"Aku sangat mencintai Papa."
Untuk sesaat, suasana menjadi sangat hening. Danan terpaku di dalam mata Olive, begitu juga sebaliknya. Masing-masing mencari jawaban dan kebenaran atas lontaran pernyataan, yang harusnya biasa saja. Sampai kemudian Danan tertawa kecil. Didekapnya kembali kepala Olive di dadanya yang bidang.
"Olive ... Olive ... Anakku tersayang. Cuma ngomong gini aja, kamu sampai harus seperti ini. Papa juga mencintaimu, Sayang. Papa juga sayang sama kamu."
"Tapi aku bukan anakmu."
Pernyataan Olive seketika menghentikan tawa kecil Danan dan juga usapan lembut jemari Danan di punggung Olive. Wajah Danan berubah menjadi sangat kaku sekaligus tubuhnya menjadi tegang.
"Jangan bicara sembarangan. Kamu anak Papa, Olive," tegas Danan dengan nada suara yang tidak meyakinkan.
Olive melepaskan diri dari pelukan Danan yang hangat. Dia sedikit mendongak, menantang tatapan mata ayahnya dengan serius.
"Aku tau kalau aku bukan anak Papa dan Mama. Sudah lama aku tau itu."
Danan tidak bisa berkutik. Tatapan matanya menjadi nanar dengan pikiran yang mulai kalut.
"Memangnya kamu tau apa, Olive? Siapa yang udah kasih tau kamu hal gila ini?" desak Danan.
"Dokter."
Kedua alis mata Danan saling menaut. Kepalanya sedikit dimiringkan. Danan mencoba mencerna ucapan putrinya itu.
"Papa ingat waktu aku SMP, yang aku kecelakaan karena naik sepeda motor tanpa bimbingan?"
Danan mengangguk lemah karena masih tidak mengerti.
"Saat itu aku butuh donor darah AB. Tapi, Mama tidak bisa memberikannya."
Danan kemudian tersenyum geli. Jelas sekali kalau ada kelegaan di raut wajahnya.
"Ya kan itu karena golongan darah mamamu A dan saat itu kan Papa lagi urusan bisnis ke Malaysia. Jadinya, demi keselamatanmu, ya pakai donor darah," jelas Danan tenang.
"Dan golongan darah Papa O. Aku tahu itu karena Papa pernah ikut bakti sosial donor darah di sekolahku. Itu sudah menjelaskan semua kan, Pa?"
Danan benar-benar dibuat tidak berkutik. Itu adalah yang tidak terpikirkan oleh Danan dan Nadia saat memutuskan mengambil Olive. Keduanya sudah melakukan berbagai cara untuk menutupi masa lalu Olive, termasuk pembuatan akta kelahiran yang sudah melalui jalur belakang.
Tapi itu bukanlah suatu masalah yang sudah diperkirakan Danan. Suatu pengakuanlah yang membuat dunia Danan menjadi bolak balik tidak karuan. Sebuah pernyataan yang bahkan tidak pernah dipikirkan sedikit saja di benak Danan.
"Aku tau kalau aku bukan sedarah dengan Papa ataupun Mama. Jadi, aku tidak salah dengan perasaanku ini kan, Pa?"
Bibir Danan terkatup rapat. Kepalanya sudah tidak mampu berpikir apa-apa. Tubuhnya juga menjadi kaku karena secara agresif Olive mendekat dengan kepala yang menjulur hampir sejajar dengan kepalanya.
"Aku mencintaimu, Pa."
Tanpa diduga, kedua tangan Olive menempel di kedua pipi Danan. Memastikan kepala Danan hanya terarah pada dirinya. Dengan berani, Olive meninggikan tubuhnya dengan bertumpu pada kedua kaki yang terlipat, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Danan, mempersempit jarak wajah di antara keduanya.
"Aku menganggumi Papa sejak aku masih kecil. Itu kemudian menjadi sebuah rasa yang berbeda yang aku takuti. Sampai kemudian aku menyadari fakta darah itu dan aku tahu aku tidak salah dengan perasaanku ini."
Olive semakin merapatkan wajahnya ke wajah Danan. Merasakan embusan napas Danan yang hangat. Ada keinginan liarnya untuk melakukan sesuatu yang lebih pada Danan. Dengan kesadaran yang mengambang, bibir Olive menyentuh bibir Danan.
Tindakan ringan itu, cukup membuat tubuh Danan tersentak terkejut. Secara reflek, Danan memegang kedua pundak Olive, memundurkan tubuh gadis itu, dan Danan berdiri gelisah. Apa yang terjadi membuat Danan benar-benar kalut.
Danan menarik napas dalam berulang kali. Kedua tangannya menekuk di pinggang. Setelah beberapa saat hening, Danan menunduk. Niatnya adalah untuk memastikan keadaan Olive. Tapi itulah adalah kesalahan berikutnya.
