Share

Cinta?

Cinta?

Pukul 6 pagi,  Lana mengerjap-ngerjapkan matanya sembari tetap meringkuk nyaman dalam rengkuhan Arga yang memeluknya dari belakang semalaman. Tidak ada percintaan panas membara semalam, hanya pelukan dan pembicaraan santai tentang hari-hari yang dilalui serta rencana bepergian di hari libur. Sempat Lana bergerak memberikan kode agar mereka bercinta. Tapi Arga justru menarik selimut ke arah tubuh mereka berdua dan memeluk Lana dengan nyaman hingga mereka tertidur pulas. Lana sempat merasa aneh, sebab malam-malam mereka hampir selalu dilalui dengan gelora percintaan yang panas membara sepanjang waktu. Tapi semalam sungguh berbeda, dan perbedaan itu seperti mendentingkan dawai yang berbeda pula dalam hati Lana.

Ada sesuatu yang sebelumnya tak pernah tersentuh, dan semalam Arga pun menyentuhnya dengan teramat sangat lembut. Itulah sebabnya Lana bergetar dan menangis saat Arga memasangkan gelang berhiaskan kompas mungil berwarna perak di tangan kiri Lana dan mengutarakan kata-katanya.

Di dalam rengkuhan Arga yang masih terlelap, Lana mengelus-elus liontin mungil berbentuk kompas di pergelangan tangan kirinya itu. Mencoba meresapi lagi apa yang sebenarnya ia rasakan semalam dan terasa mengubah sesuatu dalam dirinya. Lana terkesiap tatkala batin dan otaknya menerjemahkan perasaan itu dalam sebuah kata yang selama ini sangat ditakutinya. Cinta? Tanya Lana pada dirinya sendiri.

Tiba-tiba Lana bergidik. Entah mengapa kata 'cinta' selalu membuat Lana merasakan sedikit ngeri. Kata-kata itu bagi Lana selalau terasa bagaikan hutan rahasia, yang gerbang masuknya terlihat begitu indah, namun di dalamnya dipenuhi bermacam bahaya yang mengintai. Entah apa sebenarnya bahaya yang akan menerkam atau menghisap habis jiwanya, tapi Lana benar-benar takut jika ia ditantang untuk memasukinya.

Lana tak ingin bertaruh. Terlebih jika mengingat ia sudah pernah kehilangan begitu besar atas pertaruhan-pertaruhan yang ia saksikan di masa lalu. Pertaruhan-pertaruhan yang bahkan bukan ia yang melakukannya, namun ia terpaksa ikut menelan kepahitan dari sisa-sisa pertaruhan itu. Ayah ibunya, keutuhan keluarganya, hingga berakhir pada kekosongan jiwanya yang tak pernah dimengerti oleh siapapun. Sepi yang seakan tak pernah menemu tepi. Hampa yang seolah tak akan pernah sampai di muara.

Lana merasakan nyeri dan penuh yang tiba-tiba mendesak ulu hatinya, hingga membuat napasnya terasa sesak. Lana merasa ingin muntah. Ia berusaha mengangkat lengan Arga yang melingkari pinggangnya, kemudian terburu-buru berlari melompati jendela besar yang dibiarkan terbuka, menuju ke kamar mandi.

Hoeeekkk.... hoeeekk... suara Lana menggema di kamar mandi. Tidak ada yang benar-benar dimuntahkan, tapi rasa mual itu tak juga hilang. Tiba-tiba Arga sudah ada di belakangnya, memegangi rambut Lana sambil memijat tengkuknya. Lana menoleh dengan wajah sembap setelah dihajar rasa mual yang datang tiba-tiba.

Dengan tenang, Arga pun menundukkan badannya ke arah Lana yang tengah merunduk di wastafel.

"Are you okay?" tanyanya lembut pada Lana.

Lana mengangguk sembari membuka keran wastafel, menadah air di kedua tangannya, berkumur dan membasuh muka.

