Share

Terlambat

Auteur: Ammi Poe YP
last update Dernière mise à jour: 2025-09-28 15:00:21

Perasaan Raka semakin tak karuan. Jelas ini di luar perkiraan, dan yang lebih menakutkan, ia merasa telah masuk jauh ke dalam pusaran lakon itu, menjadi boneka yang digerakkan, bukan lagi sang pengamat. Getir, menelan ludah yang terasa kering. Jantungnya bergemuruh, bukan karena ketakutan biasa, melainkan karena kesadaran yang menusuk: Sang Dalang mengenalnya, lebih dari sekadar nama di arsip. Ia mengenal Raka, masa kecilnya, luka-lukanya. Kayon itu adalah sebuah tanda tangan yang mengerikan, sebuah undangan ke panggung kematian.

Tanpa pikir panjang, Raka meraih ponselnya yang tergeletak di meja, tangannya bergetar saat mencari nama Kompol Kirana. Belum sempat ia menekan tombol panggil, ponsel di tangannya bergetar. Nama "Kompol Kirana Prameswari" terpampang di layar. Seolah ditarik benang gaib, Kirana telah lebih dulu merasakannya.

“Halo, Kompol?” Suara Raka terdengar serak dan gemetar.

“Doktor Raka,” suara Kirana terdengar tegang, namun tetap terkontrol. “Sebaiknya Anda tidak usah kemari. Baru saja ada laporan aktivitas mencurigakan di sekitar rumah Anda. Kamera pengawas jalan merekam seorang pengendara motor tak dikenal berhenti sebentar di depan joglo, meletakkan sesuatu, lalu pergi. Petugas kepolisian sedang menuju ke sana. Sebenarnya apa yang terjadi?”

Raka menatap kotak kayu dan kayon di dalamnya. Firasatnya benar. Ini bukan kebetulan. “Ada paket, Kompol. Sebuah kotak kayu. Dan isinya … isinya kayon.” Ia menjeda, mencoba menelan ludah yang mengganjal.

“Kayon kecil. Buatan tangan. Ini … ini kayon yang saya buat sendiri saat kecil, Kompol. Hadiah untuk ayah saya. Hanya kami yang tahu.”

Hening di ujung telepon. Kirana mengernyitkan dahi, mencoba mencerna informasi yang sungguh di luar logika proseduralnya.

“Anda yakin?” Kirana bertanya, suaranya kini lebih tajam. “Sebuah kayon yang Anda buat sendiri? Bagaimana bisa pelaku mengetahuinya?”

“Itu pertanyaan yang sama yang menghantui saya, Kompol,” Raka setengah berbisik. “Ini bukan lagi tentang mencari murid ayah yang tersesat. Ini tentang saya. Dia tahu tentang saya. Dia memasukkan saya ke dalam lakonnya. Secara pribadi.”

“Baik,” Kirana berkata, napasnya terdengar berat. “Jangan sentuh lagi barang bukti itu, Doktor. Petugas akan segera tiba untuk mengamankan TKP dan mengambil rekaman CCTV dari rumah-rumah sekitar. Saya akan segera ke sana. Tolong kumpulkan semua draf suluk dan catatan ayah Anda yang Anda anggap relevan. Kita harus bergerak cepat.”

“Saya akan mempersiapkannya, Kompol,” Raka mengiyakan, namun tatapan matanya masih terpaku pada kayon yang indah namun mengerikan itu.

*

Tiga puluh menit kemudian, Kirana tiba di joglo Raka, diikuti oleh Bripka Drajat dan beberapa anggota tim forensik. Cahaya senter mereka menembus kegelapan malam, menyinari setiap sudut halaman. Raka menyambutnya dengan wajah pucat, matanya tampak berkantung.

“Bagaimana, Doktor?” Kirana langsung menyambar, tatapan matanya tajam menyoroti kotak dan kayon di meja.

