Shanas terbangun dengan tubuh yang kesakitan. Wajar saja begitu karena dia ketiduran dengan posisi masih duduk di kursi belajarnya dengan posisi tubuh telungkup di atas meja. Sebagai asisten pengacara publik yang sedang menangani sebuah kasus, Shanas dituntut untuk turut membantu mengumpulkan fakta-fakta dan merancang pembelaan. Pekerjaan yang berat tapi Shanas tidak keberatan karena memang menyukainya.
Baru selesai menguap panjang ketika ponselnya bergetar, tanda ada yang menelepon. Dengan agak malas, Shanas menerima panggilan telepon itu.
"Halo, Ma," sapa Shanas dan menguap untuk kedua kalinya.
"Baru bangun, Nas?" tanya suara lembut dari seberang telepon.
"Iya, Ma. Pagi nanti ada sidang."
"Jam berapa?"
"Jam 10. Kenapa, Ma?" tanya Shanas menyudahi basa-basi. Dia melirik ponselnya yang lain, memeriksa waktu yang masih jam enam pagi.
"Papamu udah pulang?"
Shanas tertegun. Dia baru tersadar kalau belum ada kabar dari ayahnya lagi, sejak pamit pergi setelah makan malam. Danan berpamitan untuk menemui Olive karena kakaknya itu menelepon dengan menangis hgisteris.
"Kayaknya udah, Ma," jawab Shanas tidak yakin. Tapi, Shanas juga tidak ingin ibunya menjadi khawatir, karena itu bisa mengganggu kinerja ibunya di Surabaya.
"Kok, kayaknya? Memangnya Papa gak nemuin kamu?" Adalah kebiasaan kalau akan tidur atau pulang dari berpergian, baik Nadia ataupun Danan akan mengunjungi kamar-kamar kedua putri, untuk mengabari kepulangan dan memeriksa keadaan mereka.
"Mmm..., mungkin sih Papa udah ke kamar. Tapi kan aku ketiduran." Shanas masih menjawab dengan keraguan. Itu karena memang agak tidak biasanya. Ayahnya bahkan tidak membangunkan dirinya yang tertidur di kursi belajar.
"Coba kamu cek."
"Kenapa gak Mama telpon aja."
"Udah. Tapi HP papamu kayaknya mati."
"Tumben," ucap Shanas dengan suara lirih, seolah bicara dengan dirinya sendiri. Ayahnya adalah seorang yang siaga, hampir tidak pernah ponselnya mati.
"Hp satunya sudah dicoba?" tanya Shanas.
"Sama. Mati juga."
Shanas menarik napas. Itu memang sangat tidak biasa. Shanas berdiri dari duduknya. Wajahnya meringis karena merasakan sakit di punggung.
"Mama udah nelpon Kak Olive?" tanya Shanas yang melangkah pelan menuju pintu.
"Udah. Tadi subuh baru diangkat kakakmu."
"Apa katanya?"
"Kata Olive, papamu sudah pulang dari sekitar jam dua belas atau jam satu. Olive juga bilang kalau papamu kelihatan capek dan mungkin juga mau sakit."
"Kalau tau Papa kurang sehat, kenapa gak nginap aja di sana," dumel Shanas yang mulai khawatir juga dengan kesehatan ayahnya.
"Mmm..., Mama yang gak kasih izin."
Kedua alis rapi Shanan saling menaut. "Eh? Kenapa?"
"Kurang elok aja," jawab Nadia dengan suara malas dan enggan menjelaskan lebih lanjut.
"Lah, waktu aku kuliah di Jogja, Papa kalau datang sendirian, kan tidurnya sama aku di kosan. Mama gak ngelarang," tanya Shanas bingung. Ada batasan yang sepertinya sedang dibedakan oleh ibunya, tapi Shanas tidak melihat apa itu dengan jelas.
"Ya udahlah. Sekarang kamu cek papamu." Nadia mengembalikan pembicaraan ke topik awal. Terasa sekali kalau wanita itu enggan membahas lebih lanjut.
"Iya, ini aku udah turun. Dah mau ke kamar Papa."
