Share

Bab 2: Sindrom

Tubuh mungil itu menggeliat kala sinar matahari menusuk kelopak matanya yang terasa memberat. Jemari lentiknya bergerak, dan tersentak bangunlah dia kala merasakan kulit asing di sampingnya tertidur. Jantung Binar serasa merosot menatap sosok gagah di sampingnya yang tertidur tengkurap. Mata bulat gadis itu langsung berkaca-kaca mengingat kejadian semalam, lalu meluncurlah anak-anak sungai di pipi yang tampak kemerahan dan lelah itu. Tangannya membekap mulut sendiri, menahan isak tangis, juga takut terhadap sosok di hadapannya.

"Kenapa malah seperti ini?" gumamnya sambil menjambak rambut frustasi. “Tidak, ini tidak mungkin!”

Dengan tangan bergetar, Binar bangkit sambil menahan area nyeri di tengah-tengah tubuhnya. Secepat mungkin dia memungut semua pakaiannya yang tercecer di lantai berdebu dan memakainya. Binar lantas keluar dari dalam gedung terbengkalai sebelum pria yang tertidur bersamanya itu bangun. Binar tak ingin bertemu lagi dengan pria itu. Pria yang dia pikir adalah pahlawan, tetapi ternyata malah mengambil keuntungan terbesar darinya.

"Apa yang telah kulakukan! Kenapa aku malah terjebak dengannya,” tangisnya menyesali keadaan.

Tidak dapat dipungkiri, Binar juga merutuki dirinya sendiri. Harusnya dia melakukan perlawanan pada pria asing itu, harusnya dia tidak terbuai dengan sentuhan yang membuat desir aneh yang menjalar di tubuhnya, harusnya dia tidak berlari mencari perlindungan di dekapan pria itu. Namun apa daya, Binar hanya gadis muda yang baru berumur 22 tahun. Dia masih polos dan belum banyak mengenal dunia, terutama tentang diri seorang pria.

"Permisi, Pak, apa bisa saya ikut menumpang." Binar menyetop sebuah mobil pick up yang lewat di dekat gedung terbengkalai. Sesekali pandangan wanita itu menoleh ke belakang, takut pria yang tidur bersamanya tadi keluar dari gedung itu dan mengejarnya.

"Boleh. Ayo, masuk sini!" Ajakkan si supir langsung disambut gelengan oleh Binar. Dia teramat risi sekarang jika harus berdekatan dengan seorang pria.

"Sa-saya di belakang saja, Pak." Binar langsung menuju ke belakang mobil pick up, duduk bersama tumpukkan sayuran segar.

Sekali lagi, tangis yang sudah dia tahan tadi, kembali meluap. Binar meraup wajahnya kasar, menangis terisak-isak. Dia takut, bagaimana jika kejadian semalam sampai ketahuan oleh orang tuanya. Bagaimana jika Binar sampai hamil. Gadis berparas ayu itu menggeleng keras, menepis semua hal buruk yang melintas.

Selang beberapa menit, akhirnya Binar sampai juga di gang tempat tinggalnya. Beberapa anak kecil yang memang dekat dengan Binar, langsung mengerubungi wanita itu.

"Kak Binar semalam ke mana saja? Bapak sama ibunya nyariin."

"Iya, bahkan bapaknya pulang dalam keadaan basah kuyup. Ibu Kakak juga cemas."

Laporan anak-anak kecil itu membuat hati Binar meringis, apa yang harus dia katakan pada kedua orang tuanya sekarang. Binar, putri sulung yang selalu mereka banggakan telah gagal menjaga kehormatannya. Binar tersenyum tipis menanggapi laporan mereka, lalu melangkah masuk ke rumah.

"Dari mana kamu, Binar? Kenapa semalaman nggak pulang?" Ibunya Binar langsung menginterogasi, ketika melihat putrinya itu memasuki ruang keluarga.

Mata tua itu memindai penampilan sang putri, rambut yang kusut, pakaian yang berdebu, juga wajah Binar yang sembab. Diperhatikan seperti itu, langsung membuat Binar terkena keringat dingin.

"Binar cari kerja, Bu. Pulangnya tertahan hujan, jadi Binar neduh." Wanita itu menjawab sambil menunduk. Tak berani menantang tatapan sang ibu.

Ibunya Binar masih tak puas dengan jawaban sang putri, apalagi melihat Binar yang tampak gelisah. Pasti ada yang disembunyikan putri sulungnya itu, tetapi suara pembeli dari kios kecilnya, mengalihkan perhatian wanita itu.

"Ya sudah, kamu sana mandi dan makan dulu." Sang ibu berlalu meninggalkan Binar.

Wanita itu mengembuskan napas, sedikit lega karena terbebas dari interogasi sang ibu. Dia segera berlari ke kamar mandi, memutuskan untuk mengguyur tubuhnya yang terasa kotor dengan air seember. Namun, dia tetap saja merasa kotor. Adegan panas semalam, menari-nari di benaknya. Binar terisak sambil menggaruk lengannya kasar, berusaha membuat tubuhnya kembali suci lagi.

