Share

Bab 3 Dunia Tanpa kesakitan?

Tak lama setelah pak Alex menjelaskan mengenai bagai mana cara menikmati kesakitan, wanita tersebut kembali bertanya pada pak Alex.

Bapak boleh saya bertanya lagi misal kalou saja dunia tanpa kesakitan menurut bapak bagaimna?.

Kemudian bapak Alek mengganggu dan mulai menjawab pertanyaan itu.

Ada kalanya hidup kita berlangsung mulus. Sepertinya bumi tempat kaki kita berpijak subur, makmur, dan hijau semata. Matahari selalu bersinar cerah, dan angin sejuk bertiup lembut. Pada saat-saat seperti ini, tidak terlalu sulit mempercayai kebaikan dan kasih Allah.

Namun, kita pasti tahu bahwa matahari yang sama itu pula yang telah memanggang Afrika menjadi hamparan gurun. Bahwa angin yang itu juga, yang tiba tiba berubah menjadi puting beliung, siap menelan apa saja dan siapa saja ke perutnya tanpa pilih pilih. Tat kala ini terjadi, masih mampukah kita dengan jujur memuji kebaikan kasih Allah?.

Akan tetapi terlepas dari apakah kita mampu atau tidak mampu, alam memang tak pernah berwajah satu. Kadang ia bagai ibu yang membelai kepala kita dengan mesra. Namun kali lain atau kadang kadang, ia tiba-tiba berubah bagikan monster  yang liar dan bringas ingin segera melahap mangsa yang ada di sekitar nya tanpa pandang bulu. Bumi kita ibaratkan "Dasa muka" berwajah sepuluh yang mana sebagian besar mengerikan dan menakutkan.

Sebut saja mahkluk yang bernama "manusia" spesies ini telah menampilkan orang-orang berhati mulia seperti Gandhi dan Teresa. Orang-orang berotak cemerlang seperti Newton dan Einstein. Dan orang-orang berdaya cipta luar biasa seperti Ismail Marzuki dan Affandi. Namun, bukankah dari rahimnya pula lahir monster monster kemanusiaan seperti Hitler dan Idi Amin, serta teroris-teroris berdarah dingin seperti Ali Imron, Amrozi, dan Doktor Azahari?

....

Yang ingin saya tekankan adalah, bahwa semua realitas baik yang ada di sekitar kita maupun di dalam diri kita senantiasa berwajah ganda. Termasuk RASA TAKUT.

Di satu pihak, "kesakitan" adalah sahabat yang dapat diandalkan. Yang selalu dan segera memberi peringatan ketika bahaya mengancam. Inilah yang tampak bila kita meneropong "kesakitan" melalui "mikroskop". Artinya, ketika kita melihatnya kasus demi kasus, orang demi orang.

Dengarlah, misalnya, kesaksian berikut ini, "mula-mula sih rasanya Suma seperti kesemutan biasa. Tetapi begitu saya periksakan ke dokter, dokter mengatakan bahwa saya menderita penyakit jantung akut, yang mesti segera di operasi. Rasa kesemutan itu sungguh telah menolong saya!" Untung ada "rasa sakit", bukan?

Tetapi tinggalkanlah sejenak mikroskop anda,lalu naik lah ke ketinggian sambil menengok sekeliling anda! Maka yang anda saksikan adalah kelaparan massal, pembantaian etnik, jutaan anak jalanan yang tanpa masa depan, pengidap HIV/AIDS yang terasing tanpa perawatan, penderita kanker tak tersembuhkan yang mengerang kesakitan. Dan masih banyak yang lain.

Menyaksikan semua ini, bukankah kita melihat wajah "kesakitan" yang lain? Wajahnya yang kejam, yang semena-mena, serta yang tak kenal rasa iba.

Persoalannya bukan hanya sekedar mengapa "rasa sakit" yang merupakan bagian dari sistem penyangga kehidupan bisa " membandel" seperti itu. Artinya, dari sesuatu yang semula berfungsi begitu positif, lalu bisa berubah sifat menjadi sedemikian destruktif.

