Share

Ketemu Lagi

Hari ini tanggal merah bertepatan dengan hari raya nyepi. Siang nanti aku dan Kak Erlan janjian ketemuan di mall.

"Pagi Bun," sapaku menghampiri Bunda yang sedang sibuk di dapur.

"Pagi, Sayang. Tumben anak bunda hari libur sudah bangun," sahut Bunda melihat sekilas padaku.

"Biasanya juga bangun pagi, Bun," kataku sembari menuangkan air yang ada di teko ke gelas.

"Bangun pagi, tapi tidur lagi!" sela Bang Reno yang baru saja muncul di dapur.

"Dih, apaan kali Abang. Nyamber aja kek pletasan," ucapku sambil menatap sebal padanya.

Bang Reno malah terkekeh sambil mengacak rambutku.

"Jadi pergi jam berapa, Dek?" tanya Bunda setelah meletakkan dua piring roti bakar di meja.

"Jam satu, Bun," jawabku.

"Mau kemana emang anak manja ini, Bun?" tanya Bang Reno sambil mencomot roti bakar.

"Dih, kepo sekali abangku ini!" Gantian aku yang menggodanya.

"Awas aja, besok enggak abang anterin ke sekolah, baru tahu rasa kamu!" ancam Bang Reno sambil menikmati roti bakarnya.

"Mau ke mall katanya sama Ria," sahut Bunda sembari meletakkan dua gelas susu.

Bunda memang seperti ini, ia selalu mempersiapkan sarapan kami. Meski pun kami sudah sebesar ini. Beliau belum mengijinkan aku melakukannya sendiri.

"Sejak kapan kamu jadi hobbi main ke mall?" tanya Bang Reno dengan tatapan menyelidik.

"Apaan sih, Bang. Aku cuma nemenin Ria kok. Sekalian cari buku bimbingan UN," jawabku santai.

"Awas kalau bohong. Besok abang ikuti ke mallnya." Ucapan Bang Reno berhasil membuatku tersedak. 

"Nah tuh, kan. Ketahuan kalau bohong," tuduh Bang Reno sambil menepuk-nepuk pelan punggungku.

"Abang rese banget, sih!"

Bang Reno malah semakin terbahak, sepertinya ia puas menggodaku. Sementara Bunda tersenyum sambil geleng-geleng melihat kelakuan kami. Yang hampir setiap pagi selalu saja berdebat. 

"Hati-hati, ya, Dek. Jangan sembarangan dengan orang yang baru kamu kenal," pesan Bunda setelah kami menyelesaikan sarapan.

"Tenang aja, Bun. Kan ada Reno yang jagain si manja ini," sela Bang Reno.

"Abang apaan, sih. Emang aku anak kecil apa!" Aku protes sebal pada Bang Reno.

"Tuh, kan, Bun. Berarti Adek mau macam-macam di mall. Buktinya enggak mau ditemenin Reno." Bang Reno masih saja memojokkanku.

"Abang ...!"

"Sudah Reno, jangan goda adikmu terus!" Potong Bunda mencoba menengahi kami.

"Dasar manja!" ucap Bang Reno sambil mengacak rambutku lalu berjalan ke depan.

"Sana mandi. Katanya mau pergi," kata Bunda setelah selesai aku mencuci piring bekas sarapan.

"Masih lama, Bun perginya," sahutku. 

"Ya sudah. Bunda tinggal ke pasar dulu. Kamu mau titip apa?" tanya Bunda lagi.

"Enggak ada, Bun," sahutku.

"Ya, sudah. Bunda pergi dulu," pamit Bunda beranjak meninggalkan dapur. 

Setelah selesai merapikan meja makan. Aku langsung ke kamar untuk mengirim pesan pada Ria.

[Woy bangun!]

[Sudah dari subuh kali bangunnya. Emangnya kamu, pasti baru melek!]

[Enak aja sudah dari tadi kali aku bangunnya.]

[Iya dari tadi, tapi belum mandi.]

[Haha, kok kamu tahu aku belum mandi.]

[Baunya kecium sampai sini.]

[Dih, sotoy! Haha.]

[Gimana, sudah dapat ijin dari Bunda?]