Arga merangkul Lana dan memapahnya keluar dari kamar mandi. Ia menyeret kursi di meja makan dan meminta Lana duduk, lalu bergerak ke area dapur, menjerang air dan menyiapkan teh untuk Lana. Sembari menunggu air mendidih, Arga kembali ke kamar, mengambil minyak kayu putih dan kembali mendekat ke tempat Lana duduk termangu. Arga menuangkan beberapa tetes minyak kayu putih ke telapak tangannya, dan membalurkannya ke punggung, tengkuk serta perut Lana.

"Makasih, Ga..." ucap Lana lemas.

Arga menyeret kursi ke depan Lana, duduk dan menatap wajah perempuan yang sangat disayanginya itu.

"Kamu telat lagi?" tanya Arga hati-hati sembari mengelus-elus kedua tangan Lana dengan ibu jarinya.

Lana menggeleng. "Nggak, Ga, emang belum waktunya, masih minggu depan," jawab Lana berusaha menenangkan Arga.

"Lah, bukannya berarti minggu-minggu ini kamu masa subur kalau jadwalmu minggu depan?" suara Arga terdengar khawatir, tapi entah bagaimana juga antusias.

Lana tertawa, "pengen banget punya bayi ya, kamu?" tanya Lana sembali membelai rambut Arga.

"Periksa aja ya, agak siang kita beli testpack, kita lihat hasilnya gimana," ujar Arga.

Lana menggeleng, "aku yakin bukan, Ga... kayaknya masuk angin aja, semalem kan dingin gitu udaranya. Lagian nanti aku ada janji makan siang sama Bian sambil temenin dia belanja saserahan," tolak Lana.

Arga terlihat agak kecewa. "Tapi nanti beli testpack ya, kamu periksa aja di kosmu, dan kasih tau aku gimana hasilnya," desaknya lagi. Lana pun mengangguk setuju.

Arga tersenyum dan mengecup pipi Lana, kemudian berlalu setelah suara ketel nyaring terdengar. Ia segera menyeduh teh panas untuk Lana dan secangkir kopi untuk dirinya sendiri. Setelah meletakkan segelas teh hangat dan cangkir kopi di atas meja, Arga bergerak membuka kulkas, mengeluarkan beberapa bahan untuk membuat sarapan.

Lana sempat terpekur menyadari kemungkinan dirinya hamil, namun ia berusaha memupusnya dan bergabung membantu Arga menyiapkan toast dan omelet untuk mereka nikmati berdua di pagi yang cerah itu.

***

Suasana Pasar Mayestik siang itu cukup ramai. Lana dan Bianca sudah sekitar satu jam setengah berkeliling salah satu pusat belanja andalan untuk keperluan kain kebaya dan aneka perlengkapan saserahan itu.

Lana memandangi Bian yang tengah bimbang memilih dua warna kain brokat Perancis, putih tulang dan warna gading. Bianca berencana akan mengenakan kebaya modern di acara misa pernikahannya, 4 bulan lagi. Namun ia bingung menentukan pilihan warna yang pas untuk kulitnya yang tergolong fair-skin.

Bianca adalah perempuan berdarah indo Belanda - Cina - Jawa dengan mata cokelat yang sangat indah, pipi kemerahan dan kulit yang sangat terang. Tubuhnya yang tinggi semampai itu tentu akan sangat cantik berbalut kebaya modern di hari pernikahannya nanti. Sekadar membayangkan hal itu, Lana yang telah memiliki intuisi akan bersahabat dengan Bianca sejak hari pertama mereka saling mengenal di masa ospek itu pun sudah sangat bahagia. Bahkan, hari saat Bianca dilamar oleh Mas Pras, lelaki asli Jawa Tengah yang berprofesi sebagai arsitek itu, Lana lah yang justru merasa sangat gugup dan menangis haru ketika Bianca mengabarkan bahwa Mas Pras dan keluarganya akan segera melamarnya.

Kini, melihat Bianca tengah mematut-matut kedua kain pilihannya di depan cermin, membuat Lana terpesona, tak hanya pada imaji betapa cantiknya sahabatnya dengan kebaya di hari pernikahannya nanti, bukan juga  tentang kuat dan manisnya persahabatan mereka berdua. Detik itu Lana terpesona pada kekuatan waktu dan cinta yang mampu memantik keberanian dan keyakinan seseorang dengan dahsyat dan ajaib.

