Siang mulai menukik, kaca jendela yang bening menghantarkan cahaya matahari ke wajah Binar. Membuat wajah wanita berparas ayu itu perlahan menghangat dengan teriknya matahari. Perlahan-lahan, wajah yang tadinya memucat, kini mulai berwarna kemerah-merahan. Alis tebal Binar tampak bertaut, menandakan si empunya merasa silau dengan sang mentari. Aiman yang sedari tadi duduk di sofa dekat tempat tidur Binar, mengangkat tubuh. Berdiri di samping ranjang, menghalangi sinar matahari dengan punggung tegapnya. Kedua alis Binar menjauh. Namun, Aiman memiringkan tubuhnya, kembali sinar matahari menyapa wajah Binar. Alis Binar kembali bertaut. Aiman menghalangi sinar matahari lagi, alis Binar menjauh lagi. Aiman kembali memiringkan wajahnya, alis Binar lagi-lagi bertaut. Tanpa sadar, sudut bibir Aiman tertarik ke atas. Lucu. Sadar dengan matahari yang terasa aneh, redup-terang, redup-terang itu, Binar membuka kelopak matanya yang terasa berat. Seketika Binar melotot me
Aiman membisu dengan kepala tertunduk, tangannya mengepal erat. Dia benar-benar tak berdaya dalam posisinya saat ini. Bingung, antara harus memilih cinta pada istrinya, atau tanggung jawabnya pada bayi yang dikandung oleh Binar. Melihat suaminya yang tertunduk dengan bibir yang terkatup rapat, Syeira mengangguk paham. Sang suami tidak bisa menuruti permintaannya. Dia segera mengusap semua bulir air mata yang masih membekas di pipinya secara kasar, lantas berdiri dari hadapan Aiman. Namun, lagi-lagi Aiman menahan lengan wanita tercinta itu, lalu kembali memeluknya. Napas pria itu terdengar mendengkus lelah di samping telinga Syeira. "Kumohon, ini hanya sampai anak yang dikandungnya lahir, lalu setelah itu aku akan menceraikannya. Aku tidak bisa menceraikan dia sekarang, Mama sangat menginginkan namaku ada di belakang nama anak itu nantinya."Syeira berusaha melepaskan pelukan Aiman, namun dia kalah tenaga. "Kumohon, hanya sampai anak itu l
Jam sebelas malam, Aiman baru tiba di rumah dengan membawa lima kotak martabak yang diinginkan Binar. Tentu bukan hal yang mudah untuk mendapatkan martabak telur tersebut. Aiman harus mengantri panjang, disebabkan banyaknya yang mengidolakan martabak telur paling enak di kompleks terdekat rumah Aiman tersebut. Belum lagi, para emak-emak rempong yang menatap Aiman dengan tatapan genit. Lalu ditambah suasana yang sangat panas akibat berdesakan dengan pengunjung lainnya. Aiman pulang dengan keadaan kacau balau. Kemeja kusut dengan dua kancing yang dibuka. Rambut acak-acak dengan wajah yang tampak kusut. "Kalau bukan karena bayi yang dikandungnya, ogah sekali melakukan hal ini!" gerutu Aiman menuju ke kamar Binar. Kondisi rumah kini tampak sepi. ART tak ada, Syeira pun juga. Aiman hanya berharap, Syeira tak kembali pulang ke rumah ibunya. Aiman langsung masuk ke kamar Binar, dan mendapati wanita itu telah tertidur di ranjangnya. Aiman meletakkan paper
Matahari mulai condong ke barat, seorang wanita berambut poni sebahu yang dicat maroon turun dari mobil berwarna silver. Dia mengibaskan rambutnya yang tipis dan lembut. "Hati-hati bawa barangnya!" seru Susan kepada security yang dia perintahkan mengeluarkan kopernya. Susan lantas menapaki anak-anak tangga. Tumit sepatunya yang agak runcing, menimbulkan bunyi ketukan yang keras pada lantai keramik di teras. Dia melenggang masuk ke rumah yang dihuni putrinya dengan sang suami yang telah mengkhianati putrinya itu. Suasana tampak sepi, tidak ada Syeira ataupun wanita yang telah menjadi madu putrinya. Tatapan Susan memicing, merendahkan pada asisten rumah tangga yang kebetulan lewat di hadapannya. "Maaf, Nyonya siapa yah? Dan mau mencari siapa?" tanya Iin. "Gobloook!" Susan menekan pelipisnya dengan anggun. "ART goblok! Kamu tidak mengenaliku? Aku ini maminya Syeira, majikan kamu. Nyonya besar di rumah ini!" Suara Susan langsung mem
