Share

Kelabu
Kelabu
Penulis: Fraghesia

Prolog

Brakk...

“Lepaskan saya!”

Seorang wanita yang tengah sesegukan itu tak menghiraukan perkataan lelaki yang merupakan suaminya. Dia terus memeluk kaki lelakinya, menahannya untuk meninggalkan dirinya.

”Kamu tuli? Saya bilang lepaskan saya, wanita bodoh!" gertaknya sambil menendang wanita itu hingga membuatnya tersungkur. Kata-katanya yang halus berubah menjadi kasar. 

Wanita itu merintih, memohon dengan suara serak. "Mas, jangan pergi ...." pintanya berusaha menggapai kaki suaminya. "Tidak ada gunanya saya mempertahankan keluarga ini. Kamu hanya menghabiskan harta saya karena biaya pengobatanmu yang sialan itu!"

"Kamu terlihat menjijikkan, kamu seharusnya sadar!" 

"Mas, kenapa kamu kasar seperti ini? Ini bukan kamu ... maafkan aku," ucap wanita itu. Hatinya benar-benar teriris mendengar setiap kalimat yang dikeluarkan dari mulut lelaki yang ia cintai. 

"Halah ... Kamu itu sudah tidak cantik, mati saja!"

"Ibu!" 

Aku mengedarkan pandanganku segera. Beberapa kali aku mengercap. Sesaat setelah itu aku sadar keningku dipenuhi bulir keringat yang terasa sangat tidak mengenakkan. Detak jantungku berdetak dengan tempo cepat begitu pula napasku yang memburu. 

Aku menelan salivaku sedikit susah payah. Segera, aku bangkit dan menuju kamar mandi. Kubasuh wajahku beberapa kali dengan mata terpejam erat. Ingatan mimpi buruk itu masih terus terbayang. 

"Dania."

Aku menoleh, setelah keluar dari kamar mandi. Kulihat seorang gadis sedang tersenyum manis kearahku sambil menenteng sebuah kotak yang dapat kupastikan isinya makanan. Dia gadis berambut pendek sebahu dengan tubuh yang mungil. Aku bahkan lebih tinggi darinya meskipun dia lebih tua dua tahun dariku. 

"Kak Rani?" tanyaku. 

Dia terseyum dan tak lama berjalan menghampiriku. "Nih," ucapnya sambil menyodorkan kotak makanan itu kedepanku.

"Tidak usah kak," tolakku cepat. 

Dia menggeleng. "Ambil. Buat kamu makan," pintanya.

Aku menggeleng cepat. "Tidak usah kak. Aku masih kenyang mending dibawa pulang," tolakku dengan nada sehalus mungkin. 

Dia mendengus pelan dan sedikit menaikkan alis kirinya. "Oh ya? Aku tidak pernah melihatmu makan seharian ini, yang ada kamu mondar-mandir terus mengantar pesanan," jelas gadis itu sambil memberiku tatapan menyelidik. 

Jawabannya itu seketika membuatku terdiam berakhir tertawa kecil karena tak dapat mengelak. Dia selalu punya bantahan agar aku tak menolak apapun pemberiannya. Dia kembali tersenyum dan membiarkan kotak itu berada di dalam genggamanku. 

"Maaf ya, Da. Hanya bolu ini yang tersisa. Makanan beratnya habis," ujarnya lirih. Aku tersenyum simpul dan memegang kedua tangannya. 

"Makasih ya kak, ini saja sudah lebih dari cukup," jawabku dan kulihat dia mengangguk.

Aku sedikit mengintip kotak itu dan tersenyum lebar setelah aroma dari bolu itu menyentuh hidungku. "Emang ya, kalau kakak yang bikin nggak pernah gagal," pujiku dan berhasil membuatnya tersipu.

Kami pun berjalan beriringan untuk keluar. Ia merogoh kunci cafe dan menguncinya dengan cepat. 

"Pulang sama siapa?" tanyanya tanpa menghentikan kegiatannya. 

"Raka kak," jawabku singkat.

Tak lama sebuah motor berhenti di depan cafe. "Tuh, baru juga diomongin orangnya sudah datang," ucapku sambil melihat Raka melepaskan helmnya. 

Kak Rani pun berbalik setelah memastikan pintu itu telah terkunci. Raka melambaikan tangannya ke kami. 

"Widih, mas pacar sudah datang nih,"goda gadis disampingku itu. 

Aku hanya menggeleng pelan mendengar jawabannya. Tak lama sebuah mobil hitam ikut berhenti di belakang Raka. Dapat kupastikan itu adalah kekasih kak Rani. 

"Widih, mas suami sudah datang nih," balasku sambil menyenggol lengannya. 

"Hehe... Aamiin," jawabnya sambil memejamkan mata. 

