Compartilhar

Peta Pendosa

Autor: Ammi Poe YP
last update Última atualização: 2025-10-02 23:06:13

“Danang Prasetyo?” Raka nyaris tak bisa mengeluarkan suara, tenggorokannya tercekat, udara terasa menipis di sekelilingnya.

Kirana mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca, penuh amarah dan frustrasi. Tubuhnya menegang, rahangnya mengeras. Ia menarik napas dalam, berusaha menguasai diri.

“Beliau ditemukan tewas, Doktor. Di aula serbaguna perusahaannya. Tim pengawas kehilangan kontak dengannya beberapa menit yang lalu. Mereka masuk paksa dan menemukan … ya, seperti yang Anda duga.” Kirana berhenti, suaranya tercekat. “Mayatnya diposisikan menyerupai Karna. Dengan anak panah tiruan menancap di dadanya. Danang Prasetyo adalah Karna kita, Doktor.”

Raka merasa kakinya lemas, lututnya hampir tak mampu menopang. Hipotesisnya, yang tadinya hanya tafsir akademis, kini terwujud menjadi realitas berdarah. Ia duduk terhempas di kursi terdekat, pandangannya kosong menatap kayon kecil di atas meja. “Karna … dia bahkan tidak menunggu kita,” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri. “Dia mempercepat lakon. Dia tidak membiarkan jeda.”

“Kita harus segera ke sana, Doktor. Mungkin saja ada petunjuk yang terlewat. Tim forensik sudah berangkat. Saya akan meminta Drajat untuk mengamankan lokasi lain yang mungkin jadi target berikutnya berdasarkan ‘peta pendosa’ Anda.”

“Apakah masih ada yang bisa kita lakukan, Kompol?” Raka mengangkat kepala, menatap Kirana. Di mata wanita itu, ia melihat bayangan kekalahan yang sama. “Dia sudah mati, Kompol. Satu nyawa lagi melayang. Karena kita. Karena saya gagal memprediksi langkahnya lebih cepat.”

“Bukan, Doktor Raka,” Kirana membantah dengan tegas, menggelengkan kepala. “Ini bukan salah Anda. Ini adalah pekerjaan seorang pembunuh berencana yang cerdik dan kejam. Tugas kita sekarang adalah menghentikannya agar tidak ada korban berikutnya. Kita akan mulai dari awal. Kita akan menyisir setiap detail, setiap sudut. Kali ini, kita akan lebih siap. Kita akan menemukan pola pemikiran Sang Dalang yang sebenarnya.” Ia berhenti sejenak, menatap Raka dengan sorot yang menuntut. “Apakah ada hal lain, Doktor? Informasi apa pun yang bisa menuntun kita pada dalang sesungguhnya, bukan hanya urutan lakonnya.”

Raka mengalihkan pandangannya dari Kirana, menatap tumpukan manuskrip di rak buku. Ia teringat akan sanggar tua peninggalan ayahnya, tempat ia terakhir kali melihat ayahnya berpentas. Sebuah tempat yang ia hindari selama ini, penuh dengan kenangan pahit.

“Ada … satu tempat,” Raka memulai, suaranya terdengar berat. “Sanggar lama ayah. Di sana ada banyak peninggalan. Mungkin ada sesuatu. Catatan, goresan, apa pun yang bisa memberi kita petunjuk lebih. Saya … saya akan ke sana, Kompol.”

Kirana menyipitkan mata. “Sendiri, Doktor? Saya rasa itu bukan ide yang bagus. Terlalu berbahaya.”

“Saya harus, Kompol,” Raka bersikeras, berdiri dan meraih kunci motornya. Sebuah dorongan kuat, hampir spiritual, menariknya ke sana. “Ini bukan hanya tentang bukti fisik. Ini tentang memahami arwah lakon ini. Ayah saya dan dalang ini punya ikatan yang lebih dalam dari yang kita kira. Mungkin di sana saya akan menemukan jawaban atas siapa sebenarnya ‘Sang Dalang’ itu.”

