ログイン“Sebuah tembang… sindiran,” jawab Raka pelan. Ia mulai menerjemahkannya dengan suara lirih. “Lelaki perkasa memegang gada, mengira dunia ada di tangannya. Namun lupa, rahim yang melahirkannya lebih kuat dari baja. Langit runtuh bukan karena gada, tapi karena tangis perempuan yang tak lagi didengar.”
Kirana terdiam. Kalimat-kalimat itu terasa menusuknya secara personal. Ia teringat pada ayahnya, seorang lelaki perkasa dengan seragam dan kekuasaan, yang menganggap keluarganya tak lebih dari properti. Ia teringat ibunya, yang tangisnya tak pernah didengar hingga ia memilih pergi. Untuk pertama kalinya, salah satu panggung kematian Sang Dalang tidak hanya membuatnya marah, tetapi juga… tersentuh. Pesan ini, betapapun bengis cara penyampaiannya, terasa benar.
“Dia bukan sekadar membunuh,” gumam Kirana, lebih pada dirinya sendiri. “Dia sedang mengirimkan kritik sosial. Ia menghakimi dosa-dosa masyarakat kita satu per sa
Seno menjawab dengan amarah murni. Ia mengeluarkan sesuatu yang panjang, mengancam akan menusuk Kirana dan Satria.“Aku bukan Seno, Raka,” bisik suara di belakangkeliritu, tiba-tiba terdengar dekat, dan penuh keakraban yang memuakkan. “Aku adalah bayanganmu yang sesungguhnya. Aku adalah Parikesit. Dan aku harus mati setelah melahirkan kehancuran.”Sosok di balikkeliritu mulai melangkah maju, membiarkan api kecil yang masih menyala membakar wayang yang menempel di kelirnya. Wayang itu jatuh. Tapi wayang Satria kini sudah berada di tangan Kirana.Sosok itu akhirnya melangkah keluar dari balik layar. Bukan Seno. Melainkan Agung Kusuma, Kepala Kejaksaan Agung, sang Puntadewa yang seharusnya mati. Wajahnya dihiasi darah yang mengering, mengenakan pakaian seragam kepolisian milik Kirana yang berlumuran darah.“Selamat datang, Dalang Bayangan,” bisiknya pada Raka, suaranya tenang, penu
Saat Raka tiba di gerbang rumah joglonya yang sepi, ponselnya kembali bergetar. Sebuah notifikasi pesan. Nomor baru. Ia membukanya, melihat hanya sebuah tautan yang mengarah ke peta koordinat.Di bawah koordinat itu, hanya ada satu baris dialog yang membuatnya merasakan hawa dingin menjalari pori-porinya, lebih dingin dari udara malam.“Pentas utamamu batal, Arjuna. Malam ini, mari kita saksikanTarian Kematian, pentas perpisahanmu.”Raka menggeram. Provokasi berhasil. Seno telah menggigit umpannya dan memanggil Raka ke panggungnya.Ia menancapkan alamat itu ke navigasinya. Koordinat itu mengarah ke pinggiran Sleman Utara, ke sebuah kompleks gudang yang tidak terpakai, jauh dari hiruk pikuk kota.“Kau ingin aku datang, ya?” Raka berbisik, mengambil senter, pisau kecilnya, dan—setelah ragu sejenak—sebuahcempala(alat pukul dalang) besi tua yang berat milik ayahnya
Panggilan itu terputus.Raka menatap layar ponsel yang gelap. Jemarinya mencengkeram erat. Kirana telah memutus komunikasi untuk menjauh dari pelacakan, tetapi ia juga memutus satu-satunya jembatan emosional Raka.Ia seorang diri. Kirana menjadi umpan. Agung Kusuma akan menjadi korban berikutnya. Dan putranya Kirana, Satria, adalah target final mereka.Raka memukul kemudi, lalu menarik napas panjang. Tidak ada waktu untuk marah atau menangis. Ia harus menjadi Arjuna, Bima, dan Puntadewa sekaligus. Ia harus mengambil alih lakon yang berdarah ini.Ia segera menelpon Agung Kusuma, mencoba memberinya peringatan terselubung. Lalu, ia menghubungi salah satu dalang muda. Malam ini, ia harus mengumumkan pementasanParikesit Jumeneng Ratu—pementasan harapan palsu yang akan memancing Seno dan para pengikut Banyu keluar dari sarang.“Jika kau ingin lakon ini berhenti, kau harus berani menjadi Dalang Kematian,” bisik Raka pada d
