FAZER LOGINPerasaan Raka semakin tak karuan. Jelas ini di luar perkiraan, dan yang lebih menakutkan, ia merasa telah masuk jauh ke dalam pusaran lakon itu, menjadi boneka yang digerakkan, bukan lagi sang pengamat. Getir, menelan ludah yang terasa kering. Jantungnya bergemuruh, bukan karena ketakutan biasa, melainkan karena kesadaran yang menusuk: Sang Dalang mengenalnya, lebih dari sekadar nama di arsip. Ia mengenal Raka, masa kecilnya, luka-lukanya. Kayon itu adalah sebuah tanda tangan yang mengerikan, sebuah undangan ke panggung kematian.
Tanpa pikir panjang, Raka meraih ponselnya yang tergeletak di meja, tangannya bergetar saat mencari nama Kompol Kirana. Belum sempat ia menekan tombol panggil, ponsel di tangannya bergetar. Nama "Kompol Kirana Prameswari" terpampang di layar. Seolah ditarik benang gaib, Kirana telah lebih dulu merasakannya.
“Halo, Kompol?” Suara Raka terdengar serak dan gemetar.
“Doktor Raka,” suara Kirana terdengar tegang, namun tetap terkontrol. “Sebaiknya Anda tidak usah kemari. Baru saja ada laporan aktivitas mencurigakan di sekitar rumah Anda. Kamera pengawas jalan merekam seorang pengendara motor tak dikenal berhenti sebentar di depan joglo, meletakkan sesuatu, lalu pergi. Petugas kepolisian sedang menuju ke sana. Sebenarnya apa yang terjadi?”
Raka menatap kotak kayu dan kayon di dalamnya. Firasatnya benar. Ini bukan kebetulan. “Ada paket, Kompol. Sebuah kotak kayu. Dan isinya … isinya kayon.” Ia menjeda, mencoba menelan ludah yang mengganjal.
“Kayon kecil. Buatan tangan. Ini … ini kayon yang saya buat sendiri saat kecil, Kompol. Hadiah untuk ayah saya. Hanya kami yang tahu.”
Hening di ujung telepon. Kirana mengernyitkan dahi, mencoba mencerna informasi yang sungguh di luar logika proseduralnya.
“Anda yakin?” Kirana bertanya, suaranya kini lebih tajam. “Sebuah kayon yang Anda buat sendiri? Bagaimana bisa pelaku mengetahuinya?”
“Itu pertanyaan yang sama yang menghantui saya, Kompol,” Raka setengah berbisik. “Ini bukan lagi tentang mencari murid ayah yang tersesat. Ini tentang saya. Dia tahu tentang saya. Dia memasukkan saya ke dalam lakonnya. Secara pribadi.”
“Baik,” Kirana berkata, napasnya terdengar berat. “Jangan sentuh lagi barang bukti itu, Doktor. Petugas akan segera tiba untuk mengamankan TKP dan mengambil rekaman CCTV dari rumah-rumah sekitar. Saya akan segera ke sana. Tolong kumpulkan semua draf suluk dan catatan ayah Anda yang Anda anggap relevan. Kita harus bergerak cepat.”
“Saya akan mempersiapkannya, Kompol,” Raka mengiyakan, namun tatapan matanya masih terpaku pada kayon yang indah namun mengerikan itu.
*
Tiga puluh menit kemudian, Kirana tiba di joglo Raka, diikuti oleh Bripka Drajat dan beberapa anggota tim forensik. Cahaya senter mereka menembus kegelapan malam, menyinari setiap sudut halaman. Raka menyambutnya dengan wajah pucat, matanya tampak berkantung.
“Bagaimana, Doktor?” Kirana langsung menyambar, tatapan matanya tajam menyoroti kotak dan kayon di meja.
“Seperti yang saya katakan, Kompol,” Raka mengangguk. “Ini kayon buatan saya. Tidak ada orang lain yang tahu kecuali ayah saya dan saya.”
Drajat yang sedang membungkus kotak kayu dengan sarung tangan forensik, menyela, “Tidak ada sidik jari yang jelas di kotak maupun kayonnya, Kompol. Pelaku memakai sarung tangan, atau sudah dibersihkan. Rekaman CCTV jalanan juga buram. Hanya terlihat bayangan samar orang naik motor. Plat nomor tidak terbaca.”
Kirana menghela napas kasar. “Saya sudah duga. Pelaku selalu rapi. Selalu satu langkah di depan.”
“Kalau begitu, Drajat,” Kirana memberi perintah, nadanya tanpa kompromi, “segera perintahkan tim untuk menyisir semua lokasi milik Danang Prasetyo, terutama yayasan dan aula serbaguna itu. Periksa setiap sudut, setiap celah. Cari anomali, benda asing, apapun yang tidak pada tempatnya. Dan tingkatkan pengawasan. Saya ingin laporan setiap jam.”
