Share

VI

Danina ingin menangis. Ibunya terlalu kejam pada gadis yang selama ini dianggapnya seperti anak sendiri. Danina ingat betul bagaimana ibunya sangat menyayangi Loretta. Danina ingat, saat dirinya dan Loretta berumur sepuluh tahun, mereka hampir tenggelam di sungai. Ibunya menjerit histeris saat tau Loretta tidak bernapas. Ibunya bahkan menangis bahagia saat Sitaf memantrai Loretta agar bisa bernapas lagi. Memori itu terasa begitu segar dikepalanya.

Tapi saat ini, memori itu membuatnya semakin terluka. Saat ini, orang-orang seperti menutupi sesuatu dan menyalahkan Loretta. Tidak. Mereka memang menyalahkan Loretta atas hal yang Danina tidak ketahui.

Hal-hal yang sengaja ditutup-tutupi dari dirinya.

"Pulanglah, Dan. Ibu tidak ingin kau berkeliaran mencari Loretta."

Danina menepis tangan ibunya. Kata-kata ibunya melukai dirinya semakin dalam. Apakah ibunya sangat benci dengan Loretta? Apakah selama ini semua orang hanya berpura-pura menyayangi Loretta?

Tenggorokannya tercekat. Dia menahan seluruh kekecewaannya dengan sekuat tenaga. Tapi melihat ekspresi benci pada wajah ibunya, membuat Danina tak mampu menyimpan kekecewaannya lebih lama. "Apa kalian membenci Loretta?" bisiknya—berharap ibunya tidak mendengar pertanyaannya.

Tapi Danina mendengar ibunya menghela napas dengan gusar. "Tidak, Dan." Jawabnya kemudian. "Kami tidak membencinya. Dia memilih untuk meninggalkan kita. Untuk meninggalkan orang-orang yang menyelamatkan dan menjaganya."

"Tapi ini terlalu kejam, ibu." Danina terisak. Matanya perih karena menahan air mata yang pada akhirnya keluar. Dengan cepat dia menyeka air matanya. "Kalian membencinya. Aku bisa merasakan itu."

Ovena berbalik. Wanita itu memegang kedua bahu Danina. "Tidak, sayangku. Tidak ada yang membenci Loretta. Aku berani bersumpah." Ujarnya. "Aku hanya ingin kau berhenti. Karena sesuatu yang begitu kau percayai akan membunuhmu dengan kekecewaan, Danina."

"Ibu," bujuknya kembali.

Ovena menggeleng. "Tidak, Dan." Ibunya mendesah lelah. "Jangan berharap pada orang yang meninggalkanmu, sayangku." Ujarnya lagi. Ovena menggeleng. Memberikan banyak pemahaman pada Danina—putrinya satu-satunya—yang belum mampu menerima perginya Loretta tanpa kata-kata. "Jangan terluka karenanya, Dan. Bahkan Nareef dan Sitaf tak mampu mencegah keinginannya pergi dari hutan Camsart."

Danina ingin berhenti menangis, tapi semakin dia mendengar ibunya berkata, semakin banyak air matanya yang keluar. "Apa Loretta benar-benar pergi ke Gerian?" tanyanya ragu.

"Aku tidak tahu." Jawabnya. "Aku hanya berharap dia tersesat di hutan dan kembali pulang. Tapi tak ada yang tahu, Danina. Bisa saja dia sudah berada di Gerian."

Danina mengangguk. Ada rasa kecewa di hatinya. Bukan karena seluruh orang membenci Loretta. Tapi karena kini dia sadar, Loretta benar-benar pergi meninggalkannya.

"Atau mungkin sedang membawa kematian untuk kita semua." Lanjut ibunya pelan, yang membuat Danina tak mampu berkata-kata.

••

Danina mengunci dirinya di kamar. Atap kamarnya yang berwarna kayu membuatnya kembali teringat masa-masa menyenangkannya di hutan bersama Loretta. Gadis itu mengajarkan banyak hal padanya, termasuk memanah. Loretta gadis yang pintar. Yang paling pintar diantara gadis di Camsart dan Effrayante—walaupun Danina tak tahu pasti berapa rentang umur para elf untuk dikategorikan sebagai gadis.

