Share

Ancaman

Keluargamu bukan Keluargaku

Part 2

POV Kania

"Kok kamu ngomongnya gitu, Mas? Jadi selama ini kamu nggak nganggap Mama dan Papaku sebagai orang tua kamu?" tanyaku berang. Sebenarnya aku ingin sabar menghadapi suami, tapi kali ini rasanya emosiku sudah berada di puncak.

Tidak habis pikir dengan perkataan Mas Noval barusan. Bagiamana bisa dia mengatakan jika Mama dan Papa bukan orangtuanya. Padahal selama ini aku selalu menganggap Ibunya sebagai Ibuku sendiri.

"Kan memang benar yang aku bilang barusan. Mereka orang tua kamu, kalau kamu mau bantu mereka. Ya kasih yang kamu aja, karena kewajibanku mengabdi ya cuma buat Ibuku aja," jawab Mas Noval santai. Padahal aku sudah sangat marah tapi dia masih bisa sesantai ini.

Apa dia tidak memikirkan bagaimana perasaanku saat dia mengatakan seperti itu. Baru kali ini aku melihat sikap Mas Noval begini. Benar kata pepatah, jika kita mau melihat sifat asli seseorang. Maka berurusanlah dengan uang. Padahal Mama cuma minta pinjam, bukan meminta dengan cuma-cuma.

Ah, seandainya saja tabunganku waktu itu tidak aku serahkan semuanya pada Mas Noval. Pasti saat ini aku masih mempunyai cukup uang untuk membantu Mama dan Papa. Aku pikir dulu kami bisa hidup sama-sama tanpa perhitungan. Lagian dulu juga Mas Noval meminta uangku untuk modal usahanya.

Kini aku kembali harus merutuki kebodohanku yang dulu. Andai aku tau jika sikap Mas Noval seperti ini. Aku akan berpikir dua kali untuk memberikan dia yang tabunganku.

"Kalau gitu, aku minta kamu balikin uangku yang kamu pinjam dulu," tegasku yang membuat wajah Mas Noval tegang.

"Uang kamu? Yang mana?" tanya Mas Noval sok polos. Aku tau dia cuma pura-pura lupa. Uang orang aja lupa, kalau uang sendiri sedikitpun tidak boleh keluar dari dompet.

"Udah deh, Mas. Jangan pura-pura lupa. Uang tabunganku selama kerja dulu, yang kamu pinjam buat buka usaha depot minyak. Sini, aku mau kasih buat Mama," sungutku kesal. Aku menengadahkan tangan tepat di depan wajah Mas Noval. Dia kira aku sudah lupa kali sama uangku yang dulu.

Andai sikapnya tidak seperti ini aku tidak akan mengungkit lagi perihal uang itu. Tapi karena sikap Mas Noval sekarang yang perhitungan. Aku juga bisa, bukankah suami adalah contoh tauladan bagi istri. Jadi sepertinya sekarang semua sikap dia harus aku ikuti.

"Kamu apa-apaan sih, Kania. Sama suami sendiri pake hutang-hutang segala. Lagian aku pakek uang itu untuk modal, dan uangnya untuk kita," balas Mas Noval tidak terima karena aku meminta uangku kembali.

"Untuk kita? Kalau untuk kita itu cuma buat aku sama kamu. Tapi ini hasilnya juga dirasain sama Ibu dan Adik kamu," kelitku geram.

"Itu karena aku anak laki-laki, Kania. Tugasku untuk mengabdi sama Ibu sampe aku mati. Kamu paham agama nggak sih?" marah Mas Noval sambil memukul meja makan. Aku sedikit tersentak karena melihat sifat asli Mas Noval yang sebenarnya. Tapi aku bukan wanita bodoh yang takut sama kezaliman suami. Aku Kania Azzahra, pantang bagiku untuk kalah karena kebenaran.

"Seharusnya aku yang tanya sama kamu, Mas. Kamu paham agama nggak? Kamu tau nggak hukumnya memakai uang istri? Uang istri itu tidak boleh digunakan oleh suami kalau istrinya nggak ikhlas. Dan sekarang aku nggak ikhlas, sini balikin uangku," gertakku membalas memukul meja makan. 

Mas Noval terkejut melihat sikapku yang juga sangat berubah. Karena selama ini aku selalu berusaha untuk menjadi istri yang baik dan patuh pada suami. Karena aku lihat juga Mas Noval bisa menjadi suami yang baik untukku. Aku belum tau ternyata sifat aslinya seperti ini.

Aku dan Mas Noval menikah memang karena cinta. Bukan karena dijodohkan atau dikenalkan oleh orang lain. Dulu aku bertemu dengan Mas Noval saat masih bekerja menjadi sekretaris di perusahaannnya Pak Sugiono. Mas Noval yang mewakili perusahaannya untuk mengikuti rapat. Sejak saat itulah aku dan Mas Noval saling mengenal dan juga dekat.

Aku pikir dia adalah sosok laki-laki yang baik dan juga lembut pada wanita. Waktu pertama kali aku mengenalkan Mas Noval pada Mama dan Papa. Mereka juga langsung memberikan restu pada kami berudua. Karena sudah sama-sama mendapatkan restu, makanya kami memutuskan untuk langsung menikah tanpa harus lama-lama pacaran.