“Siap, Kompol!” Drajat bergegas keluar, ponsel di tangannya.
Kirana kembali menatap Raka. “Doktor, kita perlu tahu lebih banyak tentang urutan lakon ini. Siapa selanjutnya setelah Karna? Kita tidak bisa hanya bereaksi. Kita harus berpikir satu langkah di depan Sang Dalang.”
“Baiklah, Doktor. Mari kita mulai membuat hipotesis.”
Sejenak Raka berpikir sebelum satu nama terucap. “Kresna Wijaya.”
Kirana mencoba mengingat siapa Kresna Wijaya. “Saya rasa dugaan Anda tentang Kresna Wijaya semakin kuat karena kedekatan Anda di masa lalu. Tidak banyak orang yang punya kedekatan personal sedalam itu dengan keluarga Anda, apalagi sampai tahu detail masa kecil yang sangat pribadi.”
“Atau,” Raka menyahut, suaranya melirih, “dia bukan Kresna. Atau dia menggunakan Kresna sebagai pengalihan. Dia tahu tentang saya karena dia telah meneliti setiap inci hidup saya, setiap inci kehidupan ayah saya.”
“Jangan berspekulasi terlalu jauh dulu, Doktor,” Kirana memotong, meskipun nada suaranya mengindikasikan ia mulai mempertimbangkan kemungkinan itu. “Fokus. Kita harus memetakan ini. Anda mengatakan ini adalah lakon. Urutan kejadian. Siapa korban selanjutnya? Setelah Duryudana dan Sengkuni, siapa yang akan muncul di panggung Sang Dalang?”
Raka mengangguk. “Itu pertanyaan krusial, Kompol. Jika kita berbicara Bharatayuddha, setelah kejatuhan tokoh-tokoh seperti Duryudana dan Sengkuni yang mewakili ambisi dan intrik, panggung akan bergeser ke para ksatria yang lebih kompleks, yang berjuang di tengah dilema moral.”
“Anda pernah bilang korban selanjutnya merepresentasikan Karna, bukan?” Kirana mengulang, matanya menyipit, mencoba mengkoneksikan nama itu dengan informasi yang ia miliki.
“Danang Prasetyo … menururtku dia target potensial. Hanya saja, bagaimana Danang Prasetyo dianggap merepresntasikan Karna?” Dahi Kirana tampak mengernyit, menyiratkan keseriusan tingkat tinggi dalam menganalisis.
Raka menghela napas, menatap tumpukan buku di rak. “Karna adalah tokoh yang sangat tragis. Seorang ksatria agung, putra dewa Surya, namun lahir di luar nikah dan dibuang. Ia dibesarkan oleh kusir, selalu diremehkan, dan akhirnya berpihak pada Kurawa karena kesetiaan buta pada Duryudana, yang memberinya pengakuan. Ia tahu ia berada di pihak yang salah, tetapi harga diri dan kesetiaan mengikatnya. Karna adalah simbol dari pahlawan yang salah jalan, yang berjuang dengan gagah berani untuk tujuan yang tidak adil. Ia meninggal bukan hanya karena panah Arjuna, tetapi juga karena kutukan dan pengkhianatan nasib.”
“Jadi, jika kita mencari ‘Karna’ di dunia nyata dengan mencari seseorang yang punya posisi penting, mungkin dihormati, tapi punya ‘cacat’ masa lalu atau terikat pada loyalitas yang salah, dan mungkin juga punya dilema moral?” Kirana terlihat tertarik dengan penjelasan Raka yang semakin detail.
“Tepat sekali, Kompol,” Raka menegaskan. “Danang Prasetyo adalah direktur utama sebuah perusahaan tambang besar, bukan? Sebuah perusahaan yang sering tersandung isu lingkungan, namun ia selalu berhasil lolos dari jeratan hukum berkat koneksi politiknya. Ia digambarkan sebagai sosok yang dermawan di depan publik, sering memberikan sumbangan besar untuk acara seni dan budaya. Seolah-olah ‘menyogok’ citra publik. Bukankah itu sedikit mirip dengan Karna yang meskipun gagah berani, pada akhirnya berpihak pada Kurawa yang korup?”
Raka menghela napas dalam. “Setelah Karna gugur, perang akan mencapai puncaknya. Tokoh-tokoh seperti Drona, Bisma, Abimanyu, bahkan pahlawan Pandawa sendiri, akan menghadapi ujian berat. Setiap kematian memiliki makna, Kompol. Setiap tokoh adalah simbol.”
“Apakah ada daftar tokoh yang bisa kita antisipasi?” Kirana mendesak. “Sesuatu yang bisa menjadi ‘peta pendosa’?”