“Seperti yang saya katakan, Kompol,” Raka mengangguk. “Ini kayon buatan saya. Tidak ada orang lain yang tahu kecuali ayah saya dan saya.”

Drajat yang sedang membungkus kotak kayu dengan sarung tangan forensik, menyela, “Tidak ada sidik jari yang jelas di kotak maupun kayonnya, Kompol. Pelaku memakai sarung tangan, atau sudah dibersihkan. Rekaman CCTV jalanan juga buram. Hanya terlihat bayangan samar orang naik motor. Plat nomor tidak terbaca.”

Kirana menghela napas kasar. “Saya sudah duga. Pelaku selalu rapi. Selalu satu langkah di depan.”

“Kalau begitu, Drajat,” Kirana memberi perintah, nadanya tanpa kompromi, “segera perintahkan tim untuk menyisir semua lokasi milik Danang Prasetyo, terutama yayasan dan aula serbaguna itu. Periksa setiap sudut, setiap celah. Cari anomali, benda asing, apapun yang tidak pada tempatnya. Dan tingkatkan pengawasan. Saya ingin laporan setiap jam.”

“Siap, Kompol!” Drajat bergegas keluar, ponsel di tangannya.

Kirana kembali menatap Raka. “Doktor, kita perlu tahu lebih banyak tentang urutan lakon ini. Siapa selanjutnya setelah Karna? Kita tidak bisa hanya bereaksi. Kita harus berpikir satu langkah di depan Sang Dalang.”

“Baiklah, Doktor. Mari kita mulai membuat hipotesis.”

Sejenak Raka berpikir sebelum satu nama terucap. “Kresna Wijaya.”

Kirana mencoba mengingat siapa Kresna Wijaya. “Saya rasa dugaan Anda tentang Kresna Wijaya semakin kuat karena kedekatan Anda di masa lalu. Tidak banyak orang yang punya kedekatan personal sedalam itu dengan keluarga Anda, apalagi sampai tahu detail masa kecil yang sangat pribadi.”

“Atau,” Raka menyahut, suaranya melirih, “dia bukan Kresna. Atau dia menggunakan Kresna sebagai pengalihan. Dia tahu tentang saya karena dia telah meneliti setiap inci hidup saya, setiap inci kehidupan ayah saya.”

“Jangan berspekulasi terlalu jauh dulu, Doktor,” Kirana memotong, meskipun nada suaranya mengindikasikan ia mulai mempertimbangkan kemungkinan itu. “Fokus. Kita harus memetakan ini. Anda mengatakan ini adalah lakon. Urutan kejadian. Siapa korban selanjutnya? Setelah Duryudana dan Sengkuni, siapa yang akan muncul di panggung Sang Dalang?”

Raka mengangguk. “Itu pertanyaan krusial, Kompol. Jika kita berbicara Bharatayuddha, setelah kejatuhan tokoh-tokoh seperti Duryudana dan Sengkuni yang mewakili ambisi dan intrik, panggung akan bergeser ke para ksatria yang lebih kompleks, yang berjuang di tengah dilema moral.”

“Anda pernah bilang korban selanjutnya merepresentasikan Karna, bukan?” Kirana mengulang, matanya menyipit, mencoba mengkoneksikan nama itu dengan informasi yang ia miliki.

“Danang Prasetyo … menururtku dia target potensial. Hanya saja, bagaimana Danang Prasetyo dianggap merepresntasikan Karna?” Dahi Kirana tampak mengernyit, menyiratkan keseriusan tingkat tinggi dalam menganalisis.

Raka menghela napas, menatap tumpukan buku di rak. “Karna adalah tokoh yang sangat tragis. Seorang ksatria agung, putra dewa Surya, namun lahir di luar nikah dan dibuang. Ia dibesarkan oleh kusir, selalu diremehkan, dan akhirnya berpihak pada Kurawa karena kesetiaan buta pada Duryudana, yang memberinya pengakuan. Ia tahu ia berada di pihak yang salah, tetapi harga diri dan kesetiaan mengikatnya. Karna adalah simbol dari pahlawan yang salah jalan, yang berjuang dengan gagah berani untuk tujuan yang tidak adil. Ia meninggal bukan hanya karena panah Arjuna, tetapi juga karena kutukan dan pengkhianatan nasib.”

