LOGIN“Danang Prasetyo?” Raka nyaris tak bisa mengeluarkan suara, tenggorokannya tercekat, udara terasa menipis di sekelilingnya.
Kirana mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca, penuh amarah dan frustrasi. Tubuhnya menegang, rahangnya mengeras. Ia menarik napas dalam, berusaha menguasai diri.
“Beliau ditemukan tewas, Doktor. Di aula serbaguna perusahaannya. Tim pengawas kehilangan kontak dengannya beberapa menit yang lalu. Mereka masuk paksa dan menemukan … ya, seperti yang Anda duga.” Kirana berhenti, suaranya tercekat. “Mayatnya diposisikan menyerupai Karna. Dengan anak panah tiruan menancap di dadanya. Danang Prasetyo adalah Karna kita, Doktor.”
Raka merasa kakinya lemas, lututnya hampir tak mampu menopang. Hipotesisnya, yang tadinya hanya tafsir akademis, kini terwujud menjadi realitas berdarah. Ia duduk terhempas di kursi terdekat, pandangannya kosong menatap kayon kecil di atas meja. “Karna … dia bahkan tidak menunggu kita,” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri. “Dia mempercepat lakon. Dia tidak membiarkan jeda.”
“Kita harus segera ke sana, Doktor. Mungkin saja ada petunjuk yang terlewat. Tim forensik sudah berangkat. Saya akan meminta Drajat untuk mengamankan lokasi lain yang mungkin jadi target berikutnya berdasarkan ‘peta pendosa’ Anda.”
“Apakah masih ada yang bisa kita lakukan, Kompol?” Raka mengangkat kepala, menatap Kirana. Di mata wanita itu, ia melihat bayangan kekalahan yang sama. “Dia sudah mati, Kompol. Satu nyawa lagi melayang. Karena kita. Karena saya gagal memprediksi langkahnya lebih cepat.”
“Bukan, Doktor Raka,” Kirana membantah dengan tegas, menggelengkan kepala. “Ini bukan salah Anda. Ini adalah pekerjaan seorang pembunuh berencana yang cerdik dan kejam. Tugas kita sekarang adalah menghentikannya agar tidak ada korban berikutnya. Kita akan mulai dari awal. Kita akan menyisir setiap detail, setiap sudut. Kali ini, kita akan lebih siap. Kita akan menemukan pola pemikiran Sang Dalang yang sebenarnya.” Ia berhenti sejenak, menatap Raka dengan sorot yang menuntut. “Apakah ada hal lain, Doktor? Informasi apa pun yang bisa menuntun kita pada dalang sesungguhnya, bukan hanya urutan lakonnya.”
Raka mengalihkan pandangannya dari Kirana, menatap tumpukan manuskrip di rak buku. Ia teringat akan sanggar tua peninggalan ayahnya, tempat ia terakhir kali melihat ayahnya berpentas. Sebuah tempat yang ia hindari selama ini, penuh dengan kenangan pahit.
“Ada … satu tempat,” Raka memulai, suaranya terdengar berat. “Sanggar lama ayah. Di sana ada banyak peninggalan. Mungkin ada sesuatu. Catatan, goresan, apa pun yang bisa memberi kita petunjuk lebih. Saya … saya akan ke sana, Kompol.”
Kirana menyipitkan mata. “Sendiri, Doktor? Saya rasa itu bukan ide yang bagus. Terlalu berbahaya.”
“Saya harus, Kompol,” Raka bersikeras, berdiri dan meraih kunci motornya. Sebuah dorongan kuat, hampir spiritual, menariknya ke sana. “Ini bukan hanya tentang bukti fisik. Ini tentang memahami arwah lakon ini. Ayah saya dan dalang ini punya ikatan yang lebih dalam dari yang kita kira. Mungkin di sana saya akan menemukan jawaban atas siapa sebenarnya ‘Sang Dalang’ itu.”