“Saya memiliki catatan-catatan ayah, kemungkinan dari catatan itu kita menemukan titik terang. Ayah sering menuliskan interpretasinya tentang tokoh-tokoh dalam Bharatayuddha, menghubungkannya dengan kondisi masyarakat modern. Jika kita bisa menemukan pola pemikirannya … kita mungkin bisa menemukan daftar target berikutnya.”
“Itu yang harus kita lakukan,” Kirana membalas, ekspresinya serius. “Kita tidak punya banyak waktu. Kayon ini adalah pesan bahwa dia mempercepat ritmenya. Dia tidak lagi sabar menunggu kita. Dia ingin kita bermain di panggungnya.”
“Dan dia telah berhasil menarik saya ke sana,” Raka menambahkan, menatap kayon di atas meja. “Dia menjadikan saya bagian dari pementasan ini.”
Kirana mendekat, menatap Raka lurus di mata. “Kalau begitu, kita akan bermain sesuai aturan kita. Kita akan menggunakan pengetahuan Anda, Doktor, dan digabungkan dengan metode kami. Dia ingin pertunjukan? Kita akan memberinya pertunjukan yang tidak akan pernah dia lupakan.”
Di tengah pernyataan penuh semangat itu, ponsel Kirana bergetar nyaring. Ia meraihnya dengan cepat, wajahnya berubah tegang saat melihat nama yang terpampang di layar.
“Ada apa, Bripka?” Kirana menjawab, suaranya dipenuhi firasat buruk.
Satu detik. Dua detik. Wajah Kirana semakin memucat, matanya terbelalak lebar. Ia menatap Raka, sorot matanya mengandung kengerian yang membuat Raka ikut dicekam ketakutan.
“Apa yang terjadi, Kompol?” Raka bertanya, suaranya tercekat.
Kirana menurunkan ponselnya, tangan kirinya mencengkeram erat. Ia menatap Raka, bibirnya bergetar. “Drajat baru saja melaporkan … ada penemuan mayat baru, Doktor. Di aula serbaguna milik Danang Prasetyo. Tim pengawas kehilangan kontak dengannya beberapa menit yang lalu. Mereka masuk paksa dan menemukan .…”
Raka merasakan darahnya berdesir dingin. Peta pendosa. Karna. Lakon itu sudah dimulai, tanpa mereka sempat mencegahnya.
“Danang Prasetyo?” Raka nyaris tak bisa mengeluarkan suara.
Kirana mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca, penuh amarah dan frustrasi.
Panggilan itu terputus.Raka menatap layar ponsel yang gelap. Jemarinya mencengkeram erat. Kirana telah memutus komunikasi untuk menjauh dari pelacakan, tetapi ia juga memutus satu-satunya jembatan emosional Raka.Ia seorang diri. Kirana menjadi umpan. Agung Kusuma akan menjadi korban berikutnya. Dan putranya Kirana, Satria, adalah target final mereka.Raka memukul kemudi, lalu menarik napas panjang. Tidak ada waktu untuk marah atau menangis. Ia harus menjadi Arjuna, Bima, dan Puntadewa sekaligus. Ia harus mengambil alih lakon yang berdarah ini.Ia segera menelpon Agung Kusuma, mencoba memberinya peringatan terselubung. Lalu, ia menghubungi salah satu dalang muda. Malam ini, ia harus mengumumkan pementasanParikesit Jumeneng Ratu—pementasan harapan palsu yang akan memancing Seno dan para pengikut Banyu keluar dari sarang.“Jika kau ingin lakon ini berhenti, kau harus berani menjadi Dalang Kematian,” bisik Raka pada d
Raka merasa lemas. Wisnu Dharmawan (WD), representasi Bima, telah menjadi sasaran Sang Dalang Bayangan yang kini bergerak menggantikan Banyu.Ia tidak punya waktu untuk menghubungi polisi, atau bahkan menyusun alibi. Raka hanya membawa pisau kecil yang ia sembunyikan di pinggang, kunci mobil, dan sebuah senter. Ia bergegas keluar dari joglo, jantungnya berdebar kencang.Perjalanan ke Kulonprogo terasa seperti masuk ke lorong waktu yang gelap. Jalanan semakin menanjak dan berliku, bau tanah basah bercampur aroma bunga hutan yang dingin. Ia tiba di titik koordinat sekitar pukul sembilan malam.Tempat itu adalah gudang penyimpanan kapur pertanian, terletak di lembah sempit di antara dua bukit. Lampu merkuri yang remang-remang menampakkan pemandangan yang menyakitkan: mobil tua milik Wisnu Dharmawan terparkir di pinggir jurang, pintunya terbuka paksa. Sebuah garis darah tebal mengalir di tanah, menuju ke dalam gudang.Raka menyalakan senter, mengikuti jejak darah itu. Gudang itu gelap, di