"Nggak. Aku sekarang nggak ada uang. Kamu tau kan pernikahan Siska nanti bakalan ngehabisin banyak dana," kilah Mas Noval menolak untuk membayar hutangku.

"Aku nggak peduli, Mas. Lagian dia kan adik kamu. Bukan Adikku," balasku sambil melipat tangan di depan dada.

"Kok kamu jadi perhitungan gini sih, dia adik ipar kamu. Itu berarti kamu juga harus ikut andil dalam biaya pernikahan dia," decak Mas Noval kesal. Dasar manusia egois, bagaimana ceritanya adik dia menjadi adikku. Sedangkan Mama dan Papaku saja tidak dia anggap sebagai orang tuanya.

"Terus kamu ikut andil nggak dalam pengobatan Papaku? Dia minjam lho Mas bukan minta kayak keluarga kamu!" teriakku geram.

"Diam kamu, Kania. Berani ya kamu ngebantah aku. Dengar Kania, kalaupun aku ngasih uang buat Ibu dan Siska. Itu hakku, aku kerja, uang juga uang aku." Mas Noval berteriak padaku. Dia bahkan menunjuk kearahku dengan telunjuknya.

Salah jika dia kira aku takut, aku memang seorang Istri. Tapi aku cukup tau bagaimana cara menghadapi suami seperti ini. Memang benar yang dia katakan, tidak salah. Hanya saja aku yang terlalu bodoh jika mau mengalah.

"Yaudah kalau begitu, kembalikan uangku yang dulu kamu ambil, Mas. Aku lagi butuh," jawabku dengan nada lebih rendah. Percuma rasanya aku bicara dengan Mas Noval dengan cara kasar.

"Aku nggak ada uang sekarang. Aku udah terlanjur janji sama Ibu dan Siska untuk memberikan uang pesta pernikahannya," kilah Mas Noval. Dia tetap menolak mengembalikan uangku. Tidak habis pikir, bagaimana caranya dia punya pemikiran jika uangku adalah uangnya.

"Aku nggak mau tau. Lagian Siska nikahnya kan masih sebulan lagi. Kalau kamu nggak mau kembalikan uangku, tidak masalah. Aku akan jual tanah yang kita beli kemarin," ancamku yang membuat Mas Noval panik.

Bagiamana tidak panik, tanah yang kemarin kami beli itu dibeli dengan uang Mas Noval. Tapi sayangnya atas namaku, karena kemarin Mas Noval tidak bisa ikut saat pembuatan sertifikat. Dia sibuk ke luar kota urusan perdagangan minyak.

"Kamu jangan macam-macam, Kania. Tanah itu dibeli dengan uangku, uang yang aku cari dengan susah payah," jerit Mas Noval kesal. Panik kan? Jelas lah dia panik, tanah itu dibeli dengan harga yang sangat fantastis.

Jika dihitung-hitung, uang penjualan tanah itu sekitar lima kali lipat uangku yang diambil oleh Mas Noval. Jadi aku juga tidak perlu khawatir jika dia tidak berniat mengembalikan uangku.

"Yaudah, kalau kamu nggak mau aku jual tanah itu. Aku tunggu kamu buat transfer uangku. Secepatnya, Mas. Karena aku akan transfer ke Mama," ucapku lalu mengambil piring kotor. Kemudian membawanya ke wastafel. Sudah menjadi kebiasaan memang, setelah selesai makan atau memasak maka aku akan segera membersihkannya.

Sesekali aku melirik ke arah Mas Noval yang masih berdiri di samping meja makan. Wajahnya masih memerah dan juga rahangnya masih mengeras. Aku hanya bisa tertawa cekikikan di dalam hati. Sebenarnya aku tidak terlalu mempersoalkan perkara uang. Hanya saja hatiku sudah terlanjur sakit ketika Mas Noval mengatakan jika Mama dan Papa adalah orang lain.

"Dimana kamu menyimpan sertifikat itu?" tanya Mas Noval lagi. Aku hanya tersenyum sinis, kemudian mengelap tangan pada kain lap.

"Untuk apa, Mas? Aku baru mau kasih itu kalau kamu udah transfer uangku," balasku sambil menatapnya.

"Kania, maaf kalau aku sudah buat kamu marah dan tersinggung. Tapi untuk kali ini aja kamu mengerti. Kalau aku harus membiayai pernikahan Siska," ucap Mas Noval melemah.

"Iya, Mas. Aku mengerti. Terserah kamu mau kasih berapa untuk keluargamu itu. Tapi aku cuma minta hakku," balasku sambil melipat kedua tangan di depan dada.

"Oke, nanti aku transfer. Tapi setelah ini aku tidak mau dengar lagi permintaan aneh-aneh dari keluargamu. Menyusahkan saja," gumam Mas Noval hampir tak terdengar. Aku hanya bisa menahan geram di dalam dada melihat sikap Mas Noval yang sudah sangat keterlaluan. Aku harus bisa menemukan cara agar bisa membantunya pengobatan Papa.

"Oh iya, Mas. Aku sudah memutuskan untuk kembali bekerja, jadi kamu tenang saja. Aku tidak akan menyusahkan kamu demi keluargaku," ucapku santai lalu berlalu pergi ke kamar. Meninggalkan Mas Noval yang terperangah mendengar penuturanku barusan. Terserah jika dia mengijinkan atau tidak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status