Gerakan tangan Poppy yang baru saja menutup pintu ruang guru di belakangnya pun terhenti. Dahinya sedikit mengeryit. Wanita di seberang sana menyebutkan nama kakaknya yang merupakan seorang legal perusahaan besar. Apa... Dante tiba-tiba dituntut balik kliennya karena kalah di pengadilan?
Asal tahu saja, walaupun Dante adalah kakak yang baik, ia tidak cukup yakin dengan kemampuannya sebagai orang legal.
“Iya, benar?” walaupun itu kalimat pernyataan, entah kenapa Poppy malah terdengar seperti sedang bertanya.
“Begini, Mbak Poppy. Saya disuruh untuk menghubungi Mbak Poppy oleh Dokter Regan karena... Bapak Dante pingsan—“
“HAH?!”
Seperti kata pepatah, orang bodoh itu jarang sekali sakit. Itulah yang selalu terjadi kepada Dante. Kakaknya memang orang legal, tapi—sekali lagi—Poppy tidak pernah menyangka kalau itu adalah profesi kakaknya. Sekeras apa pun Dante bekerja, lembur berhari-hari, sampai rela ke luar kota, pria itu kuat bagaikan tembok bendungan.
Namun... apa kata orang itu? Dante pingsan?! Apa itu berarti IQ kakaknya sudah meningkat?
“K-kok bisa?! Maksudnya... kenapa? Kak Dante sekarang gimana? Udah sadar?” Tanpa sadar, Poppy menyerocos kepada orang di seberangnya.
“Pak Dante masih di UGD sama Dokter Regan. Dan Pak Dante panggil-panggil nama Mbak Poppy terus sedari tadi, jadi Dokter Regan meminta Anda segera datang.”
Aduh... jangan bilang Kak Dante sekarat? Ini lagi Kak Regan kenapa gak hubungin aku langsung. Bikin panik aja.
“I-iya, Mbak. Saya ke sana sekarang.” Poppy memutuskan panggilannya dan segera kembali ke dalam ruang guru untuk mengambil barang-barangnya.
Ia tidak perlu alamat rumah sakitnya, karena itu pasti Rumah Sakit Dashar—tempat Regantara Dashar bekerja. Dante bekerja sebagai legal untuk Dashar Group, sebuah perusahaan besar yang memiliki beberapa cabang rumah sakit dan produk kesehatan lainnya. Dan Dokter Regan—atau Kak Regan—adalah teman Dante sekaligus pewaris perusahaan tersebut yang bekerja sebagai dokter bedah di sana.
“Loh? Udah mau pulang, Py?” Layla memutar kursinya ketika Poppy memasukkan laptop dan buku catatannya ke tas.
“Iya. Kakak aku masuk rumah sakit,” jawab Poppy sambil mengecek ponselnya, ada satu pesan dari Regan yang masuk.
Kak Regan: [Poppy, Dante sudah dipindahkan ke kamar rawat 307]
Alis Layla berkerut. “Bukannya dia emang kerja di rumah sakit?”
“Maksud aku... dia beneran sakit,” Poppy menjawab sembari tangannya mengetikkan balasan untuk Regan. Setelah itu, ia langsung membuka aplikasi ojek online dan memesannya.
“Hah? Kok bisa?!”
“Aku duluan ya, Lay.” Poppy tidak menjelaskan lebih lanjut, karena akan membuang-buang waktu saja. Jadi ia pun berpamitan dan berjalan cepat ke arah pintu.
Layla buru-buru menyusul. “Iya, iya. Nanti aku izinin ke Bu Retno. Kamu perlu tumpangan aku gak?”
“Thanks. Aku udah pesan ojek.”
Poppy mengibaskan tangannya yang memegang ponsel dan segera melangkah lebar menyusuri koridor. Untungnya, ia bisa mendapatkan ojek dengan cepat. Pengemudi ojeknya pun sangat responsif ketika Poppy mengatakan untuk cepat datang.
Pada waktu yang sama, ada chat masuk lagi dari Regan.
Kak Regan: [Kamu sudah di jalan? Naik apa? Kabarin kalau sudah sampai, Dante tidak bisa diam dari tadi]
Poppy menggeram. Namun, baru saja ia ingin membalas pesan Regan, sebuah telepon dari pengemudi ojeknya masuk. Ia pun mengangkat panggilan itu dulu.
