Share

4. Asal Mula Ribut

Malam sebelum hari ini.

Mobil terparkir di parkir dalam apartemen, dengan bunyi decitan ban yang nyaring. Sangat jelas kalau mobil diparkir dengan tergesa. Sama tergesa dengan keluarnya seorang pria jangkung dari dalam mobil. Langkahnye lebar menuju lift dengan tangan kanan menenteng kotak lebar berisi kue, kesukaan sang kekasih.

Meski sudah membawakan sesuatu yang disukai, tetap saja raut wajah Rasyid tegang. Itu karena dia tahu kalau Olive, kekasihnya tetap akan uring-uringan. Wanita itu meneleponnya sudah dengan emosi karena pekerjaannya yang berantakan. Meminta Rasyid segera datang sejak siang tadi, tapi Rasyid justru baru bisa datang malam hari.

Dan benar saja, baru juga Rasyid masuk dan menyapa, sebuah sandal teplek, melayang ke dadanya.

"Ngapain datang? Ngapain?" teriak Olive. "Aku butuh kamu lagi! Laki-laki gak bisa diandalkan! Gak berguna!"

"Maaf, Sayang. Tapi kan tadi aku udah bilang kalau aku lagi rapat. Ditambah lagi ada tinjauan proyek di selatan."

"Gak usah banyak bacot! Aku sudah mudak dengan ketidaksigapanmu. Bilang aja kalau kamu sudah bosan sama aku! Bilang!"

Rasyid berusaha tenang. Dia mendekati Olive dengan senyuman manis.

"Aku bawakan kamu bika ambon kesukaanmu. Ayo, kita makan bareng," tawar Rasyid dengan tangan kiri terulur, berniat untuk membelai pipi Olive.

Namun, masih dengan angkaranya, Olive menepis kuat tangan Rasyid, kemudian menerima bingkisan kue dengan kasar. Kedua matanya masih mendelik ke Rasyid dan tanpa diduga, Shanas melempar kotak kue itu sekuat-kuatnya dan ke sembarang arah.

Bunyi berdebam dibarengi dengan bunyi gemeletuk gigi Rasyid yang menahan sekuat-kuatnya amarah. Rasyid pun menantang tatapan mata Olive dengan kemarahan yang setara.

"Itu makanan, Live! Dan kamu tau kalau aku tidak suka kamu membuang makanan!" bentak Rasyid dengan suara yang ditahannya agar tidak keras.

"Dan kamu juga tahu, aku tidak suka kalau kamu mengabaikan aku!" balas Olive.

"Aku tidak mengabaikanmu! Telponmu, segera aku angkat. Keinginanmu segera aku penuhi. Apa lagi?"

"Munafik! Aku nelpon berapa kali baru kamu angkat, ha?"

"Kan aku juga sudah bilang, aku lagi nyetir, Olive! Yang bener ajalah. Aku gak pernah terima telepon siapa pun kalau lagi nyetir."

"Kamu punya sopir! Gak usah banyak bacotlah!"

"Sopir dipake Mama. Sopirnya Mama lagi izin sakit. Ini harus aku jelaskan berapa kali juga ke kamu?"

"Pembohong kamu! Laki-laki gak bisa diandalkan! Pergi kamu! Pulang sana! Gak berguna! Kamu gak akan bisa seperti Papa!"

Rasyid menarik napas dalam-dalam. Bukan yang pertama kalinya dirinya diperbandingkan dengan Danan, ayah Olive. Baik itu lagi tenang ataupun lagi emosi, selalu aja ada bahan buat dibanding-bandingkan.

"Papa selalu cepat terima teleponku. Papa juga langsung datang menemuiku kapan pun aku butuh, kapan saja aku mau. Papa selalu siaga buat aku. Itu namanya laki-laki! Bergerak cepat kalau wanitanya butuh!

Apalagi kan kamu tau kalau moodku jelek. Suasana syuting juga lagi buruk. Harusnya kamu memahami keadaanku. Harusnya kamu utamakan aku. Seperti Papa yang selalu utamakan aku."

Rasyid menghela napas, menggeleng-geleng kepalanya lemah. Dia lelah diperbandingkan dan sudah sangat muak.

"Live, cukup, ya. Berapa kali juga aku ingatkan kamu, aku ini bukan papamu. Sana kamu bercinta sama papamu!"

Plak!

Sebuah tamparan mendarat telak di pipi Rasyid. Wajah Olive terlihat sangat mengerikan karena amarah yang begitu besar.

"Keluar kamu dari sini! Keluar!" teriak Olive.