Olive justru mendongak, menatap Danan dengan tatapan lembut. Sikapnya bagaikan seorang pelayan yang memuja majikannya. Menunggu tenang dengan sikap bersimpuh yang sempurna. Paha putih Olive menyembul sebagian, dan untuk pertama kalinya, Danan menatap paha itu dengan cara yang berbeda.
Itu benar-benar menganggu. Danan tidak mau menjadi gegabah. Dia harus keluar.
"Papa pulang dulu. Kasihan adikmu sendirian di rumah." Sebuah keputusan yang tepat yang Danan ambil.
Tapi Olive tidak mau Danan pergi. Ditangkapnya pergelangan tangan Danan, menahannya dengan kedua tangan, dan Olive segera berdiri. Gadis itu menempelkan tubuhnya ke tubuh Danan. Mendongak dengan cara yang sensual.
"Jangan pergi ...," bisik lembut Olive.
Kedua tangan gadis itu, mengalung di leher Danan. Tatapan matanya yang sayu tak lepas menangkap kedua mata Danan yang bimbang.
"Tidak ada yang salah dengan cinta ini kan, Pa? Aku bukan anakmu dan kamu bukan ayahku."
Danan mencoba memalingkan wajah, tapi Olive langsung menahan dengan memegangi pipi Danan. Jari-jemari lentik Olive, merabai bagian pinggir luar pipi yang terasa sedikit kasar karena mulai tumbuh jambang. Terasa sedikit geli bagi Danan, sekuatnya dia menahan diri.
"Jangan berpaling dariku, Pa. Lihatlah aku. Tataplah aku. Sekarang aku adalah wanita dewasa."
"Jangan seperti ini Olive," erang Danan yang mencoba melepaskan diri dari putri angkatnya itu.
"Kenapa tidak boleh, Pa? Papa selalu bilang menyayangiku. Kenapa sekarang seperti menolakku?"
"Itu beda Olive. Ayolah. Jangan seperti ini. Ini tidak benar." Dengan tegas Danan melepaskan pelukan Olive dan melangkah mundur dengan gelisah.
"Ini adalah benar!" pekik Olive yang kecewa karena Danan menghindarinya. "Papa menyayangiku dan aku juga menyayangi Papa. Kita bahkan bukan ayah dan anak yang sebenarnya."
"Tapi, buat Papa, kamu masih adalah anak."
"Bagian mana dari diriku yang Papa sebut anak?"
"Semua," jawab Danan putus asa. Pikirannya sudah menjadi kusut. Keadaannya menjadi mulai tidak terkendali, sejak ciuman lembut tadi.
Olive mendekati Danan dengan sangat cepat. Berdiri menantang dengan sikap tubuh tegap, yang justru semakin menonjolkan bukit kembarnya. Itu menciptakan lekukan sensaional bagi visualisasi Olive. Danan tidak mengerti kenapa kali ini sangat berbeda.
Dengan kedua tangannya, Olive menarik tangan kanan Danan. Tanpa sempat berpikir, di bawa ke mana tangannya, sekejap saja, telapak tangan Danan sudah menempel di salah satu buah dada Olive.
Danan benar-benar terkejut. Kedua matanya mendelik lebar. Dia merasakan kalau telapak tangannya menjadi hangat. Jantungnya juga berpacu sangat cepat.
"Milikku ini harusnya adalah bagian dari pembuktian kalau aku bukan lagi anak-anak, Pa. Aku adalah wanita dewasa, yang berhak jatuh cinta dengan pria pilihannya. Dan aku jatuh cinta padamu, Danan Wijaya."
Jakun Danan naik turun saat namanya disebutkan. Semakin belingsatan saat Olive merapatkan tubuhnya dan menjijit. Salah satu tangannya mengalung di leher Danan, sedangkan tangannya yang lain, menahan tangan Danan agar tetap menempel di salah satu bukit indahnya.
"Aku ingin menyerahkan cintaku padamu, Danan Wijaya."
Dan bibir Olive, menempel kuat ke bibi Danan. Melumat bibir bawah Danan dengan lembut. Memberikan sensasi baru pada hasrat liar Danan yang bergejolak dan menuntut pelepasan. Olive sedang berusaha, menghancurkan kesetiaan Danan.
