Share

3. Kebohongan Pertama

Shanas terbangun dengan tubuh yang kesakitan. Wajar saja begitu karena dia ketiduran dengan posisi masih duduk di kursi belajarnya dengan posisi tubuh telungkup di atas meja. Sebagai asisten pengacara publik yang sedang menangani sebuah kasus, Shanas dituntut untuk turut membantu mengumpulkan fakta-fakta dan merancang pembelaan. Pekerjaan yang berat tapi Shanas tidak keberatan karena memang menyukainya.

Baru selesai menguap panjang ketika ponselnya bergetar, tanda ada yang menelepon. Dengan agak malas, Shanas menerima panggilan telepon itu.

"Halo, Ma," sapa Shanas dan menguap untuk kedua kalinya.

"Baru bangun, Nas?" tanya suara lembut dari seberang telepon.

"Iya, Ma. Pagi nanti ada sidang."

"Jam berapa?"

"Jam 10. Kenapa, Ma?" tanya Shanas menyudahi basa-basi. Dia melirik ponselnya yang lain, memeriksa waktu yang masih jam enam pagi.

"Papamu udah pulang?"

Shanas tertegun. Dia baru tersadar kalau belum ada kabar dari ayahnya lagi, sejak pamit pergi setelah makan malam. Danan berpamitan untuk menemui Olive karena kakaknya itu menelepon dengan menangis hgisteris.

"Kayaknya udah, Ma," jawab Shanas tidak yakin. Tapi, Shanas juga tidak ingin ibunya menjadi khawatir, karena itu bisa mengganggu kinerja ibunya di Surabaya.

"Kok, kayaknya? Memangnya Papa gak nemuin kamu?" Adalah kebiasaan kalau akan tidur atau pulang dari berpergian, baik Nadia ataupun Danan akan mengunjungi kamar-kamar kedua putri, untuk mengabari kepulangan dan memeriksa keadaan mereka.

"Mmm..., mungkin sih Papa udah ke kamar. Tapi kan aku ketiduran." Shanas masih menjawab dengan keraguan. Itu karena memang agak tidak biasanya. Ayahnya bahkan tidak membangunkan dirinya yang tertidur di kursi belajar.

"Coba kamu cek."

"Kenapa gak Mama telpon aja."

"Udah. Tapi HP papamu kayaknya mati."

"Tumben," ucap Shanas dengan suara lirih, seolah bicara dengan dirinya sendiri. Ayahnya adalah seorang yang siaga, hampir tidak pernah ponselnya mati.

"Hp satunya sudah dicoba?" tanya Shanas.

"Sama. Mati juga."

Shanas menarik napas. Itu memang sangat tidak biasa. Shanas berdiri dari duduknya. Wajahnya meringis karena merasakan sakit di punggung.

"Mama udah nelpon Kak Olive?" tanya Shanas yang melangkah pelan menuju pintu.

"Udah. Tadi subuh baru diangkat kakakmu."

"Apa katanya?"

"Kata Olive, papamu sudah pulang dari sekitar jam dua belas atau jam satu. Olive juga bilang kalau papamu kelihatan capek dan mungkin juga mau sakit."

"Kalau tau Papa kurang sehat, kenapa gak nginap aja di sana," dumel Shanas yang mulai khawatir juga dengan kesehatan ayahnya.

"Mmm..., Mama yang gak kasih izin."

Kedua alis rapi Shanan saling menaut. "Eh? Kenapa?"

"Kurang elok aja," jawab Nadia dengan suara malas dan enggan menjelaskan lebih lanjut.

"Lah, waktu aku kuliah di Jogja, Papa kalau datang sendirian, kan tidurnya sama aku di kosan. Mama gak ngelarang," tanya Shanas bingung. Ada batasan yang sepertinya sedang dibedakan oleh ibunya, tapi Shanas tidak melihat apa itu dengan jelas.

"Ya udahlah. Sekarang kamu cek papamu." Nadia mengembalikan pembicaraan ke topik awal. Terasa sekali kalau wanita itu enggan membahas lebih lanjut.

"Iya, ini aku udah turun. Dah mau ke kamar Papa."

Nadia mengatakan kalau perutnya mulas dan harus ke kamar mandi. Sambungan telepon pun diputuskan sepihak.

Sampainya di depan kamar orang tuanya, dengan sopan, Shanas mengetuk pintu. Setelah beberapa kali ketukan tidak ada sahutan, perlahan-lahan Shanas membukan pintu kamar.

"Pa..., aku masuk, ya...."

