Share

Bab 3: Menutupi Kebenaran

Mata bulat Binar mendongak, memandang salah satu pohon yang berbuah lebat yang membuat dia menelan ludah berkali-kali. Binar mencoba melompat, menggapai ranting buah asam di atas sana. Entah mengapa, dia sangat teringin sekali buah asam yang di mana ketika memakannya akan membuat gigi terasa geli.

"Tinggi sekali!" Binar mendengkus kasar, tubuh mungilnya kepayahan menggapai ranting pohon asam yang lumayan tinggi itu.

"Tunggu, tunggu, tunggu!" Binar menghadang beberapa bocah kecil laki-laki yang baru saja pulang bermain bola di lapangan.

"Ada apa, Kak?" tanya salah satunya.

"Emm, minta tolong ambilin Kakak buah asamnya, donk." Pupil mata Binar membesar, menatap anak-anak kecil itu dan buah asam di atas sana. Memandanginya saling bergantian.

"Siap, Kak Binar Cantik!"

Mereka antusias menjawab sambil menjajarkan jemari tangannya di kening. Detik berikutnya, mereka sontak saling naik di pohon asam tersebut. Bahkan terlihat saling berlomba, siapa yang lebih cepat mengambilkan buah asamnya untuk kakak cantik di bawah sana. Binar memang sangat dekat dengan anak-anak kecil di sekitarnya, menganggap mereka sebagai teman, begitu pula sebaiknya. Sikap Binar yang ceria, lembut, dan keibuan membuat para anak-anak kecil itu suka dekat-dekat dan berteman dengan Binar.

"Tangkap, Kak!" seru bocah di atas sana.

Binar langsung menengadahkan tangannya ke atas, menyambut buah asam yang didaratkan ke arahnya. Selarik senyum bahagia mengambang di parasnya yang ayu, bisa menikmati buah-buah yang seolah membuat dahaganya menghilang.

Dari kejauhan, tanpa Binar sadari, ibunya sedang memerhatikan dia dengan serius. Jujur saja, ibunya yang bernama Warsih itu mulai mencurigai perubahan yang terjadi pada putri sulungnya itu. Terlebih lagi ketika mendengar spekulasi adiknya Binar, yang menduga kalau kakaknya itu sedang hamil sebab akhir-akhir ini suka sekali makan-makanan yang asam. Tentu Warsih menyangkal keras apa yang dilayangkan oleh putri bungsunya itu, sebab dia tahu si adik sangat suka sekali berpikiran negatif juga suka bermasalah dengan kakaknya itu. Terlebih lagi, dia sama sekali tak melihat atau mendengar Binar yang mual-mual.

Hanya saja, Warsih yang sejatinya seorang ibu, mulai dihinggapi sedikit rasa curiga mengingat Binar yang tak penah bolong salatnya bulan-bulan belakangan ini. Tubuh putri sulungnya itu pun terlihat tampak agak kurus sekarang, dengan wajah yang tak berseri lagi, pucat seperti mayat.

"Beli berasnya, Bu!" Suara pembeli membuyarkan lamunan Warsih.

"I-iya, mau berapa kilo?" Wanita tua berdaster cokelat itu segera menepis pikiran buruk tentang putri sulungnya itu. Menyankinkan diri jika apa yang timbul di pikirannya itu, hanyalah spekulasi bodoh akibat terhasut sama ucapan putri bungsunya.

Malam telah tiba, Binar yang sedang terpekur di dalam kamar sambil memakan satu per satu buah asam tadi siang, bergegas keluar kamar kala mendengar suara azan isya. Ketika memasuki kamar mandi, langkah Binar terhenti mendengar panggilan ibunya dari belakang.

"Iya, ada yang bisa Binar bantu, Bu?" Wanita berambut panjang itu menyanggul rambut panjangnya di atas kepala.

Warsih bingung, hendak meluncurkan pertanyaan yang mengganjal pikirannya atau tidak.

"Ya sudah, kalau tidak ada, Bu. Binar mau ambil wudhu dulu." Binar berbalik, memunggungi ibunya.

"Kamu sudah datang bulan, bulan ini?"

Pertanyaan Warsih membuat langkah Binar terhenti. Mata wanita itu melebar mendengar pertanyaan sang ibu. Untung Binar sudah terlebih dahulu membelakangi ibunya, jadi raut keterkejutan yang sangat kentara itu, dapat disembunyikannya dari Warsih. Binar tahu, sang ibu pasti akan curiga juga akhirnya.

"S-sudah kok, Bu. Tapi cuman sebentar saja, dua hari doang. Tepat saat ibu bantu-bantu bikin kue di acara hajatan kemarin." Binar mencari alasan yang paling masuk akal. Sebab sang ibu memang sangat jarang sekali pulang ke rumah dua hari itu, sibuk membantu orang yang punya hajatan.