[Sudah dong. Angga gimana jadi ketemuan juga?]

[Jadi dong. Kan aku sama Angga juga sudah lama enggak ketemu.]

[Oke, deh. Sampai nanti, ya.]

[Sipp.]

Angga cowoknya Ria adalah kakak kelas kami dulu. Sekarang ia bersekolah di tempat yang berbeda dengan kami. Itu sebabnya mereka jarang bertemu. Ditambah lagi kesibukkannya sebagai model pendatang baru. 

Jam di kamar sudah menunjukkan pukul sebelas, aku pun segera bersiap-siap. Karena kalah telat Ria pasti ngomel. 

***

Pukul satu kurang lima belas menit, aku dan Ria sudah sampai di lobby mall. Ternyata Kak Erlan sudah ada di sana. Ia langsung tersenyum begitu melihat kami datang.

"Kakak sudah dari tadi sampainya?" tanyaku saat sudah berhadapan dengannya."

"Sekitar sepuluh menit yang lalu," jawabnya sambil melirik jam yang ada di pergelangan tangannya. "Mau kemana kita sekarang?" Kak Erlan balik bertanya.

"Tunggu sebentar Kak. Kita masih nungguin seseorang," jawab Ria.

"Oke," sahut Kak Erlan.

Tidak lama terlihat Angga memasuki mall. Begitu melihat kami, ia bergegas berjalan ke arah kami.

"Maaf, ya, aku telat," ucap Angga.

"Sudah biasa juga kamu telat, Ga," sahutku asal.

"Haha. Kan tahu sendiri jalanan ibu kota seperti apa, Sha." Angga mencoba membela diri, membuatku mendengus sebal.

"Ga, kenalin ini Kak Erlan," ucap Ria memperkenalkan Angga pada Kak Erlan.

"Hai, Kak. Angga." Angga mengulurkan tangan pada Kak Erlan.

"Erlan," sahut Erlan menyambut uluran tangan Angga.

"Kita pisah di sini, ya, Sha. Ada sesuatu yang mau aku cari sama Angga. Nanti jam empat kita ketemu di sini lagi." 

"Tapi, Ri —"

"Kak, titip, ya. Jangan dinakalin temenku," ucap Ria kali ini pada Kak Erlan.

"Siap, dijamin aman," sahut Kak Erlan sambil melirikku.

Aku memutar bola mata ingin memprotes usulan Ria, tapi ia sudah menarik tangan Angga meninggalkan kami. Setelah beberapa langkah ia menoleh mengedipkan sebelah matanya. Ternyata ia sengaja mengejekku. Lihat saja nanti pembalasanku.

"Kita mau kemana sekarang, Dee?" tanya Kak Erlan tiba-tiba.

"Aku enggak tahu, Kak," jawabku sambil menunduk.

Jujur ini adalah pertama kali aku jalan berdua dengan lawan jenis.

"Mau nonton?" tanya Kak Erlan.

Aku menggeleng pelan.

"Makan?" tanyanya lagi.

"Aku belum laper," jawabku sambil memainkan jariku yang saling bertautan.

"Apa kita mau di sini aja sampai Ria datang?" Kak Erlan menyentuh bahuku dan refleks membuatku menoleh padanya.

Aku berpikir sejenak, kira-kira kemana tempat yang bisa kami kunjungi. Setelah menemukan sebuah  tempat yang cocok aku mengajak Kak Erlan untuk mengikutiku.

"Kita main games aja di sini," ucapku begitu berhenti di arena bermain.

Kak Erlan terlihat sedikit terkejut. Hanya sesaat kemudian ia kembali bersikap biasa malah cenderung menahan senyum.

"Boleh juga," sahutnya lalu melangkah ke tempat kasir untuk membeli kartu bermain.

Kak Erlan sama sekali tidak terlihat bete karena menemani aku bermain di sini. Ia malah terlihat ikut menikmati semua permainan yang kami lakukan bersama.

"Tunggu sebentar," pamitnya kemudian meninggalkan aku.

Aku meneruskan bermain games basket sendirian. Sepuluh menit kemudian Kak Erlan kembali membawa sebotol air mineral dan popcorn. 