Kirana menghela napas, melihat tekad di mata Raka. Ia tahu tidak ada gunanya membantah. “Baik. Tapi pastikan Anda tetap berkomunikasi. Dan jika ada hal mencurigakan sekecil apa pun, segera hubungi saya. Saya akan meminta Bripka Drajat mengawasi dari jauh, memastikan Anda aman.”
“Terima kasih, Kompol,” Raka mengangguk, lalu bergegas pergi, meninggalkan Kirana dengan kegelisahan yang membebani. Ia memacu motornya di jalanan Yogya yang sepi, jantungnya bergemuruh seirama mesin. Dinginnya malam menusuk kulit, tapi hatinya jauh lebih dingin.
*
Jalanan menuju sanggar tua Ki Anom Suroso tak beraspal, hanya tanah berbatu yang membentuk cekungan di sana-sini. Raka memarkir motornya di bawah pohon beringin tua yang menjulang, akarnya merambat seperti gurita raksasa. Bau lumut basah dan tanah lembab menyeruak, bercampur dengan aroma kemenyan yang samar-samar, seolah baru saja ada ritual yang berlangsung di sana.
“Astaga, Ayah,” Raka bergumam pelan, menatap bangunan kayu yang kini berdiri sunyi, sebagian atapnya bolong, menyisakan kerangka kayu yang lapuk. “Ini bahkan lebih buruk dari yang kuingat.”
Pintu sanggar berderit pelan saat Raka mendorongnya. Udara pengap dan dingin segera menyambutnya. Debu beterbangan, membentuk partikel-partikel kecil yang menari dalam cahaya rembulan yang menyusup dari celah-celah dinding. Di dalamnya, samar-samar terlihat sisa-sisa pementasan yang ditinggalkan begitu saja. Wayang-wayang gantung yang kotor, beberapa gamelan berkarat di sudut, dan sebuah kelir tua yang sudah sobek, terlipat di lantai.
“Tidak ada yang berubah,” Raka berjalan masuk, setiap langkahnya menciptakan gema di lantai kayu yang rapuh. “Semuanya persis seperti terakhir kali aku melihatnya.” Ia memungut sebuah wayang Arjuna yang tergeletak di tanah, ukirannya retak, catnya mengelupas. “Kau selalu bilang wayang ini hidup, Ayah. Punya nyawa. Tapi sekarang… ini hanya kumpulan kulit dan cat yang mati.”
Ia berjalan menyusuri ruangan, mengusap debu dari meja tempat ayahnya dulu biasa mengukir wayang. Jemarinya menyentuh cempala, alat pukul dalang, yang tergeletak begitu saja. Sebuah gelombang kenangan menghantamnya.
“Kau ingat, Ayah?” Raka mulai berbicara pada kehampaan, suaranya bergetar. “Dulu kau selalu memarahiku saat aku bermain-main dengan cempala ini. ‘Jangan sembarangan, Nak! Ini bukan mainan! Ini adalah jantung seorang dalang!’ katamu. Dan aku… aku hanya ingin menjadi anak kecil biasa, Ayah. Bukan pewaris lakon yang rumit ini.”
Ia menelusuri dinding, matanya mencari sesuatu yang ganjil. Sebuah ukiran, sebuah coretan, apa pun yang tidak pada tempatnya. Aroma kemenyan kembali tercium lebih kuat, seolah ada seseorang yang baru saja membakarnya. Ia berhenti di tengah ruangan, tempat kelir pementasan biasanya terpasang. Di sana, di lantai kayu yang usang, terlihat goresan-goresan samar. Bukan pola ukiran biasa, melainkan garis-garis yang membentuk denah.
Raka berlutut, mengusap debu dengan jemarinya. “Ini… ini bukan denah pementasan biasa,” ia bermonolog, alisnya bertaut. “Terlalu rumit. Terlalu banyak detail yang tidak diperlukan untuk sebuah pertunjukan wayang.”