Rasanya seperti baru kemarin Bianca menginap bermalam-malam di kos Lana, bangun tiap pagi dengan mata sembab karena percintaannya yang kandas sebab  tak mengantongi restu dari orangtua mantan kekasihnya, Riza, yang berbeda keyakinan dengannya. Bianca tak ingin ada yang terpaksa menyeberang, tapi orangtua Riza mengharuskan Bianca mengikuti mereka jika tetap ingin menikah. Bianca begitu patah hati meratapi jurang pemisah antara mereka yang sangat lebar dan curam. Ia sudah mengantongi restu dari Mamanya jika  memang harus mengikuti Riza dan keluarganya. Namun Bianca enggan mengkhianati hati kecilnya sendiri. Baginya, cinta tak semestinya berbentuk penundukan, tapi justru kepercayaan dan kemerdekaan.

Dan itulah akhirnya jalan yang dipilih Bianca. Melepaskan Riza karena ia tak ingin mengkhianati hati kecilnya sendiri atau melukai hati kedua orangtua Riza jika mereka nekat untuk menikah di luar negeri dengan keyakinan masing-masing. Meskipun dengan derai airmata yang seakan tak berkesudahan pada bulan pertama, Bianca kemudian berjuang hingga bertransformasi menjadi perempuan yang lebih kuat dan tegar sesudahnya. Lana lah saksi hidup sekaligus kawan yang menemani Bianca melewati masa-masa berat itu, hingga pertengahan tahun lalu ia pun berkenalan dengan Mas Pras, lelaki berusia tiga puluhan yang matang dan bersahaja, dan terjadilah rencana pertunangan hingga pernikahan ini.

"Lana, pilihin dong, sist," pinta Bianca dengan wajah dilema sembari mematut kedua kain brokat berwarna  putih tulang dan kuning gading yang disampirkan di sisi kanan dan kiri tubuhnya oleh pramuniaga toko kain itu.

Kain berwarna kuning gading memang kontras dan memberikan kesan cerah pada kulit Bianca yang putih pucat. Tapi Lana tahu benar, kebaya putih adalah impian Bianca untuk dikenakan di hari istimewanya kelak saat berjalan menuju altar.

"Yang kamu suka aja lah, Bi," ujar Lana.

Bianca semakin bimbang.

"Suka yang putih sih, tapi nggak kelihatan pucat apa buatku?" bimbangnya.

"Yang nikah itu kamu, lho, Bi. Pakai aja yang kamu pengen dan kamu nyaman, nggak usah mikirin kata orang lain," tegas Lana meyakinkan.

Bianca terdiam dan menggigit bibirnya sejenak. Bola matanya berputar terlihat sedang berpikir. Tak lama kemudian, ia menyodorkan gulungan kain brokat warna putih tulang itu pada pramuniaga dan meminta pramuniaga tersebut untuk memotongnya sepanjang 3 meter. Bianca menoleh pada Lana dan tersenyum lega. Lana membalas senyuman itu.

Setelah membayar, mereka berdua berjalan keluar toko kain menenteng berbagai tas belanja hasil hunting perlengkapan saserahan dan pernikahan Bianca hari itu. Sesekali mereka berhenti di beberapa toko yang menjual pernak-pernik saserahan yang dibutuhkan Bianca. Ketika Bianca tengah asyik memilih-milih lingerie di toko pakaian dalam, Lana teringat pesan Arga agar ia membeli testpack. Kebetulan sekali, ada toko obat persis di seberang toko pakaian dalam itu. Lana beranjak sejenak menuju toko obat dan membeli sebuah testpack untuk dipakainya di kos. Lana buru-buru memasukkannya ke dalam tas agar Bianca tidak melihat ia membeli testpack. Lana hanya tidak ingin terjadi kehebohan.

Sialnya, ternyata Bianca yang tidak jadi membeli lingerie tiba-tiba sudah ada di belakang Lana. Bianca terkejut dengan benda apa yang baru saja dibeli Lana.

Bianca tengah membekap mulutnya sendiri ketika Lana langsung menyeret tangan Bianca untuk bererak menjauh dari area tersebut.