Hari demi hari berlalu, minggu pun terlewati dengan begitu berat. Binar yang biasanya selalu ceria dan menghabiskan waktu lama untuk bermain bersama dengan anak-anak kecil di sekitaran gang tempat tinggalnya, menjadi berubah. Dia lebih banyak murung di dalam kamar, bahkan jarang membantu ibunya untuk membuka kios, atau sekadar melayani pembeli.

"Ada rokok, Neng?" Seorang pria bermata agak sipit itu bertanya pada Binar yang ada di dalam kios.

Bukannya menjawab pertanyaan si pembeli, tangan Binar malah mendingin. Entah kenapa, wajah pembeli itu tiba-tiba berubah menjadi pria yang telah merenggut kesuciannya di malam penuh badai itu.

"Pergi!" Binar menggeleng ketakutan, beringsut mundur dan berlari masuk ke rumah. Dia tak mau lagi melayani para pembeli yang mampir ke kios kecil mereka.

Hari demi hari terus berlalu, bulan pun berganti lagi.

Binar menggigit bibir resah sambil bermondar-mandir di dalam kamar kecilnya. Sesekali dia menatap kalender cemas, di angka yang dia lingkari merah bulan lalu. Ya, Binar telah terlambat datang bulan. Perutnya yang terbalut baju kaus pink, Binar cengkeram sambil menggelengkan kepala.

"Tidak, aku tidak mungkin hamil!" sangkalnya berbanding terbalik dengan pemikirannya saat ini. "Aku tidak boleh hamil. Jangan sampai!" Rasa takut mengungkung dia begitu saja, Binar kembali menangis dan mengutuk dirinya sendiri. Kenapa dia harus terbuai dan pasrah saja ketika pria itu melancarkan nafsunya.

*

*

Di sisi lainnya, di sebuah rumah besar bergaya Eropa, tampak sebuah keluarga kecil sedang menikmati makan malam yang sangat lezat.

"Bagaimana istrimu, Aiman, apa sudah hamil?" tanya Ambarawati---ibunya Aiman.

Syeira---sang menantu, yang sedang mengunyah makanan, menjadi terhenti untuk sesaat. Dia melirik pada mertuanya dengan raut sendu.

"Belum, Ma.” Aiman meletakkan sendok makannya. Mengambil alih, menjawab pertanyaan sang ibu.

Walaupun sudah menjalani kehidupan rumah tangga selama lima tahun bersama wanita yang dicintai, tetapi Aiman belum juga dikaruniai buah hati sampai sekarang. Di rumah mewah bercat putih bersih itu, terkadang Aiman membayangkan segera hadirnya seorang jagoan kecil. Syeira dan jagoan kecil itu akan menyambutnya sepulang bekerja. Meleburkan rasa lelahnya dengan senyum mungil dan tatapan polos khas anak kecil. Ah, andai hal itu segera terjadi.

"Masa belum terus sih, Man? Kalian sudah menikah selama lima tahun. Teman kalian yang baru menikah tiga tahun aja, udah mau launcing anak kedua. Kalian kapan punyanya?" Wanita dengan dress krem selutut itu mengoceh, mengeluarkan unek-unek.

Beberapa tahun belakangan ini, Ambar memang sangat mendesak agar Aiman cepat memiliki anak. Ambar sangat tidak sabar ingin secepatnya menggendong cucu.

Aiman dan Syeira baik-baik saja, tidak ada yang bermasalah dengan kesuburan. Mereka sudah banyak melakukan berbagai cara, dari mulai pengobatan alternatif sampai kedokteran. Semua jenis jamu yang katanya untuk kesuburan pun sudah diminum oleh Syeira. Tapi apa daya, jika Tuhan belum berkehendak.

"InsyaAllah, secepatnya, Ma."

Aiman menggenggam tangan Syeira. Melemparkan senyuman hangat seraya menatapnya lekat, mengisyaratkan agar jangan sakit hati dengan ucapan ibunya. Syeira pun tampak paham dengan isyarat yang Aiman berikan. Dia balas melayangkan senyum simpul serta mengedipkan kedua matanya singkat. Aiman sangat bersyukur mempunyai istri setegar Syeira.

"Mending kita makan saja. Keburu dingin makanannya," ucap Aiman mengalihkan drama tentang cucu.

"Ayam rempah wangi pedas kesukaan Nyonya Besar sudah siap!" Seorang ART datang membawa mangkuk besar.

Begitu makanan itu diletakkan di meja, aroma rempah-rempah yang menguar dari mangkuk tersebut langsung mengaduk-aduk perut Aiman.

"Huek!" Aiman membekap mulut, lalu berlari ke wastafel dengan Syeira yang mengekor.

"Mas Aiman kenapa?" tanya Syeira khawatir. Sementara Aiman terus memuntahkan isi perut. "Mas Aiman salah makan apa, sih?"

Tubuh Aiman tiba-tiba dibanjiri keringat dingin. Aiman merasa lemas.

"Aku buatkan Mas bubur aja, yah?” Syeira menawarkan.

Aiman segera menahan lengan Syeira. "Tak perlu. Aku hanya ingin makan mangga muda."

"Hah?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status