Kirana menghela napas, melihat tekad di mata Raka. Ia tahu tidak ada gunanya membantah. “Baik. Tapi pastikan Anda tetap berkomunikasi. Dan jika ada hal mencurigakan sekecil apa pun, segera hubungi saya. Saya akan meminta Bripka Drajat mengawasi dari jauh, memastikan Anda aman.”

“Terima kasih, Kompol,” Raka mengangguk, lalu bergegas pergi, meninggalkan Kirana dengan kegelisahan yang membebani. Ia memacu motornya di jalanan Yogya yang sepi, jantungnya bergemuruh seirama mesin. Dinginnya malam menusuk kulit, tapi hatinya jauh lebih dingin.

*

Jalanan menuju sanggar tua Ki Anom Suroso tak beraspal, hanya tanah berbatu yang membentuk cekungan di sana-sini. Raka memarkir motornya di bawah pohon beringin tua yang menjulang, akarnya merambat seperti gurita raksasa. Bau lumut basah dan tanah lembab menyeruak, bercampur dengan aroma kemenyan yang samar-samar, seolah baru saja ada ritual yang berlangsung di sana.

“Astaga, Ayah,” Raka bergumam pelan, menatap bangunan kayu yang kini berdiri sunyi, sebagian atapnya bolong, menyisakan kerangka kayu yang lapuk. “Ini bahkan lebih buruk dari yang kuingat.”

Pintu sanggar berderit pelan saat Raka mendorongnya. Udara pengap dan dingin segera menyambutnya. Debu beterbangan, membentuk partikel-partikel kecil yang menari dalam cahaya rembulan yang menyusup dari celah-celah dinding. Di dalamnya, samar-samar terlihat sisa-sisa pementasan yang ditinggalkan begitu saja. Wayang-wayang gantung yang kotor, beberapa gamelan berkarat di sudut, dan sebuah kelir tua yang sudah sobek, terlipat di lantai.

“Tidak ada yang berubah,” Raka berjalan masuk, setiap langkahnya menciptakan gema di lantai kayu yang rapuh. “Semuanya persis seperti terakhir kali aku melihatnya.” Ia memungut sebuah wayang Arjuna yang tergeletak di tanah, ukirannya retak, catnya mengelupas. “Kau selalu bilang wayang ini hidup, Ayah. Punya nyawa. Tapi sekarang… ini hanya kumpulan kulit dan cat yang mati.”

Ia berjalan menyusuri ruangan, mengusap debu dari meja tempat ayahnya dulu biasa mengukir wayang. Jemarinya menyentuh cempala, alat pukul dalang, yang tergeletak begitu saja. Sebuah gelombang kenangan menghantamnya.

“Kau ingat, Ayah?” Raka mulai berbicara pada kehampaan, suaranya bergetar. “Dulu kau selalu memarahiku saat aku bermain-main dengan cempala ini. ‘Jangan sembarangan, Nak! Ini bukan mainan! Ini adalah jantung seorang dalang!’ katamu. Dan aku… aku hanya ingin menjadi anak kecil biasa, Ayah. Bukan pewaris lakon yang rumit ini.”

Ia menelusuri dinding, matanya mencari sesuatu yang ganjil. Sebuah ukiran, sebuah coretan, apa pun yang tidak pada tempatnya. Aroma kemenyan kembali tercium lebih kuat, seolah ada seseorang yang baru saja membakarnya. Ia berhenti di tengah ruangan, tempat kelir pementasan biasanya terpasang. Di sana, di lantai kayu yang usang, terlihat goresan-goresan samar. Bukan pola ukiran biasa, melainkan garis-garis yang membentuk denah.

Raka berlutut, mengusap debu dengan jemarinya. “Ini… ini bukan denah pementasan biasa,” ia bermonolog, alisnya bertaut. “Terlalu rumit. Terlalu banyak detail yang tidak diperlukan untuk sebuah pertunjukan wayang.”

Garis-garis itu membentuk lingkaran-lingkaran kecil, terhubung dengan garis lurus dan patah, seolah sebuah diagram rumit. Beberapa titik ditandai dengan lingkaran yang lebih besar, dan di dalamnya, samar-samar terukir huruf Jawa kuno. Raka mencoba mengeja.

