit, Sayang! Kita ke dokter nanti sore ya. Aku akan bikin janji temu dengan dokter terbaik di kota ini," bujuk Regan.
"Nggak usah, Sayang. Aku tidak sakit kok!"
"Kamu ini kenapa? Kenapa setiap kali aku menawarimu untuk memeriksakan kondisi kesehatan mu ke dokter, kamu selalu menolak? Jujur dengan dengan aku, Airin! Aku ini suamimu, bukan orang lain."
Nada suara suaminya terdengar agak kasar. Jika sudah begitu, biasanya Airin akan mengalah. Namun, untuk kali ini tidak. Dia tak akan pernah mau pergi ke dokter.
"Aku sudah jujur, Regan. Harus berapa kali lagi aku katakan kalau aku cuma kelelahan! Aku cuma butuh istirahat dan vitamin. Sudah, cuma itu aja," tandasnya kesal.
Terdengar di seberang sana suara desah yang lelah. Airin pun mendesah. Dia tahu sudah berdosa menyembunyikan semua ini dari suaminya, tetapi dia tidak punya pilihan.
"Aku tidak sakit, Regan. Jangan pernah kamu menghawatirkan keadaanku. Lebih baik kamu fokus dengan pekerjaanmu. Hari ini apa jadwal kamu?" Perempuan itu mulai mengalihkan pembicaraan.
"Nanti siang aku dan Armand akan meeting di sebuah restoran. Ada proyek besar dengan salah satu rumah produksi. Satu judul sinetron akan tayang di beberapa TV swasta yang berada di bawah naungan RVM group."
"Oh, good!" puji Airin. "Kamu memang hebat. Kamu semangat ya? Nanti sore pulang pukul berapa? Biar ketika kamu pulang, aku sudah ada di rumah." Airin tersenyum manis.
"Aku tidak tahu jam berapa pulangnya, tapi aku harap kamu bisa menjaga kesehatan. Pastikan ketika aku datang, kamu sudah dalam kondisi sehat. Bisa?
"Bisa. Akan kulakukan untukmu." Airin mengibaskan rambutnya. "Jangan lupa jemput Salwa di kampus ya."
"Salwa sekarang bersamaku di kantor, Sayang. Setelah menyerahkan tugasnya di kampus, dia ikut ke kantor," beritahu Regan.
"Oh, ya? Good job," ujar Airin. Sepasang mata dewasa itu menyorotkan cahaya kehangatan. "Selamat bersenang-senang ya."
*****
Meskipun wajahnya masih sedikit pucat, tetapi tak mengurangi paras cantik wanita dewasa berumur empat puluh lima tahun itu. Kulit tubuhnya yang bersih terawat dan wajah yang sepenuhnya menggambarkan definisi kecantikan paripurna seorang perempuan. Bibir yang tipis merah merona, hidung mancung, alis yang begitu bagus dan rambut yang indah. Namun, Airin lebih memilih mengikat rambutnya, sehingga memperlihatkan leher jenjangnya yang mulus.
Wanita itu mengenakan dress kerja berwarna coklat krem dengan panjang selutut. Sepintas penampilan Airin mirip seorang wanita di awal usia tiga puluh tahunan. Bahkan tak ada yang menyangka dibalik penampilan yang sempurna itu, tubuhnya tengah digerogoti oleh penyakit yang mematikan dan dokter telah memvonis usianya sudah tidak lama lagi.
Perempuan itu tersenyum kecut saat menyadari di tangannya masih tergenggam ponsel. Barusan dia menghubungi suaminya dan memperoleh informasi kalau Salwa bersama Regan di kantor RVM group.
"Semoga kalian tambah dekat dan akhirnya berjodoh. Sepeninggalnya diriku kelak, aku harap kalian berdua hidup berbahagia."
Airin menyandarkan tubuh rampingnya di kursi kebesarannya, menatap kosong seisi ruangan. Perempuan itu teringat masa-masa sulit dalam hidupnya, tujuh belas tahun yang lalu. Dia hamil dan kekasihnya tak mau bertanggung jawab. Dia di culik oleh keluarga kekasihnya, di buat tak sadarkan diri. Begitu sadar, dia menemukan dirinya tengah terbaring di ruang perawatan rumah sakit dengan kondisi lemah dan sakit, dengan sebuah cek di dekat bantalnya.
