Malam sebelum hari ini.
Mobil terparkir di parkir dalam apartemen, dengan bunyi decitan ban yang nyaring. Sangat jelas kalau mobil diparkir dengan tergesa. Sama tergesa dengan keluarnya seorang pria jangkung dari dalam mobil. Langkahnye lebar menuju lift dengan tangan kanan menenteng kotak lebar berisi kue, kesukaan sang kekasih.
Meski sudah membawakan sesuatu yang disukai, tetap saja raut wajah Rasyid tegang. Itu karena dia tahu kalau Olive, kekasihnya tetap akan uring-uringan. Wanita itu meneleponnya sudah dengan emosi karena pekerjaannya yang berantakan. Meminta Rasyid segera datang sejak siang tadi, tapi Rasyid justru baru bisa datang malam hari.
Dan benar saja, baru juga Rasyid masuk dan menyapa, sebuah sandal teplek, melayang ke dadanya.
"Ngapain datang? Ngapain?" teriak Olive. "Aku butuh kamu lagi! Laki-laki gak bisa diandalkan! Gak berguna!"
"Maaf, Sayang. Tapi kan tadi aku udah bilang kalau aku lagi rapat. Ditambah lagi ada tinjauan proyek di selatan."
"Gak usah banyak bacot! Aku sudah mudak dengan ketidaksigapanmu. Bilang aja kalau kamu sudah bosan sama aku! Bilang!"
Rasyid berusaha tenang. Dia mendekati Olive dengan senyuman manis.
"Aku bawakan kamu bika ambon kesukaanmu. Ayo, kita makan bareng," tawar Rasyid dengan tangan kiri terulur, berniat untuk membelai pipi Olive.
Namun, masih dengan angkaranya, Olive menepis kuat tangan Rasyid, kemudian menerima bingkisan kue dengan kasar. Kedua matanya masih mendelik ke Rasyid dan tanpa diduga, Shanas melempar kotak kue itu sekuat-kuatnya dan ke sembarang arah.
Bunyi berdebam dibarengi dengan bunyi gemeletuk gigi Rasyid yang menahan sekuat-kuatnya amarah. Rasyid pun menantang tatapan mata Olive dengan kemarahan yang setara.
"Itu makanan, Live! Dan kamu tau kalau aku tidak suka kamu membuang makanan!" bentak Rasyid dengan suara yang ditahannya agar tidak keras.
"Dan kamu juga tahu, aku tidak suka kalau kamu mengabaikan aku!" balas Olive.
"Aku tidak mengabaikanmu! Telponmu, segera aku angkat. Keinginanmu segera aku penuhi. Apa lagi?"
"Munafik! Aku nelpon berapa kali baru kamu angkat, ha?"
"Kan aku juga sudah bilang, aku lagi nyetir, Olive! Yang bener ajalah. Aku gak pernah terima telepon siapa pun kalau lagi nyetir."
"Kamu punya sopir! Gak usah banyak bacotlah!"
"Sopir dipake Mama. Sopirnya Mama lagi izin sakit. Ini harus aku jelaskan berapa kali juga ke kamu?"
"Pembohong kamu! Laki-laki gak bisa diandalkan! Pergi kamu! Pulang sana! Gak berguna! Kamu gak akan bisa seperti Papa!"
Rasyid menarik napas dalam-dalam. Bukan yang pertama kalinya dirinya diperbandingkan dengan Danan, ayah Olive. Baik itu lagi tenang ataupun lagi emosi, selalu aja ada bahan buat dibanding-bandingkan.
"Papa selalu cepat terima teleponku. Papa juga langsung datang menemuiku kapan pun aku butuh, kapan saja aku mau. Papa selalu siaga buat aku. Itu namanya laki-laki! Bergerak cepat kalau wanitanya butuh!
Apalagi kan kamu tau kalau moodku jelek. Suasana syuting juga lagi buruk. Harusnya kamu memahami keadaanku. Harusnya kamu utamakan aku. Seperti Papa yang selalu utamakan aku."
Rasyid menghela napas, menggeleng-geleng kepalanya lemah. Dia lelah diperbandingkan dan sudah sangat muak.
"Live, cukup, ya. Berapa kali juga aku ingatkan kamu, aku ini bukan papamu. Sana kamu bercinta sama papamu!"
Plak!
Sebuah tamparan mendarat telak di pipi Rasyid. Wajah Olive terlihat sangat mengerikan karena amarah yang begitu besar.
"Keluar kamu dari sini! Keluar!" teriak Olive.
Bukannya pergi, Rasyid justru duduk di sofa. Itu seperti dia sudah terbiasa dengan pengusiran. Rasyid menyandarkan tubuhnya, juga kepalanya. Kedua matanya terpejam dan kedua tangannya terlipat di dada.