Ada persoalan yang lebih dalam lagi! Persoalan yang merupakan pertanyaan-pertanyaan abadi, dan tak pernah berhenti ditanyakan orang. Misalnya, mengapa Atmo sakit, tapi Bimo tidak? Mengapa aku, mengapa bukan dia? Apa alsan yang masuk akal? TUHAN, bersediakah engkau menjelaskannya?

Di sini keluhan sang pemazmur terdengar sangat akrab di telinga kita. "Aku cemburu Kepa pembual-pembual,.....sebab kesakitan tidak ada pada mereka; mereka tidak mengalami kesusahan manusia. [Sebaliknya]....sepanjang hari aku kena tulah, dan kena hukum setiap pagi [Rasa-rasanya] sia-sia sama sekali atau mempertahankan hati yang bersih" (mazmur 73: 3-5; 13,14) why, my Lord, why?

Sejak Wiliam Blake, bagaimana di kutip Philip Yance, dengan jitu melukiskan sisi getir dari eksistensi manusia sejak kelahirannya. Tulisnya, "ibuku mengarang, ayahku menangis girang, tatkala ke dunia penuh ancaman aku diempaskan" bukan dunia yang nyaman, melainkan dunia yang penuh ancaman

"Kesakitan"  mungkin dimaksudkan sebagai sistem pemberi tanda bahaya yang efektif. Akan tetapi, jelas ia sering berubah menjadi liar dan tidak terkendali. Karena itu, menurut Yance, barangkali kita membutuhkan dua kata yang berbeda. Yang pertama adalah "kesakitan"(pain) untuk satu sisinya yang positif, sebab menunjuk pada sistem perlindungan tubuh. Sedang yang kedua adalah "penderitaan" (suffering) untuk memperlihatkan sisi nya yang kelam dan kejam.

Menurut saya, usul ini masuk akal! Sebab menurut pengalaman kita, tak selalu kita masing-masing toh punya "penderitaan" atau "salib".

Bentuk "salib" ini bisa beraneka ragam: stigmapribadi, relasi yang sarat maslah, kenangan kelam masa silam, rasa bersalah yang terus mengejar mengejar, dan sebagainya. Pertanyaan nya adalah, "Di manakah Allah ketika rasa sakit menerpa, atau ketika penderitaan mengganduli tanpa henti?" " Bagaimana mungkin Dia membiarkannya" "katakanlah, TUHAN, apa gunanya  semuanya ini?".

.....

SELAMA berabad-abad, para filsuf sudah memperdebatkan pertanyaan, "apakah bumi tempat kita hidup ini sudah merupakan kemungkinan yang terbaik?" Artinya,  apakah Allah sudah tak mungkin membuat yang lebih baik lagi? Sebab, seperti kata Voltaire, "jika yang seperti ini sudah merupakan yang terbaik, wahhhh....!"

Berkaitan dengan ini, saya perlu menegaskan satu hal. Benar, dunia kita mungkin bukan yang terbaik, yang bisa di ciptakan TUHAN untuk kita. Namun bila anda berfikir bahwa sekiranya saja  dalam hidup kita tidak ada "rasa sakit" dan "penderitaan", maka itulah "hidup yang ideal", anda salah sangka!

Misalnya, mengapa Allah tidak melenyapkan saja semua bakteri yang ada? Eitsss...,kata Yance, tunggu dulu! sebab ini justru akan menciptakan malapetaka yang jauh lebih besar! Mengapa? Sebab dari 24.000 jenis bakteri yang telah berhasil di identifikasi, sebenarnya hanya sedikit sekali yang menyebabkan penyakit. Sedang sisanya, yang jauh llebih banyak, adalah bakteri-bakteri yang bermanfaat. Tanpa bakteri, misalnya, makanan yangbkita telan pun tidak dapat di cerna oleh tubuh. 

Bagaimana dengan"dunia tanpa Taifun"? Yance mencatat bahwa India dan Bangladesh dua negara yang paling sering dilanda bencana Taifun, telah memperoleh pelajaran yang pahit. Bila tidak ada Taifun, hujan pun enggan turun sepanjang tahun!.