“Duryudana… Sengkuni… Karna…” ia membaca, nadanya berbisik. Jantungnya berdebar kencang. Ini adalah peta. Peta pembantaian itu.

“Ayah, apa yang sebenarnya kau lakukan di sini?” Raka mengangkat wajah, menatap ke arah tempat ayahnya dulu duduk sebagai dalang. Sebuah bayangan melintas di benaknya: bayangan ayahnya, duduk di balik kelir, menggerakkan wayang dengan cempala, sorot matanya tajam.

“‘Kau harus memilih, Raka!’” suara ayahnya menggema dalam ingatannya, hampir nyata. “‘Apakah kau akan menjadi dalang sejati yang menghidupkan cerita, atau hanya seorang pengamat yang membaca sejarah orang lain?’ Kau selalu bertanya itu, Ayah. Dan aku… aku memilih buku-buku. Aku memilih arsip. Karena di sana, aku tidak perlu menghadapi bayanganmu.”

Raka terhuyung, kenangan pertengkaran terakhir mereka mencuat dengan begitu kuat. Hari itu, ia baru saja lulus dengan predikat cum laude dari jurusan Filologi. Ia pulang dengan bangga, berharap ayahnya akan memahami.

“‘Aku tidak akan meneruskan lakonmu, Ayah!’” Raka mengingat bagaimana ia berteriak, suaranya penuh amarah dan frustrasi. “‘Aku tidak akan menjadi boneka yang mengulang cerita lama. Dunia sudah berubah! Wayangmu itu hanya artefak mati, Ayah! Tidak ada yang peduli lagi!’”

Ayahnya hanya menatapnya, matanya sendu namun keras. “‘Dunia memang berubah, Nak. Tapi cerita… cerita akan selalu berulang. Dan jika tidak ada yang berani menceritakannya, siapa yang akan mengingatkan mereka akan kebenaran?’”

Raka mencengkeram kepalanya. “Aku tidak peduli kebenaranmu, Ayah! Aku hanya ingin hidup normal! Bukan hidup yang dipenuhi oleh bayangan-bayangan yang kau ciptakan!”

“‘Bayangan itu nyata, Raka,’” ayahnya menjawab, suaranya tenang namun menusuk. “‘Bayangan itu akan mengejarmu, Nak. Sampai kau berani menghadapinya. Sampai kau mau menjadi dalang untuk lakonmu sendiri.’”

“Dan kini… bayangan itu benar-benar mengejarku, Ayah,” Raka berbisik, air matanya mulai mengalir. “Ini bukan hanya tentang aku yang lari dari warisanmu. Ini tentang kau. Apa kau terlibat dalam ini? Atau kau… kau hanya mencoba memberiku peringatan?”

Ia kembali menatap denah di lantai. Di bagian ujung, di mana biasanya posisi penonton, ada sebuah lingkaran kosong. Sangat besar, kosong, tanpa nama tokoh. Raka menatapnya lama, merasakan kengerian yang menusuk. Lingkaran itu seolah menunggunya. Sebuah kursi kosong untuk dalang yang baru. Atau… sebuah panggung untuk tokoh terakhir.

Ia mengusap goresan di lantai, debu menempel di jemarinya. Ada sesuatu yang lain. Sebuah celah kecil di antara papan lantai, terlalu rapi untuk sekadar kerusakan alami. Ia mencoba mengoreknya dengan kuku. Ada sesuatu di dalamnya. Sebuah gulungan kertas, tersembunyi. Tangannya bergetar saat menariknya keluar. Gulungan itu terasa tua, rapuh, dan diikat dengan benang merah yang sudah pudar.

Raka membuka gulungan itu perlahan. Di dalamnya, tulisan tangan ayahnya memenuhi setiap baris. Sebuah suluk, lebih gelap, lebih rumit dari yang pernah ia baca. Ia mulai mengejanya, bibirnya bergerak pelan.

