Share

V

Gadis itu menyusuri tanah becek yang selama beberapa tahun ini sering dia lewati. Meskipun hanya sekali atau dua kali dalam satu bulan, tapi tempat ini adalah salah satu dari tiga tempat yang membuatnya bisa menjadi orang lain. Tidak dikenali. Tidak diagung-agungkan.

Menyelinap bukan perkara sulit baginya. Tidak ada tempat berbahaya baginya—selama dia bersama dengan makhluk yang kini berjarak dua langkah dibelakangnya. Ilvy akan pergi kemana saja, kapan saja, dengan orang kepercayaannya.

Diluar, orang-orang memanggilnya Ississia. Nama yang pernah didengarnya tanpa sengaja dari mulut ibunya. Nama yang membuat ibunya ketakutan setengah mati. Nama, yang langsung dia sukai, yang dia harap akan menjadi hantu untuk ibunya selama wanita itu menjadi Ratu dengan cara merampas hak Ratu sebelumnya.

Ilvy berbelok ke kanan. Melewati kedai makanan kumuh yang dipadati orang-orang mabuk. Pemiliknya adalah seorang janda yang memiliki anak gadis yang cantik. Orang-orang datang bukan karena makannya yang enak—Ilvy pernah mencobanya dan dia langsung memuntahkan makanan itu di suapan pertama—tapi anak gadisnya yang dipanggil Ratu.

Ratu di lingkungan kumuh yang tidak pernah mendapatkan perhatian dari kerajaan.

Berjalan melewati kedai itu, Ilvy akan terus melangkahkan kaki melewati rumah-rumah yang atapnya setengah terbuka tapi masih dihuni, kemudian berbelok ke kiri. Sedikit masuk kedalam hutan, dan mereka menemukan bar yang cukup bagus disana.

Orang-orang mabuk yang duduk dan makan di kedai Ratu adalah orang-orang yang baru saja keluar dari dalam bar ini. Tempat dimana sumber informasi yang dicari. Tempat dimana orang-orang bisa membayar mereka untuk melakukan apapun yang mereka mau.

Dua orang berbadan besar berdiri mengapit pintu, memeriksa setiap orang yang ingin masuk kedalam bar. Begitu melihat Ilvy, mereka menyeringai senang. "Selamat datang!" sapa mereka ramah. Ilvy mendengkus. Dengan cepat dia melemparkan lima koin perak pada mereka, dan pintu itu terbuka.

Ilvy bisa mencium bau alkohol dan seks didalam bar. Memangnya apa yang harapkan? Manusia yang bercakap-cakap dengan gelas di tangan dan musik di sudut ruangan?

Ilvy bahkan bisa mendengar desahan di sudut ruangan. Di tengah bar ada panggung kecil dengan wanita telanjang yang menyanyi dan menari. Orang-orang melemparkan uang padanya. Semakin liar wanita itu menari, semakin banyak uang yang akan dia dapatkan.

"Lady! Aku melihat kau kembali berkunjung." Suara sengau seorang pria bertubuh kurus membuatnya berhenti. Ilvy menelengkan kepalanya, sudut bibirnya tertarik ke atas, menyeringai sinis. "Satu-satunya pengunjung wanita di bar ini."

Pria itu memegang bahu Ilvy, yang langsung ditepis oleh seseorang yang selalu mengikuti dirinya. "Wanita itu, dimana dia?" tanya Ilvy tanpa basa-basi.

"Siapa yang kau maksud, nona?"

"Aku bisa meminta orang dibelakangku untuk memotong lehermu sekarang." Ujarnya dengan senyuman ramah.

"Begitukah?"

"Butuh bukti?" tantang Ilvy. "Meski aku tak mendapatkan jawaban setelah kepalamu terpisah dari badanmu yang tak berguna itu, aku bisa mencarinya dengan cara lain."

Pria itu mundur satu langkah. Memperhatikan Ilvy dari ujung kepala hingga ujung kaki, kemudian tertawa terbahak-bahak. Tapi tawa itu hanya sesaat, sebelum rambutnya dijambak hingga kepalanya menengadah dan pisau menempel di lehernya.

Lagu masih berputar, penyanyi bar masih menghibur pengunjung dengan tubuh setengah telanjang. Orang-orang di bar terlalu mabuk untuk memahami apa akan terjadi.