Garis-garis itu membentuk lingkaran-lingkaran kecil, terhubung dengan garis lurus dan patah, seolah sebuah diagram rumit. Beberapa titik ditandai dengan lingkaran yang lebih besar, dan di dalamnya, samar-samar terukir huruf Jawa kuno. Raka mencoba mengeja.
“Duryudana… Sengkuni… Karna…” ia membaca, nadanya berbisik. Jantungnya berdebar kencang. Ini adalah peta. Peta pembantaian itu.
“Ayah, apa yang sebenarnya kau lakukan di sini?” Raka mengangkat wajah, menatap ke arah tempat ayahnya dulu duduk sebagai dalang. Sebuah bayangan melintas di benaknya: bayangan ayahnya, duduk di balik kelir, menggerakkan wayang dengan cempala, sorot matanya tajam.
“‘Kau harus memilih, Raka!’” suara ayahnya menggema dalam ingatannya, hampir nyata. “‘Apakah kau akan menjadi dalang sejati yang menghidupkan cerita, atau hanya seorang pengamat yang membaca sejarah orang lain?’ Kau selalu bertanya itu, Ayah. Dan aku… aku memilih buku-buku. Aku memilih arsip. Karena di sana, aku tidak perlu menghadapi bayanganmu.”
Raka terhuyung, kenangan pertengkaran terakhir mereka mencuat dengan begitu kuat. Hari itu, ia baru saja lulus dengan predikat cum laude dari jurusan Filologi. Ia pulang dengan bangga, berharap ayahnya akan memahami.
“‘Aku tidak akan meneruskan lakonmu, Ayah!’” Raka mengingat bagaimana ia berteriak, suaranya penuh amarah dan frustrasi. “‘Aku tidak akan menjadi boneka yang mengulang cerita lama. Dunia sudah berubah! Wayangmu itu hanya artefak mati, Ayah! Tidak ada yang peduli lagi!’”
Ayahnya hanya menatapnya, matanya sendu namun keras. “‘Dunia memang berubah, Nak. Tapi cerita… cerita akan selalu berulang. Dan jika tidak ada yang berani menceritakannya, siapa yang akan mengingatkan mereka akan kebenaran?’”
Raka mencengkeram kepalanya. “Aku tidak peduli kebenaranmu, Ayah! Aku hanya ingin hidup normal! Bukan hidup yang dipenuhi oleh bayangan-bayangan yang kau ciptakan!”
“‘Bayangan itu nyata, Raka,’” ayahnya menjawab, suaranya tenang namun menusuk. “‘Bayangan itu akan mengejarmu, Nak. Sampai kau berani menghadapinya. Sampai kau mau menjadi dalang untuk lakonmu sendiri.’”
“Dan kini… bayangan itu benar-benar mengejarku, Ayah,” Raka berbisik, air matanya mulai mengalir. “Ini bukan hanya tentang aku yang lari dari warisanmu. Ini tentang kau. Apa kau terlibat dalam ini? Atau kau… kau hanya mencoba memberiku peringatan?”
Ia kembali menatap denah di lantai. Di bagian ujung, di mana biasanya posisi penonton, ada sebuah lingkaran kosong. Sangat besar, kosong, tanpa nama tokoh. Raka menatapnya lama, merasakan kengerian yang menusuk. Lingkaran itu seolah menunggunya. Sebuah kursi kosong untuk dalang yang baru. Atau… sebuah panggung untuk tokoh terakhir.
Ia mengusap goresan di lantai, debu menempel di jemarinya. Ada sesuatu yang lain. Sebuah celah kecil di antara papan lantai, terlalu rapi untuk sekadar kerusakan alami. Ia mencoba mengoreknya dengan kuku. Ada sesuatu di dalamnya. Sebuah gulungan kertas, tersembunyi. Tangannya bergetar saat menariknya keluar. Gulungan itu terasa tua, rapuh, dan diikat dengan benang merah yang sudah pudar.