Ketika saya masih remaja, saya pernah mengalami patah kaki, padahal saya ingin sekali menjadi pemain bola yang hebat. Karena itu saya berkata, " lebih kuandaikan tulangku lebih kuat!" Waktu itu saya tidak menyadari konsekuensinya, bahwa tulang yang lebih kuat juga berarti lebih berat. Tulang yang lebih berat akan membuat gerak tubuh saya menjadi lebih lamban. Bila lamban, mana mungkin saya bermain bola?

Saya bayangkan, Beta TUHAN harus membuat pilihan-pilihan sulit ketika merancang tubuh manusia. Mana yang lebih baik: kuat tapi lamban,atau lincah tapi rapuh? Dunia yang "ideal" juga dunia yang tanpa kesakitan itu tidak ada! Yang ada hanyalah pilihan-pilihan. Maksud saya,Beta pun tidak sempurnanya hidup kita, kita masih bisa memilih antara yang "buruk" dan "lebih baik".

......

BENARKAH Allah bertanggung jawab atas penderitaan dan kesakitan manusia? Jelaslah bahwa Allah sendiri telah melakukan pilihan pilihan-pilihan, dengan segala resiko dan konsekuensinya. Khususnya ketika Dia memutuskan untuk, pada satu pihak, menciptakan alam dengan "hukum kodrat" yang pasti ; namun, di pihak lain menciptakan manusia dengan "kehendak bebas" untuk memilih

Kayu misalnya diciptakan Allah keras dan padat. Ini kodrat dari kayu tersebut. Manusia tak bisa mengubah kodrat ini. Akan tetapi, "kehendak bebas" manusia memberinya pilihan untuk memanfaatkan kayu yang keras itu guna membangun rumah atau menggunakannya tuk melukai selamanya.

Tentu saja Allah bisa mengantisipasi sifat jahat manusia mengubah kodrat kayu yang keras itu menjadi spons. Ooo., Bisa! Tetapi tetapi ini tidak Dia lakukan. Pertama, karena Dia menghormati "hukum kodrat" yang Dia tetapkan sendiri. Dan kedua, karena Dia juga mau menghormati"kehendak bebas" manusia. Dengan resikonya manusia bebas melakukan kebaikan, tetapi bebas pula melakukan kejahatan.

Ini, saya tahu, menciptakan  banyak persoalan, serta melahirkan banyak pertanyaan. Tetapi apakah anda punya alternatif yang lebih baik? Apakah anda mau Allah mencabut kehendak bebas anda, dan mengubah anda menjadi robot yang manis dan penurut? 

Jadi, bertanggung jawablah Allah atas semuanya penderitaan dan kesakitan manusia? Secara tidak langsung,"ya". Sebab, di muka bumi ini tidak ada yang bisa terjadi di luar pengetahuan Allah. Namun hadiah ulang tahun berupa sebuah sepeda yang memungkinkannya untuk jatuh  dan terluka, sangatlah beda di bandingkan apabila dengan secara sengaja anda inhin melukainya.

Jangan berilusi bahwa dunia yang bebas dari kesakitan. Dunia ini tidak sempurna, memang, tetapi tak ada pilihan lain yang lebih baik. Karena itu yang paling bijak.: Pakailah " kehendak bebas" kita sebaik-baiknya. Andaikata kita tidak dapat mengobati secara tuntas luka kita, paling tidak janganlah kita memperburuknya.(kata pak Alex menjawab wanita itu Sera membaca dan menunjukkan hal yang ia bicarakan).

Kemudian wanita itu merasa lebih tenang dan mulai memahami kembali makna dari perkataan yang di sampaikan bapak Alex kepanya di hari yang lalu bersama temannya.

Serasa wanita itu mulai merasa cukup dengan penjelasan pak Alex dia minta pamit diri dan berterimakasih kepada pak Alex.

Terimakasih ya bapak Minggu depan saya mau tanya dan sharing lagi kepada bapak agar saya bisa memahami lebih dalam mengenai hal ini.

Baik silahkan, saya akan selalu mau mendengar dan memberikan kalian arahan semampu bapak.

...

Wanita itu pamit dan pulang dengan wajah berseri karna sudah di isi dengan kenikmatan dan kesejukan hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status