Nadia mengatakan kalau perutnya mulas dan harus ke kamar mandi. Sambungan telepon pun diputuskan sepihak.
Sampainya di depan kamar orang tuanya, dengan sopan, Shanas mengetuk pintu. Setelah beberapa kali ketukan tidak ada sahutan, perlahan-lahan Shanas membukan pintu kamar.
"Pa..., aku masuk, ya...."
Shanas melangkah masuk, menadapati kamar orang tuanya yang terang benderang karena lampu. Gorden belum dibuka, itu artinya pintu geser yang mengarah ke taman juga belum dibuka. Shanas mendengar bunyi pancuran menyala dari kamar mandi, tanda kalau ayahnya sedang mandi.
Lagi-lagi, Shanas merasa hal yang tidak biasanya. Gadis itu melangkah terus dengan tatapan mengedar ke sekeliling kamar. Dilihatnya tempat tidur yang masih sangat rapi, seolah ayahnya tidak tidur di sana. Shanas membungkuk, merabai sepreinya. Terasa dingin.
"Shanas...!"
Danan keluar dari kamar mandi dengan hanya menggunakan handuk yang dililitkan di pinggang. Dia melangkah kemari pakaian dan Shanas memerhatikan.
"Papa pulang jam berapa?" tanya Shanas.
"Gak malam-malam amat. Papa pakai kemeja apa, ya?" Danan buru-buru mengalihkan topik pembicaraan. Ada ketidaknyamanan saat ditanya waktu pulang.
"Jam berapa, Pa?" Shanas bertanya dengan kedua mata melirik ke meja nakas di mana ponsel ayahnya yang tergeletak dengan kedua layarnya gelap.
"Jam sebelas kayaknya." Danan mengambil kemeja cokelat bata dan celana panjang warna hitam.
"Kayaknya?"
Danan memutar tubuhnya dan menatap putrinya yang bersikap tenang tapi seperti sedang menyelidiki dirinya.
"Kenapa?" tanya Danan berusaha tenang.
"Karena aku tidak tahu kapan Papa pulang." Shanas memutar tubuhnya, memunggungi ayahnya yang memilih berganti pakaian di dekat lemari ketimbang ke ruang ganti.
"Ya, Papa gak mampir ke kamarmu. Papa kecapekan. Kamu kan tahu jauhnya jarak dari sini ke apartemen kakakmu."
"Tapi kok Papa gak yakin jam berapa pulangnya."
"Papa gak perhatian sama jamnya. Langsung aja ke kamar dan tidur."
'Papa bohong!' teriak Shanas dalam hati.
"Papa udah nelpon Mama?" pancing Shanas.
"Oh iya!" Danan menepuk jidatnya sendiri. "Abis ini Papa telpon."
"Memangnya Mama gak nelpon?" Shanas mengambil ponsel ayahnya, mengamatinya seolah-olah itu pertama kalinya dia melihat ponsel pintar ayahnya.
"Enggak, tuh. Kayaknya mamamu sibuk."
"Kayaknya karena ponsel Papa yang mati." Shanas memutar tubuhnya.
"Mana mungkin mati. Papa gak pernah matiin HP. Sini HP-nya. Papa telpon Mama sekarang." Danan yang sudah rapi, berjalan mendekati putrinya.
Shanas menyalakan ponsel sang ayah di depan Danan. Wajah Danan pun menjadi tidak karuan. Pikirannya langsung tertuju pada Olive.
"Baterinya masih 77 persen nih, Pa," sindir Shanas.
'Brengsek! Itu pasti kerjaan Olive. Ngapain juga dia matiin HP? Kalau begini kan repot,' gerutu Danan dalam hati.
Hati Danan semakin penuh dengan omelan kala membaca banyaknya notifikasi telepon dan pesan WA dari Nadia, istrinya. Untuk pertama kalinya dalma hidup Danan, dia harus memikirkan cara untuk menenangkan Nadia.
"Papa gak nelpon, Mama?" tegur Nadia yang melihat ayahnya terlalu serius membaca pesan.
"Mama nungguin telpon Papa dari semalam."
"Oh, iya, iya, ini mau nelpon."