“‘Ketika sang panggung telah disiapkan, dan para wayang telah menempati tempatnya…’” Raka berhenti, matanya melebar saat ia membaca baris terakhir. Darahnya berdesir, bukan lagi karena dingin, melainkan karena kengerian yang membekukan…

Continue a ler este livro gratuitamente
Escaneie o código para baixar o App

Último capítulo

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Panggung Pengorbanan

    Panggilan itu terputus.Raka menatap layar ponsel yang gelap. Jemarinya mencengkeram erat. Kirana telah memutus komunikasi untuk menjauh dari pelacakan, tetapi ia juga memutus satu-satunya jembatan emosional Raka.Ia seorang diri. Kirana menjadi umpan. Agung Kusuma akan menjadi korban berikutnya. Dan putranya Kirana, Satria, adalah target final mereka.Raka memukul kemudi, lalu menarik napas panjang. Tidak ada waktu untuk marah atau menangis. Ia harus menjadi Arjuna, Bima, dan Puntadewa sekaligus. Ia harus mengambil alih lakon yang berdarah ini.Ia segera menelpon Agung Kusuma, mencoba memberinya peringatan terselubung. Lalu, ia menghubungi salah satu dalang muda. Malam ini, ia harus mengumumkan pementasanParikesit Jumeneng Ratu—pementasan harapan palsu yang akan memancing Seno dan para pengikut Banyu keluar dari sarang.“Jika kau ingin lakon ini berhenti, kau harus berani menjadi Dalang Kematian,” bisik Raka pada d

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Wisnu Dharmawan

    Raka merasa lemas. Wisnu Dharmawan (WD), representasi Bima, telah menjadi sasaran Sang Dalang Bayangan yang kini bergerak menggantikan Banyu.Ia tidak punya waktu untuk menghubungi polisi, atau bahkan menyusun alibi. Raka hanya membawa pisau kecil yang ia sembunyikan di pinggang, kunci mobil, dan sebuah senter. Ia bergegas keluar dari joglo, jantungnya berdebar kencang.Perjalanan ke Kulonprogo terasa seperti masuk ke lorong waktu yang gelap. Jalanan semakin menanjak dan berliku, bau tanah basah bercampur aroma bunga hutan yang dingin. Ia tiba di titik koordinat sekitar pukul sembilan malam.Tempat itu adalah gudang penyimpanan kapur pertanian, terletak di lembah sempit di antara dua bukit. Lampu merkuri yang remang-remang menampakkan pemandangan yang menyakitkan: mobil tua milik Wisnu Dharmawan terparkir di pinggir jurang, pintunya terbuka paksa. Sebuah garis darah tebal mengalir di tanah, menuju ke dalam gudang.Raka menyalakan senter, mengikuti jejak darah itu. Gudang itu gelap, di

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Tokoh yang Belum Terungkap

    Raka merasa ada firasat buruk yang mendalam, melihat kilatan gila di mata Kirana. Ia tahu Kirana sedang merencanakan sesuatu yang berbahaya.“Kirana, apa rencanamu?” desak Raka, rahangnya mengeras.“Seno ingin aku menghilang. Aku akan melakukannya. Aku akan keluar dari Yogya, menyebarkan desas-desus bahwa aku dipecat, bahkan dipenjara. Biarkan ia tenang.” Kirana melangkah ke loker, membuka laci kecil, dan mengambil kunci mobil yang bukan miliknya, dan tas punggung kecil.“Lalu bagaimana denganku? Bagaimana aku melindungimu saat kau hilang?”“Kau tidak perlu melindungiku, Raka. Kau perlu memainkan lakon Arjuna yang mereka harapkan, sampai kau menemukan waktu untuk menghancurkannya.” Kirana mengambil kunci lain. “Tapi aku perlu jaminan. Seno pasti mengira aku sudah menanam agen di sekitar Agung Kusuma.”Raka tahu Kirana sedang menawar nyawanya.“Aku akan mengikutimu,” kata Raka.“Tidak, Arjuna harus fokus pada lakon besarnya.” Kirana memejamkan mata sesaat. “Kau harus mulai menyebarkan