Shanas melangkah masuk, menadapati kamar orang tuanya yang terang benderang karena lampu. Gorden belum dibuka, itu artinya pintu geser yang mengarah ke taman juga belum dibuka. Shanas mendengar bunyi pancuran menyala dari kamar mandi, tanda kalau ayahnya sedang mandi.

Lagi-lagi, Shanas merasa hal yang tidak biasanya. Gadis itu melangkah terus dengan tatapan mengedar ke sekeliling kamar. Dilihatnya tempat tidur yang masih sangat rapi, seolah ayahnya tidak tidur di sana. Shanas membungkuk, merabai sepreinya. Terasa dingin.

"Shanas...!"

Danan keluar dari kamar mandi dengan hanya menggunakan handuk yang dililitkan di pinggang. Dia melangkah kemari pakaian dan Shanas memerhatikan.

"Papa pulang jam berapa?" tanya Shanas.

"Gak malam-malam amat. Papa pakai kemeja apa, ya?" Danan buru-buru mengalihkan topik pembicaraan. Ada ketidaknyamanan saat ditanya waktu pulang.

"Jam berapa, Pa?" Shanas bertanya dengan kedua mata melirik ke meja nakas di mana ponsel ayahnya yang tergeletak dengan kedua layarnya gelap.

"Jam sebelas kayaknya." Danan mengambil kemeja cokelat bata dan celana panjang warna hitam.

"Kayaknya?"

Danan memutar tubuhnya dan menatap putrinya yang bersikap tenang tapi seperti sedang menyelidiki dirinya.

"Kenapa?" tanya Danan berusaha tenang.

"Karena aku tidak tahu kapan Papa pulang." Shanas memutar tubuhnya, memunggungi ayahnya yang memilih berganti pakaian di dekat lemari ketimbang ke ruang ganti.

"Ya, Papa gak mampir ke kamarmu. Papa kecapekan. Kamu kan tahu jauhnya jarak dari sini ke apartemen kakakmu."

"Tapi kok Papa gak yakin jam berapa pulangnya."

"Papa gak perhatian sama jamnya. Langsung aja ke kamar dan tidur."

'Papa bohong!' teriak Shanas dalam hati.

"Papa udah nelpon Mama?" pancing Shanas.

"Oh iya!" Danan menepuk jidatnya sendiri. "Abis ini Papa telpon."

"Memangnya Mama gak nelpon?" Shanas mengambil ponsel ayahnya, mengamatinya seolah-olah itu pertama kalinya dia melihat ponsel pintar ayahnya.

"Enggak, tuh. Kayaknya mamamu sibuk."

"Kayaknya karena ponsel Papa yang mati." Shanas memutar tubuhnya.

"Mana mungkin mati. Papa gak pernah matiin HP. Sini HP-nya. Papa telpon Mama sekarang." Danan yang sudah rapi, berjalan mendekati putrinya.

Shanas menyalakan ponsel sang ayah di depan Danan. Wajah Danan pun menjadi tidak karuan. Pikirannya langsung tertuju pada Olive.

"Baterinya masih 77 persen nih, Pa," sindir Shanas.

'Brengsek! Itu pasti kerjaan Olive. Ngapain juga dia matiin HP? Kalau begini kan repot,' gerutu Danan dalam hati.

Hati Danan semakin penuh dengan omelan kala membaca banyaknya notifikasi telepon dan pesan WA dari Nadia, istrinya. Untuk pertama kalinya dalma hidup Danan, dia harus memikirkan cara untuk menenangkan Nadia.

"Papa gak nelpon, Mama?" tegur Nadia yang melihat ayahnya terlalu serius membaca pesan.

"Mama nungguin telpon Papa dari semalam."

"Oh, iya, iya, ini mau nelpon."

Secepatnya Danan menelepon istrinya. Begitu telepon tersambung, Danan langsung melangkah keluar kamar, melupakan Shanas.

Kesempatan itu digunakan Shanas untuk ke kamar mandi. Bukan untuk mandi atau buang hajat, melainkan untuk memeriksa isi dalam keranjang pakaian kotor. Tatapannya tertegun saat melhat onggokan pakaian ayahnya yang dikenakan semalam saat keluar rumah.

Shanas kemudian keluar kamar dan memeriksa gantungan pakaian. Di sana tergantung kaos santai Danan yang dikenakan saat makan malam. Harusnya, kaos itu ada di bagian paling atas tumpukan pakaian kotor.

"Berarti Papa gak pulang. Kenapa Papa harus bohong?"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status