"Kamu telat??" Tanya Bianca dengan ekspresi panik bercampur bahagia yang tak bisa ditutupi.

Lana menggeleng kencang sembari terus menggandeng Bianca berjalan menyeruak di antara kerumunan pengunung.

"Udah, ntar aja kuceritain di mobil atau di tempat kita makan siang. Buru ah, laper nih. Ada lagi nggak yang harus dibeli?" ujar Lana mengalihkan pembicaraan.

Bianca hampir melonjak-lonjak girang kalau Lana tidak segera merangkul pundak Bianca untuk menenangkannya.

"Aku mau punya ponakaaaan..." pekiknya girang. Lana pun membekap mulut Bianca agar sahabatnya itu berhenti memekik dan membuat tatapan mata beberapa orang tertuju pada mereka.

***

Setelah Lana melakukan aksi bungkam di dalam mobil sepanjang jalan menuju kedai makan favorit mereka, Bianca pun terus mencecar Lana dengan pertanyaan yang sama.

"Cerita dong, Lan..." rengek Bianca pada Lana yang tengah asyik menikmati nasi campur Bali di piringnya.

Lana pura-pura tak menggubris dan menikmati sate lilitnya dengan lahap.

"Atau aku harus tanya Arga sendiri, nih..." ancam Bianca sembari bergerak meraih handphone-nya di atas meja.

Lana langsung menghentikan Bianca dan memegangi tangan sahabatnya.

"Iya, iya... Aku cerita, tapi tunggu bentar dong, ah... Lagi makan ini," ujar Lana memohon agar Bianca tidak mengirim pesan atau menelepon Arga. Bianca pun tersenyum penuh kemenangan.

"Ya udah, buruan abisin terus cerita," ujar Bianca yang merasa posisinya di atas angin.

Lana memonyongkan bibirnya ke arah sahabatnya. Keduanya lalu tertawa.

Setelah makanan di piring mereka habis, Lana menyesap es jeruknya dengan nikmat dan bersiap mulai bercerita. Bianca menanti dengan tak sabar.

"Jadi, semalam tuh aku nginep di kos Arga. Tapi kami nggak ngapa-ngapain, sumpah. Just cuddling and everything..." ujar Lana memulai ceritanya. Bianca mendengarkan dengan seksama.

"Terus...?" kejar Bianca tak sabar.

"Terus, ya... Nggak tau gimana, tadi pagi tuh aku mual dan muntah gitu, lho, Bi... Panik lah Arga, nyuruh aku beli testpack. Padahal sih, kayaknya aku nggak hamil juga..." jelas Lana.

"Tapi kamu telat??" kejar Bianca lagi.

" Jadwal bulananku aja masih minggu depan, gimana bisa telat??" jawab Lana.

Bianca terlihat menghitung sesuatu dengan jarinya.

"Tapi kamu sempat get laid nggak minggu-minggu ini atau minggu lalu?" cecar Bianca kemudian.

Lana mengangguk.

"Ya... Kamu tau lah, kalau kami nginep bareng itu bakalan gimana... Makanya semalem tuh spesial dan agak aneh aja. Kami beneran cuma pelukan semalaman, setelah ngobrol-ngobrol di balkon," jawab Lana.

"Pil KB masih diminum rutin, Lan?" tanya Bianca.

"Masih lah... Aku belum siap juga kali, kalau harus gendong anak ke mana-mana setelah ini," jawab Lana.

"Tapi emang mending kamu segera periksa aja deh, Lan... Soalnya kalian kan get laid di minggu-minggu ini dan minggu lalu. Nah, setahu aku, rentang itu tuh termasuk masa subur, lho..." jelas Bianca. "Riza tuh dulu nggak pernah mau deket aku kalo di hari-hari berbahaya kayak gitu, secara, kita kan bakal keliatan lebih seksi dan mancing banget kalau di hari-hari subur gitu," ujar Bianca sembari menerawang.

"Halaaahh... Riza lagi... inget woooyyy, bulan depan lamaran!" seru Lana menggoda sahabatnya.

Bianca terkekeh.

" Ya enggak lah, aku kan cuma ngasih contoh aja... Udah clear lah, semuanya," tukas Bianca meyakinkan. "Eh, tapi Arga gimana? Panik nggak?" kejar Bianca penasaran.