Pengemudi ojek itu sudah ada di depan gerbang sekolah, membuat Poppy segera mempercepat langkahnya. Setelah konfirmasi dan memakai helm, ia pun segera menaiki motor tersebut.
Ting!
Satu pesan dari Regan masuk lagi, kali ini berupa pesan suara. Poppy tahu betul, kalau Regan sengaja mengirimkan rekaman suara Dante yang menyuruhnya untuk segera datang. Poppy sengaja mengabaikan itu, tapi ponselnya malah kembali berbunyi. Pada saat ia mengira itu dari Regan lagi, ternyata bukan.
Editor Ray: [Kak, bagaimana revisi babnya? Sudah selesai?]
Padahal Poppy berusaha menghindari editornya selama beberapa hari ini karena belum sempat revisi. Sialnya, Poppy tidak sengaja membuka pesan itu, sehingga tanda ‘sudah dibaca’ nya pasti ketahuan. Sambil menahan helm yang kebesaran itu, Poppy menggerutu tanpa henti.
Mau tidak mau, ia harus membalas pesan itu.
Ting!
Sebelum sempat Poppy menyelesaikan ketikannya, Regan kembali mengiriminya pesan. Poppy pun membuka percakapan Regan lagi.
Kak Regan: [Aku cuma butuh acc kamu buat suntikan obat bius dosis tinggi ke Dante]
Kak Regan: [Dia terus panggil kamu, tapi gak bolehin aku pergi juga]
Dengan kesal, Poppy mengetikkan balasan di tengah macetnya jalan raya. “Ya udah, suntik mati—“
Ting!
Bilah notifikasi Poppy menampilkan satu pesan lagi dari editornya. Mungkin karena Poppy belum membalas pesan sebelumnya padahal sudah dibaca, orang itu jadi tak sabaran.
Editor Ray: [Tidak perlu rapi dulu, Kak. Yang penting saya mau lihat dokumennya dulu, nanti dibantu revisi yaa]
Oke, kayaknya aku kasih yang mentahnya aja dulu. Bodo amat mau dirombak kayak gimana, yang penting dia diam dulu.
Poppy membuka penyimpanan online-nya untuk menyalin tautan sebuah dokumen. Dengan segera, ia pun membalas pesan editornya itu.
[Iya, Kak. Aku ini aku kirim ya, ini link-nya]
Poppy menatap pantulan dirinya dalam cermin. Gaun putih dengan model off shoulder dan ornamen renda yang simpel itu membungkus tubuh mungilnya dengan sempurna. Head piece berbentuk bunga cherry blossom berwarna putih sangat kontras dengan wajahnya yang dirias. Dalam genggamannya, terdapat sebuket mawar dengan perpaduan warna peach dan putih.Dia tidak menyangka, hanya dalam waktu dua bulan, keluarga Dashar bisa menyiapkan pernikahan sebesar ini untuk dirinya dan Regan. Kemampuan Mami dan Papi memang luar biasa.Mereka tidak takut mengeluarkan dana berlebih untuk pernikahan ini—ya walaupun pada akhirnya, Regan yang menanggung semua itu karena gengsinya terlalu besar. Justru, kendala terbesar pernikahan ini ada pada Dante.“Kenapa sih harus buru-buru?! Poppy kan gak hamil duluan!”Begitulah komentar Dante ketika tanggal pernikahan ditentukan. Poppy
Mata Poppy mengerjap. “Apa… setelah aku minta ajarin itu?”Regan tidak langsung menjawab. Namun, bukan karena ia terlihat ingin menghindar, justru tercetak senyum mencurigakan di wajahnya. Otak Poppy dipaksa bekerja dua kali lipat—lagi. Ia harus mempersiapkan diri untuk jawaban atau apa pun tingkah yang akan dilakukan pria ini.“Hm… aku mau jawab asal ada syaratnya,” jawab Regan.Tuh, kan, bener! Poppy berdecak dalam hati. Ia pun mendengus, tapi menyahut juga, “Apa?”“Aku mau berhenti dipanggil ‘Kakak’.”Alis Poppy berkerut. “Kok?”“Panggilan itu gak ada bedanya sama Dante. That’s annoying.”Poppy bisa merasakan “annoying” yang dimaksud Regan bukan hanya karena panggilan itu, tetapi karena sosok kakak kandungnya. Hubungan Regan dan Dante