"Dia ada di belakang, dengan para penjaga. Aku akan mengantarmu." Ujarnya cepat.

"Qeen,"

"Bayar aku dua kali lipat, karena kau mengancamku dengan pisau." Gerutunya.

Ilvy tertawa. "Aku membayarmu dengan ampunan yang aku berikan." Ujarnya penuh dengan nada ceria.

Ilvy menoleh, menatap wajah Qeen yang sepenuhnya tersembunyi oleh tudung jubahnya. Tangan yang memegang pergelangan tangannya terasa dingin, yang anehnya tak pernah Ilvy sadari sebelumnya. "Haruskah, Nona?"

Senyumnya kembali berkembang. Dengan cepat ditepuknya pundak Qeen dengan sebelah tangannya yang bebas. "Kau tidak tahu apa yang kurasakan sekarang. Tidak ada yang tahu kecuali aku." Jawabnya dengan nada muram, berbanding terbalik dengan senyum di wajahnya.

"Putri—"

"Jangan!" sergahnya cepat.

Qeen mundur satu langkah. Tangannya melepaskan tangan hangat itu. Ilvy buru-buru berbalik, mengikuti pria sengau yang berjalan semakin menjauh.

Pintu menuju belakang bar berderit pelan saat pria itu mendorongnya. Ilvy bisa mencium bau apak dan alkohol disana. Di sebelah kanan ada ruangan dipenuhi tong-tong bir. Dua orang wanita sedang mengisi gelas-gelas bir, mereka menoleh sekilas kemudian tersenyum mengejek padanya.

Berbelok ke kanan, mereka berjalan di lorong sempit sepanjang dua puluh meter. Pintu di depan mereka berwarna kuning. Warna yang begitu kontras dengan suasana bar yang suram. Pria itu berbalik, menyandarkan punggungnya di pintu. "Kau yakin, Nona?" tanyanya dengan nada mengejek.

Ilvy tak menyawab. Dia hanya menatap pria itu tepat di manik mata.

Ilvy harus melihatnya sendiri. Pencariannya selama ini harus membuahkan hasil. Wanita yang menghilang itu, harus dia temukan. Agar pria yang selama ini selalu berada dibayang-bayang kehidupannya keluar untuk memperlihatkan dirinya.

"Baiklah, baiklah." Jawabnya ketika Ilvy tak memberikan jawaban apapun padanya. Dia mengeluarkan kunci dari dalam sakunya, kembali menatap Ilvy sebelum membuka pintu berwarna kuning itu.

••

Ilvy tak pernah menduga dirinya akan segugup ini. Jantungnya berdegup kencang, tangannya berkeringat, bahkan tenggorokannya terasa tercekat. Sensasi yang tak pernah dia rasakan selama enam belas tahun hidupnya, dan itu mengganggunya.

Dibalik pintu kuning itu adalah sebuah ruangan bernuansa tenang. Sebuah kursi dengan ornamen yang cukup bagus terletak di tengah ruangan. Dengan meja senada yang menampung banyak kertas-kertas—berbanding terbalik dengan bar yang penuh dengan hiruk-pikuk manusia dan tidak teratur.

Di sudut ruangan, Ilvy bisa melihat kotak jeruji tempat anjing-anjing berburu ditempatkan. Bedanya, kandang anjing itu dua kali lebih besar dari kandang anjing biasanya, dan ada seorang wanita disana. Tangannya terikat ke belakang, kedua kakinya di rantai.

"Kau pikir dia akan keluar dari tempat itu hingga kau mengikat tangan dan kakinya?" tanya Ilvy kesal. "Qeen." Perintahnya sedetik kemudian.

Ilvy mengambil tempat di meja kerja si pria sengau. Duduk sambil memperhatika Qeen yang membuka pintu kandang yang di kunci dengan tangan kosong.

"Apa yang kau lakukan?" teriak pria itu menatap Ilvy dan Qeen bergantian.

Pintu kandang terbuka setelah teriakan itu terdengar. Qeen melepas rantai di kaki wanita itu dengan mudah, kemudian dia menarik wanita itu keluar, membawanya tepat kehadapan Ilvy.

"Siapa namamu?" tanya Ilvy tenang, mengabaikan pria sengau yang kini wajahnya memerah karena marah.

