Share

2. Bukan Sedarah

"Aku sangat mencintai Papa."

Untuk sesaat, suasana menjadi sangat hening. Danan terpaku di dalam mata Olive, begitu juga sebaliknya. Masing-masing mencari jawaban dan kebenaran atas lontaran pernyataan, yang harusnya biasa saja. Sampai kemudian Danan tertawa kecil. Didekapnya kembali kepala Olive di dadanya yang bidang.

"Olive ... Olive ... Anakku tersayang. Cuma ngomong gini aja, kamu sampai harus seperti ini. Papa juga mencintaimu, Sayang. Papa juga sayang sama kamu."

"Tapi aku bukan anakmu."

Pernyataan Olive seketika menghentikan tawa kecil Danan dan juga usapan lembut jemari Danan di punggung Olive. Wajah Danan berubah menjadi sangat kaku sekaligus tubuhnya menjadi tegang.

"Jangan bicara sembarangan. Kamu anak Papa, Olive," tegas Danan dengan nada suara yang tidak meyakinkan.

Olive melepaskan diri dari pelukan Danan yang hangat. Dia sedikit mendongak, menantang tatapan mata ayahnya dengan serius.

"Aku tau kalau aku bukan anak Papa dan Mama. Sudah lama aku tau itu."

Danan tidak bisa berkutik. Tatapan matanya menjadi nanar dengan pikiran yang mulai kalut.

"Memangnya kamu tau apa, Olive? Siapa yang udah kasih tau kamu hal gila ini?" desak Danan.

"Dokter."

Kedua alis mata Danan saling menaut. Kepalanya sedikit dimiringkan. Danan mencoba mencerna ucapan putrinya itu.

"Papa ingat waktu aku SMP, yang aku kecelakaan karena naik sepeda motor tanpa bimbingan?"

Danan mengangguk lemah karena masih tidak mengerti.

"Saat itu aku butuh donor darah AB. Tapi, Mama tidak bisa memberikannya."

Danan kemudian tersenyum geli. Jelas sekali kalau ada kelegaan di raut wajahnya.

"Ya kan itu karena golongan darah mamamu A dan saat itu kan Papa lagi urusan bisnis ke Malaysia. Jadinya, demi keselamatanmu, ya pakai donor darah," jelas Danan tenang.

"Dan golongan darah Papa O. Aku tahu itu karena Papa pernah ikut bakti sosial donor darah di sekolahku. Itu sudah menjelaskan semua kan, Pa?"

Danan benar-benar dibuat tidak berkutik. Itu adalah yang tidak terpikirkan oleh Danan dan Nadia saat memutuskan mengambil Olive. Keduanya sudah melakukan berbagai cara untuk menutupi masa lalu Olive, termasuk pembuatan akta kelahiran yang sudah melalui jalur belakang.

Tapi itu bukanlah suatu masalah yang sudah diperkirakan Danan. Suatu pengakuanlah yang membuat dunia Danan menjadi bolak balik tidak karuan. Sebuah pernyataan yang bahkan tidak pernah dipikirkan sedikit saja di benak Danan.

"Aku tau kalau aku bukan sedarah dengan Papa ataupun Mama. Jadi, aku tidak salah dengan perasaanku ini kan, Pa?"

Bibir Danan terkatup rapat. Kepalanya sudah tidak mampu berpikir apa-apa. Tubuhnya juga menjadi kaku karena secara agresif Olive mendekat dengan kepala yang menjulur hampir sejajar dengan kepalanya.

"Aku mencintaimu, Pa."

Tanpa diduga, kedua tangan Olive menempel di kedua pipi Danan. Memastikan kepala Danan hanya terarah pada dirinya. Dengan berani, Olive meninggikan tubuhnya dengan bertumpu pada kedua kaki yang terlipat, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Danan, mempersempit jarak wajah di antara keduanya.

"Aku menganggumi Papa sejak aku masih kecil. Itu kemudian menjadi sebuah rasa yang berbeda yang aku takuti. Sampai kemudian aku menyadari fakta darah itu dan aku tahu aku tidak salah dengan perasaanku ini."

Olive semakin merapatkan wajahnya ke wajah Danan. Merasakan embusan napas Danan yang hangat. Ada keinginan liarnya untuk melakukan sesuatu yang lebih pada Danan. Dengan kesadaran yang mengambang, bibir Olive menyentuh bibir Danan.

Tindakan ringan itu, cukup membuat tubuh Danan tersentak terkejut. Secara reflek, Danan memegang kedua pundak Olive, memundurkan tubuh gadis itu, dan Danan berdiri gelisah. Apa yang terjadi membuat Danan benar-benar kalut.