“Jadi, jika kita mencari ‘Karna’ di dunia nyata dengan mencari seseorang yang punya posisi penting, mungkin dihormati, tapi punya ‘cacat’ masa lalu atau terikat pada loyalitas yang salah, dan mungkin juga punya dilema moral?” Kirana terlihat tertarik dengan penjelasan Raka yang semakin detail.

“Tepat sekali, Kompol,” Raka menegaskan. “Danang Prasetyo adalah direktur utama sebuah perusahaan tambang besar, bukan? Sebuah perusahaan yang sering tersandung isu lingkungan, namun ia selalu berhasil lolos dari jeratan hukum berkat koneksi politiknya. Ia digambarkan sebagai sosok yang dermawan di depan publik, sering memberikan sumbangan besar untuk acara seni dan budaya. Seolah-olah ‘menyogok’ citra publik. Bukankah itu sedikit mirip dengan Karna yang meskipun gagah berani, pada akhirnya berpihak pada Kurawa yang korup?”

Raka menghela napas dalam. “Setelah Karna gugur, perang akan mencapai puncaknya. Tokoh-tokoh seperti Drona, Bisma, Abimanyu, bahkan pahlawan Pandawa sendiri, akan menghadapi ujian berat. Setiap kematian memiliki makna, Kompol. Setiap tokoh adalah simbol.”

“Apakah ada daftar tokoh yang bisa kita antisipasi?” Kirana mendesak. “Sesuatu yang bisa menjadi ‘peta pendosa’?”

“Saya memiliki catatan-catatan ayah, kemungkinan dari catatan itu kita menemukan titik terang. Ayah sering menuliskan interpretasinya tentang tokoh-tokoh dalam Bharatayuddha, menghubungkannya dengan kondisi masyarakat modern. Jika kita bisa menemukan pola pemikirannya … kita mungkin bisa menemukan daftar target berikutnya.”

“Itu yang harus kita lakukan,” Kirana membalas, ekspresinya serius. “Kita tidak punya banyak waktu. Kayon ini adalah pesan bahwa dia mempercepat ritmenya. Dia tidak lagi sabar menunggu kita. Dia ingin kita bermain di panggungnya.”

“Dan dia telah berhasil menarik saya ke sana,” Raka menambahkan, menatap kayon di atas meja. “Dia menjadikan saya bagian dari pementasan ini.”

Kirana mendekat, menatap Raka lurus di mata. “Kalau begitu, kita akan bermain sesuai aturan kita. Kita akan menggunakan pengetahuan Anda, Doktor, dan digabungkan dengan metode kami. Dia ingin pertunjukan? Kita akan memberinya pertunjukan yang tidak akan pernah dia lupakan.”

Di tengah pernyataan penuh semangat itu, ponsel Kirana bergetar nyaring. Ia meraihnya dengan cepat, wajahnya berubah tegang saat melihat nama yang terpampang di layar.

“Ada apa, Bripka?” Kirana menjawab, suaranya dipenuhi firasat buruk.

Satu detik. Dua detik. Wajah Kirana semakin memucat, matanya terbelalak lebar. Ia menatap Raka, sorot matanya mengandung kengerian yang membuat Raka ikut dicekam ketakutan.

“Apa yang terjadi, Kompol?” Raka bertanya, suaranya tercekat.

Kirana menurunkan ponselnya, tangan kirinya mencengkeram erat. Ia menatap Raka, bibirnya bergetar. “Drajat baru saja melaporkan … ada penemuan mayat baru, Doktor. Di aula serbaguna milik Danang Prasetyo. Tim pengawas kehilangan kontak dengannya beberapa menit yang lalu. Mereka masuk paksa dan menemukan .…”

Raka merasakan darahnya berdesir dingin. Peta pendosa. Karna. Lakon itu sudah dimulai, tanpa mereka sempat mencegahnya.