Wanita itu menatap Ilvy tanpa rasa takut. Wajahnya tenang, tapi tidak dengan sorot matanya. Ilvy bisa melihat sikap defensif dari sorot wanita itu. "Apa yang kau inginkan dariku?" jawabnya dengan sebuah pertanyaan.

Ilvy memejamkan mata beberapa saat. Suara wanita itu, terdengar asing sekaligus familier di telinganya.

"Nama." Balas Ilvy kemudian. "Aku ingin tahu namamu dan keberadaan seseorang. Kau tahu pasti apa yang aku maksud."

Wanita itu mengerutkan keningnya. "Zarefa." Ilvy membuka matanya, menatap langsung ke manik mata wanita itu. "Namaku Zarefa."

Ada senyum sinis yang tersungging di bibir Ilvy. Dia tidak suka kebohongan ini. Wanita itu akan menyulitkan dirinya sendiri saat mengucapkan kebohongan dengan mudahnya pada seorang Putri Gerian.

"Aku bisa membawamu langsung kepada Lorelai, jika kau mau." Gumam Ilvy yang cukup didengar dengan jelas oleh seluruh orang di ruangan itu. Bahkan si pria sengau itu langsung terdiam begitu nama wanita tertinggi di Gerian disebut. "Aku hanya ingin tahu namamu, dan keberadaan seseorang."

"Siapa kau?"

Ilvy tertawa keras. Kedua tangannya menangkup mulutnya untuk meredam tawa itu. "Aku?" tanyanya menunjuk dirinya sendiri. "Aku adalah Ilvy Channest. Tidakkah kau mengetahui nama itu?"

Wanita itu menunduk dalam, memberi hormat padanya. Si pria sengau bersimpuh di tempatnya, memberi penghormatan pada Ilvy.

"Siapa namamu sebenarnya?"

"Maya Crema, Yang Mulia." Jawabnya cepat. "Maya Ississia Crema, Yang Mulia."

"Bagus." Puji Ilvy. "Ikutlah denganku. Kita harus menemukan seseorang yang menghilang delapan belas tahun yang lalu."

"Baik, Putri." Suara wanita itu terdengar gugup—entah karena mengetahui siapa dirinya atau mengetahui tujuannya yang akan mencari pewaris takhta yang hilang.

Ilvy tersenyum puas. "Dan Qeen, tugas terakhirmu hari ini." Perintahnya.

••

Para pelayan sedang mengeringkan rambut Putri Gerian ketika pintu kamarnya terbuka lebar. Ibunya, Ratu Gerian, berdiri diambang pintu. Wajahnya memerah, senada dengan gaun yang dikenakannya saat ini. Ilvy hanya menatap ibunya sesaat, sebelum kembali menatap cermin di depannya. "Apa ibu berlari?" sindirnya.

Lorelai mengibaskan tangannya sekali, membuat seluruh pelayan keluar dari kamar Ilvy tanpa sepatah katapun, kecuali Qeen. "Apa yang kau lakukan? Aku menyuruhmu keluar dari sini." Teriak Lorelai murka.

Tapi Qeen bergeming. Matanya menatap jauh, mengabaikan sepenuhnya teriakan wanita tertinggi di Gerian. "Keluar atau aku penggal kepalamu!"

Ilvy mendengkus geli. "Dia memilih kepalanya dipenggal, ibu." Jawabnya. "Qeen tidak akan mendengar dan melihat apapun yang terjadi disini."

"Dengan apa kau menjaminnya?"

Ilvy merenung sejenak. Telunjuknya berlari ke bibirnya yang mulai menahan tawa geli. Dia tidak pernah mempertaruhkan apapun selama hidupnya. Dia tidak mendapat untung dari mempertaruhkan sesuatu, dan dia tak akan merugikan dirinya sendiri. "Raja, mungkin?" ejeknya.

Lorelai menyentak bahu Ilvy dengan kasar, membuat dirinya berbalik menatap ibunya yang sedang marah. "Aku tidak akan bermain denganmu, Ilvy. Akan kuhancurkan siapapun yang tidak memihakku."