Secepatnya Danan menelepon istrinya. Begitu telepon tersambung, Danan langsung melangkah keluar kamar, melupakan Shanas.
Kesempatan itu digunakan Shanas untuk ke kamar mandi. Bukan untuk mandi atau buang hajat, melainkan untuk memeriksa isi dalam keranjang pakaian kotor. Tatapannya tertegun saat melhat onggokan pakaian ayahnya yang dikenakan semalam saat keluar rumah.
Shanas kemudian keluar kamar dan memeriksa gantungan pakaian. Di sana tergantung kaos santai Danan yang dikenakan saat makan malam. Harusnya, kaos itu ada di bagian paling atas tumpukan pakaian kotor.
"Berarti Papa gak pulang. Kenapa Papa harus bohong?"
***
Shanas sudah di meja makan lebih awal. Dia adalah seorang yang selalu tepat waktu. Mendului adalah yang terbaik yang Shanas lakukan. Itu menguntungkan baginya, karena dengan begoitu, Shanas bisa mencerna situasinya dan menganalisa kemungkinan.Danan muncul kemudian, tapi tanpa Nadia, karena istrinya itu masih merapikan rambutnya. Danan menyapa putri bungsunya itu, sembari memberikan kecupan ringan di kening. Setelah duduk, kepala Danan celingukan, seperti mencari sesuatu."Kakakmu belum turun?"Shanas menatap heran pada ayahnya dan menaikkan bahu malas."Kak Olive kan di paviliun." Shanas mengingatkan pindahnya kamar Olive."Oh iya..., Papa lupa. Apa dia gak sarapan, ya?" Danan memeriksa jam tangannya dan kini celingukan ke arah belakang rumah yang pintu gesernya sudah dibuka lebar."Udah jam segini, kok belum datang dia? Papa panggil dia dulu, ya." Danan berdiri, hendak pergi ke paviliun."Gak usah, Pa." Suara Nadia yang cukup tegas, membatalkan niat Danan keluar dari kursinya.Nadia
Di tempat tidurnya, Danan terlihat gelisah. Danan sendiri tidak sedang benar-benar tidur. Dia duduk bersandar di sandaran tempat tidur, sembari melihat-lihat konten virtual melalui tabletnya. Tapi Danan tidak benar-benar fokus dengan apa pun bentuk konten virtual yang disajikan, pikirannya justru terpecah pada Olive yang ada di paviliunnya dan Nadia yang masih sibuk dengan sisa pekerjaanya di meja kerja.Danan memeriksa ponselnya yang diletakkannya terbalik—bagian layar menghadap ke bawah. Ada pesan lagi masuk dan lagi-lagi itu dari Olive yang tidak sabar.Olive: Pa, ini udah jam satu lebih lima menit.Danan: Mamamu belum tidur.Olive: Papa bohong, kan? Mama gak pernah tidur lewat jam dua belas malam.Danan mengarahkan kamera ponsel pintarnya ke Nadia yang masih fokus dengan laptopnya dan mengirimnya ke Olive.Danan: Percaya? Udahlah kamu tidur aja. Kayaknya mamamu bakal lebih lama lagi kerja.Olive: Aku tetap tunggu Papa.Danan menghela napasnya kasar. Tanpa dia sadari, suara helaan
Dengan sengaja Olive mematikan semua lampu, kecuali lampu di teras paviliun dan lampu baca di dalam kamarnya. Dia berjalan mondar-mandir di ruang utama, sembari mengintip keluar beberapa kali melalui jendela. Olive menunggu kemunculan Danan. Gadis itu yakin kalau ayah angkatnya itu akan datang menjemputnya kalau tahu dirinya tidak muncul di ruang makan.Seperti yang sudah diduga, Olive melihat kemunculan Danan yang berjalan cepat dan secepat itu juga Olive berlari masuk ke dalam kamar, naik ke tempat tidur, duduk dengan kaki menekuk dan kedua tangan merangkul kaki. Wajahnya memelas, sikapnya benar-benar seperti seornag gadis kecil yang merajuk.Tak lama terdengar suara Danan yang memanggil nama Olive dari ruang utama paviliun. Keheranan karena lampu belum menyala dan Olive juga tidak menyahut. Setelah menyalakan lampu, juga melihat kalau Olive tidak ada, Danan bergerak cepat menuju ke kamar."Kamu kenapa, Live?" tanya Danan sembari melangkah masuk. Ada nada kesal dari caranya bertanya
