Share

Rasakan Kamu Mas!

Hilda hanya melihat sekilas ke arah Firman tatkala terkejut setelah menerima panggilan masuk, setelah itu Hilda memalingkan pandangannya ke arah jendela.

Jalanan yang cukup padat, membuat tubuh terasa penat, belum lagi cuaca yang cukup menyengat pada siang ini, ditambah lagi kekacauan yang dirasakan di dalam hati dan pikiran Hilda saat ini.

“Eeemmm, Sayang, bagaimana kalau,,,”

“Mas, rasanya aku sedang tidak enak badan, bagaimana kalau makan siang kali ini kita batalkan saja? Rasanya badanku terasa sakit semua, dan kepala juga sedikit pusing.” Ujar Hilda memotong ucapan Firman tanpa mengalihkan pandangan.

“Ah, kamu sedang sakit? Ya sudah, kalau begitu kamu mending pulang aja, istirahat dirumah.” Ucap Firman seketika.

“Eeemmm, terus kalau aku pulang kamu gimana Mas? Kasihan kamu nggak jadi makan siang. Atau aku temani saja tapi aku nggak ikut makan?” kini Hilda menoleh ke arah Firman.

“Ah, kamu nggak usah mikirin Mas, gampang, nanti bisa bikin mie instant atau beli makanan cepat saji saja. Yang terpenting saat ini kamu. Aku pesenkan taksi online ya buat pulang kamu, tunggu sebentar.”

“Kok taksi online Mas? Aku maunya diantar kamu. Please.” Hilda berpura-pura mengiba.

“Sayang, Mas kan harus berangkat kerja lagi. Nanti kalau Mas telat kembali ke kantor bagaimana? Kamu naik taksi online saja ya?” Firman membujuk Hilda.

Hilda menghela nafas dalam-dalam lalu mengeluarkannya secara perlahan, “kalau begitu biar mobilnya aku bawa dulu ya Mas, kamu balik ke kantor naik taksi online, oke?” Hilda mencoba bernegosiasi dengan Firman.

“Ya nggak bisa begitu dong Sayang, masa aku harus ke balik ke kantor naik taksi online. Kamu aku pesankan taksi online ya, tunggu sebentar.” Firman menolak halus.

“Nggak Mas, kamu aja yang taksi online, aku yang bawa mobil. Mana sini kunci mobilnya?” kini Hilda mulai sedikit emosi.

“Hil, kok kamu jadi keras kepala begini sih? Apa susahnya kamu naik taksi online? Dan bukannya kamu lagi nggak enak badan? Malah maksain nyetir sendiri, nanti kalau ada apa-apa dijalan kan aku juga yang repot! Lagian juga biasanya kamu kemana-mana naik taksi online juga kan, udah deh nggak usah mancing emosi aku!” Firman pun ikut tersulut emosi.

Hilda hanya diam, tak ingin menanggapi ucapan suaminya itu yang menurutnya tak akan ada habisnya.

Hilda turun dari mobil, lalu menuju ke pintu mobil bagian pengemudi, dibukanya lah pintu mobil tersebut.

“Turun kamu Mas jika tidak aku akan berteriak kalau kamu akan menyakiti aku!” ancam Hilda kepada Firman.

Firman melongo melihat sikap Hilda yang kini dirasa dia berubah sangat drastis, Hilda cenderung lebih berani bahkan terlihat bar-bar.

Kali ini Firman memilih mengalah, dia tak ingin dipermalukan didepan banyak orang oleh istrinya sendiri, Firman pun turun dari mobil, kunci yang dipegangnya pun diserahkan kepada Hilda.

“Nah gitu kan enak Mas, pake acara diancam segala sih baru mau ngasih keinginan istri. Lagian kan ini mobil aku, masa aku mau pake nggak boleh.” Ucap Hilda ketus sambil duduk dikursi pengemudi dan memasang sabuk pengaman.

“Ya sudah, hati-hati kamu pulangnya.” Ucap Firman dengan nada kesal.

“Oke. Aku langsung pulang kok Mas, aku mau shoping dulu, aku mau bahagiain diri aku dulu Mas. Kalau nanti kamu sampai rumah duluan, kamu nggak usah nunggu aku pulang, kamu makan malamnya beli aja ya.”ucap Hilda sambil mengacungkan ibu jarinya lalu menutup pintu mobil.

“Katanya lagi nggak enak badan? Kok malah shoping sih?!” Firman menatap tajam sang istri, namun Hilda tak menggubrisnya sama sekali.