Sikap tidak peduli Rasyid, membuat amarah Olive semakin meradang di kepala. Gadis itu menghentakkan kaki dan melangkah masuk ke dalam kamar. Mendengar bantingan pintu kamar, Rasyid membuka mata, menarik napas dalam-dalam. Dia menegakkan tubuhnya, merenungkan keributan yang baru saja terjadi.
Kedua bola matanya yang gelap, menangkap adanya benda semacam ujung buku di bawah sofa. Rasyid mengeluarkannya dan memang benar itu buku, dan itu buku diari milik Olive yang terbuka pada bagian akhir tulisan Olive.
***
"Hei, Bro! Syid! Rasyid!" tegur Teguh, sahabat sekaligus rekan bisnis Rasyid.
Tangan Teguh bergerak ke kanan ke kiri di depan wajah rasid, menarik kesadaran pria jangkung itu yang terlihat melamun.
"Eh? Iya, apa?" tanya Rasyid gelagapan.
"Ini Pak Man mau ambil bahan. Tanda tangani dululah," jawab Teguh tanpa menanyakan kenapa Rasyid melamun.
Rasyid memeriksa jam tangannya, membaca sekilas berkas anggaran, dan menatap pria kecil dengan kemeja kotak-kotak, yang berdiri dengan senyum seperti menahan geli.
"Ini jam makan, Pak. Makan ajalah dulu, baru bawa orang buat ambil bahan," ucap Rasyid.
"Saya makan di jalan aja, Pak. Gampang," jawab Pak Man.
Rasyid mengangguk-angguk, membubuhkan tanda tangan, dan menyerahkan map merah ke mandor bangunan.
"Jangan lupa makan. Saya gak mau yang kerja di sini sakit." Rasyid mengingatkan sebagai bentuk perhatian, lalu memberikan dua lembar uang seratus ribuan, dan itu yang membuat pria berkulit sawo matang menjadi idola para pekerja lapangan—sikap royal, perhatian, dan rendah hatinya.
Pak Man mengangguk dan mengucapkan terima kasih, baru kemudian keluar dari ruangan eksekutif, yang dibuat darurat, untuk Rasyid kalau datang ke lapangan.
"Kenapa, kamu?" tanya Teguh. "Kemarin ribut ama Shanas?"
Wajar kalau Teguh bertanya begitu, karena Teguh tahu keresahan Rasyid setelah mendapat telepon dari Shanas. Rasyid bahkan terlihat ingin buru-buru menyelesaikan pekerjaan.
"Aku udah putus sama dia," jawab Rasyid sembari memainkan kotak rokok. Dia sebenarnya ingin mengisap rokok, tapi ruangan darurat ini, begitu rapat karena ada pendingin ruangan sebagai penyejuk.
"O...." Teguh menanggapi singkat karena itu bukan pernyataan yang kesekian kalinya. Putus sambung adalah bagian dari hubungan percintaan Rasyid dan Olive selama delapan tahunan, jadi Teguh menganggap kali ini hanyalah main-main belaka.
"Kali ini aku serius."
"Ha?" Teguh melongo. Perkiraannya meleset. "Kenapa?"
"Masih masalah yang itu-itu aja. Kecemburuan dan ketidakpuasan."
"Dan itu membuat keputusan berpisah yang serius?"
Rasyid diam. Dia terlihat menimbang-nimbang untuk bicara.
"Ada hal lain," ucap Rasyid kurang yakin.
"Apa itu?"
"Pernah dengar kalau seorang ayah adalah cinta pertama putri-putrinya?"
Teguh mengangguk dan tersenyum.
"Yes, aku punya adik perempuan yang apa-apanya selalu dibandingkan dengan Papa," jawab Teguh sembari tertawa geli.
"Dan adikmu mengatakan mencintai ayahmu?"
"Iyalah. Aku juga mencintai ayahku kalau mau sedikit melankolis, hahaha...."
Rasyid tidak menanggapi tawa Teguh. Di pikirannya bergejolak pemahaman lain yang sedang dia pendam, yang kemudian menjadi keraguan tentang benar dan salah.
"Sebegitu cintanya adikmu dengan ayahmu, apakah dia merindukan dan ingin selalu dipeluk ayahmu?"
Kini ganti Teguh yang tertegun. Ada yang janggal dari pertanyaan Rasyid.
"Enggak...," jawab Teguh serius.
"Olive menulis itu di buku hariannya."