***
Shanas terbangun dengan tubuh yang kesakitan. Wajar saja begitu karena dia ketiduran dengan posisi masih duduk di kursi belajarnya dengan posisi tubuh telungkup di atas meja. Sebagai asisten pengacara publik yang sedang menangani sebuah kasus, Shanas dituntut untuk turut membantu mengumpulkan fakta-fakta dan merancang pembelaan. Pekerjaan yang berat tapi Shanas tidak keberatan karena memang menyukainya.Baru selesai menguap panjang ketika ponselnya bergetar, tanda ada yang menelepon. Dengan agak malas, Shanas menerima panggilan telepon itu."Halo, Ma," sapa Shanas dan menguap untuk kedua kalinya."Baru bangun, Nas?" tanya suara lembut dari seberang telepon."Iya, Ma. Pagi nanti ada sidang.""Jam berapa?""Jam 10. Kenapa, Ma?" tanya Shanas menyudahi basa-basi. Dia melirik ponselnya yang lain, memeriksa waktu yang masih jam enam pagi."Papamu udah pulang?"Shanas tertegun. Dia baru tersadar kalau belum ada kabar dari ayahnya lagi, sejak pamit pergi setelah makan malam. Danan berpamitan
Malam sebelum hari ini.Mobil terparkir di parkir dalam apartemen, dengan bunyi decitan ban yang nyaring. Sangat jelas kalau mobil diparkir dengan tergesa. Sama tergesa dengan keluarnya seorang pria jangkung dari dalam mobil. Langkahnye lebar menuju lift dengan tangan kanan menenteng kotak lebar berisi kue, kesukaan sang kekasih.Meski sudah membawakan sesuatu yang disukai, tetap saja raut wajah Rasyid tegang. Itu karena dia tahu kalau Olive, kekasihnya tetap akan uring-uringan. Wanita itu meneleponnya sudah dengan emosi karena pekerjaannya yang berantakan. Meminta Rasyid segera datang sejak siang tadi, tapi Rasyid justru baru bisa datang malam hari.Dan benar saja, baru juga Rasyid masuk dan menyapa, sebuah sandal teplek, melayang ke dadanya."Ngapain datang? Ngapain?" teriak Olive. "Aku butuh kamu lagi! Laki-laki gak bisa diandalkan! Gak berguna!""Maaf, Sayang. Tapi kan tadi aku udah bilang kalau aku lagi rapat. Ditambah lagi ada tinjauan proyek di selatan.""Gak usah banyak bacot!
"Papa!" pekik nyaring Olive.Langkah Olive riang dengan senyum yang tersungging lebar. Keriangan ternyata menular pad abanyak orang yang ada di lobi perusahaan. Sebagian besarnya tahu apa hubungan Olive dan Danan, yaitu ayah dan anak, karena mereka adalah bagian dari perusahaan Danan. Sebagiannya lagi sudah bisa menduga hubungan keduanya dari sapaan Olive, karena mereka adalah tamu.Danan yang baru selesia meninjau proyek bersama timnya, terperangah dengan kedatangan Olive. Sebenarnya, itu adalah hal biasa. Hanya saja, karena kejadian semalam, Danan semakin sulit melihat Olive sebagai putrinya."Papa, sudah selesai belum, kerjanya? Makan, yuk," ajak Olive manja. Tangannya langsung menggayut di lengan Danan. Sikapnya benar-benar seperti seorang gadis yang sedang bermanja-manja dengan ayahnya.Dunia Danan berubah dalam sekejap karena apa yang terjadi semalam. Danan menjadi kikuk, tidak tahu harus berbuat apa . Padahal di hari-hari sebelumnya, jika Olive tiba-tiba datang, Danan akan meny
"Shan, bukannya itu papamu sama Kak Olive?" tanya Renata sahabat Shanas.Kedua gadis itu baru keluar dari mobil Renata dan berniat akan makan siang yang terlambat karena Shanas ada jadwal sidang bersama seniornya di pengadilan. Restoran yang dituju kebetulan sama hanya saja Renata terpaksa parkir sedikit jauh karena ini masih jam padat orang makan siang.Shanas ayahnya dan kakaknya dengan cara pandang yang berbeda—pertama kalinya. Gadis itu merasa kedekatan ayahnya dan kakak perempuannya itu agak berbeda, meskipun pemandangan di mana Olive merangkul pinggang ayahnya bukanlah sesuatu yang pertama kalinya. Tapi, Shanas tetap merasa ada yang aneh.Tanpa banyak bicara, Shanas melangkah cepat mendekati ayahnya dan Olive yang sudah hampir dekat dengan mobil."Papa!" panggil Shanas yang langsung menghentikan langkah Danan.Bergegas Danan dan Olive berbalik. Shanas bisa melihat bagaimana keduanya tampak terkejut. Tak hanya itu, tatapan Shanas yang terarah pada rangkulan Olive, seketika membua