Kami pun berpelukan singkat sebagai tanda perpisahan. "Titip salam sama Ibu ya" titahnya. Aku tersenyum simpul kemudian mengangguk. Setelah perpisahan singkat itu, dia pun segera masuk ke dalam mobil.

Aku pun menghampiri Raka setelah mobil itu hilang dari pandanganku. 

"Kenapa melihatku seperti itu?" tanyaku heran saat mendapati Raka tengah memandangku. Dia menggeleng tanpa mengeluarkan suara kemudian beralih memberikanku helm. Aku pun segera naik tak lama setelah ia menyalakan mesin motornya.

"Pegangan," pintanya singkat. 

Tanpa ragu aku pun melingkarkan tanganku di pinggangnya. Hembusan angin malam selalu menjadi bagian favorite ku saat pulang bekerja. Aku mengedarkan pandanganku melihat betapa terangnya kota ini saat malam hari. Padahal sekarang hampir pukul duabelas malam tetapi masih banyak orang yang berlalu lalang. 

Aku mempererat peganganku kemudian menyandarkan kepalaku ke pundak Raka, mengistirahatkannya sebentar. Aku memejamkan mataku dan membiarkan angin malam membelai wajahku. Itu terasa sangat menenangkan dan aku menyukainya.

"Kita pulang kemana?" tanya Raka dengan sedikit berteriak. 

"Rumah sakit," jawabku tanpa membuka mata dan ikut berteriak.

"Kau sudah makan?" tanyanya lagi. 

"Belum, nanti sampai disana aku makan," jelasku. 

Aku memutuskan membuka mataku setelah merasa mulai mengantuk. "Ayo makan dulu," katanya masih dengan berteriak. Jika tidak berteriak suaranya akan samar karena angin. 

"Tidak usah, aku mau makan sama Leo," tolakku sedikit berteriak. 

"Raka, jika kau mengubah jalurmu aku akan marah padamu," tegasku cepat sebelum membiarkan sesuatu terjadi. 

Raka hanya diam tak lagi mengeluarkan suara dan sedetik kemudian dia mulai menambah kecepatan motornya. Aku mengatakan itu karena aku tahu dia pasti akan membawaku ke tempat makan. Sementara sekarang difikiranku hanyalah sampai di rumah sakit secepat mungkin. 

Meskipun aku merasa lapar sekarang, sangat. Aku lupa makan saking sibuknya tadi. Aku juga tak enak hati membiarkan adikku sendiri di rumah sakit. Satu hal yang kusukai dari sahabatku ini, dia tak pernah melakukan sesuatu tanpa persetujuanku, buktinya dia benar-benar tidak mengubah jalurnya. Dia pengertian meskipun sangat menyebalkan.

"Makasih Raka," ucapku sambil memberikan helm kepadanya. Kulihat dia mengangguk sambil menaruh helm itu di depannya. 

" Besok kuliah?" tanyanya sambil membuka helmnya. 

Aku menggulum bibirku sambil mencoba mengingat-ngingat jadwal untuk hari esok. Aku terdiam sebentar dengan kepala tertunduk. "Hm.. iyaa masuk siang sih," jawabku kemudian sambil mengangkat kepalaku. 

Kulihat Raka hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Dia memperbaiki posisi duduknya menghadap kearahku yang tengah berdiri tepat dihadapannya. Dia menatapku cukup lama tanpa mengeluarkan sepatah kata pun dan berhasil membuatku bingung.

"Kenapa?" tanyaku sambil memiringkan kepalaku ke kiri. 

Lagi-lagi dia hanya terdiam dan mengabaikan pertanyaanku. Aku mengerutkan dahi sambil memicingkan mata, mencoba memberikannya tatapan intimidasi. Namun yang terjadi selanjutnya dia menertawakanku singkat. 

"Kenapa sih?" tanyaku lagi dengan sedikit kesal. 

Bukannya menjawab pertanyaanku dia malah memperlihatkan senyum kecilnya. Aku pun mengalihkan pandanganku karena merasa sedikit malu, mencoba menyembunyikan pipiku yang mulai terasa hangat. Dia terus menatapku tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun. Membuatku harus berfikir keras mengartikan yang dia lakukan. 

Aku tidak heran dia memang selalu seperti itu. Selalu membuatku berfikir akan yang dia lakukan. Satu fakta tentangnya dia itu orangnya susah ditebak. Sedetik kemudian, tangannya terangkat. Dia menepuk pucuk kepalaku dengan pelan. "Jangan sampai sakit, aku tidak bisa mengurusmu jika kau sakit," ujarnya pelan. 

Aku terdiam menatapnya, membiarkan dia merapikan anak rambutku yang berantakan. "Wajahmu lesu, rambutmu juga berantakan begini, kantung matamu juga tuh," omelnya sambil menyelipkan rambutku ke belakang telinga. 