***
"Papa!" pekik nyaring Olive.Langkah Olive riang dengan senyum yang tersungging lebar. Keriangan ternyata menular pad abanyak orang yang ada di lobi perusahaan. Sebagian besarnya tahu apa hubungan Olive dan Danan, yaitu ayah dan anak, karena mereka adalah bagian dari perusahaan Danan. Sebagiannya lagi sudah bisa menduga hubungan keduanya dari sapaan Olive, karena mereka adalah tamu.Danan yang baru selesia meninjau proyek bersama timnya, terperangah dengan kedatangan Olive. Sebenarnya, itu adalah hal biasa. Hanya saja, karena kejadian semalam, Danan semakin sulit melihat Olive sebagai putrinya."Papa, sudah selesai belum, kerjanya? Makan, yuk," ajak Olive manja. Tangannya langsung menggayut di lengan Danan. Sikapnya benar-benar seperti seorang gadis yang sedang bermanja-manja dengan ayahnya.Dunia Danan berubah dalam sekejap karena apa yang terjadi semalam. Danan menjadi kikuk, tidak tahu harus berbuat apa . Padahal di hari-hari sebelumnya, jika Olive tiba-tiba datang, Danan akan meny
"Shan, bukannya itu papamu sama Kak Olive?" tanya Renata sahabat Shanas.Kedua gadis itu baru keluar dari mobil Renata dan berniat akan makan siang yang terlambat karena Shanas ada jadwal sidang bersama seniornya di pengadilan. Restoran yang dituju kebetulan sama hanya saja Renata terpaksa parkir sedikit jauh karena ini masih jam padat orang makan siang.Shanas ayahnya dan kakaknya dengan cara pandang yang berbeda—pertama kalinya. Gadis itu merasa kedekatan ayahnya dan kakak perempuannya itu agak berbeda, meskipun pemandangan di mana Olive merangkul pinggang ayahnya bukanlah sesuatu yang pertama kalinya. Tapi, Shanas tetap merasa ada yang aneh.Tanpa banyak bicara, Shanas melangkah cepat mendekati ayahnya dan Olive yang sudah hampir dekat dengan mobil."Papa!" panggil Shanas yang langsung menghentikan langkah Danan.Bergegas Danan dan Olive berbalik. Shanas bisa melihat bagaimana keduanya tampak terkejut. Tak hanya itu, tatapan Shanas yang terarah pada rangkulan Olive, seketika membua
Olive menatap wajah Danan dengan perasaan campur aduk antara kesal juga gemas. Danan semakin tenggelam dalam diamnya, setelah bertemu dengan Shanas. Dalam hatinya, Olive terus mengutuk munculnya Shanas di restoran tadi. Dari sekian banyak restoran di Jakarta, bisa-bisanya adik beda darah itu ada di sana.Mobil meluncur ke arah apartemen Olive, bukan kembali ke kantor Danan dulu. Gedung apartemen mulai terlihat puncaknya dan Olive mulai tidak nyaman. Ada perasaannya yang mengatakan kalau hubungannya dengan Danan tidak akan berlanjut lagi. Dirinya akan kesulitan bertemu dengan Danan lagi, mengingat tadi ibu angkatnya sudah menelepon dan mengabarkan akan pulang.Akhirnya mobil berhenti di pelataran depan lobi apartemen. Olive langsung merangkul erat lengan Danan."Papa anter aku ke atas, 'kan?" tanya Olive dengan sikap manjanya."Papa harus kembali ke kantor. Kan kamu dengar sendiri, Papa mau ada meeting lagi.""Tapi, biasanya kan Papa selalu antar aku ke atas.""Ya, tapi ini Papa buru-b
Saat akan memasuki parkir khusus penghuni apartemen, Rasyid tercekat melihat adanya mobil yang dia kenal, sedang berputar untuk mendapatkan parkiran. Melihat itu, rasa penasaran membuat Rasyid tidak jadi parkir di dalam. Dia justru parkir di luar, yang diperuntukan bagi tamu. Dengan sengaja Rasyid parkir di dekat mobil sedan hitam yang dia kenali.Saat melihat seorang pria keluar dari dalam mobil, Rasyid pun bergegas keluar dari mobilnya, dan menghampiri pria berkemeja hitam, yang berjalan menuju lobi apartemen."Pak Gatot!" sapa Rasyid yang langsung mendapat sambutan senyum cemerlang dari pria berkumis lebat itu."Mas Rasyid. Mau ke tempat Mbak Olive, ya?" tanya Gatot ramah."Iya. Pak Gatot ini mau jemput Olive apa bagaimana?" pancing Rasyid."O, itu tadi ngantar Mbak Olive.""Maksudnya?""Tadi Mbak Olive kan ke kantornya Bapak, terus makan siang bareng. Ini lagi nganter Mbak Olive pulang.""Sama Om Danan ke atas?" tanya Rasyid hati-hati."Iya, Mas. Diantar Bapak."Rasyid mengangguk-