"Bahkan putrimu sendiri?" tanya Ilvy cepat. Tawanya pecah, bahunya berguncang keras. Bahkan dia memegang perutnya dengan sebelah tangannya. "Ibu, aku tidak pernah memihak siapapun, kau tahu?" tanyanya kemudian. "Apa yang membuatmu begitu risau, Ibu?" suaranya terdengar begitu lembut. Tapi Lorelai tahu pasti bahwa Ilvy hanya mempermainkannya.

Lorelai menghembuskan napas gusar. "Surat itu," Lorelai berhenti sejenak, mencoba menebak ekspresi Ilvy yang kini terlihat menunggu, "apa kau yang menulisnya?"

"Surat apa yang ibu maksud?" tanyanya cepat.

Matanya menatap Lorelai dengan pandangan bingung. Tapi Lorelai bisa melihat sudut bibir Ilvy berkedut menahan senyum. "Jangan berbohong padaku, Ilvy!"

Ilvy tertawa cepat, sebelum sebelah tangannya menutup cepat mulutnya. Gadis itu berdiri, berjalan menuju Qeen, kemudian berbalik. "Bisakah kau mengikat rambutku, Qeen?" pintanya cepat.

"Aku mendengar desas-desus. Bahwa seseorang menulis surat untuk Camsarian dan para Elf." Ilvy tersenyum, matanya terlihat berbinar saat menatap ibunya. Seakan-akan ini adalah obrolan menyenangkan diantara keduanya. "Tapi aku bahkan bertanya-tanya, siapa yang menulis surat itu."

"Orang-orang melihat kau mengirimkan surat pada seseorang." Lorelai mendekati Ilvy. Kedua tangannya memegang bahu Ilvy dengan kuat. "Ilvy, demi Tuhan! Jangan bertindak bodoh."

Ilvy menggeleng cepat. "Ibu, apa kau mencurigaiku? Aku menulis surat undangan pesta minum the kepada gadis Brosnean. Kami akan melakukannya minggu depan. Kau harus hadir dan melihatnya sendiri. Dan mengapa kau menanyakan hal kejam itu padaku?" suaranya bergetar, bahkan mata Ilvy memerah menahan tangis. Membuat Lorelai melepaskan cengkeramannya pada bahu Ilvy.

"Aku tidak akan mentolerir tindakan bodoh, Ilvy." Ujarnya sebelum pergi dari sana.

Ilvy melihat punggung ibunya menjauh, kemudian pintu kamarnya tertutup. Dan sunyi menguasai.

Untuk sejenak, Ilvy mempertahankan air matanya yang membasahi pipi.

Tapi kemudian, dengan cepat dia menghapusnya. Tawa yang dia tahan keluar dengan rendah dan pelan. Qeen sudah selesai mengikat rambutnya, menyampirkan rambut itu di bahu kiri Ilvy. "Ini menyenangkan, Qeen." Bisiknya.

Ilvy berbalik, menatap wajah pria yang lebih sering tertutup tudung jubah itu. Tangannya melingkari pinggang pria itu, dan senyum tulusnya muncul. Hanya untuk pria yang sedang dipeluknya. "Apakah ini akan baik-baik saja?" gumamnya.

Qeen melarikan jarinya yang dingin ke wajah Ilvy. Menelusuri setiap inci dari wajah cantik yang selalu berganti ekspresi itu. "Haruskah kita melanjutkannya? Atau kita sudahi saja?" tanya Ilvy lagi. Gadis itu berjinjit, mencium pria itu.

Ilvy merasakan gairah mulai menguasainya. Ciuman lambat itu berubah menjadi penuh dengan tekanan. Qeen menjelajahi bibirnya, menghisap kuat, menggigitnya, bahkan kini bibir pria itu berpindah pada lehernya. "Kunci pintunya," bisik Ilvy dalam desahan.

Qeen hanya perlu menjentikkan jarinya, dan pintu kamar itu terkunci. Tangannya kini berpindah pada tali jubah Ilvy, menarik cepat simpul tali itu, lalu melepas satu-satunya pembungkus tubuh gadis itu. "Jangan berhenti hingga pagi menjelang, Qeen." Bisiknya lagi.

Qeen mengangkat tubuh itu, membawanya ke ranjang besar yang hanya beberapa langkah dari mereka. "Sesuai perintahmu, Yang Mulia." Jawabnya sebelum bibir mereka kembali bertaut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status