Share

BAB 1

Aku segera membuka mata saat merasakan sentuhan hangat dipipiku. “Kakak, ayo bangun,” ucapnya sambil menowel pipi kiriku membuat lekuk dibibirku melengkung.

“Iya, ini sudah bangun,” jawabku segera kemudian memperbaiki posisiku.

Cahaya yang menembus gorden berhasil membuat wajahku terasa hangat. Aku duduk sambil menatap lelaki kecil di hadapanku ini. Dia sedang berdiri, menatapku dengan tatapan polosnya. Aku masih mencoba mengumpulkan kesadaranku sesekali menutup mulutku segera mungkin karena menguap. 

“Leo kemarin makan tidak?”

Dia mengangguk, membuat kedua alisku terangkat. 

“Benarkah?” tanyaku memastikan.

Dia menggangguk lagi. “Iya, waktu kakak kerja kak Raka datang bawain Leo nasi goreng,” jelasnya dengan senang.

Aku menghela nafas kemudian tersenyum simpul kearahnya. Aku merasa lega untuk sesaat, jika tidak ada Raka anak ini akan kelaparan karenaku.

“Oh iya, dikasih bolu tuh sama kak Rani,” ucapku sambil menunjuk kantung plastik yang kuletakkan di atas meja semalam.

Leo segera berbalik dan mengambil plastik berisi kotak itu. Dia duduk disampingku dan segera membuka kotak itu. Aku tertawa melihat wajahnya yang terlihat sangat senang saat melihat isinya.

“Bolu cokelat!” serunya.

“Tapi bolunya sudah dingin.” Aku memasang wajah memelas sambil mengerucutkan bibirku dengan sengaja.

Kemudian dia menggeleng cepat. “Tidak apa-apa yang penting Leo makan bolu,” ucapnya bersemangat kemudian memasukkan sepotong bolu ke mulutnya.

Dia langsung saja menguyah bolu itu dengan mulutnya yang kecil. Sampai pipinya menggembung karena penuh akan bolu membuatnya terlihat lucu.

“Eh, pelan-pelan haha.” Aku terkekeh melihat mulutnya yang kepenuhan. 

Dia menoleh sebentar sambil menggoyang-goyangkan kakinya. Namun Leo terus saja menguyah, menikmati bolu kesukaannya. Kemudian kualihkan pandanganku ke ranjang yang letaknya tak jauh didepanku. Aku menatap perempuan yang terbaring disana. Matanya masih tertutup rapat dan terlihat tak ada tanda-tanda ia akan membuka matanya. Aku berdiri dan berjalan menuju kearahnya. Aku meraih tangannya dan menggenggamnya. Kuelus tangan halus itu dengan lembut, kulitnya terasa sedikit dingin.

“Pagi Bu,” sapaku sembari mencium tangannya.

Aku tersenyum melihat wajahnya yang begitu tenang saat menikmati mimpinya yang tak berujung. Hal yang selalu kulakukan setiap pagi yakni menyapanya meskipun, aku tahu ibu tidak akan pernah membalas ucapanku. Aku selalu berharap di saat aku membuka mataku dipagi hari, aku akan melihatnya terduduk di ranjang sambil tersenyum kearahku. Berharap dapat melihat senyum yang selama ini kurindukan. Aku menatapnya sambil terus berdoa dalam hati, agar Tuhan segera membangunkannya dari tidur panjangnya.

Aku tersadar dari lamunanku saat merasa ujung bajuku ditarik. Aku menoleh dan sedikit menunduk. Itu Leo dengan tas ransel yang sudah ditangguhkannya ke pundak. Aku berjongkok mensejajarkan tinggiku dengannya. Aku memegang kedua lengannya.

“Leo mau ke sekolah?”

Dia mengangguk, “Iya Leo mau ke sekolah sekarang.”

Aku terdiam sebentar, melihat seragamnya. Leo ikut menunduk melihat arah pandanganku.

“Ada apa kak?” tanyanya.

“Semalam Leo tidak ganti baju loh, bajunya dipakai tidur sampai pagi.”

Kemudian dia tertawa mendengar jawabanku membuat alisku mengerut bingung. “Iya, Leo lupa gantinya karena ngantuk kak. Tapi tidak apa-apa kok, kan Leo sudah mandi jadi pasti wangi,” jelasnya. Aku terdiam dibuatnya, tak tahu harus menjawab apa.

Kemudian Leo mendekatkan wajahnya ke telingaku. “Jangan bilang siapa-siapa,” bisiknya pelan. 

Aku mengangguk-angguk sambil menaruh jari telunjukku di depan bibir. “Sst…oke, aman kapten,” jawabku mengerti dengan mengecilkan suaraku.