Raka merasa lemas. Wisnu Dharmawan (WD), representasi Bima, telah menjadi sasaran Sang Dalang Bayangan yang kini bergerak menggantikan Banyu.Ia tidak punya waktu untuk menghubungi polisi, atau bahkan menyusun alibi. Raka hanya membawa pisau kecil yang ia sembunyikan di pinggang, kunci mobil, dan sebuah senter. Ia bergegas keluar dari joglo, jantungnya berdebar kencang.Perjalanan ke Kulonprogo terasa seperti masuk ke lorong waktu yang gelap. Jalanan semakin menanjak dan berliku, bau tanah basah bercampur aroma bunga hutan yang dingin. Ia tiba di titik koordinat sekitar pukul sembilan malam.Tempat itu adalah gudang penyimpanan kapur pertanian, terletak di lembah sempit di antara dua bukit. Lampu merkuri yang remang-remang menampakkan pemandangan yang menyakitkan: mobil tua milik Wisnu Dharmawan terparkir di pinggir jurang, pintunya terbuka paksa. Sebuah garis darah tebal mengalir di tanah, menuju ke dalam gudang.Raka menyalakan senter, mengikuti jejak darah itu. Gudang itu gelap, di
Raka merasa ada firasat buruk yang mendalam, melihat kilatan gila di mata Kirana. Ia tahu Kirana sedang merencanakan sesuatu yang berbahaya.“Kirana, apa rencanamu?” desak Raka, rahangnya mengeras.“Seno ingin aku menghilang. Aku akan melakukannya. Aku akan keluar dari Yogya, menyebarkan desas-desus bahwa aku dipecat, bahkan dipenjara. Biarkan ia tenang.” Kirana melangkah ke loker, membuka laci kecil, dan mengambil kunci mobil yang bukan miliknya, dan tas punggung kecil.“Lalu bagaimana denganku? Bagaimana aku melindungimu saat kau hilang?”“Kau tidak perlu melindungiku, Raka. Kau perlu memainkan lakon Arjuna yang mereka harapkan, sampai kau menemukan waktu untuk menghancurkannya.” Kirana mengambil kunci lain. “Tapi aku perlu jaminan. Seno pasti mengira aku sudah menanam agen di sekitar Agung Kusuma.”Raka tahu Kirana sedang menawar nyawanya.“Aku akan mengikutimu,” kata Raka.“Tidak, Arjuna harus fokus pada lakon besarnya.” Kirana memejamkan mata sesaat. “Kau harus mulai menyebarkan
Raka menarik napas tajam. Parikesit, yang ia yakini sebagai lakon harapan baru, ternyata adalah target terakhir mereka, Too Be Confirmed—belum dikonfirmasi. Dan nama yang mengejutkan, tepat di bawah tiga tokoh kunci Pandawa itu.“Lihat ini, Kirana,” Raka memaksa. Ia menunjuk ke inisial di samping nama Kirana. “KP. Itu inisialmu. Kompol Prameswari. Dia tidak menuliskannya di gulungan lontar seperti yang dia tunjukkan di Solo. Dia menuliskannya di cetak biru ini, sebagai salah satu target yang harus mati di lakon terakhir.”Wajah Kirana memucat. Ia bukan lagi sekadar pelayan hukum yang terancam dicopot, tetapi secara eksplisit telah dimasukkan ke dalam naskah berdarah. Ia adalah tokoh epik, dengan takdir kematian yang sudah dituliskan di dinding reruntuhan ini.Raka mendekati Kirana. Ia tahu ia harus bereaksi cepat, melampaui logika forensik. “KP. Kirana. Seno tidak ingin kau dicopot. Dia ingin kau dibunuh. Di atas panggung.”“Tapi kenapa? Aku tidak punya kekuasaan sebanding dengan Dury





![The Wedding Dress [INDONESIA]](https://acfs1.goodnovel.com/dist/src/assets/images/book/43949cad-default_cover.png)

