Share

Pura-pura Sakit

"Dek bangun udah siang," panggil Bang Reno sambil menggedor-gedor pintu kamarku.

"Iya Bang, aku udah bangun, kok," sahutku sambil mengucek-ngucek mata yang masih terasa berat. Kulirik jam di meja belajar jam 05.50, membuat mataku melotot dan langsung berlari ke kamar mandi.

"Pagi Yah, Bun," sapaku pada Ayah dan Bunda di meja makan.

"Pagi Sayang," sahut mereka bersamaan.

"Buruan sarapan, abang males nungguin kalau lama, nanti bisa telat sampai kampus!" seru Bang Reno dengan wajah masam.

"Bawel banget, sih, Bang. Baru juga mau makan," sahutku sebal.

"Makanya jangan begadang giliran dibangunin aja susah," gerutu Bang Reno.

"Sudahlah Reno kasian adikmu, biar ia sarapan dulu," ucap Bunda membelaku.

"Bunda sih, kebiasaan manjain jadi begini nih anak kesayangannya," balasnya sebal.

Aku yang mendapat pembelaan Bunda tersenyum menang, dan melanjutkan sarapan dengan tenang karena Bang Reno berhenti mengomel.

"Adek berangkat dulu Bun, Ayah," pamitku sambil mencium tangan mereka.

"Hati-hati Sayang," sahut Ayah dan Bunda bersamaan.

Di depan rumah Ria sudah menunggu, setiap pagi kami selalu  berangkat bersama ke sekolah menumpang dengan Bang Reno.

"Bang pagi-pagi udah kusut aja tuh muka," sapa Ria pada Bang Reno.

"Berisik anak kecil!" sahutnya sewot.

"Biarin anak kecil yang penting cantik Bang ," sahutku santai.

Bang Reno mendengus sebal mendengar ucapan Ria. Aku tahu Bang Reno tidak marah beneran sama kami.

"Buruan masuk nanti abang telat  gara-gara nungguin dua anak kecil nyebelin," serunya sambil masuk ke mobil.

"Kita itu bukan nyebelin Bang, tapi ngangenin," sahut Ria sambil mengajakku berhay five dan tertawa bersama. Sementara wajah Bang Reno semakin masam.

***

Sampai di kelas ponsel yang ada di saku rokku bergetar. Ternyata pesan dari Kak Erlan, kemarin seharian Ia tidak memberi kabar. Aku kira Ia sudah tidak mau berhubungan lagi denganku.

[Semangat belajarnya Dee.]

Setiap membaca pesan Kak Erlan berhasil membuat wajahku memanas.

[Iya Kak. Makasih.]

[Maaf kemarin pulsa kakak habis, jadi enggak bisa hubungin kamu.]

[Iya Kak, enggak apa-apa. Sudah dulu ya, sudah bel soalnya.]

[Oke sweety.]

Tanpa membalas lagi pesannya aku segera menonaktifkan ponselku dan menyimpannya ke dalam tas.

Hari ini aku malas mengikuti upacara. Selain capek berdiri matahari pagi bersinar cukup terik. Tiba-tiba terlintas di benakku sebuah ide biar konyol.

"Sha, kamu kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Ria yang berdiri di barisan sebelah.

"Rahasia," jawabku singkat.

Lima belas menit upacara berlangsung, aku menegok ke belakang. Ada petugas PMR yang berjaga-jaga bila ada siswa atau siswi yang sakit.

"Aduh ...." lirihku saat salah satu dari mereka berjalan di sampingku.

"Kenapa Kak?" tanya petugas PMR itu. Yang ternyata masih adik kelasku.

"Kepala aku pusing," jawabku dengan suara pelan.

"Kakak istirahat aja di ruang UKS. Ayok saya bantu Kak," ucapnya tulus sambil mengulurkan tangan padaku.

"Makasih, ya," sahutku menerima ukuran tangannya kemudian berjalan mengikutinya.

Ria yang melihat kejadian ini langsung melotot kesal. Sebelum meninggalkan barisan, aku sempet menengok Ria sambil tersenyum menggodanya.

"Kakak istirahat aja di sini," ucapnya sambil membantuku rebahan di kasur yang ada di ruang UKS.

"Makasih," ucapku padanya.

Akhirnya aku bisa istirahat tanpa harus berpanas-panasan. Biasanya aku senang mengikuti upacara. Tapi hari ini aku malas.