"Silahkan turun, Tuan Putri." Aiman membukakan pintu mobil untuk Syeira, turun di halaman rumah mereka. Setelah menghabiskan waktu berduaan makan malam di luar, rona wajah Syeira tampak berubah seratus delapan puluh derajat dibanding tadi siang. Sekarang, Syeira tanpa berseri-seri dengan senyuman yang selalu merekah. Tentu akan seperti itu, mereka bukan hanya saja makan malam biasa, tetapi makan malam romantis. Aiman mem-booking sebuah cafe hanya untuk makan malam romantis mereka. Aiman juga menyewa sebuah pemain biola untuk membuat suasana tampak syahdu. Tidak lupa mereka menghabiskan waktu untuk berdansa bersama. Kini, waktu sudah lewat tengah malam baru mereka sampai ke rumah. "Makanan di cafe tadi enak-enak semua yah, Mas. Apalagi dessert-nya, sangat menggoyang lidah." Syeira mengalunkan tangan di lengan Aiman sambil menyandarkan kepalanya. Mereka berjalan memasuki rumah. "Aku juga bisa menggoyang lidahmu." Aiman menyahut sa
Tirai jendela yang disibakkan oleh dokter muda bermata cokelat itu, membuat sinar mentari yang hangat masuk ke ruang rawat Binar. Cahayanya langsung membuat si empu kamar terganggu dengan silaunya. "Bangun! Aku tau, kamu sudah sadar. Hanya saja, mungkin masih sangat lelah dan lemah. Kamu harus melawan rasa lelah itu, agar bisa bangkit dan berjuang kembali. Perjalananmu masih sangat jauh." Kata-kata motivasi yang diutarakan Affandi membuat Binar sedikit demi sedikit membuka kelopak matanya yang terasa berat. Bibir yang selalu tampak merah muda itu, kini tampak hilang warnanya dan kering. Bibir Binar begerak-gerak dengan mata yang menyipit ke sana kemari. Lalu, terhentilah pandangannya pada atas nakas, di sebuah gelas yang terisi air penuh di sana. Tangan Binar yang dijalari oleh selang infus, perlahan terangkat. Sedikit gemetar, hendak menggapai gelas kaca itu. "Butuh bantuan, Nona?" Affandi melangkah mendekat. Mengambil gelas itu, lalu me
Aiman sedikit mengernyit melihat ekspresi adiknya yang menegang. Pria yang masih mengenakan setelan jas kantoran dengan tangan yang memegang paper bag itu, melangkah mendekat. Sebelah alisnya terangkat. "Ada apa?" Aiman menatap serius. Affandi mengusap tengkuknya seraya mengalihkan pandangan. Wanita yang masih mengejarnya tadi, kini telah berbalik badan, pergi entah ke mana. Affandi sedikit mengembuskan napas lega, jikalau tidak, dia pasti akan merasa sangat malu sekali, sebab telah mengangap istri abangnya sebagai istri sendiri. "Hey!""Ah, iya, Bang. Kakak Ipar ada kok di kamarnya." Affandi yang terkejut dengan tepukan Aiman di pundaknya langsung berucap cepat. Alis Aiman menyatu. "Aku tidak menanyakan keberadaan Binar?" ucap Aiman bingung. Namun, dalam sepersekian detik, wajah itu berubah serius dengan tatapan tajam. "Jangan bilang kalau Binar hilang?"Affandi segera menggeleng. "Tidak, Bang. Kakak Ipar ada di kamarny
Aiman terkesiap melihat Binar yang tersedak dengan wajah memerah. Sangat terlihat kesakitan dalam batuknya. Aiman meraih gelas yang ada di atas nakas, namun .... "Astaga, kosong!" Aiman panik bukan main, sedangkan Binar terus terbatuk dengan wajah memerah. Bahkan, air matanya meluncur efek batuk tersebut. "Sabar yah, aku cari air dulu!" ucap Aiman langsung berlari keluar. Di depan pintu kamar, Aiman menoleh ke sana kemari, mencari-cari keberadaan adiknya--Affandi. "Di mana anak itu? Giliran dibutuhin malah hilang!" gerutu Aiman. Terpaksa dia berlari ke kantin rumah sakit, yang jaraknya lumayan jauh dari ruang rawat Binar. Aiman berlari laksana maling yang dikejar polisi. Sesampainya di kantin, Aiman langsung menyambar sebotol air mineral, dan memberikan uang merah tanpa menunggu kembaliannya. Meninggalkan si ibu pemilik kantin yang berseru agar dia mengambil kembaliannya. Napas Aiman ngos-ngosan meraih tangkai pintu ru