“Danang Prasetyo?” Raka nyaris tak bisa mengeluarkan suara.

Kirana mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca, penuh amarah dan frustrasi.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Sandiwara

    Raka Permadi merasakan kata itu menghantamnya bukan sebagai suara, melainkan sebagai getaran. Itu adalah gema yang muncul dari setiap sendi tubuhnya, menanggapi racun perlahan dari wayang ayahnya. Kegelapan menutup pandangannya, meninggalkan hanya sisa bayangan Wayang Ki Anom yang meleleh di tanah dingin Imogiri, sebuah lambang tragis dari cinta yang beracun.Ia tidak sadar berapa lama ia tergeletak. Hanya sensasi kejatuhan, rasa panas yang membakar pembuluh darah, dan rasa dingin dari batu-batu nisan yang mencium pipinya. Samar-samar, Raka mendengar teriakan. Bukan lagi suara anak-anak yang direkam, bukan pula ejekan Wira. Ini adalah teriakan nyata.“Raka! RAKA! Bangun, sialan!”Suara Kirana Prameswari. Kuat, mendesak, dan kini penuh histeria yang belum pernah Raka dengar sebelumnya. Kirana sudah bebas.Raka membuka matanya yang berat. Penglihatannya kabur. Kirana ada di depannya, tangannya gemetar hebat. Ia berhasil melepaskan diri dari ikatan di ruang perenungan, mungkin menggunaka

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Makna Sejati

    Coretan itu adalah Wayang Bima, terikat rantai, diposisikan seperti terkurung di sebuah sel. Di sebelahnya, tulisan tangan Kapten Wira: “Bima terkunci, menunggu Arjuna memutus rantai logika.”Raka melanjutkan perjalanan di lorong sempit itu. Coretan di dinding berganti. Kini ia melihat sebuah gambar Kirana, dihiasi detail seragam polisi, duduk di depan wayang-wayang Kurawa yang gugur. Itu adalah pemandangan yang sama persis dengan yang Raka bayangkan selama ini: Kirana dihadapkan pada hasil logis dari kejahatan yang sempurna.Kau sudah hampir di sini, Raka. Jangan sia-siakan kesempatanmu untuk menjadi pahlawan.Raka mendengar suara samar di ujung lorong—rintihan tertahan. Itu Kirana.Ia mempercepat langkahnya, tetapi lorong itu tiba-tiba terbuka ke sebuah ruang perenungan yang kecil, terbuka ke langit malam, dikelilingi tembok batu tinggi. Di tengah ruangan itu, ada batu nisan tunggal, bukan nisan raja, melainkan nisan tanpa nama, diselimuti dupa yang masih mengepulkan asap tebal.Dan

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Coretan

    Raka Permadi berdiri di kegelapan Imogiri, seolah dipaku oleh bisikan Bayangan Utama. Di tangan kirinya Wayang Arjuna—dirinya. Di tangan kanannya Wayang Ki Anom Suroso—ayahnya, sang dalang yang bunuh diri. Dan di kakinya, Wayang Bima yang robek, Wayang Kirana yang siap ditumbalkan.Ia menatap ponsel di tangannya. Pesan Kirana: "Raka, ada sesuatu yang kutemukan di mobilku. Di..." Terputus. Ini bukan sinyal hilang, ini adalah Kirana yang terputus secara brutal. Entah teleponnya dihancurkan atau dia diserang.Pilihan itu terasa sangat nyata, panas, dan dingin sekaligus. Wira tidak hanya memaksanya memilih antara menyelamatkan kekasih dan memenangkan lakon; Wira memaksanya memilih antara menjadi manusia atau menjadi dalang.Jadilah Parikesit sejati. Raja yang naik takhta dari tumpukan jenazah orang yang paling kau sayangi.Raka memejamkan mata, memproses ledakan suara yang ia dengar sebelumnya. Itu ledakan kecil, mungkin hanya peledak suara untuk menakuti, atau alarm. Tetapi Wira adalah m