Lana menghela napas panjang dan menyandarkan punggungnya ke kursi.

"Arga malah semangat tau, Bi. Kayaknya kalau aku emang hamil, dia justru bakalan girang bener," ujar Lana dengan ekspresi lesu.

"Nah, malah bagus, dong! Berarti emang bener Arga tuh nggak main-main sama kamu, Lana," ucap Bianca senang.

Lana malah terlihat resah.

"Tapi kamu kan tahu, Bi... Aku tuh masih takut buat berkomitmen, rasanya tuh takut banget semua malah jadi nggak menyenangkan lagi kalau kami beranjak dari kenyamanan yang ada sekarang. Aku nggak berani bertaruh, Bi..." ujar Lana.

Bianca menyilangkan kedua tangannya di atas meja.

"Gini, Lana. Apa sih, yang bikin kamu berpikir bahwa cinta dan komitmen itu pertaruhan? Itu yang bikin aku nggak pernah paham sama kamu, Lana," tanya Bian serius.

Lana mengusap-usap wajahnya. Ia selalu merasa resah ketika harus membicarakan hal ini, sekalipun itu dengan orang-orang terdekatnya, Bianca, dan terlebih Arga.

"Aku takut ending-endingnya aku akan menyakiti, Bi. Atau kami saling menyakiti," jelas Lana semampunya.

Bianca menggeleng-gelengkan kepala.

"Ya sejauh kamu emang nggak ada niat menyakiti, itu juga nggak akan terjadi dong, cintaku..." ujar Bianca lembut. "perilaku manusia tuh seringkali bergantung pada niatnya juga lho, Lan... Jadi in this case, aku sama sekali nggak melihat cinta dan komitmen sebagai pertaruhan karena semua bakal balik lagi ke niat awal," lanjutnya.

Lana menyimak.

"Sekarang, kalau kamu emang udah ngerasa Arga adalah orang yang bisa bikin kamu merasa tenang dan nyaman, apa lagi sih yang kamu ragukan, Lana? Bukannya cinta tuh emang sesuatu yang bikin kita ngerasa tenang dan nyaman itu ya?" cecar Bianca.

Lana terdiam tanpa mampu menjawab. Ia mencoba mencerna kalimat-kalimat sahabatnya itu. Memang yang dikatakan Bianca bagi Lana pun banyak benarnya. Tapi entahlah, ada suatu perasaan yang Lana belum mampu terjemahkan.

"Atau jangan-jangan emang kamu masih ingin bertualang aja kali, Lan... Bener gitu?" tanya Bianca curiga.

Lana mencoba meresapi pertanyaan Bianca. Apa benar memang ia hanya masih ingin bertualang, dan bukan takut pada hal-hal tertentu seperti yang ia pikir selama ini?

"Kayaknya nggak gitu, Bi... Tapi ntar aku renungin dulu, deh," jawab Lana akhirnya. Menyerah.

Bianca menghela napasnya. "Pada akhirnya yang kita butuhkan itu cumas sahabat dan 'rumah' untuk pulang, Lana. Rumah yang nyaman, tenang, yang bisa bikin kita saling menemani sampai di hari tua nanti. Dan itu semua butuh niat, komitmen, keberanian dan keyakinan, nggak cuma cinta dan perasaan," ujar Bianca.

Setelah Bianca menyelesaikan kalimatnya, seseorang menepuk pundak Lana pelan.

"Lana..." ujar suara itu.

Lana menoleh, ternyata sosok Rei ada di sana. Agak terperanjat, Lana pun balas menyapa, "Lho, Mas Rei, kok kebetulan banget ada di sini," sapanya bingung. "Sama siapa, Mas?" tanya Lana.

Rei menunjuk ke salah satu meja yang tampaknya baru saja diduduki oleh sekelompok orang. Tiga orang lelaki dan seorang perempuan. "Itu sama teman-teman foto, video, dan calon klien untuk company profile," jawab Rei. Lana pun mengangguk dan tersenyum sopan pada salah seorang rekan kerja Rei yang tak sengaja menatap ke arah mereka.