Danan menarik napas dalam berulang kali. Kedua tangannya menekuk di pinggang. Setelah beberapa saat hening, Danan menunduk. Niatnya adalah untuk memastikan keadaan Olive. Tapi itulah adalah kesalahan berikutnya.

Olive justru mendongak, menatap Danan dengan tatapan lembut. Sikapnya bagaikan seorang pelayan yang memuja majikannya. Menunggu tenang dengan sikap bersimpuh yang sempurna. Paha putih Olive menyembul sebagian, dan untuk pertama kalinya, Danan menatap paha itu dengan cara yang berbeda.

Itu benar-benar menganggu. Danan tidak mau menjadi gegabah. Dia harus keluar.

"Papa pulang dulu. Kasihan adikmu sendirian di rumah." Sebuah keputusan yang tepat yang Danan ambil.

Tapi Olive tidak mau Danan pergi. Ditangkapnya pergelangan tangan Danan, menahannya dengan kedua tangan, dan Olive segera berdiri. Gadis itu menempelkan tubuhnya ke tubuh Danan. Mendongak dengan cara yang sensual.

"Jangan pergi ...," bisik lembut Olive.

Kedua tangan gadis itu, mengalung di leher Danan. Tatapan matanya yang sayu tak lepas menangkap kedua mata Danan yang bimbang.

"Tidak ada yang salah dengan cinta ini kan, Pa? Aku bukan anakmu dan kamu bukan ayahku."

Danan mencoba memalingkan wajah, tapi Olive langsung menahan dengan memegangi pipi Danan. Jari-jemari lentik Olive, merabai bagian pinggir luar pipi yang terasa sedikit kasar karena mulai tumbuh jambang. Terasa sedikit geli bagi Danan, sekuatnya dia menahan diri.

"Jangan berpaling dariku, Pa. Lihatlah aku. Tataplah aku. Sekarang aku adalah wanita dewasa."

"Jangan seperti ini Olive," erang Danan yang mencoba melepaskan diri dari putri angkatnya itu.

"Kenapa tidak boleh, Pa? Papa selalu bilang menyayangiku. Kenapa sekarang seperti menolakku?"

"Itu beda Olive. Ayolah. Jangan seperti ini. Ini tidak benar." Dengan tegas Danan melepaskan pelukan Olive dan melangkah mundur dengan gelisah.

"Ini adalah benar!" pekik Olive yang kecewa karena Danan menghindarinya. "Papa menyayangiku dan aku juga menyayangi Papa. Kita bahkan bukan ayah dan anak yang sebenarnya."

"Tapi, buat Papa, kamu masih adalah anak."

"Bagian mana dari diriku yang Papa sebut anak?"

"Semua," jawab Danan putus asa. Pikirannya sudah menjadi kusut. Keadaannya menjadi mulai tidak terkendali, sejak ciuman lembut tadi.

Olive mendekati Danan dengan sangat cepat. Berdiri menantang dengan sikap tubuh tegap, yang justru semakin menonjolkan bukit kembarnya. Itu menciptakan lekukan sensaional bagi visualisasi Olive. Danan tidak mengerti kenapa kali ini sangat berbeda.

Dengan kedua tangannya, Olive menarik tangan kanan Danan. Tanpa sempat berpikir, di bawa ke mana tangannya, sekejap saja, telapak tangan Danan sudah menempel di salah satu buah dada Olive.

Danan benar-benar terkejut. Kedua matanya mendelik lebar. Dia merasakan kalau telapak tangannya menjadi hangat. Jantungnya juga berpacu sangat cepat.

"Milikku ini harusnya adalah bagian dari pembuktian kalau aku bukan lagi anak-anak, Pa. Aku adalah wanita dewasa, yang berhak jatuh cinta dengan pria pilihannya. Dan aku jatuh cinta padamu, Danan Wijaya."

Jakun Danan naik turun saat namanya disebutkan. Semakin belingsatan saat Olive merapatkan tubuhnya dan menjijit. Salah satu tangannya mengalung di leher Danan, sedangkan tangannya yang lain, menahan tangan Danan agar tetap menempel di salah satu bukit indahnya.

"Aku ingin menyerahkan cintaku padamu, Danan Wijaya."

Dan bibir Olive, menempel kuat ke bibi Danan. Melumat bibir bawah Danan dengan lembut. Memberikan sensasi baru pada hasrat liar Danan yang bergejolak dan menuntut pelepasan. Olive sedang berusaha, menghancurkan kesetiaan Danan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status