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Rekaman

    Dan di denah itu, terdapat titik merah di sebuah sudut kecil, disertai tulisan: “DWIPA’S VOICE: FINAL SULUK.”Raka segera bergerak menuju sudut yang ditunjuk denah. Ia mendapati ada lubang kecil tersembunyi di dinding kayu, yang ditutup tirai usang.Dia menyibak tirai itu, dan melihat di baliknya, sebuah kotak perekam digital kecil yang berkedip pelan. Kotak itu dihubungkan ke pengeras suara kecil, dan di sampingnya, ada mikrofon dengan tanda logo DWIPA. Wira sudah pergi, tetapi meninggalkan jejak suaranya—suara DWIPA—untuk didengar oleh siapa pun yang berani masuk ke panggung sunyi itu.Raka menyentuh tombol Play pada perekam digital itu. Dia tahu, dia sedang melangkah ke jebakan audio yang dipersiapkan dengan cermat.Suara itu muncul, tenang dan berwibawa, persis suara Kapten Wira.“Selamat datang di Panggung Sunyi, Raka Permadi. Aku tahu kau akan datang. Dan kini kau melihat apa yang harus kulihat selama bertahun-tahun: semua korban itu hanyalah boneka yang harus gugur. Kau juga bo

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Parikesit

    Raka memejamkan mata, memproses semua kengerian itu. Ayahnya tahu Wira, tahu potensi gelapnya, tahu bahwa Banyu hanya wayang kecil yang dimainkan oleh tangan besar DWIPA. Raka merasa muak pada diri sendiri—ia begitu sombong mengira dirinya memburu satu dalang, padahal ia sedang diatur oleh sebuah sindikat. Pengkhianatan Wira adalah bukti mutlak: Lakon ini diatur oleh sistem yang sangat cerdas.“Aku harus tahu apa lakon yang Wira mainkan selanjutnya,” gumam Raka, lebih kepada dirinya sendiri. “Dia pasti menyembunyikan peta.”Raka bergerak di lorong arsip yang berantakan, mencari petunjuk yang ditinggalkan Wira, yang tidak mungkin seceroboh Banyu. Dia mencari apa pun yang tidak seharusnya ada di gudang polisi.Akhirnya, Raka menemukan selembar kertas yang terlipat rapi, terselip di bawah Wayang Drajat yang ditinggalkan Wira. Itu bukan peta geografis, melainkan sepotong suluk, ditulis dengan kaligrafi yang indah.Raka membaca bait terakhir dengan suara pelan:“...Dan di akhir perang, San

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Bayangan

    Raka melihat ke sudut ruangan yang paling gelap. Di sana, di antara tumpukan arsip usang, ada cahaya redup yang memancar. Cahaya itu datang dari lilin tunggal yang diletakkan di lantai. Dan di balik cahaya itu, terlihat Kelir—selembar kain putih usang, direntangkan di antara rak-rak arsip.Di balik kelir itu, bayangan bergerak.Sosok itu memegang sebuah Wayang yang tampak familier. Wayang Bima. Sosok itu menggerakkan Wayang Bima yang kini tampak utuh kembali, menari dengan gagah di depan kelir, seolah ejekan bagi Raka yang memegang boneka robek.“Selamat datang, Kompol Prameswari. Bima. Saya sudah menunggu kedatanganmu di panggungku,” sapa sebuah suara, sangat tenang, berwibawa, dan sangat berbeda dari suara Banyu.Kirana mengarahkan kerisnya. “Tunjukkan dirimu! Kau yang menusuk Drajat! Kau yang mengancam Raka!”Sosok di balik kelir itu tertawa pelan. Ia menancapkan Wayang Bima di tengah kelir, lalu mengangkat sebuah wayang baru—wayang yang mengenakan seragam polisi. Kirana gemetar sa

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status