“Kak Regan gak takut menikah?” Poppy mengulang pertanyaannya.Regan bisa merasakan kekhawatiran yang begitu besar dari pertanyaan Poppy. Maka dari itu, ia pun mengeratkkan pelukannya pada pinggang wanita itu. Regan menghirup dalam aroma rambut Poppy untuk semakin menenangkannya.“Nope,” jawab Regan. “Kalau sama kamu, aku gak takut.”Poppy tidak menjawab setelahnya. Padahal, Regan sudah menduga kalau setidaknya Poppy akan mendengus atau mencubit tangannya dengan wajah memerah. Wanita itu selalu melakukannya ketika sedang tersipu. Apa kali ini jawaban Regan mengecewakannya?Regan mengangkat sedikit kepalanya, berusaha melihat wajah Poppy. “Kenapa? Kamu takut?”Poppy bergumam pelan, “Sedikit.”Regan menghela napas, sedikit lega karena ternyata Poppy tidak sedang berpikir macam-macam. Ia kembali menyandarkan kepalanya di lekuk lehe
Tidak ada yang lebih mencurigakan dari Regan yang tiba-tiba menjadi penurut begitu. Berkali-kali Poppy memutar kepalanya ke arah Regan yang masih berdiri di depan pintu ketika mengambil sepasang piyama, pakaian dalam, dan krim malam. Pria itu memang hanya bersandar di sana dengan kedua tangan tersilang di depan dada, tapi tetap saja senyumannya membuat Poppy curiga. Ia pun sampai buru-buru masuk ke kamar tamu dan menguncinya dari dalam.“Padahal, semua udah pada tahu. Tapi, kenapa malah lebih deg-degan sekarang, ya?” gumam Poppy yang masih bersandar di pintu kamar tamu.Benar, Poppy memang tidak perlu takut lagi mereka ketahuan—toh, memang sudah ketahuan. Hanya saja, ia lebih takut karena sikap Regan semakin tak terprediksi. Pria itu memang jauh lebih manis sekarang dan semakin terang-terangan menunjukan afeksinya. Namun di satu sisi, Poppy semakin mewanti-wanti akan gebrakan di luar nalar Regan.Gak apa-a
Memang benar adanya pepatah darah lebih kental dari air zamzam sekalipun. Sudah berkali-kali Mami dan Papi berpihak pada Poppy dan menganaktirikan Regan sendiri, nyatanya tetap Regan yang menang.Poppy kira, Mami akan lebih setuju kepada Dante dan membuatnya menjaga jarak sedikit dengan Regan—Poppy tidak terlalu keberatan. Namun kebalikannya, Mami justru yang paling setuju saat Regan mengajukan ingin membiarkan Poppy “menginap” selama Dante di Singapura.Poppy pun hanya menghela napas pasrah ketika mobil Regan melewati gerbang kompleks perumahannya begitu saja. Hilang sudah rencana maraton nonton drama Korea sambil mencari inspirasi menulis. Sepanjang perjalanan, Poppy hanya terus membuang pandangan ke jendela dan memasang wajah masam.Regan sepertinya tahu kalau dirinya bersalah, tetapi enggan sekali meminta maaf. Pria itu malah terus mengeluarkan senyum kemenangan. Poppy bahkan juga mendengar dendangan kecil
Papi tidak langsung melanjutkan. Ia menatap Poppy cukup lama dalam diam, sampai akhirnya bertanya, “Kamu beneran mau sama Regan? Gak nyesal?”“Pi, please….” Regan langsung melayangkan protes.“Sst!” Papi menghentikan Regan. “Pendapat kamu gak dibutuhkan di sini!”Ketegangan Poppy meluruh seluruhnya. Benar, tidak ada gunanya terus merasa takut seperti itu. Setelah menarik napas panjang dan mengembuskannya, Poppy menarik sebuah senyuman. Senyuman penuh kelegaan dan rasa syukur karena selalu dikelilingi orang-orang baik ini.“Iya, Pi, Mi.” Poppy menatap Papi dan Mami bergantian, lalu menggenggam tangan Mami yang masih duduk di sebelahnya. “Poppy sayang—maksudnya cinta sama Kak Regan.”Ini bukan pernyataan cinta yang pertama kali Regan terima, tetapi ini pernyataan cinta paling mendebarkan selama hidupnya. Po