Share

Tembang untuk Arimbi

Author: Ammi Poe YP
last update Last Updated: 2025-10-12 18:00:02

“Kompol, Anda menuduh ada pengkhianat di antara kita?” tanya Heru, nadanya meninggi. “Itu tuduhan serius.”

“Saya tidak menuduh, Pak. Saya hanya menyatakan fakta,” jawab Kirana tenang, namun matanya berkilat tajam. “Sang Dalang terlalu cerdas untuk dilawan dengan cara biasa. Mungkin ia tidak bekerja sendirian. Mungkin ia punya mata-mata di dalam.”

Rapat itu bubar dalam ketegangan. Raka mengikuti Kirana ke ruang kerjanya yang kecil dan berantakan. Di sana, di antara tumpukan berkas dan cangkir kopi yang sudah dingin, Kirana akhirnya melepaskan topeng ketenangannya. Ia menghempaskan tubuhnya ke kursi, memijat pelipisnya dengan frustrasi.

“Mereka pikir aku gila,” gumamnya. “Mereka pikir teorimu sudah meracuni logikaku.”

“Logika juga yang memberitahumu ada yang tidak beres, Kirana,” kata Raka pelan, duduk di seberangnya. “Ini bukan soal dunia lain. Ini soal rantai komando

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Sang Puntadewa

    Seno menjawab dengan amarah murni. Ia mengeluarkan sesuatu yang panjang, mengancam akan menusuk Kirana dan Satria.“Aku bukan Seno, Raka,” bisik suara di belakangkeliritu, tiba-tiba terdengar dekat, dan penuh keakraban yang memuakkan. “Aku adalah bayanganmu yang sesungguhnya. Aku adalah Parikesit. Dan aku harus mati setelah melahirkan kehancuran.”Sosok di balikkeliritu mulai melangkah maju, membiarkan api kecil yang masih menyala membakar wayang yang menempel di kelirnya. Wayang itu jatuh. Tapi wayang Satria kini sudah berada di tangan Kirana.Sosok itu akhirnya melangkah keluar dari balik layar. Bukan Seno. Melainkan Agung Kusuma, Kepala Kejaksaan Agung, sang Puntadewa yang seharusnya mati. Wajahnya dihiasi darah yang mengering, mengenakan pakaian seragam kepolisian milik Kirana yang berlumuran darah.“Selamat datang, Dalang Bayangan,” bisiknya pada Raka, suaranya tenang, penu

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Di Balik Kelir

    Saat Raka tiba di gerbang rumah joglonya yang sepi, ponselnya kembali bergetar. Sebuah notifikasi pesan. Nomor baru. Ia membukanya, melihat hanya sebuah tautan yang mengarah ke peta koordinat.Di bawah koordinat itu, hanya ada satu baris dialog yang membuatnya merasakan hawa dingin menjalari pori-porinya, lebih dingin dari udara malam.“Pentas utamamu batal, Arjuna. Malam ini, mari kita saksikanTarian Kematian, pentas perpisahanmu.”Raka menggeram. Provokasi berhasil. Seno telah menggigit umpannya dan memanggil Raka ke panggungnya.Ia menancapkan alamat itu ke navigasinya. Koordinat itu mengarah ke pinggiran Sleman Utara, ke sebuah kompleks gudang yang tidak terpakai, jauh dari hiruk pikuk kota.“Kau ingin aku datang, ya?” Raka berbisik, mengambil senter, pisau kecilnya, dan—setelah ragu sejenak—sebuahcempala(alat pukul dalang) besi tua yang berat milik ayahnya

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Panggung Pengorbanan

    Panggilan itu terputus.Raka menatap layar ponsel yang gelap. Jemarinya mencengkeram erat. Kirana telah memutus komunikasi untuk menjauh dari pelacakan, tetapi ia juga memutus satu-satunya jembatan emosional Raka.Ia seorang diri. Kirana menjadi umpan. Agung Kusuma akan menjadi korban berikutnya. Dan putranya Kirana, Satria, adalah target final mereka.Raka memukul kemudi, lalu menarik napas panjang. Tidak ada waktu untuk marah atau menangis. Ia harus menjadi Arjuna, Bima, dan Puntadewa sekaligus. Ia harus mengambil alih lakon yang berdarah ini.Ia segera menelpon Agung Kusuma, mencoba memberinya peringatan terselubung. Lalu, ia menghubungi salah satu dalang muda. Malam ini, ia harus mengumumkan pementasanParikesit Jumeneng Ratu—pementasan harapan palsu yang akan memancing Seno dan para pengikut Banyu keluar dari sarang.“Jika kau ingin lakon ini berhenti, kau harus berani menjadi Dalang Kematian,” bisik Raka pada d