Raka membuka gulungan itu perlahan. Di dalamnya, tulisan tangan ayahnya memenuhi setiap baris. Sebuah suluk, lebih gelap, lebih rumit dari yang pernah ia baca. Ia mulai mengejanya, bibirnya bergerak pelan.
“‘Ketika sang panggung telah disiapkan, dan para wayang telah menempati tempatnya…’” Raka berhenti, matanya melebar saat ia membaca baris terakhir. Darahnya berdesir, bukan lagi karena dingin, melainkan karena kengerian yang membekukan…
Raka Permadi merasakan kata itu menghantamnya bukan sebagai suara, melainkan sebagai getaran. Itu adalah gema yang muncul dari setiap sendi tubuhnya, menanggapi racun perlahan dari wayang ayahnya. Kegelapan menutup pandangannya, meninggalkan hanya sisa bayangan Wayang Ki Anom yang meleleh di tanah dingin Imogiri, sebuah lambang tragis dari cinta yang beracun.Ia tidak sadar berapa lama ia tergeletak. Hanya sensasi kejatuhan, rasa panas yang membakar pembuluh darah, dan rasa dingin dari batu-batu nisan yang mencium pipinya. Samar-samar, Raka mendengar teriakan. Bukan lagi suara anak-anak yang direkam, bukan pula ejekan Wira. Ini adalah teriakan nyata.“Raka! RAKA! Bangun, sialan!”Suara Kirana Prameswari. Kuat, mendesak, dan kini penuh histeria yang belum pernah Raka dengar sebelumnya. Kirana sudah bebas.Raka membuka matanya yang berat. Penglihatannya kabur. Kirana ada di depannya, tangannya gemetar hebat. Ia berhasil melepaskan diri dari ikatan di ruang perenungan, mungkin menggunaka
Coretan itu adalah Wayang Bima, terikat rantai, diposisikan seperti terkurung di sebuah sel. Di sebelahnya, tulisan tangan Kapten Wira: “Bima terkunci, menunggu Arjuna memutus rantai logika.”Raka melanjutkan perjalanan di lorong sempit itu. Coretan di dinding berganti. Kini ia melihat sebuah gambar Kirana, dihiasi detail seragam polisi, duduk di depan wayang-wayang Kurawa yang gugur. Itu adalah pemandangan yang sama persis dengan yang Raka bayangkan selama ini: Kirana dihadapkan pada hasil logis dari kejahatan yang sempurna.Kau sudah hampir di sini, Raka. Jangan sia-siakan kesempatanmu untuk menjadi pahlawan.Raka mendengar suara samar di ujung lorong—rintihan tertahan. Itu Kirana.Ia mempercepat langkahnya, tetapi lorong itu tiba-tiba terbuka ke sebuah ruang perenungan yang kecil, terbuka ke langit malam, dikelilingi tembok batu tinggi. Di tengah ruangan itu, ada batu nisan tunggal, bukan nisan raja, melainkan nisan tanpa nama, diselimuti dupa yang masih mengepulkan asap tebal.Dan
Raka Permadi berdiri di kegelapan Imogiri, seolah dipaku oleh bisikan Bayangan Utama. Di tangan kirinya Wayang Arjuna—dirinya. Di tangan kanannya Wayang Ki Anom Suroso—ayahnya, sang dalang yang bunuh diri. Dan di kakinya, Wayang Bima yang robek, Wayang Kirana yang siap ditumbalkan.Ia menatap ponsel di tangannya. Pesan Kirana: "Raka, ada sesuatu yang kutemukan di mobilku. Di..." Terputus. Ini bukan sinyal hilang, ini adalah Kirana yang terputus secara brutal. Entah teleponnya dihancurkan atau dia diserang.Pilihan itu terasa sangat nyata, panas, dan dingin sekaligus. Wira tidak hanya memaksanya memilih antara menyelamatkan kekasih dan memenangkan lakon; Wira memaksanya memilih antara menjadi manusia atau menjadi dalang.Jadilah Parikesit sejati. Raja yang naik takhta dari tumpukan jenazah orang yang paling kau sayangi.Raka memejamkan mata, memproses ledakan suara yang ia dengar sebelumnya. Itu ledakan kecil, mungkin hanya peledak suara untuk menakuti, atau alarm. Tetapi Wira adalah m
