Share

Fitnah yang kejam

Saat adik-adikku sukses

Part 6

"Tunggu, tunggu. Kita tidak bisa menggeledah rumah orang begitu saja, lebih baik bicarakan saja baik-baik!" ucap Pak RT.

"Gak bisa Pak RT, langsung saja cari uangnya!" Mala tidak setuju dengan apa yang di katakan Pak RT.

"Kita tidak boleh main hakim sendiri, Nurma apa kami boleh masuk?" tanya Pak RT pada Nurma selaku pemilik rumah.

"Nurma apa benar kamu mencuri uang Ibu kamu?" tanya Pak RT saat mereka sudah duduk bersama untuk bermusyawarah.

"Nurma bukan mencuri Pak RT, Nurma hanya mengambil hak Nurma sendiri, tanah yang di jual itu murni hasil kerja keras Nurma selama di luar negeri, jadi Nurma juga berhak atas uang hasil penjualan tanah tersebut," Jawab Nurma tegas.

"Tapi kan itu tanah atas nama Ibu, jadi yang lebih berhak itu Ibu," Mala tidak mau kalah dengan pendapat kakaknya itu.

"Meskipun atas nama Ibu, tapi tanah itu tidak akan bisa di miliki jika bukan karena hasil kerja kerasku."

"Sepertinya ini hanya kesalahan pahaman saja, sebaiknya selesaikan secara kekeluargaan kami orang luar tidak berhak ikut campur dalam masalah ini," ucap Pak RT.

Orang-orang penduduk asli kampung ini pasti semuanya akan membela Nurma, karena mereka tahu bagaimana keadaan keluarga Ratri sebelum Nurma pergi menjadi TKW, begitupun dengan Pak RT.

Akhirnya Pak RT memilih untuk membubarkan musyawaran ini dan membiarkan mereka menyelesaikan sendiri.

Satu persatu pamit undur diri, kini hanya ada Nurma, Ratri, Mala dan Tedi di rumah sederhana ini.

"Ayo, mana uangnya? uang itu buat bayar WO masih kurang," tanya Ratri pada anak sulungnya, Nurma.

"Uang itu milik Nurma, dan Nurma tidak akan memberikan uang itu meski hanya satu sen."

"Arrrggghhh, Teteh jangan rese gini dong? Teteh mau aku malu karena gagal menggelar pesta mewah."

"Itu urusanmu, mau pesta mewah tujuh hari tujuh malam pun Teteh gak peduli, asal pakai uang kamu bukan pakai uang Teteh, makanya kerja keras!"

"Punya Kakak satu-satunya benar-benar menyebalkan, pantas saja hidupmu sulit seperti ini!"

"Terserah kalian mau ngomong apa juga."

"Dengar ya Nurma, kalau kamu tidak memberikan uang itu, mulai detik ini kamu bukan anakku lagi, jangan menganggap lagi aku ini Ibumu!" ucap Ratri sambil menunjuk wajah Nurma.

Sumpah serapah yang di lontarkan Ratri tidak membuat Nurma gentar, karena Nurma merasa dirinya tidak bersalah, dia hanya mempertahankan hak nya selama ini.

Karena mereka tidak mendapat apa yang di inginkan, Ratri dan Mala langsung pergi meninggalkan rumah Nurma.

"Ma, Nenek kenapa? kok marah-marah?" tanya Tedi yang bingung dengan pemandangan yang tadi dia lihat.

"Nenek lagi marah sama Ibu, udah gak apa-apa."

"Tedi dengar Mama nyembunyiin uang Nenek, uang apa Ma? Mama gak nyuri kan?"

"Enggak, Mama gak nyuri uang Nenek, Mama cuma ngambil uang milik Mama yang di titipin sama Nenek dulu, udah yu belajar lagi!"

Nurma langsung melupakan apa yang baru saja terjadi di rumahnya, dia memilih untuk melanjutkan menemani Tedi belajar.

***

Hari ini Nurma menerima kabar Hendi akan pulang, rencananya Hendi akan berada di rumah selama 3 hari dan akan kembali bekerja setelah waktu liburnya habis, Nurma tidak sabar dengan kepulangan suaminya itu, tidak hanya Hendi yang di nanti, Nurma pun menunggu hasil dari keringat Hendi terlebih sudah ada catatatan hutang di warung Bi Lina.