Olive menatap wajah Danan dengan perasaan campur aduk antara kesal juga gemas. Danan semakin tenggelam dalam diamnya, setelah bertemu dengan Shanas. Dalam hatinya, Olive terus mengutuk munculnya Shanas di restoran tadi. Dari sekian banyak restoran di Jakarta, bisa-bisanya adik beda darah itu ada di sana.Mobil meluncur ke arah apartemen Olive, bukan kembali ke kantor Danan dulu. Gedung apartemen mulai terlihat puncaknya dan Olive mulai tidak nyaman. Ada perasaannya yang mengatakan kalau hubungannya dengan Danan tidak akan berlanjut lagi. Dirinya akan kesulitan bertemu dengan Danan lagi, mengingat tadi ibu angkatnya sudah menelepon dan mengabarkan akan pulang.Akhirnya mobil berhenti di pelataran depan lobi apartemen. Olive langsung merangkul erat lengan Danan."Papa anter aku ke atas, 'kan?" tanya Olive dengan sikap manjanya."Papa harus kembali ke kantor. Kan kamu dengar sendiri, Papa mau ada meeting lagi.""Tapi, biasanya kan Papa selalu antar aku ke atas.""Ya, tapi ini Papa buru-b
Saat akan memasuki parkir khusus penghuni apartemen, Rasyid tercekat melihat adanya mobil yang dia kenal, sedang berputar untuk mendapatkan parkiran. Melihat itu, rasa penasaran membuat Rasyid tidak jadi parkir di dalam. Dia justru parkir di luar, yang diperuntukan bagi tamu. Dengan sengaja Rasyid parkir di dekat mobil sedan hitam yang dia kenali.Saat melihat seorang pria keluar dari dalam mobil, Rasyid pun bergegas keluar dari mobilnya, dan menghampiri pria berkemeja hitam, yang berjalan menuju lobi apartemen."Pak Gatot!" sapa Rasyid yang langsung mendapat sambutan senyum cemerlang dari pria berkumis lebat itu."Mas Rasyid. Mau ke tempat Mbak Olive, ya?" tanya Gatot ramah."Iya. Pak Gatot ini mau jemput Olive apa bagaimana?" pancing Rasyid."O, itu tadi ngantar Mbak Olive.""Maksudnya?""Tadi Mbak Olive kan ke kantornya Bapak, terus makan siang bareng. Ini lagi nganter Mbak Olive pulang.""Sama Om Danan ke atas?" tanya Rasyid hati-hati."Iya, Mas. Diantar Bapak."Rasyid mengangguk-
Nadia baru kembali dari pekerjaannya mengaudit keuangan anak perusahaan tempatnya bekerja. Pekerjaan yang berat dan sebenarnya Danan sudah berulang kali meminta Nadia untuk berhneti, secara Danan sendiri memiliki perusahaan yang cukup besar. Danan bahkan menawari Nadia untuk menjadi CMO di perusahaannya.Namun, Nadia selalu menolak. Sebagai seorang yang idealis, Nadia ingin menjadi pribadi yang mandiri. Lagi pula, bekerja dengan orang lain, jauh lebih sehat karena minim konflik dengan keluarga.Sebenarnya, seharian bekerja ini, perasaan Nadia buruk. Pikirannya kalut ke mana-mana. Ada syak wasangka yang diam-diam sedang mengganggunya sepanjang hari.Di kamar hotel, Nadia tidak langsung mandi ataupun memesan makan malam. Dia langsung mencoba menelepon Danan, suaminya. Tak lama keningnya berkerut, saat membaca informasi yang tertera di aplikasi menelepon WA. Itu memanggil.Hanya ada tiga kemungkinan. Ponsel mati, ada gangguan jaringan, atau sedang ada di saluran panggilan lain. Nadia men
Setelah Danan masuk, Shanas bergegas masuk melalui sisi bangunan rumah yang lain. Dia tidak mungkin kembali masuk ke kamarnya, tapi Shanas bisa berada di dapur, dan pura-pura sedang membuat susu cokelat panas. Gadis itu yakin kalau ayahnya akan mencari dirinya, setelah tahu Shanas tidak ada di dalam kamar.Seperti yang sudah diduga, tak berselang lama, Danan menemukan Shanas di dapur sedang menuangkan susu cokelatnya ke gelas."Lah, ada di sini. Papa cari-cari ke mana-mana," ucap Danan dengan wajah sumringah. Pria itu melangkah cepat mendekati Shanas."Susu cokelat? Katanya mau diet." Danan mengingatkan putrinya, perihal program sehat Shanas."Aku gak bisa tidur, Pa," ucap Shanas sembari mengaduk susu cokelat panasnya."Kenapa? Ada yang dipikirin? Atau tugas kuliahnya berat?"Shanas menggeleng lemah. Wajahnya dia buat sendu."Sepi aja gak ada Mama." Shanas menatap ayahnya dengan tatapan memelas. "Papa mau pergi?"Pertanyaan tiba-tiba dari sang putri membuat Danan gelagapan. Ada kebimb