"Udah dari tadi di sini?" tanya Rei. Bianca tiba-tiba berdehem di tengah pembicaraan mereka.

Lana terperanjat menyadari bahwa ia belum memperkenalkan Bianca pada Rei.

"Iya, udah dari tadi, Mas Rei... Eh, by the way, kenalin ini Bianca, temanku..." kata Lana sembari mengenalkan Bianca yang tampak mengamati Rei dengan curiga. Sekilas memang tak akan terlihat seperti itu, tapi tidak di mata Lana yang sudah mengenal Bianca dengan sangat baik.

Bianca dan Rei pun bersalaman sembari menyebut nama masing-masing.

Tak lama kemudian, Rei minta diri untuk kembali ke mejanya. Lana pun mempersilakannya.

Setelah Rei kembali ke mejanya, Bianca menyenggol betis Lana dengan ujung sepatunya.

"Jadi itu yang bikin ragu sama Arga..?" tanya Bianca sembari menatap Lana lekat-lekat. Bibirnya mengulum senyum simpul yang menurut Lana sinis.

"Eh, apaan sih, Bi... Itu sih teman kerja aku di project biografi itu, lho.." jelas Lana. Dalam hati Lana bersyukur Rei tidak membahas kejadian semalam saat ia menghampiri kos-kosan Lana di depan Bianca.

"Wah, bakal bareng terus dong, ya..." goda Bianca sinis.

"Sooo..???" ujar Lana.

"Lana, we've been together like for five years..." ujar Bianca.

" Dia itu rekan kerja, Bian..." tegas Lana.

" Tapi emang ganteng sih, Lan. Macho dan matang gitu, ya," komentar Bianca.

Lana berusaha tidak menanggapi dan bermain dengan gadgetnya, sementara Bianca terus-menerus mengomentari Rei di hadapan Lana yang entah mengapa merasa canggung dan aneh dengan kejadian ini.

***

Di dalam perjalanan menuju kos Lana, Bianca semakin liar membandingkan Rei dengan Arga di depan Lana yang menekuk wajahnya dengan kesal dan pura-pura tak menanggapi.

" Kalau bodi, ya... 11-12 lah... sama-sama macho. Kalau tampang... Arga lebih manis ya, kalau si Mas Rei tadi kelihatannya manly dan bandel gitu. Tapi kalau bahasa tubuhnya, kenapa ya, aku lebih suka lihat bahasa tubuhnya Arga daripada Mas Rei tadi, Lan...?" cerocos Bianca sembari terus menyetir.

Lana mengangkat bahunya acuh tak acuh. "Tau deh, Bi. Kamu suka kali sama Arga," jawab Lana asal.

Bianca meninju pelan lengan Lana yang duduk di sebelahnya, "enggak lah, Lan.. ngaco aja kamu. I do not compete with my bestie, laahhh..." kata Bianca. Lana pun mendengus tertawa.

"Well, kamu nggak lagi jealous kan, gara-gara  aku bilang kalau over all aku lebih 'suka' Arga...?" goda Bianca puas.

Lana mengernyitkan dahinya, "Dih, ngapaiiin..." seru Lana. Bianca tertawa terbahak-bahak di dalam mobil. Lana pun seperti tertular dan ikut tertawa.

"Aku tuh nggak ada apa-apa sama Mas Rei, Bi... dan sama Arga, aku mau biarin kayak gini dulu sampai aku ketemu alasan dan keyakinan kenapa harus berkomitmen dan kenapa harus Arga orangnya. Jadi aku akan nyoba ngikutin pendapatmu, bahwa cinta dan komitmen itu soal niat dan keyakinan, bukan pertaruhan," ujar Lana.

Bianca tampak berdecak puas. "Nah, gitu dong... That's my girl..." ujarnya sembari menyikut pelan lengan Lana.

Lamat-lamat alunan lagu Shiver dari Coldplay mengalun menemani perjalanan sepasang sahabat sore itu dalam perjalanan pulang menuju kos Lana.

And on and on from the moment I wake

To the moment I sleep

I'll be there by your side

Just you try and stop me

I'll be waiting in line

Just to see if you can...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status