Bukannya pergi, Rasyid justru duduk di sofa. Itu seperti dia sudah terbiasa dengan pengusiran. Rasyid menyandarkan tubuhnya, juga kepalanya. Kedua matanya terpejam dan kedua tangannya terlipat di dada.

Sikap tidak peduli Rasyid, membuat amarah Olive semakin meradang di kepala. Gadis itu menghentakkan kaki dan melangkah masuk ke dalam kamar. Mendengar bantingan pintu kamar, Rasyid membuka mata, menarik napas dalam-dalam. Dia menegakkan tubuhnya, merenungkan keributan yang baru saja terjadi.

Kedua bola matanya yang gelap, menangkap adanya benda semacam ujung buku di bawah sofa. Rasyid mengeluarkannya dan memang benar itu buku, dan itu buku diari milik Olive yang terbuka pada bagian akhir tulisan Olive.

***

"Hei, Bro! Syid! Rasyid!" tegur Teguh, sahabat sekaligus rekan bisnis Rasyid.

Tangan Teguh bergerak ke kanan ke kiri di depan wajah rasid, menarik kesadaran pria jangkung itu yang terlihat melamun.

"Eh? Iya, apa?" tanya Rasyid gelagapan.

"Ini Pak Man mau ambil bahan. Tanda tangani dululah," jawab Teguh tanpa menanyakan kenapa Rasyid melamun.

Rasyid memeriksa jam tangannya, membaca sekilas berkas anggaran, dan menatap pria kecil dengan kemeja kotak-kotak, yang berdiri dengan senyum seperti menahan geli.

"Ini jam makan, Pak. Makan ajalah dulu, baru bawa orang buat ambil bahan," ucap Rasyid.

"Saya makan di jalan aja, Pak. Gampang," jawab Pak Man.

Rasyid mengangguk-angguk, membubuhkan tanda tangan, dan menyerahkan map merah ke mandor bangunan.

"Jangan lupa makan. Saya gak mau yang kerja di sini sakit." Rasyid mengingatkan sebagai bentuk perhatian, lalu memberikan dua lembar uang seratus ribuan, dan itu yang membuat pria berkulit sawo matang menjadi idola para pekerja lapangan—sikap royal, perhatian, dan rendah hatinya.

Pak Man mengangguk dan mengucapkan terima kasih, baru kemudian keluar dari ruangan eksekutif, yang dibuat darurat, untuk Rasyid kalau datang ke lapangan.

"Kenapa, kamu?" tanya Teguh. "Kemarin ribut ama Shanas?"

Wajar kalau Teguh bertanya begitu, karena Teguh tahu keresahan Rasyid setelah mendapat telepon dari Shanas. Rasyid bahkan terlihat ingin buru-buru menyelesaikan pekerjaan.

"Aku udah putus sama dia," jawab Rasyid sembari memainkan kotak rokok. Dia sebenarnya ingin mengisap rokok, tapi ruangan darurat ini, begitu rapat karena ada pendingin ruangan sebagai penyejuk.

"O...." Teguh menanggapi singkat karena itu bukan pernyataan yang kesekian kalinya.  Putus sambung adalah bagian dari hubungan percintaan Rasyid dan Olive selama delapan tahunan, jadi Teguh menganggap kali ini hanyalah main-main belaka.

"Kali ini aku serius."

"Ha?" Teguh melongo. Perkiraannya meleset. "Kenapa?"

"Masih masalah yang itu-itu aja. Kecemburuan dan ketidakpuasan."

"Dan itu membuat keputusan berpisah yang serius?"

Rasyid diam. Dia terlihat menimbang-nimbang untuk bicara.

"Ada hal lain," ucap Rasyid kurang yakin.

"Apa itu?"

"Pernah dengar kalau seorang ayah adalah cinta pertama putri-putrinya?"

Teguh mengangguk dan tersenyum.

"Yes, aku punya adik perempuan yang apa-apanya selalu dibandingkan dengan Papa," jawab Teguh sembari tertawa geli.

"Dan adikmu mengatakan mencintai ayahmu?"

"Iyalah. Aku juga mencintai ayahku kalau mau sedikit melankolis, hahaha...."

Rasyid tidak menanggapi tawa Teguh. Di pikirannya bergejolak pemahaman lain yang sedang dia pendam, yang kemudian menjadi keraguan tentang benar dan salah.

"Sebegitu cintanya adikmu dengan ayahmu, apakah dia merindukan dan ingin selalu dipeluk ayahmu?"

Kini ganti Teguh yang tertegun. Ada yang janggal dari pertanyaan Rasyid.

"Enggak...," jawab Teguh serius.

"Olive menulis itu di buku hariannya."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status