Dengan wajah berseri-seri dan saling berpegangan tangan, Danan dan Nadia masuk ke ruang makan. Bahkan Danan membuat lelucon yang membuat wajah Nadia bersemu merah dan tertawa lebar. Rupanya, Danan sedang menggoda Nadia perihal permainan mereka di hotel tadi siang.Shanas yang melihat kemunculan kedua orang tuanya, diam-diam tersenyum bahagia. Sebenarnya itu bukan pemandangan yang luar biasa, bahkan itu adalah hal biasa jika Danan dan Nadia masuk ruang makan bersamaan sembari bercanda. Tapi, kali ini terasa ebrbeda bagi Shanas yang sudah berprasangka aneh tentang ayahnya dan kakak perempuannya."Lho, mana Olive?" tanya Nadia sembari matanya mencari-cari.Shanas hanya menaik turunkan pundak dengan sikap tidak acuh. Nadia dan Danan duduk pelan-pelan dengan kepala yang masih celingukan."Kamu gak ajak Olive makan bersama?" tanya Nadia ke Shanas."Enggak. Malas," jawab singkat Shanas.Shanas mengernyit heran dan menoleh ke Danan. Tatapan matanya menyiratkan tanya perihal apa yang terjadi a
Satu jam sebelum sampai rumah"Beri aku alasan kenapa kamu menolakku?" tanya Rasyid dengan tatapan gelap yang menekan Shanas"Aku masih magang," jawab Shanas."Halah, kamu kira aku bodoh? Kamu sudah lulus PKPA dan lolos ujian UPA. Kamu bahkan lulusan terbaik sekaligus termuda. Saat ini kamu magang cuma untuk mendapatkan izin praktek saja. Tapi teknisnya, kamu bisa menerima klien. Ada yang perlu dikoreksi?" Rasyid tersenyum dengan jumawa. Kedua tangannya dikembangkan seolah menantang Shanas untuk menyanggah apa yang sudah Rasyid ketahui tentang hukum juga tentang Shanas.Diam-diam Shanas kagum dengan pengetahuan Rasyid yang selama ini dia anggap hanyalah lelaki manja kaya-raya dan sedikit bodoh."Aku tidak suka mengurusi perintilan. Apalagi ini hanya perihal asmara biasa. Urus saja sendiri!"Shanas segera bangkit berdiri. Perasaannya tidak nyaman jika terlalu lama dekat dengan Rasyid."Bilang saja kamu takut!"Shanas langsung menghentikan langkahnya yang baru dua tiga jengkal. Dia men
Setelahnya Danan tidak banyak bicara lagi, begitu juga Nadia. Masing-masing memilih diam untuk menenangkan diri sendiri, agar keributan tidak menjadi jauh lebih besar.Dalam diamnya, kepala Danan berputar-putar memikirkan cara untuk memebritahukan ke Nadia, perihal kepulangan Olive dan niatan gadis itu untuk kembali tinggal di rumah ketimbang di apartemennya. Danan khawatir kalau itu akan kembali membuat ricuh di antara dirinya dan istrinya.Tapi, jarak ke rumah sudah hampir dekat. Danan tetap tidak menemukan cara dan tidak mendapatkan waktu yang tepat untuk menyampaikan ke Nadia. Akhirnya Danan pasrah. Lebih baik ribut di luar drai pada di rumah, yang bisa dilihat orang-orang di rumah, terutama pembantu dan satpam."Ma..., Olive pulang ke rumah."Seperti yang sudah diduga, Nadia menarik napasnya dengan dramatis, hingga terdengar suara seperti tercekik. Dia menoleh cepat dengan kedua mata mendelik lebar."Sejak kapan? Kok, kamu bilang ke aku, Pa? Kenapa gak ada diskusinya sama aku? Ol