Tiba-tiba pintu ruang UKS terbuka. Aku langsung berpura-pura tertidur.

Sepertinya ada seseorang yang berjalan ke arahku. Benar saja sebuah tangan menyentuh keningku.

Kerena penasaran, perlahan kubuka mata. Ternyata Haris ketua OSIS yang gantengnya maksimal ada di hadapanku dengan ekspresi yang tidak bisa kuduga.

"Maaf kalau aku ganggu kamu istirahat," ungkapnya dengan menatap lekat padaku.

"Enggak apa-apa kok. Sudah mendingan juga," jawabku sambil bangun kemudian duduk.

"Di minum dulu teh hangetnya biar enakan," ucapnya sambil memberikan segelas teh hangat padaku.

"Makasih Ris," jawabku kemudian menyeruput teh yang diberikan padaku.

"Aku mau balik ke kelas Ris," kataku sambil turun dari kasur.

"Aku anter, sekalian mau balik ke kelas juga," sahutnya datar kemudian kami berdua meninggalkan ruang UKS.

Sampai di kelas ternyata guru belum datang. Ria menatapku dengan wajah cemberut.

"Kenapa?," tanyaku begitu menjatuhkan tubuh di kursi.

"Males aku sama kamu, Sha. Besok kalau punya rencana pura-pura sakit tuh bilang-bilang," jawabnya merajuk.

Refleks aku menutup mulutnya dengan telapak tangan. "Kamu kira ada sakit berjamaah!"

"Ngeselin, besok kalau mau ketemuan sama Kak Erlan aku enggak mau nemenin," ancamnya sambil melengos.

"Biarin aja kalau kamu enggak mau nemenin, kamu kan enggak dapat makan gratisan lagi," sahutku sambil menggodanya.

"Bodo!" ketusnya lagi sedetik kemudian kami tertawa bersama.

Aku tahu kalau ia tidak beneran marah. Sejak kecil kami memang jarang bertengkar. Kalau pun ada selisih paham hanya sebentar. Setelah itu kami akan kembali seperti biasa.

***

"Dee, lusa mau ketemuan enggak?" tanya Kak Erlan via telepon.

"Lusa?"

"Iya, lusa tanggal merah 'kan."

Lusa memang tanggal merah, yang jadi masalah aku takut tidak diberi ijin keluar oleh Ayah dan Bunda. Karena aku memang tidak biasa keluar rumah selain dengan mereka.

Walau pun sudah sebesar ini. Ayah, Bunda dan Bang Reno selalu memperlakukan aku seperti anak kecil. Mereka selalu saja mengkhawatirkan aku bila keluar rumah.

"Nanti aku kabarin lagi, Kak. Soalnya belum ijin sama orang rumah," kataku akhirnya.

"Kakak tunggu kabarnya, ya."

"Iya, Kak."

"Dee, tahu enggak?"

"Tahu apa?"

"Kakak kangen banget sama kamu. Setiap hari rasanya ingin lihat kamu."

Mendengar ucapan Kak Erlan Wajahku kembali menghangat. Untung saja ia tidak melihat langsung.

"Sudah dulu, ya, Kak." Aku memutuskan untuk mengakhir percakapan kami.

"Kamu enggak kangen ya sama Kakak?"

"Kakak apaan sih. Sudah dulu, ya." Tanpa menunggu persetujuannya aku langsung memutuskan sambungan telepon.

Debaran jantungku sedang berlomba untuk keluar. Ponselku kembali bergetar, Kak Erlan mengirimkan sebuah pesan padaku.

[I Miss you baby.] Disertai emot kiss.

Aku langsung menutup wajah dengan bantal kerena menahan malu. Entah apa yang terjadi denganku. Cuma membaca pesan saja bisa membuatku tersipu malu.

***

"Ri, besok kamu ada acara enggak?" tanyaku pada Ria.

"Besok Angga ngajakin jalan," jawabnya.

"Enggak boleh. Besok kamu harus nemenin aku ketemuan sama Kak Erlan!" seruku lagi.

"Dih, apaan sih kamu Sha. Aku tuh kangen sama Angga, sudah sebulan enggak ketemu. Emangnya kamu doang yang kangen sama Kak Erlan," protes Ria.

"Aku enggak kangen ya sama Kak Erlan." Aku mencoba membela diri.

"Iya enggak kangen cuma rindu," sahut Ria sambil tersenyum miring.

"Sama aja itu dudul," sungutku sambil mentoyor kepalanya.