Kelegaan langsung menjalar di hati Warsih mendengar jawaban sang putri. Syukurlah, apa yang dia pikirkan sangatlah tidak betul. Dia yakin, ajaran baiknya tentang menjaga kehormatan sebagai wanita, pasti didengarkan oleh putri-putrinya.

Binar masuk ke kamar mandi, menyalakan air keran. Lantas merosotlah tubuh mungil itu di dinding. Menangis tanpa suara, menyesali perbuatannya yang sudah membohongi sang ibu.

"Binar memang anak yang sangat berdosa. Binar bukan saja telah menjadi putri yang kotor, tetapi juga Binar telah menjadi putri yang suka berbohong. Maafin Binar, Bu. Maafin Binar." Wajah yang dibanjiri air mata itu ditenggelamkan di antara kedua pahanya. Menangis tersedu-sedu.

Memang hanya itu yang mampu gadis lemah itu lakukan. Mau meminta pertanggung jawaban sang pria? Dia saja bahkan tak tahu siapa nama pria itu. Belum tentu juga pria yang bertampang kaukasoid lengkap dengan setelan jas itu, akan menerima Binar sebagai istri, yang dasarnya hanya seorang wanita miskin, tinggal di gang sempit di rumah orang tuanya yang sangat sederhana.

***

Keesokan pagi harinya, rumah sederhana itu kehadiran tamu seorang pemuda berkulit hitam dengan kemeja lengan pendek. Pemuda itu datang bersama ayahnya, mereka duduk di ruang tamu yang berurukan 2×5 meter. Pandangan sang pemuda berlari ke arah dapur, mencari sosok wanita berambut panjang yang berniat ingin dia lamar hari ini.

Binar hadir setelah dipanggil Warsih beberapa kali. Ketika pandangan wanita itu terpaut pada si pemuda, Binar langsung membuang pandangan. Binar paham betul apa niat pemuda itu ke rumahnya. Pemuda yang terkenal paling kaya di gang ini, pernah menyatakan suka pada Binar beberapa bulan yang lalu dan akan segera melamarnya.

"Yang lainnya pada ke mana, Bu?" tanya pemuda itu basa-basi sambil melirik Binar sekilas.

"Si Bapak lagi kerja, adiknya Binar masih tidur, kecapen mengerjakan tugas kampusnya semalam. Silahkan!" Warsih mempersilahkan tamunya untuk minum.

Setelah hening beberapa saat, ayah sang pemuda menghantarkan apa niat baik mereka sebab berkunjung di pagi hari ini. Ayah si pemuda itu mengatakan ingin melamar Binar untuk putra bungsunya.

"Tidak, aku tidak bisa!" Binar menjawab cepat. Bukannya tidak mau menerima lamaran pemuda itu, tetapi Binar sadar siapalah dirinya saat ini. Dia hanya seorang wanita ternoda, yang telah memberikan mahkotanya pada seorang pria asing. Dan hal itu tentunya tidak bisa disembunyikan pada calon suaminya. Pasti sang pria yang akan menikahinya akan mengetahui hal itu juga nantinya. Binar takut hal itu sampai ketahuan dan malah menjadi penghinaan besar bagi dirinya.

"Maaf, tapi aku benar-benar nggak bisa. Sekali lagi, maaf." Usai mengatakan hal itu, Binar segera berlalu ke belakang sambil membekap mulutnya sendiri. Meninggalkan para tamu yang melongo dengan wajah memerah. Begitu pula dengan sang ibu.

Warsih datang ke kamar Binar dengan muka agak kesal. Namun, sebagai ibu yang baik dia tak menentang keputusan sang putri. Lagi pula, pemuda dan ayah pemuda tadi selain kaya juga terkenal sombong. Jadi, Warsih tidak telalu rugi kehilangan lamaran baik seperti tadi.

"Binar, tolong bantuin Ibu masak di dapur, yuk!" Warsih mengajak putrinya yang sedang berbaring di ranjang sambil membelakangi pintu itu.

Binar yang mendengar suara sang ibu, langsung mengusap lelehan air mata. "Baik, Bu," jawabnya berlalu bangun.

Kedua anak dan ibu itu saling mengambil tugas masing-masing. Binar memotong-motong sayur, sedangkan si ibu menggoreng ikan. Tiba-tiba terdengar suara pembeli di kios mereka. Warsih memerintah Binar, tetapi Binar malah memerintah ibunya lagi.

"Ibu saja yang layani mereka, biar Binar yang jaga ikan gorengannya." Ucapan wanita itu diikuti oleh sang ibu.

Sepeninggalnya Warsih dari dapur, Binar kembali melanjutkan memotong sayurnya. Namun, mata wanita itu perlahan-lahan memburam diikuti dengan kepala yang memberat, bagian bawah perutnya pun terasa keram. Binar menutup mata sambil menggeleng keras, berharap bisa mengembalikan kejernihan pandangan. Berhasil. Pandangan Binar kembali jernih. Namun, sepersekian detiknya, pandangan itu menggelap!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status