Share

Ketahuan

Pov Erlangga

"Lan!" panggil Budi sesaat setelah aku keluar dari kelas.

"Ada apa, Bro!" sahutku menghampirinya.

"Dicariin sama Mita. Sepertinya masih penasaran sama kamu," tutur Budi.

"Biarin aja, enggak usah diurusin," jawabku. "Ngopi, yuk!" Aku dan Budi berjalan ke arah kantin.

"Setiap ketemu pasti yang ditanyain kamu. Enggak pernah gitu nanyain kabarku," canda Budi membuatku menyungging senyum.

"Besok aku kasih tahu Mita. Suruh nanya kabar kamu," balasku membuat Budi memukul pelan tanganku.

"Ada-ada aja kamu ini, Lan. Makanya jangan tebar pesona terus. Kasihan 'kan, anak orang pada potek hatinya!" 

"Aku enggak pernah tebar pesona, Mas Bro. Mereka aja yang baperan. Dikasih perhatian dikit bilang sayang, bilang cinta."

Budi tertawa mendengar ocehanku. Suasana di kantin tidak terlalu ramai. Setelah memesan kopi kami mencari tempat duduk.

"Masa enggak tertarik sama Mita, Lan.  Mita itukan cantik, seksi, tajir pula. Banyak anak fakultas lain yang naksir dia. Kamu yang ditaksir malah ampun cueknya." 

"Banyak model kek gitu di sini, Bro," sahutku kemudian menyereput kopi yang baru saja di antarkan pelayan ke meja kami.

Budi hanya geleng-geleng menanggapi ucapanku. Kemudian ia pun menyeruput kopi miliknya.

"Erlan," panggil seseorang yang suaranya tidak asing bagiku.

"Panjang umur Mita. Baru diomongin sudah nongol," ucap Budi yang membuat Mita tersipu.

"Ada apa?" tanyaku datar.

"Temani aku makan siang, yuk," ungkap Mita sambil bergelayut manja padaku.

"Aku ada latihan siang ini. Lain kali aja, ya," kataku sambil menatapnya.

"Sebentar aja, Lan," rangeknya lagi.

"Ya sudah sana pesan makanannya. Satu jam lagi aku cabut!" seruku, membuat wajah Mita kembali sumringah.

Mita langsung beranjak untuk memesan makanan. Gadis itu memang luar biasa usahanya. Meski pun sudah beberapa kali aku tolak, ia masih saja berusaha untuk mendekatiku.

"Aku tinggal dulu, Bud," ucapku begitu melihat Mita sudah duduk di tempatnya.

"Santai aja, Lan," sahut Budi.

"Kamu enggak makan?" tanya Mita begitu aku duduk di depannya.

"Sudah tadi," jawabku kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celana.

Hari ini aku belum memberi kabar pada Delisa. Tadi pagi aku kesiangan bangun, hampir saja telat masuk kelas.

[Lagi apa Dee?]

Ternyata Delisa sedang online. Pesanku langsung dibacanya.

[Siap-siap mau pulang Kak.]

[Kok tumben jam segini sudah pulang. Memang tidak ada Dosen?]

[Enggak ada, Kak. Makanya ini sudah mau pulang.]

[Mau langsung pulang atau gimana?]

[Mau ke toko buku dulu. Cari buku untuk referensi tugas.]

[Ya, sudah. Hati-hati, ya. Kalau sudah selesai langsung pulang.]

[Ciee perhatiannya.]

Aku tersenyum membaca pesannya Delisa.

[Emang enggak mau diperhatiin?]

[Mau enggak, ya?]

[Dih, ngeledek. Untung jauh kalau dekat sudah kakak peluk, nih.]

[Ishh, enak aja main peluk. Emang aku cewek apaan!]

[Kamu ceweknya aku, kan.]

Delisa membalas dengan emot meledek. Aku jadi membayangkan ekspresi ia saat ini.

[Kalau sudah sampai rumah kabarin kakak, ya.]

[Siap, Boss!]

"Chat sama siapa, sih. Kok senang bener keknya?" tanya Mita dengan wajah cemberut.

"Seseorang yang spesial buatku," jawabku membuat Mita tersedak.

"Pelan-pelan, Mit!" Aku segera mengambilkan air minum untuknya.

"Anak fakultas mana?" tanya Mita setelah kembali normal.

"Bukan anak sini," jawabku sambil memasukkan ponsel ke dalam saku.

"Hai!" sapa seseorang yang sudah berdiri di sampingku.

"Ada apa?" tanyaku ketus.

"Jadi ini cewek baru kamu?" tanyanya  sambil tersenyum miring.

"Bukan urusanmu!" 