Airin hanya bisa meratapi buah hatinya yang diambil paksa, bahkan sebelum sempat dia terlahir dan menikmati udara dunia ini. Airin memang salah, karena bersedia menyerahkan kehormatannya kepada seorang lelaki sebelum resmi menikah. Namun, dia tidak menyangka kekasihnya bukan cuma tidak mau bertanggung jawab tetapi tega membunuh calon darah dagingnya sendiri!
Entah kenapa, saat itu dia memilih berhenti di pinggir jalan. Perhatiannya lantas tertuju kepada seorang balita cantik yang tengah berlarian di teras bangunan panti. Airin memutuskan turun dari mobil, melangkah mendekat, menyapa dan berkenalan dengan pemilik wajah imut itu dan segera masuk ke dalam.
Hari itu juga, pemilik wajah imut itu resmi berada di dalam pengasuhannya. Airin yang baru saja kehilangan calon buah hatinya merasa sangat bahagia dan menganggap anaknya sudah terlahir kembali. Mereka hidup berdua di sebuah rumah sederhana. Sementara itu, Airin memulai merintis usaha Salwa Collection.
Perempuan itu masih saja menatap seisi ruangan. Ruangan kerja mungil berwarna krem. Beberapa rak berisi dengan buku buku dan majalah mode serta kain-kain yang disampirkan di salah satu bidang dinding kian melekatkan identitasnya sebagai seorang fashion designer.
"Rin ...."
Saking asyiknya melamun, dia tidak sadar kalau Natalia sudah berdiri di hadapannya. Perempuan itu mengerjapkan matanya berkali-kali.
"Ada apa?" Perempuan dewasa seumuran dengan Airin itu menarik kursi dan duduk di hadapan Airin
Airin menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak apa-apa, Natalia. Aku baru selesai menerima telepon dari Regan." Dia mengulas senyumnya.
"Terus, dia bilang apa?" tanya Natalia.
"Biasa. Dia mengulangi keinginannya, mengajakku memeriksakan diri ke dokter," sahut Airin.
Natalia meraih tangan sahabat sekaligus atasannya itu, digenggamnya dengan hangat.
"Kenapa kamu tidak jujur saja, Rin? Terbuka itu jelas lebih baik daripada kamu merasakan penderitaan seorang diri," saran Natalia. Dia benar-benar prihatin dengan kondisi sahabatnya.
"Aku tidak sampai hati, Lia. Regan dan Salwa adalah orang-orang yang kucintai. Regan adalah lelaki yang menerima aku apa adanya, meskipun dengan kondisiku yang ...." Airin tercekat. Dia tak sanggup melanjutkan kata-katanya.
Natalia menggenggam tangan Airin semakin erat.
"Sudahlah, Rin. Tidak usah lagi mengucapkan kata-kata itu," sergahnya. "Namun, sebagai sahabat aku berharap kamu bisa jujur kepada suami atau putrimu. Terus terang ya, Rin, aku merasa bersalah karena ikut menyembunyikan penyakitmu ini. Hidupku selalu dibayang-bayangi oleh amukan Regan, andai saja dia mengetahui suatu saat nanti aku turut serta ...." Natalia menggantung ucapannya.
"Tak perlu takut, aku yang akan bertanggung jawab. Kamu akan baik-baik saja, Lia."
"Tapi kamu tidak baik-baik saja, Rin! Bagaimana kalau kamu melakukan pengobatan saja? Kemoterapi, misalnya?" usul Natalia. Matanya menyorot penuh harapan.
"Percuma, Lia. Semua sudah terlambat. Saat ini waktuku sudah tidak banyak. Biarkan saja begini. Aku cukup mengkonsumsi obat-obatan penahan nyeri saja," tolaknya.
"Tak ada manusia yang bisa memprediksi umur seseorang, Rin, meski itu dokter sekalipun!"
"Aku tahu itu, Lia. Namun, firasatku mengatakan kalau waktunya memang tidak lama lagi." Airin menggelengkan kepala. "Oh, ya, nanti kamu hubungi notaris. Aku ingin menulis surat wasiat. Butik dan semua usahaku akan aku wariskan kepada Salwa."
Setitik air bening jatuh dipipi Natalia.