"Bagaimana kalau besok kita double date aja. Aku sama Angga, kamu sama Kak Erlan," usul Ria.

"Ide bagus tuh, tumben kamu pinter, Ri," ejekku yang kembali membuatnya mengerucutkan bibir.

"Aku tuh sudah pinter dari lahir tahu!" sahutnya merengut.

"Ya sudah besok aku kabarin lagi, ya."

"Ya, aku juga mau tanya Angga jadi apa enggak ketemuannya."

Sejujurnya aku malu, kalau harus jalan bareng Angga. Ia pasti  bakalan menggodaku, karena selama ini ia tahu aku tidak pernah dekat dengan cowok. Apa lagi kalau Angga tahu aku mengenal Kak Erlan dari dunia maya.

Mungkin ini yang dinamakan cinta tumbuh tidak pernah memilih kapan dan di mana, pada siapa kita tak pernah bisa memilih.

"Bun, besok kan aku sekolahnya libur. Boleh enggak aku sama Ria main ke mall?" Aku meminta ijin Bunda terlebih dahulu. Kerena kalau Bunda sudah setuju, Ayah dan Bang Reno pasti manut.

"Memang Adek mau ngapain ke mall?" Gantian Bunda balik bertanya.

"Main aja, Bun. Mumpung libur," jawabku sambil memberesakan piring kotor bekas makan malam kami.

"Yakin cuma main?" Bunda bertanya penuh selidik.

"Iya enggak main aja, Bun. Pasti sambil makan kan pasti lapar kalau abis makan," jawabku sambil menahan senyum.

"Anak Bunda sudah besar rupanya. Sudah main rahasia-rahasiaan sama bundanya." Bunda menatap teduh padaku.

"Enggak ada rahasia kok, Bun. Tanya saja nanti sama Ria." Aku mencoba membela diri.

"Yang penting kamu hati-hati dan bisa jaga diri. Jangan pernah nodai kepercayaan ayah dan bunda."

"Siap, Bun. Makasih, ya." Refleks aku mencium pipi Bunda kemudian berlari ke kamar untuk mengabarkan Kak Erlan dan Ria kalau aku sudah mendapatkan ijin dari Bunda.

[Kak, besok jadi ketemuannya?]

Tidak biasanya Kak Erlan lambat membalas pesanku. Tidak ada notifikasi kalau ia online. Mungkin sedang di jalan.

Sambil menunggu balasan pesan dari Kak Erlan, aku menelepon Ria.

"Hallo, apaan?" terdengar suara serak Ria.

"Ri, aku sudah dapat ijin dari Bunda. Besok jadinya jam berapa?"

"Jam 1 aja, sekalian makan siang. Soalnya pagi Angga ada jadwal pemotretan," jawab Ria pelan.

"Oke. Aku tinggal nunggu kabar dari Kak Erlan. Aku kirim pesan belum dibalas," ujarku.

"Ya sudah. Aku ngantuk, Sha. Kamu ganggu aku aja." Ria protes karena sepertinya ia memang sudah tertidur.

"Ya, maaf. Ya sudah lanjutin mimpinya putri tidur," ejekku sambil terkekeh.

"Dasar rese," gerutu Ria dan langsung memutuskan sambungan telepon.

Kak Erlan belum juga membalas pesanku. Aku menaruh ponsel di nakas dan bersiap untuk tidur. Baru saja akan terpejam ponselku berdering ternyata panggilan masuk dari Kak Erlan.

"Hallo!" sapaku setelah menggeser tombol hijau di layar ponsel.

"Maaf ya, baru baca pesan kamu. Kakak baru selesai latihan."

"Iya, enggak apa-apa."

"Besok jadi 'kan?"

"Iya, jam 1, tadi aku sudah tanya Ria."

"Kok tanya Ria?"

"Iya, aku enggak berani pergi sendiri, lagian Bunda juga enggak akan kasih ijin kalau aku pergi sendiri."

"Oke, baiklah. Tunggu di lobby jam 1 ya."

"Oke. Sudah dulu Kak. Aku ngantuk."

"Sampai besok, ya. Met istirahat sweety."

Lagi-lagi aku kembali tersipu mendengar ucapan manis Kak Erlan. Dan refleks kuputuskan sambungan teleponnya. Malam ini aku tertidur ditemani kupu-kupu yang mengitariku. Membuat hatiku berbunga-bunga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status