Aku mengercap dibuatnya. "Tenang saja, aku kan kuat," jawabku sambil merekahkan senyum. Raka mengangguk mendengar jawabanku itu. 

"Baguslah. Aku tidak bisa mampir ada yang harus kukerjakan," pamitnya dengan rasa tidak enak hati. 

Aku mengangguk pelan sambil tersenyum kearahnya. "Iya, hati-hati di jalan," ujarku.

Raka pun segera menyalakan mesin motornya dan menoleh sebentar sebelum meninggalkanku. Kuputuskan untuk masuk ke rumah sakit setelah memastikan ia telah hilang dari pandanganku. Aku mengengadah ke langit, melihat bintang-bintang yang berkelap-kelip dan menerangi malam itu. Untuk sesaat aku merasa ingin menyerah atau jika bisa aku ingin istirahat sebentar. 

Aku bahkan tidak lagi memperhatikan penampilanku sejak tragedi yang menimpah keluargaku membuatku menjadi seperti ini. Aku harus menjadi tulang punggung keluarga sejak ibu terbaring di rumah sakit dan ayahku meninggalkan kami begitu saja. Aku bekerja paruh waktu agar bisa menjalani hidup, membiayai kuliahku, membiayai sekolah adikku dan membayar biaya rumah sakit. 

Tentu saja upah dari pekerjaanku sangat kurang untuk semua itu. Tapi Tuhan Maha Baik, dia membiarkan seorang malaikat menemaniku. Dia Raka, sahabat kecilku yang masih bersamaku hingga kini. Dia selalu bersamaku sejak keadaan keluargaku berubah, maksudku hampir setiap jam dia mendampingiku. Dia satu-satunya orang yang masih berdiri disampingku dan selalu mendukungku hingga kini. Bahkan, tak jarang orang-orang menganggap kami adalah sepasang kekasih saking seringnya bersama.

Terkadang aku berandai agar dia menjadi kakakku saja. Aku bahkan bingung harus membalas semua kebaikannya dengan apa. Dia bahkan membantuku membayar biaya pengobatan ibu, sudah kutolak dengan berbagai cara namun tetap saja tidak berhasil. Satu hal lagi tentangnya, Raka itu keras kepala. Jika saja orang-orang tahu apa yang dilakukannya untukku, mungkin mereka akan mengubah pandangannya tentang Raka. Dimana dimata mereka Raka adalah anak yang dingin, tidak peduli keadaan, dan acuh tak acuh.

Aku membuang nafas dengan berat sebelum melangkahkan kakiku ke dalam bangunan yang bisa dibilang telah menjadi rumah keduaku selama tujuh bulan terakhir ini. Aku harus naik lift untuk sampai ke kamar ibu. Aku mempercepat langkahku setelah pintu lift itu terbuka, menandakan aku telah sampai di lantai yang ku tuju. Aku harus melewati beberapa kamar lagi hingga sampai di kamar ibu. 

Aku berhenti di depan sebuah pintu dan segera membukanya sepelan mungkin. Kulangkahkan kakiku hati-hati dengan pandangan menelisik. Bau obat langsung saja menusuk penciumanku. Aku melihat ibu, dia masih tertidur pulas dan kurasa masih bermain dengan mimpinya.

 Langkahku terhenti setelah menutup pintu, di saat mataku menangkap seorang anak laki-laki tengah tertidur meringkuk masih mengenakan baju sekolah. Aku menatapnya senduh dan tanpa kusadari pipiku telah basah. 

Aku berjalan pelan ke arahnya dengan air mata yang terus berjatuhan. Kemudian, aku terduduk di lantai dengan kaki yang terasa lemas begitu saja. Kutatapnya dua mata yang tertutup rapat dihadapanku ini.

 Bulu matanya begitu lentik dan wajahnya tampak sangat tenang saat tertidur. Aku mengelus rambutnya pelan sambil merasakan tubuhnya yang dingin. Aku merasa terhenyak, aku gagal dalam melindunginya dan telah memberikannya beban di usianya yang terbilang masih muda. Ku kecup keningnya lama. 

"Maafkan kakak, Leo," bisikku dengan mata yang berair. 

Ku raih selimut dan segera menyelimutinya. Membiarkan tubuh mungilnya terlindungi dari dinginnya malam. Terkadang, aku berpikir bahwa aku telah menjadi seorang kakak yang gagal. 

Aku segera memeluknya dan menyembunyikan wajahku yang telah kacau. Tangisku tak lagi tertahan, hatiku benar-benar terasa sakit. Aku menangis terseduh-seduh dengan suara pelan agar dia tidak terbangun. Aku tidak ingin Leo melihatku menangis.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dania Skylark
Prolognya kerenn
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status