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Firasat

    Raka menarik napas tajam. Parikesit, yang ia yakini sebagai lakon harapan baru, ternyata adalah target terakhir mereka, Too Be Confirmed—belum dikonfirmasi. Dan nama yang mengejutkan, tepat di bawah tiga tokoh kunci Pandawa itu.“Lihat ini, Kirana,” Raka memaksa. Ia menunjuk ke inisial di samping nama Kirana. “KP. Itu inisialmu. Kompol Prameswari. Dia tidak menuliskannya di gulungan lontar seperti yang dia tunjukkan di Solo. Dia menuliskannya di cetak biru ini, sebagai salah satu target yang harus mati di lakon terakhir.”Wajah Kirana memucat. Ia bukan lagi sekadar pelayan hukum yang terancam dicopot, tetapi secara eksplisit telah dimasukkan ke dalam naskah berdarah. Ia adalah tokoh epik, dengan takdir kematian yang sudah dituliskan di dinding reruntuhan ini.Raka mendekati Kirana. Ia tahu ia harus bereaksi cepat, melampaui logika forensik. “KP. Kirana. Seno tidak ingin kau dicopot. Dia ingin kau dibunuh. Di atas panggung.”“Tapi kenapa? Aku tidak punya kekuasaan sebanding dengan Dury

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Inisial

    Dua jam kemudian, menjelang fajar, mereka akhirnya berhasil tiba di markas sementara yang sudah diamankan oleh tim Kirana, jauh di pinggiran kota, sebuah rumah kosong yang disewa atas nama samaran. Kirana memerintahkan Banyu segera diisolasi, tanpa diberi akses bicara kepada siapa pun kecuali dia. Ancaman Seno, yang berhasil ditembak ban mobilnya oleh Kirana, telah mengubah Banyu menjadi sekadar barang bukti berharga—dan target eliminasi. Sementara itu, Kirana mulai menangani lukanya dan Raka harus menerima jahitan darurat di lengan kanannya.Setelah memastikan semuanya aman, Kirana menghampiri Raka di ruang utama, membawa dua cangkir kopi panas.“Bagaimana Jaka?” tanya Raka, menatap lurus ke arah cangkirnya, menghindari kontak mata. Ia merasa terlalu rentan setelah momen emosional yang terpotong peluru itu.“Aman. Tapi dia terkejut. Seno tidak main-main. Dia mencoba mengorbankan Jaka di Solo, menempatkan mayat Gatotkaca di sana, seolah-olah Banyu masih mengendalikan lakon. Padahal Se

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Taruhan Tertinggi

    Setelah lima belas menit perjalanan gila, Kirana memperlambat laju mobil di sebuah pom bensin tua yang remang-remang, di luar area ring road selatan. Dua perwira Solo tiba beberapa detik kemudian, dengan wajah pucat dan seragam basah kuyup. Mereka hanya berhasil mengamankan Banyu. Motor-motor penyerang telah hilang di balik pekatnya hujan.Kirana keluar dari mobil, tidak memedulikan dingin dan basahnya jas hujan. Raka ikut keluar, mengikuti insting. Ia berjalan menghampiri Kirana, melihat bahu wanita itu naik turun dengan cepat.Kirana menyandarkan tubuhnya ke kap mobil. Rambutnya basah, menempel di dahi dan lehernya. Pakaiannya menampakkan cetakan pistol di pinggangnya yang ramping. Ia menatap Raka, sorot matanya melembut—atau mungkin hanya pantulan lampu jalan yang remang-remang.“Mereka ingin membunuh kita, Raka,” bisik Kirana, suaranya parau, jauh dari nada tegas seorang Kompol Bareskrim. Ia berbicara, tidak kepada partner kerjanya, tetapi

Mais capítulos
Explore e leia bons romances gratuitamente
Acesso gratuito a um vasto número de bons romances no app GoodNovel. Baixe os livros que você gosta e leia em qualquer lugar e a qualquer hora.
Leia livros gratuitamente no app
ESCANEIE O CÓDIGO PARA LER NO APP
DMCA.com Protection Status