Kami pun tertawa sebentar. Aku pun beranjak meraih tasku dan mengambil parfum di dalamnya. Dengan segera aku menyemprotkan parfum itu ke Leo. Segera saja Leo menutup hidung dan kedua matanya.

Aku menyemprotkannya sambil mengelilingi tubuhnya yang mungil, mencoba bercanda dengannya.

“Nah, sekarang tidak ada yang tahu,” kataku setelah menutup botol parfum yang kupegang. 

Leo segera membuka kedua matanya dan mencium seragamnya. Kemudian dia mengacungkan kedua jempolnya sambil memperlihatkan deretan giginya yang tersusun rapi. Akupun ikut mengacungkan kedua jempolku. Tak lama, seseorang mengetuk pintu, membuat kami berbalik. Leo segera membuka pintu itu.

“Kak Raka!” serunya bersemangat.

Langsung saja Leo melompat-lompat kegirangan kemudian segera memeluk pinggang Raka setelah Raka memperlihatkan dirinya dari balik pintu. 

“Hey kapten, siap berpetualangan hari ini?” tanya Raka sambil memegang kepalanya.

Leo mendongkak. “Siap!” jawabnya bersemangat nan riang.

“Kalau begitu mari kita berangkat!” ujar Raka sambil memasang wajah ala-ala.

“Mari mari!” Leo sambil melepaskan pelukannya kemudian menghentakkan kakinya.

Melihat Leo sebahagia itu bersama Raka membuatku merekahkan senyum. Saat mereka bersama, aku melihat sisi Raka yang lain. Sisi yang tak pernah ia tunjukkan kepada orang-orang. Dimana jika ia menunjukkan sisi itu aku yakin alasan para gadis menyukainya akan bertambah. Terkadang aku merasa istimewa karena dapat melihat sisi itu secara langsung.

Saat ibu sakit, Raka hampir menghabiskan waktunya bersama Leo. Sampai aku merasa tak enak hati karena aku telah menyita begitu banyak waktunya meskipun bukan aku yang minta. Mereka terlihat seperti seorang ayah dan anak jika bersama. Raka selalu menemani Leo saat tak ada jam mata kuliah atau disaat aku harus ke kampus karena urusan.

Tak jarang aku mendapati mereka telah tertidur saat aku pulang. Raka juga sering menginap disini hanya untuk menemani Leo bermain. Pernah juga sekali, Raka rela datang hanya karena Leo minta dibacakan dongeng. Lihatlah, seberapa baik seorang Raka Janardana.

“Kakak,” 

Seruhan itu berhasil membuatku tersadar dan telah mendapati mereka berdua tengah memandangiku. Aku segera memperhatikan keduanya silih berganti dan segera berdehem.

“Ekhm...sudah mau berangkat ya?” tanyaku.

Aku mengutuk diriku sendiri karena telah melamun di hadapan mereka. apa itu tadi? Aku benar-benar malu jika Raka menyadari tatapan kagumku kepadanya. Mereka saling berpandangan kemudian kulihat Raka mendekatkan wajahnya ke Leo.

“Lihatkan? Dia sudah gila senyum-senyum sendiri,” ucap Raka seolah berbisik.

Ah, sial. 

Kulihat Leo mengangguk dengan memicingkan mata kearahku. “Iya, dia sudah gila. Ih...takut banget,” ucapnya sambil memundurkan langkahnya.

“Hey, aku dengar itu,” jawabku ketus.

“Lihat Leo, sekarang dia marah-marah sendiri,” lanjut Raka sengaja.

“Harus kita apakan dia Mister?” tanya Leo kemudian.

Raka terlihat berfikir tanpa mengalihkan pandangannya dariku.

“Pergi ke sekolah sana!” seruku cepat.

”Hm...bagaimana jika kita eksekusi saja?” jawab Raka setelah tampak berfikir.

“Aku setuju!” jawab Leo dengan mantap.

Aku membulatkan kedua mataku setelah mendengar itu. “Ehh...sana sana,” ucapku dengan nada penolakan. Aku tidak suka eksekusi mereka, eksekusi mereka berarti digelitik dan aku mudah geli. Sangat mengerikan. 

“Menjauh kataku!” seruku cepat sambil meletakkan kedua tanganku didepan sebagai penghalang.

Aku mengatakan itu saat melihat mereka berdua mulai mendekat. Kulihat mereka memasang posisi ancang-ancang seakan ingin menerkamku.

“Leo... Raka,” 

Mereka tidak menghiraukanku. Mereka memberikanku tatapan menakutkan dan mereka menekuk lututnya.

“Raka!”

Mendengarku sedikit berteriak, mereka segera memperbaiki posisinya. “Hahahaha... Kakak penakut,” ejek Leo sambil memegang perutnya.