Tepat pukul 1 siang, Hendi akhirnya menapakan kakinya di rumah, dengan wajah bahagia Nurma menyambut kedatangan suaminya.

Sampai saat ini Hendi belum tahu tentang uang yang ada di tangan Nurma, karena istrinya itu belum bercerita apapun.

"Nih, Akang bawain fried chicken sama mie ayam kesukaan Neng, yuk kita makan bareng!" ajak Hendi.

Kepulangan Hendi kali ini tidak dengan tangan kosong, dia membawa lembaran-lembaran rupiah yang dia dapat dari upah menjadi tukang.

"Waw chicken, Bapak bawa chicken?" tanya Tedi dengan mata berbinar.

"Iya, ayo makan, pakai nasi biar kenyang!"

Keluarga kecil itu pun larut menikmati makanan yang di bawa oleh sang pencari nafkah.

"Ini Neng, tadi akang pake buat ongkos bis 45 sama ojek 15 ribu, terus beli fried chiken sama mie ayam 30 ribu," ucap Hendi sambil menyerahkan semua uang yang dia dapat.

"Alhamdulilah Kang, lumayan bisa sedikit di tabung."

"Iya Neng, jangan lupa duluin bayar hutang!"

"Oh iya, Neng ke warung Bi Lina dulu ya buat bayar bon kemarin," Nurma pamit pada suaminya.

Sesampainya di warung Nurma langsung menanykan jumlah hutangnya, dan langsung membayar lunas.

"Udah pulang si Hendi nya?" tanya Bi Lina.

"Alhamdulilah udah Bi, jadi bisa bayar bon ke Bibi."

"Syukur kalau gitu."

"Eh, eh bentar, kamu benar nyuri uang Ibu kamu Nurma?" tanya Bi Lina.

Nurma hanya tersenyum mendengar pertanyaan dari Bi Lina.

"Nurma gak nyuri Bu, Nurma cuma ngambil hak Nurma, emang salah ya?"

"Iya juga sih, lagian kan itu hak kamu kenapa Ibu sama Mala adik kamu koar-koar ke orang lain kalau kamu nyuri uang."

"Bi Lina tahu gak uang hasil jual tanah itu di pakai buat apa?"

"Buat apa emang?"

"Buat biaya pesta pernikahan Mala Bi, Mala maunya bikin pesta yang mewah dan besar."

"Loh, bukannya si Mala kerja di bank? gajinya gede dong, terus suaminya juga katanya orang kaya masa jual tanah kamu buat pesta?"

"Bi Lina juga heran kan? apalagi aku."

"Kalau gitu gaya elit ekonomi sulit dong, hahaha," ucap Bi Lina sambil tertawa.

Begitu kejam fitnah yang di sebar oleh Bu Ratri dan Mala, dalam sekejam kabar bohong itu menyebar dan membuat nama Nurma tercoreng.

Beruntungnya tidak semua orang menelan mentah-mentah kabar yang mereka terima.

Nurma memilih diam dan sabar, dia tidak ingin ikut memperkeruh suasana, seandainya Nurma melakukan hal yang sama pasti Ratri dan Mala akan malu sendiri.

***

"Ma, apa benar aku anak pencuri Ma? teman-teman semua pada ngejauhin Tedi, katanya Tedi anak tukang nyuri, takut uang mereka di ambil sama Tedi, huhuhu," ucap Tedi sambil menangis.

Baru saja satu jam yang lalu Tedi pergi mengaji, sekarang dia sudah pulang kembali sambil menangis.

Ternyata memang benar fitnah lebih kejam dari pembunuhan, karena fitnah bisa mematikan mental seseorang.

Nurma tidak merasa terganggu dengan kabar miring yang menerpanya, akan tetapi dia tidak habis pikir mengapa Tedi harus ikut menjadi korban atas fitnah tersebut.

"Pencuri apa? jangan bilang Neng pernah ngambil sesuatu milik orang lain, jelasin Neng, ini maksudnya apa?"

"Kita memang susah Neng, tapi jangan sampai melakukan itu, pokoknya Akang kecewa kalau bener Neng terbukti seperti itu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status