"Kenapa kamu enggak pernah angkat dan membalas pesanku, Kan?" Sisil mulai merajuk.

"Kita sudah enggak ada urusan apa-apa lagi. Jadi enggak usah ganggu aku lagi, paham!" ucapku pelan tapi cukup tegas.

Mita menyungging senyum. Ia pasti merasa senang karena aku mengacuhkan Sisil di depannya. Bisa tambah baper nih, cewek kalau aku terus di sini.

"Aku duluan, ya, Mit. Enggak enak sudah ditungguin yang lain untuk latihan," pamitku, tanpa menunggu jawaban Mita aku segera mengambil ransel dan beranjak meninggalkannya.

"Tapi Lan ...." 

Tanpa memedulikan panggilan Mita, aku terus saja melangkah. Sementara Sisil mengekor di belakangku.

"Erlan, aku mau bicara sama kamu!" Sisil berusaha menghentikan aku dengan menarik tanganku, tetapi aku menepisnya.

Aku menghentikan langkah dan menoleh pada Sisil.

"Jangan pernah ganggu aku lagi. Karena aku sudah muak denganmu!" Aku kembali memperingati Sisil agar jangan pernah mengganggu lagi.

"Apa gara-gara si Mita itu, kamu nolak aku?" tanyanya dengan wajah memelas.

"Bukan," jawabku singkat namun penuh penekanan.

"Lalu siapa?" tanyanya sambil menarik tanganku.

"Bukan urusanmu!" ketusku dan kembali berjalan meninggalkan Sisil.

"Lihat saja nanti, Lan. Aku bakalan bikin kamu menyesal karena sudah menolak aku!" teriak Sisil yang tak kuhiraukan sama sekali.

***

Selesai latihan aku bergegas membersihkan diri dan mengganti pakaian.

"Jalan yuk, Lan," ajak Budi ketika kami sama-sama keluar dari ruang ganti.

"Ke mana Bud?" tanyaku sembari memakai sepatu. 

"Ngopi," jawab Budi. 

"Yuk, mumpung masih sore." Aku mengiyakan ajakan Budi.

Kami pun segara meluncur ke kafe yang ada di mall.

***

Sambil menikmati secangkir kopi yang baru saja di letakkan di atas meje. Mata menangkap sosok yang tidak asing buatku. 

Itu benar Delisa dan teman-temannya.  Tadi ia pami memang akan ke toko buku. Yang membuatku terkejut adalah Delisa memakai seragam putih abu-abu. Padahal selama ini ia mengaku sebagai mahasiswi.

"Woy, biasa aja kali ngelihatnya!"  tegor Budi sambil melambaikan tangannya di depan mukaku.

Aku menyungging senyum, berusaha bersikap biasa saja, agar Budi tidak curiga.

"Sakit hati sama Sisil, bukan berarti sekarang kamu jadi pedofil, kan, Bro?" Budi mencoba menggodaku.

"Sial, memang aku cowok apaan!" umpatku sambil melempar sedotan padanya.

Kenapa Delisa harus berbohong padaku. Ini gila namanya. Selama ini aku menyukai anak di bawah umur. Ternyata aku tak cukup pandai sampai bisa terjabak dalam dunia maya.

Aku terus memperhatikan Delisa dan teman-temannya. Sepertinya mereka sudah selesai makan. Delisa harus menjalankan semuanya, aku memutuskan untuk mengikuti Delisa pulang.

"Bud, sorry, aku pulang duluan. Baru inget kalau Papa memintaku ke rumahnya sore ini," ucapku berbohong pada Budi.

"Oke, Lan. Hati-hati, salam buat orang rumah," sahut Budi.

Aku pun segera menyusul Delisa dan rombongan. Setelah mengambil sepeda motor di parkiran. Delisa dan teman- temannya masih ada di halte depan mall.

Aku memperhatikan mereka dari jarak cukup jauh. Aku tidak ingin Delisa dan teman-temannya mengetahui keberadaanku.

Setelah bus yang mereka tumpangi melaju, aku pun segera menjalankan motor. Aku tiba lebih dulu di halte dekat rumah Delisa.

Halte yang sama seperti kemarin aku mengantarnya. Setelah memarkirkan motor. Aku duduk di halte menunggu Delisa tiba.

Setelah menunggu sepuluh menit, bus yang mereka tumpangi tiba. Satu persatu mereka keluar dari bus. Delisa jadi yang terakhir keluar dari bus.

Begitu menginjakkan kaki di halte tatapan kami bertemu. Delisa nampak terkejut begitu melihatku ada di halte. Langkahnya terhenti, wajahnya seketika memerah. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status