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Wisnu Dharmawan

    Raka merasa lemas. Wisnu Dharmawan (WD), representasi Bima, telah menjadi sasaran Sang Dalang Bayangan yang kini bergerak menggantikan Banyu.Ia tidak punya waktu untuk menghubungi polisi, atau bahkan menyusun alibi. Raka hanya membawa pisau kecil yang ia sembunyikan di pinggang, kunci mobil, dan sebuah senter. Ia bergegas keluar dari joglo, jantungnya berdebar kencang.Perjalanan ke Kulonprogo terasa seperti masuk ke lorong waktu yang gelap. Jalanan semakin menanjak dan berliku, bau tanah basah bercampur aroma bunga hutan yang dingin. Ia tiba di titik koordinat sekitar pukul sembilan malam.Tempat itu adalah gudang penyimpanan kapur pertanian, terletak di lembah sempit di antara dua bukit. Lampu merkuri yang remang-remang menampakkan pemandangan yang menyakitkan: mobil tua milik Wisnu Dharmawan terparkir di pinggir jurang, pintunya terbuka paksa. Sebuah garis darah tebal mengalir di tanah, menuju ke dalam gudang.Raka menyalakan senter, mengikuti jejak darah itu. Gudang itu gelap, di

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Tokoh yang Belum Terungkap

    Raka merasa ada firasat buruk yang mendalam, melihat kilatan gila di mata Kirana. Ia tahu Kirana sedang merencanakan sesuatu yang berbahaya.“Kirana, apa rencanamu?” desak Raka, rahangnya mengeras.“Seno ingin aku menghilang. Aku akan melakukannya. Aku akan keluar dari Yogya, menyebarkan desas-desus bahwa aku dipecat, bahkan dipenjara. Biarkan ia tenang.” Kirana melangkah ke loker, membuka laci kecil, dan mengambil kunci mobil yang bukan miliknya, dan tas punggung kecil.“Lalu bagaimana denganku? Bagaimana aku melindungimu saat kau hilang?”“Kau tidak perlu melindungiku, Raka. Kau perlu memainkan lakon Arjuna yang mereka harapkan, sampai kau menemukan waktu untuk menghancurkannya.” Kirana mengambil kunci lain. “Tapi aku perlu jaminan. Seno pasti mengira aku sudah menanam agen di sekitar Agung Kusuma.”Raka tahu Kirana sedang menawar nyawanya.“Aku akan mengikutimu,” kata Raka.“Tidak, Arjuna harus fokus pada lakon besarnya.” Kirana memejamkan mata sesaat. “Kau harus mulai menyebarkan

  • Kelir Getih (Layar Berdarah)   Firasat

    Raka menarik napas tajam. Parikesit, yang ia yakini sebagai lakon harapan baru, ternyata adalah target terakhir mereka, Too Be Confirmed—belum dikonfirmasi. Dan nama yang mengejutkan, tepat di bawah tiga tokoh kunci Pandawa itu.“Lihat ini, Kirana,” Raka memaksa. Ia menunjuk ke inisial di samping nama Kirana. “KP. Itu inisialmu. Kompol Prameswari. Dia tidak menuliskannya di gulungan lontar seperti yang dia tunjukkan di Solo. Dia menuliskannya di cetak biru ini, sebagai salah satu target yang harus mati di lakon terakhir.”Wajah Kirana memucat. Ia bukan lagi sekadar pelayan hukum yang terancam dicopot, tetapi secara eksplisit telah dimasukkan ke dalam naskah berdarah. Ia adalah tokoh epik, dengan takdir kematian yang sudah dituliskan di dinding reruntuhan ini.Raka mendekati Kirana. Ia tahu ia harus bereaksi cepat, melampaui logika forensik. “KP. Kirana. Seno tidak ingin kau dicopot. Dia ingin kau dibunuh. Di atas panggung.”“Tapi kenapa? Aku tidak punya kekuasaan sebanding dengan Dury

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status