Bab 5"Rin ....""Jangan menangis, Lia. Aku sudah cukup bahagia dengan keadaanku sekarang. Aku mendapatkan seorang laki-laki yang tampan, suami yang menyayangiku dan gadis cantik yang menjadi putriku. Hidupku sudah sempurna, Lia. Jikalau tidak lama lagi aku akan di panggil Tuhan, aku akan pergi dengan damai, karena semua yang kuinginkan di dunia ini sudah terpenuhi.""Kamu terlalu pesimis, Rin. Betapa banyak orang yang menderita penyakit sepertimu, bahkan yang sudah divonis dokter akan meninggal pun masih tetap hidup. Tak ada yang bisa menerka usia seseorang.""Mungkin," sahut Airin. "Namun, sebelum semua kemungkinan itu terjadi, aku harus mempersiapkan segala sesuatunya. Aku tidak mau meninggal dunia dalam keadaan tidak siap.""Aku akan membantumu." Natalia buru-buru mengangguk. Dia tahu tak punya pilihan selain mengabulkan kehendak sahabatnya ini. "Nanti aku a
Bab 6Airin tengah berada di mobil. Sepasang matanya lurus menatap ke depan, mengemudikan kendaraannya dengan tenang. Sikapnya demikian dewasa, nyaris tanpa emosi yang berlebihan. Pembawaan kalem itulah yang dulu membuat seorang Regan Abbasy Ghaisan jatuh cinta kepadanya, meskipun jarak usia keduanya cukup jauh, yaitu delapan tahun.Perempuan ini begitu lincah meliuk-liuk menembus kemacetan jalanan ibukota. Sesekali ia memperlambat laju mobilnya. Dia benar-benar sabar meskipun di jam-jam sibuk seperti ini, segala macam umpatan bisa saja terlontar dari mulut para pengemudi yang tidak sabar ingin segera sampai ke tempat tujuan.Di salah satu perempatan lampu merah, dia menurunkan kaca mobil kemudian melempar pelan uang pecahan dua puluh ribu rupiah kepada seorang pengamen yang tengah bernyanyi di pinggir jalan. Airin hanya tersenyum saat ekor matanya menangkap sang pengamen kecil y
Bab 7"Bagaimana pendapat Daddy?" balas Salwa. Dia menatap daddynya dengan berani."Kalau pendapat kamu sendiri?" Regan balik bertanya sembari terus mengamati perubahan yang mungkin terjadi di wajah little girl-nya itu."Aku tidak tahu." Salwa menggeleng. "Bagiku Daddy adalah ayahku, karena aku tidak tahu siapa orang tuaku yang sebenarnya." Gadis itu menunduk. Ujung jarinya diketuk-ketuk kan ke meja demi meredam kegelisahan di dalam hati.Melihat itu, Regan meraih tangan Salwa dan menciumnya dengan lembut. "Kita sudah dipertemukan oleh takdir. Daddy hanya ingin tahu bagaimana pandanganmu terhadap Daddy. Seperti halnya dirimu, Daddy pun merasakan hal yang sama. Kamu adalah Little Girl-nya Daddy.""Tapi bagaimana dengan mommy?" Matanya menyorot sendu. "Aku paling tidak bisa melihat mommy bersedih apalagi sampai menangis. Mommy bisa meminta apa
Bab 8"Sebaiknya kita makan dulu, Mom," saran Regan yang segera berusaha menetralkan keadaan. Lelaki itu melirik Salwa sekilas.Dia tahu, mommynya akan segera kembali melontarkan kata-kata yang serupa sebelumnya, menyayangkan keputusannya untuk menikahi Airin, wanita single parent yang dianggapnya kaum rendahan."Ada Salwa disini. Jangan sampai little girl-ku mendengar kata-kata menyakitkan dari oma-nya." Regan bermonolog. "Dia masih terlalu kecil untuk mengetahui masalah orang tuanya."Airin dan Salwa saling berpandangan. Mereka kompak menarik kursi, kemudian duduk berdampingan. Sementara Regan duduk bersama ibunya.Airin mengambil piring kemudian mengisinya dengan nasi lalu menyerahkan kepada Regan"Mommy mau aku ambilkan nasi juga?" tawar Airin."Tidak usah! Aku bisa mengambil nasi sendiri." Perempuan tua itu menggeleng.