Dan di denah itu, terdapat titik merah di sebuah sudut kecil, disertai tulisan: “DWIPA’S VOICE: FINAL SULUK.”Raka segera bergerak menuju sudut yang ditunjuk denah. Ia mendapati ada lubang kecil tersembunyi di dinding kayu, yang ditutup tirai usang.Dia menyibak tirai itu, dan melihat di baliknya, sebuah kotak perekam digital kecil yang berkedip pelan. Kotak itu dihubungkan ke pengeras suara kecil, dan di sampingnya, ada mikrofon dengan tanda logo DWIPA. Wira sudah pergi, tetapi meninggalkan jejak suaranya—suara DWIPA—untuk didengar oleh siapa pun yang berani masuk ke panggung sunyi itu.Raka menyentuh tombol Play pada perekam digital itu. Dia tahu, dia sedang melangkah ke jebakan audio yang dipersiapkan dengan cermat.Suara itu muncul, tenang dan berwibawa, persis suara Kapten Wira.“Selamat datang di Panggung Sunyi, Raka Permadi. Aku tahu kau akan datang. Dan kini kau melihat apa yang harus kulihat selama bertahun-tahun: semua korban itu hanyalah boneka yang harus gugur. Kau juga bo
Raka memejamkan mata, memproses semua kengerian itu. Ayahnya tahu Wira, tahu potensi gelapnya, tahu bahwa Banyu hanya wayang kecil yang dimainkan oleh tangan besar DWIPA. Raka merasa muak pada diri sendiri—ia begitu sombong mengira dirinya memburu satu dalang, padahal ia sedang diatur oleh sebuah sindikat. Pengkhianatan Wira adalah bukti mutlak: Lakon ini diatur oleh sistem yang sangat cerdas.“Aku harus tahu apa lakon yang Wira mainkan selanjutnya,” gumam Raka, lebih kepada dirinya sendiri. “Dia pasti menyembunyikan peta.”Raka bergerak di lorong arsip yang berantakan, mencari petunjuk yang ditinggalkan Wira, yang tidak mungkin seceroboh Banyu. Dia mencari apa pun yang tidak seharusnya ada di gudang polisi.Akhirnya, Raka menemukan selembar kertas yang terlipat rapi, terselip di bawah Wayang Drajat yang ditinggalkan Wira. Itu bukan peta geografis, melainkan sepotong suluk, ditulis dengan kaligrafi yang indah.Raka membaca bait terakhir dengan suara pelan:“...Dan di akhir perang, San
Raka melihat ke sudut ruangan yang paling gelap. Di sana, di antara tumpukan arsip usang, ada cahaya redup yang memancar. Cahaya itu datang dari lilin tunggal yang diletakkan di lantai. Dan di balik cahaya itu, terlihat Kelir—selembar kain putih usang, direntangkan di antara rak-rak arsip.Di balik kelir itu, bayangan bergerak.Sosok itu memegang sebuah Wayang yang tampak familier. Wayang Bima. Sosok itu menggerakkan Wayang Bima yang kini tampak utuh kembali, menari dengan gagah di depan kelir, seolah ejekan bagi Raka yang memegang boneka robek.“Selamat datang, Kompol Prameswari. Bima. Saya sudah menunggu kedatanganmu di panggungku,” sapa sebuah suara, sangat tenang, berwibawa, dan sangat berbeda dari suara Banyu.Kirana mengarahkan kerisnya. “Tunjukkan dirimu! Kau yang menusuk Drajat! Kau yang mengancam Raka!”Sosok di balik kelir itu tertawa pelan. Ia menancapkan Wayang Bima di tengah kelir, lalu mengangkat sebuah wayang baru—wayang yang mengenakan seragam polisi. Kirana gemetar sa