“Enak saja, tidak ya!” ucapku membela diri.

“Penakut,” kata Raka sambil mengendikkan bahunya.

“Siapa yang penakut?” jawabku sembari mengedarkan pandanganku seolah-olah mencari seseorang.

Kulihat  dari ujung mataku Raka menggeleng. “Idih,” cibirnya.

“Haiss, sana pergi nanti kalian telat!” sahutku dengan sedikit kesal.

“Iya iya” jawab Raka kemudian mengikuti Leo yang berjalan menuju ranjang rumah sakit.

Leo berjinjit, kemudian merekahkan senyumnya. “Ibu, Leo ke sekolah dulu ya.” ucapnya.

Matanya berbinar seakan menunggu jawaban dari perempuan ini. Kemudian dia berpindah dan berdiri di hadapanku.

“Kakak Leo ke sekolah dulu ya,” pamitnya sambil mencium tanganku.

Aku tersenyum kemudian mengusap rambutnya singkat. “Belajar yang benar kapten.” jawabku.

“Masuk kuliah jam berapa?” tanya Raka.

“Jam sebelas nanti.” jawabku singkat.

“Kau marah?” 

Aku mengangkat kedua alisku. “Tidak,” jawabku seadanya.

“Kau merajuk kalau begitu,” 

Aku mengerutkan dahiku. “Tidak ya, enak saja,” jawabku ketus, meskipun dia benar.

Raka memutar bola matanya jengah kemudan merapikan kemeja yang dipakainya. “Yasudah, nanti hubungi aku,” pinta Raka kemudian berbalik.

“Dadah Kakak!” pamit Leo sambil melambaikan tangannya.

Aku tersenyum sambil melambaikan tanganku pula. Segera saja Raka membuka pintu itu. 

“Dasar nenek sihir,” ucapnya pelan.

“Hei aku dengar itu!”

Aku menggerutu kesal dibuatnya. Ingin sekali rasanya aku menarik rambutnya namun, dia lebih dulu menutup pintu. Aku membuang nafas pelan dan terdiam sebentar. Kemudian tertawa kecil dengan sendirinya. 

Aku berjalan ke arah jendela, dan menengok keluar. Karena  Kamar ibu terletak di lantai dua rumah sakit, aku sedikit menunduk agar dapat melihat ramainya jalanan. Banyak sekali kendaraan yang memenuhi jalan, karena jalanan ini bukan satu arah alhasil terjadi macet. Biasanya jalan ini tidak terlalu ramai tapi, entah apa yang membuatnya seperti itu hari ini. Kemudian mataku tiba-tiba terfokus pada wanita kantoran yang menggandeng tangan gadis kecil. 

Wanita itu terlihat sibuk dengan ponselnya, sambil berjalan menuju tepi jalan dengan tangan yang tak lepas dari gadis kecilnya. Kemudian tak lama, mobil hitam berhenti di depannya. Dia pun menaruh ponselnya kemudian berjongkok mensejajarkan tingginya dengan gadis kecil itu.

Mereka terlihat bercakap lalu dia mengecup pipi gadis kecilnya. Kemudian saling melambaikan tangan hingga gadisnya masuk ke dalam mobil itu.

“Aku iri gadis kecil,” aku memasang wajah cemburu.

Lalu mataku kembali berfokus pada wanita yang tengah berolahraga. Dia terlihat berlari kecil dengan earphone yang melekat di telinganya.

“Kapan terakhir kali aku jalan pagi ya?” tanyaku sambil bermolog sendiri.

Aku melipat kedua tanganku di depan dada sambil membuang nafas. Aku berbalik sebentar. “Ibu, hari ini aku kuliah siang,” ucapku mulai bercerita.

Aku mulai berjalan kecil mengelilingi ruangan itu. “Sebenarnya aku tidak ingin masuk kampus. Tapi, karena aku harus buat ibu bangga maka kulakukan.”

“Bukan karena dosenku Bu, tapi karena ada anak songong yang selalu menggangguku.” lanjutku sendiri mulai kesal.

“Padahal aku tidak pernah mengganggunya sama sekali,” curhatku padanya.

Aku membuang nafas kasar. “Sejak Ayah pergi, aku berasa menjadi anak anti sosial.”

Aku menengadah memperhatikan langit-langit ruangan itu. “Kenapa Ayah tidak peduli pada kita? Apa dia tidak sayang pada Leo?” tanyaku berharap mendapat jawaban dari Ibu.

Aku kembali menatapnya. Matanya masih tertutup rapat. “Ibu, aku rasa aku mulai,”

Aku terdiam sebentar sebelum melanjutkan perkataanku. Dadaku terasa sesak dan pipiku mulai memanas. “membenci Ayah.” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status