Bab 9"Salwa yang akan meneruskannya, Mom. Sekarang dia kuliah di fakultas ekonomi dan dia yang akan menjadi pewarisku kelak!""Dia hanya anak angkat!" teriak Jihan. "Dia bukan darah dagingmu!""Dia adalah putriku, my sweet little girl!" Kali ini Regan benar-benar berteriak. "Dia pantas menjadi pewarisku dan aku yang akan turun langsung untuk membimbingnya mengelola RVM grup!""Putri dari negeri antah berantah yang sejak lahir berada di panti asuhan dan tidak tahu siapa orang tua kandungnya, itu yang kamu anggap sebagai putrimu?" Jihan balas berteriak."Cukup, Mom! Seperti apa pun latar belakang Salwa, nyatanya putriku tumbuh menjadi gadis yang cantik dan cerdas. Aku pikir orang tua kandungnya adalah orang-orang yang hebat, meskipun putaran nasib telah membuatnya sejak lahir harus berada di panti asuhan sebelum bertemu diriku!" Suara Airin bergetar. Dia merasakan dadanya mulai sesak. Sebuah lengan kokoh sontak menopang tubuh itu, membuatnya tegak berdiri."Sudahlah, Sayang. Kamu terli
Bab 10Regan mengangkat tubuh Airin dengan lembut, menggendongnya seperti bayi.Airin menyembunyikan wajahnya di dada bidang itu. "Kamu tidak pernah menyakitiku, walaupun hanya sekali. Kamu selalu membuatku bahagia," bisiknya.Mendengar bisikan istrinya, hatinya pedih. Dia tahu, Airin sakit. Akan tetapi, sakit apa? Entah bagaimana lagi caranya untuk membuat sang istri mau memeriksa kesehatannya ke dokter. Airin selalu berkilah, bahwa ia hanya kelelahan.Tak terasa dia sudah sampai di kamar mandi. Lelaki itu meletakkan tubuh istrinya hati-hati di bathtub, kemudian menyalakan kran air, menuang essence oil untuk memberikan aroma harum pada air di dalam bathtub.Regan membiarkan istrinya berendam, sementara dia sendiri keluar dari kamar mandi, melangkah menuju pembaringan. Seperti biasa, dia langsung menarik sprei yang sudah kotor, menaruhnya di keranjang cucian dan mengga
Bab 11"Aku peringatkan padamu, Airin, didik anak angkatmu itu dengan benar. Jangan sampai dia merepotkan Regan!"Kini hanya mereka berdua di ruang makan. Airin dan Jihan. Wanita tua itu memindai wajah menantu yang tak pernah dianggapnya dengan ekspresi wajah yang tak begitu jelas.Sementara itu, Airin begitu tenang meski berada di bawah intimidasi ibu mertuanya. Dia sudah terlampau terbiasa menghadapi situasi seperti ini."Regan hanya sesekali mengantarkan Salwa ke kampus, Mom, tidak setiap hari. Kebetulan saja mungkin jadwalnya hari ini tidak terlalu pagi. Mom tidak perlu membesar-besarkan masalah," jelas Airin."Tetap saja itu merepotkan, Airin. Mom tidak mau anak kesayangan Mom direpotkan oleh anak angkatmu yang tak tak jelas asal-usulnya itu.""Asal-usulnya jelas, Mom. Dia anak manusia, bukan anak kucing." Airin mencoba mencairkan suasana, meski wajah tua itu tetap dingin menatapnya."Dia memiliki orang tua kandung, hanya saja kita tidak tahu ...""Tapi siapa? Memangnya kamu perna
Bab 12Airin memacu mobilnya dengan kecepatan sedang, bahkan dia cenderung memperlambat laju mobilnya. Sebenarnya tidak ada hal penting yang membuat ia harus mendatangi butiknya sepagi ini, tetapi dia hanya ingin lepas dari mom Jihan. Wanita tua itu sungguh sangat menyebalkan. Airin tak ingin membuat masalah, lebih baik ia mengalah dan menghindar.Sesekali dia memijat keningnya. Bukan karena pusing, tetapi pikirannya dipenuhi oleh kemelut hubungannya dengan Regan.Anak hanyalah alasan Jihan untuk memisahkannya dengan Regan. Wanita tua itu tahu benar kartu as-nya. Sejak peristiwa aborsi paksa tujuh belas tahun yang lewat, rahim Airin memang bermasalah.Bukan sekali dua kali ibu mertuanya menyodorkan perempuan lain untuk dinikahi oleh lelaki yang bergelar suaminya itu, tetapi Regan selalu menolak. Terakhir Jihan meminta agar Regan mau melakukan program bayi tabung dan menitipkan ben