"Minum!" Kak Erlan memberikan botol air mineral yang sudah terlebih dahulu ia buka segelnya.

"Terima kasih," sahutku kemudian mencari tempat duduk untuk minum.

"Kakak enggak minum?" tanyaku setelah memberikan botol air mineral padanya.

"Sudah tadi," jawabnya, kemudian memberikan popcorn yang sedari tadi di pegangnya.

Setelah puas bermain Kak Erlan mengajakku makan. Setelah makan kami segera kembali ke lobby untuk menemui Ria dan Angga. Ternyata mereka sudah tiba lebih dulu.

"Dari mana aja, Sha?" tanya Ria sambil tersenyum, entah apa arti senyumnya itu.

"Main di Funworld," jawabku.

"What!" teriak Angga, sementara Ria dan Kak Erlan malah tersenyum melihat ekpresi Angga.

"Pulang yuk, udah sore," anakku setelah melihat jam di pergelangan tangan.

"Kak Erlan anterin Shasa pulang, ya," ucap Ria pada Erlan.

"Kita pulang naik bus aja, Ri," selaku.

"Aku masih ada urusan sama Ria. Kamu biar dianter Kak Erlan aja," terang Angga.

"Iya, Sha. Kak Erlan juga enggak keberatan nganterin kamu pulang. Iya, kan, Kak?"

Kak Erlan hanya mengangguk sambil tersenyum.

"Ya sudah kita duluan, ya," pamit meraka bersamaan dan berlalu meninggalkan kami.

Aku hanya bengong melihat kepergian Ria dan Angga. Kenapa mereka malah ninggalin aku sendiri. Bakalan ribet kalau orang rumah tahu aku pulang dianter orang asing.

"Ayok!" Kak Erlan jalan lebih dulu beberapa langakah di depanku.

"Nanti turunin aku di halte dekat rumah aja, Kak. Enggak usah antar sampai rumah," ucapku begitu kami sampai di parkiran.

"Memangnya kenapa?" tanya Kak Erlan heran.

"Enggak apa-apa," jawabku tanpa berani menatapnya.

"Tapi enggak sopan loh, Dee, ngantrin anak orang cuma sampai halte."

"Ya, sudah. Kalau Kakak enggak mau, aku bisa pulang sendiri." Baru saja akan berbalik, Kak Erlan terlibih dulu menahanku dengan memegang pergelangan tangan.

"Iya, kakak anterin sampai halte," ucap Kak Erlan kemudian memberikan helm padaku.

Sepanjang perjalanan kami saling diam, sesekali ia mencuri pandang melalui spion.

Di lampu merah tanpa sengaja aku menoleh ke sebelah kanan. Terlihat mobil Bang Reno. Gawat kalau sampai Bang Reno melihatku dengan Kak Erlan. 

Aku langsung menunduk menyembunyikan wajah di balik punggung tegap Kak Erlan.

"Kenapa?" tanyanya sambil menoleh padaku.

"Enggak apa-apa," jawabku pelan.

Beruntung mobil Bang Reno melaju lebih dulu. Sehingga aku bisa bernapas dengan lega. Tanpa harus dicecar banyak pertanyaan nantinya.

Sampai di halte aku segera turun dari motor Kak Erlan.

"Makasih, Kak," ucapku seraya menyerahkan helm miliknya.

"Bisa ngobrol dulu sebentar?" 

"Kan, tadi sudah ngobrol Kak."

"Tapi belum puas ngobrolnya."

"Sudah sore, Kak. Nanti orang rumah khawatir."

"Kamu belum jawab pernyataanku waktu itu!"

Aku mencoba mengingat pernyataan mana yang Kak Erlan maksud. Sialnya aku tidak juga mengingatnya.

"Pernyataan yang mana?" Akhirnya aku bertanya balik.

Kak Erlan menatap lekat padaku. Membuatku tak bisa memalingkan pandangan darinya.

"Apa kamu mau jadi pacarku?" Ucapan Kak Erlan berhasil membuat jantung berlomba seperti ingin keluar. 

Sementara wajahku terasa menghangat, pasti sekarang sudah berwarna merah karena menahan malu. 


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status