Sekarang, meskipun pikirannya telah berhenti berusaha mencari kepergian Loretta, Danina tak bisa menahan batinnya berhenti berbisik. Setiap detiknya, bisikan didalam batinnya berteriak keras, mengganggu kewarasannya.

Tempat dimana Loretta menyembunyikannya. Berpikirlah Dan! Bisik batinnya. Danina menggeleng pelan. Ibunya sudah membuka pikirannya. Penyangkalannya selama beberapa hari ini membuatnya tak mampu berpikir jernih.

Loretta meninggalkannya.

Gadis itu meninggalkan dirinya!

Kau akan tahu kebenarannya, Dan. Bisik batinnya lagi. Danina duduk, kedua lututnya menempel di dada. Dipeluknya lutut itu dengan erat. Danina memejamkan matanya, berusaha untuk mengenyahkan suara batinnya. Tapi semakin dirinya menyangkal, semakin jelas suara itu.

Dia tidak akan pergi tanpa alasan!

Mengapa kau hanya berdiam diri, Dan?! Cari petunjuk itu!

Batinnya berteriak keras, membuat dadanya sakit. Danina menggelengkan kepalanya keras-keras. Dia tak ingin berharap lebih pada Loretta, gadis yang telah meninggalkannya tanpa sepatah katapun.

Tapi di satu sisi, dirinya ingin mengetahui lebih lanjut apa yang terjadi pada gadis itu. Disudut hatinya, Danina yakin Loretta akan membutuhkan pertolongannya.

Berhentilah berpikiran buruk dan carilah, Dan!

Danina menghela napasnya keras. Dadanya terasa sakit. Sesuatu menusuknya—dalam dan terus-menerus. Batinnya meronta untuk mencari petunjuk yang bahkan Danina sendiri tak yakin keberadaannya. Akal sehatnya menginginkan dirinya berhenti berharap pada sahabat yang telah meninggalkannya untuk sesuatu yang akan membahayakan klan mereka.

Lama Danina terdiam, mendengarkan batinnya yang menyumpahinya dan pikiran yang membelanya. Akhirnya, Danina bangkit berdiri. Dia membuka jendela kamarnya yang terkunci rapat untuk mendapatkan udara segar dan menghentikan sejenak pergulatan batinnya. Tapi jendela itu macet, sehingga Danina harus menyentaknya dengan keras.

Jendela itu terbuka setelah empat kali sentakan keras, disusul dengan sesuatu yang terpelanting ke lantai. Danina mencari benda itu, yang ternyata bersembunyi didekat kaki ranjangnya.

Sejenak dirinya ragu, melihat benda itu terbungkus didalam kantung kulit. Pada akhirnya, Danina menunduk, mengambil benda itu. Sejenak menimbang berat benda didalamnya. Kemudian dengan ragu dia membuka bungkus itu.

Danina kagum pada benda kecil yang hanya sebesar kuku jempol tangannya. Benda tercantik yang pernah dirinya lihat selama dirinya hidup. Dan benda paling berkilau yang pernah dirinya lihat.

Tapi siapa yang memberikan benda itu padanya?

Ibunya? Ayahnya? Tapi hari ini bukan peringatan ulang tahunnya. Orang tuanya tidak pernah memberikan benda berkilau padanya.

Danina mengintip isi kantung itu. Dan dia melihat kertas yang terlipat kecil, bersembunyi disudut kantung.

Danina mengeluarkannya. Lalu membuka lipatan kertas itu.

Ambil kembali tempat yang terenggut

Tempatmu bukan disini, Danina.

Danina meremas kertas kecil itu. Dia melihat bergantian pada surat dan benda berkilau itu. Hatinya sakit, kepalanya sakit. Dadanya terasa sesak, membuatnya terhuyung dan terduduk di lantai. Petunjuk yang sejak kemarin dia ingin temukan ternyata ada didalam kamarnya. Ditempat dia memikirkan beribu skenario Loretta menyimpan petunjuk.

Tapi anehnya, setelah dia mengetahui ini, hatinya semakin gelisah.

Kini bukan kepergian Loretta yang membuatnya sedih.

Danina… sedih pada dirinya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status