Diturunkannya sedikit kaca mobil, Hilda sambil tersenyum melambaikan tangan ke arah Firman yang masih terdiam menatap ke arah hilda, “bye Mas Firman, hati-hati dijalan juga ya. Ingat, habis makan siang langsung kembali ke kantor ya, jangan mampir kemana-mana.”

“Hrrggghhhh, sial! Dasar wanita belagu! Baru aja jadi Direktur lagaknya udah kayak Sultan aja! Hrrgghhh!!!” Firman teriak-teriak seperti orang kesetanan melihat kepergian Hilda dari hadapannya, bahkan beberapa orang yang lewat dihadapan Firman bergidik melihat tingkah Firman seperti orang gila.

Sadar jika banyak orang yang melihat ke arahnya, Firman gegas memesan taksi online untuk kembali ke kantor.

Berkali-kali ada panggilan masuk ke ponselnya juga dihiraukan olehnya, emosinya sedang memuncak kini, dia khawatir jika panggilan itu diterima, yang ada akan membuat Firman makin panas.

Sementara Firman kembali ke kantor dengan emosi dan amarah, Hilda justru tertawa semringah atas kemenangannya kali ini.

“Rasakan kamu Mas! Jangan harap kamu sekarang bisa bebas menggunakan barang-barang aku. Enak saja, kau pakai barang-barangku untuk bersenang-senang yang entah dengan siapa diluar sana. Sekarang tidak akan bisa Mas!” kecam Hilda didalam mobil.

Sementara dirumah, Alifa sibuk mencari buku raportnya yang besok rencananya akan dia kembalikan ke sekolah.

Berulang kali dia mencarinya didalam tas dan rak bukunya, namun hasilnya nihil, Alifa pun gegas menemui sang mama.

Sedikit berlarian, Alifa mencari sang mama ke kamarnya, “Ma, tahu buku raport Alifa nggak?”

“Nggak tau Sayang, coba kamu cari dulu, atau mungkin jatuh,” ucap sang Mama tanpa menatap ke arah Alifa karena masih fokus dengan gawainya.

“Udah Alifa cari Ma, tapi nggak ada. Besok harus dikembalikan Ma, tolong bantu Alifa cari yuk Ma.” Rengek Alifa.

“Sayang, kamu cari dulu sendiri ya, bentar lagi Mama nyusul.”

“Apa kebawa ditas Papa ya Ma? Kan kemarin habis dilihat –lihat juga sama Papa, terus ditanda tangani. Habis itu Alifa kayaknya nggak ada masukin buku raport ke dalam tas aku deh, soalnya aku juga keburu main waktu itu.”

Mendengar ucapan sang anak, sang mama pun menatap tajam ke arah Alifa, bukan hendak memarahi Alifa, namun mencoba merunut kejadian lusa, saat Alifa memberikan raportnya kepada sang Papa.

Ya, benar, setelah itu baik Alifa dan Mamanya memang tidak menerima kembali raport itu, namun mereka justru asyik bermain ditaman hiburan.

“Kamu yakin raport itu belum kamu kembalikan, Alifa? Jangan-jangan Alifa lupa kalau raportnya udah dikembalikan?” Mamanya berusaha memancing memori ingatan Alifa.

“Eeemmm, iya Ma, Alifa yakin Papa itu nggak ngembaliin raportnya ke Alifa. Aku ingat bener Ma, Papa masukin buku raport aku ke dalam tas kopernya. Iya Ma, aku ingat, dikopernya Papa! Soalnya kata Papa biar aman mending ditaruh dikoper Papa, gitu Ma.”

Sang Mama pun terdiam, jantungnya berdegup cukup kencang mendengar cerita anaknya itu.

Jika buku raport Alifa didalam koper Papanya, lalu siapa yang menemukan, bahkan sampai saat ini Papanya juga tidak memberitahu jika dia membawa raportnya Alifa.

“Ma, ayo telfon Papa, tolong suruh anterin buku raport Alifa dong Ma, please. Mama,,,” Alifa merengek sambil menggoyang-goyangkan lengan Mamanya.

“Diamlah Alifa, jangan bikin Mama makin pusing!” hardik sang Mama, sontak Alifa yang sedikit terperanjat kini mendadak diam.

“Maaf Ma.’ Ucap Alifa bergetar menahan tangis airmata mendengar sang Mama sedang marah, kini Alifa lebih memilih kembali kamarnya sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status