Raka merasa ada firasat buruk yang mendalam, melihat kilatan gila di mata Kirana. Ia tahu Kirana sedang merencanakan sesuatu yang berbahaya.“Kirana, apa rencanamu?” desak Raka, rahangnya mengeras.“Seno ingin aku menghilang. Aku akan melakukannya. Aku akan keluar dari Yogya, menyebarkan desas-desus bahwa aku dipecat, bahkan dipenjara. Biarkan ia tenang.” Kirana melangkah ke loker, membuka laci kecil, dan mengambil kunci mobil yang bukan miliknya, dan tas punggung kecil.“Lalu bagaimana denganku? Bagaimana aku melindungimu saat kau hilang?”“Kau tidak perlu melindungiku, Raka. Kau perlu memainkan lakon Arjuna yang mereka harapkan, sampai kau menemukan waktu untuk menghancurkannya.” Kirana mengambil kunci lain. “Tapi aku perlu jaminan. Seno pasti mengira aku sudah menanam agen di sekitar Agung Kusuma.”Raka tahu Kirana sedang menawar nyawanya.“Aku akan mengikutimu,” kata Raka.“Tidak, Arjuna harus fokus pada lakon besarnya.” Kirana memejamkan mata sesaat. “Kau harus mulai menyebarkan
Raka menarik napas tajam. Parikesit, yang ia yakini sebagai lakon harapan baru, ternyata adalah target terakhir mereka, Too Be Confirmed—belum dikonfirmasi. Dan nama yang mengejutkan, tepat di bawah tiga tokoh kunci Pandawa itu.“Lihat ini, Kirana,” Raka memaksa. Ia menunjuk ke inisial di samping nama Kirana. “KP. Itu inisialmu. Kompol Prameswari. Dia tidak menuliskannya di gulungan lontar seperti yang dia tunjukkan di Solo. Dia menuliskannya di cetak biru ini, sebagai salah satu target yang harus mati di lakon terakhir.”Wajah Kirana memucat. Ia bukan lagi sekadar pelayan hukum yang terancam dicopot, tetapi secara eksplisit telah dimasukkan ke dalam naskah berdarah. Ia adalah tokoh epik, dengan takdir kematian yang sudah dituliskan di dinding reruntuhan ini.Raka mendekati Kirana. Ia tahu ia harus bereaksi cepat, melampaui logika forensik. “KP. Kirana. Seno tidak ingin kau dicopot. Dia ingin kau dibunuh. Di atas panggung.”“Tapi kenapa? Aku tidak punya kekuasaan sebanding dengan Dury
Dua jam kemudian, menjelang fajar, mereka akhirnya berhasil tiba di markas sementara yang sudah diamankan oleh tim Kirana, jauh di pinggiran kota, sebuah rumah kosong yang disewa atas nama samaran. Kirana memerintahkan Banyu segera diisolasi, tanpa diberi akses bicara kepada siapa pun kecuali dia. Ancaman Seno, yang berhasil ditembak ban mobilnya oleh Kirana, telah mengubah Banyu menjadi sekadar barang bukti berharga—dan target eliminasi. Sementara itu, Kirana mulai menangani lukanya dan Raka harus menerima jahitan darurat di lengan kanannya.Setelah memastikan semuanya aman, Kirana menghampiri Raka di ruang utama, membawa dua cangkir kopi panas.“Bagaimana Jaka?” tanya Raka, menatap lurus ke arah cangkirnya, menghindari kontak mata. Ia merasa terlalu rentan setelah momen emosional yang terpotong peluru itu.“Aman. Tapi dia terkejut. Seno tidak main-main. Dia mencoba mengorbankan Jaka di Solo, menempatkan mayat Gatotkaca di sana, seolah-olah Banyu masih mengendalikan lakon. Padahal Se
Setelah lima belas menit perjalanan gila, Kirana memperlambat laju mobil di sebuah pom bensin tua yang remang-remang, di luar area ring road selatan. Dua perwira Solo tiba beberapa detik kemudian, dengan wajah pucat dan seragam basah kuyup. Mereka hanya berhasil mengamankan Banyu. Motor-motor penyerang telah hilang di balik pekatnya hujan.Kirana keluar dari mobil, tidak memedulikan dingin dan basahnya jas hujan. Raka ikut keluar, mengikuti insting. Ia berjalan menghampiri Kirana, melihat bahu wanita itu naik turun dengan cepat.Kirana menyandarkan tubuhnya ke kap mobil. Rambutnya basah, menempel di dahi dan lehernya. Pakaiannya menampakkan cetakan pistol di pinggangnya yang ramping. Ia menatap Raka, sorot matanya melembut—atau mungkin hanya pantulan lampu jalan yang remang-remang.“Mereka ingin membunuh kita, Raka,” bisik Kirana, suaranya parau, jauh dari nada tegas seorang Kompol Bareskrim. Ia berbicara, tidak kepada partner kerjanya, tetapi