Nadia baru kembali dari pekerjaannya mengaudit keuangan anak perusahaan tempatnya bekerja. Pekerjaan yang berat dan sebenarnya Danan sudah berulang kali meminta Nadia untuk berhneti, secara Danan sendiri memiliki perusahaan yang cukup besar. Danan bahkan menawari Nadia untuk menjadi CMO di perusahaannya.Namun, Nadia selalu menolak. Sebagai seorang yang idealis, Nadia ingin menjadi pribadi yang mandiri. Lagi pula, bekerja dengan orang lain, jauh lebih sehat karena minim konflik dengan keluarga.Sebenarnya, seharian bekerja ini, perasaan Nadia buruk. Pikirannya kalut ke mana-mana. Ada syak wasangka yang diam-diam sedang mengganggunya sepanjang hari.Di kamar hotel, Nadia tidak langsung mandi ataupun memesan makan malam. Dia langsung mencoba menelepon Danan, suaminya. Tak lama keningnya berkerut, saat membaca informasi yang tertera di aplikasi menelepon WA. Itu memanggil.Hanya ada tiga kemungkinan. Ponsel mati, ada gangguan jaringan, atau sedang ada di saluran panggilan lain. Nadia men
Setelah Danan masuk, Shanas bergegas masuk melalui sisi bangunan rumah yang lain. Dia tidak mungkin kembali masuk ke kamarnya, tapi Shanas bisa berada di dapur, dan pura-pura sedang membuat susu cokelat panas. Gadis itu yakin kalau ayahnya akan mencari dirinya, setelah tahu Shanas tidak ada di dalam kamar.Seperti yang sudah diduga, tak berselang lama, Danan menemukan Shanas di dapur sedang menuangkan susu cokelatnya ke gelas."Lah, ada di sini. Papa cari-cari ke mana-mana," ucap Danan dengan wajah sumringah. Pria itu melangkah cepat mendekati Shanas."Susu cokelat? Katanya mau diet." Danan mengingatkan putrinya, perihal program sehat Shanas."Aku gak bisa tidur, Pa," ucap Shanas sembari mengaduk susu cokelat panasnya."Kenapa? Ada yang dipikirin? Atau tugas kuliahnya berat?"Shanas menggeleng lemah. Wajahnya dia buat sendu."Sepi aja gak ada Mama." Shanas menatap ayahnya dengan tatapan memelas. "Papa mau pergi?"Pertanyaan tiba-tiba dari sang putri membuat Danan gelagapan. Ada kebimb
Pintu kamar Danan terbuka perlahan-lahan. Sepasang kaki jenjang dengan kulit yang begitu putih, melangkah masuk dengan sangat perlahan. Pahanya yang mulus, terpapar jelas karena dia mengenakan celana yang terlalu pendek. Tapi, sepertinya dia tidak keberatan dengan itu, meskipun pendingin ruangan menyala dengan suhu yang sangat dingin.Sampai di tepi tempat tidur, langkah kaki itu berhenti, diam. Dia mengamati Danan yang tidur telentang, terlihat sangat lelap juga damai. Dia pun duduk perlahan di bagian kosong, di sisi Danan.Olive diam bergeming, menatap Danan dengan tatapan antara kesal tapi juga rindu. Gadis itu teringat tentang telepon terakhir Danan kepadanya.***Malam sebelum pagi iniOlive tersenyum sumringah karena acara memasak sederhananya sudah selesai. Gadis itu hanya memasak spagheti, tapi itu dengan segenap hati. Olive pergi ke kamar menyiapkan diri. Gaun tidur menerawang yang jatuh di tubuh, membentuk lekukan erotis sesuai harapan. Olive juga menyemprotkan parfum dengan
Suara lenguhan pendek yang keluar dari bibir Danan dan suara memekik lemah dari Olive, menjadi tanda kalau permain bercinta keduanya sudah mencapai puncaknya. Pelepasan atas hasrat masing-masing sudah tersalurkan. Tubuh keduanya lembab dan berkeringat.Danan yang berada di atas tubuh Olive, perlahan melepaskan diri dan bergeser rebah di sebelah Olive. Sedangkan Olive, merentangkan tangan kanan Danan, baru kemudian menyelusup masuk ke dada Danan yang bergerak naik turun dengan ritme cepat. Danan pun otomatis merangkul Olive, serta membelai lembut lengan Olive.Masing-masing masih menikmati sisa-sisa romantisme yang menggelora, sembari mengatur napas agar kembali normal. Tidak ada yang bicara. Hanya belaian-belaian sebagai bentuk kasih sayang."Papa keluar dulu, ya. Liat keadaan. Kalau Papa telpon kamu, baru kamunya keluar," ucap Danan, dengan tubuh yang menggeliat, bersiap untuk bangun.Tapi, Olive menahannya. Gadis itu justru memeluk erat Danan."Sebentar. Aku masih kangen," ucap manj