Share

MARAH

Keluargamu bukan Keluargaku

Part 3

POV Kania

Brak!

Aku menutup pintu kamar dengan sangat keras. Tidak peduli bagaimana Mas Noval akan terkejut akibat kelakuanku barusan. Dadaku naik turun seperti habis berlari maraton. Mas Noval, aku tidak menyangka jika kamu begitu perhitungan dengan keluargaku. Padahal dulu ketika kamu sedang susah, Papa dan Mama lah yang berdiri di depan untuk menolong kita.

Ya, dulu pernah ketika baru-baru menikah. Perusahaan Mas Noval tempat dia bekerja dulu bekerja bangkrut. Dan otomasi dia harus dipecat tanpa uang pesangon. Saat itu aku menerimanya dengan lapang dada. Walaupun dia pengangguran, tapi Mama dan Papa sama sekali tidak mempermasalahkannya. Bahkan pekerjaan yang sekarang Mas Noval dapatkan karena bantuan Bang Ruli.

Kebetulan perusahaan yang bergerak di bidang otomotif itu milik sahabatnya Bang Ruli. Jadi Mas Noval bisa dengan mudah bisa masuk ke sana untuk bekerja. Aku tidak habis pikir, apa sekarang semua kebaikan keluargaku tidak diingat oleh dia. Apa dia amnesia atau memang sifatnya yang tidak tau berterimakasih.

Terdengar derum mobil dari luar, ah pasti sekarang Mas Noval sudah berangkat ke kantor. Aku beranjak dari bibir ranjang, kemudian berdiri di jendela yang langsung menghadap ke arah taman di depan rumah. Rasanya sangat membosankan duduk di dalam rumah tanpa kegiatan apapun.

Karana selama menikah, aku memang memilih mengikuti kata-kata Mas Noval. Untuk tidak bekerja dan duduk manis di rumah menunggu kepulangan suami. Tapi sekarang sepertinya aku harus kembali berkerja.

Papa pasti butuh banyak uang untuk proses pengobatannya. Tidak mungkin aku terus mengharapkan uang dari Mas Noval yang tidak seberapa. Jika dulu sebelum menikah aku bebas menggunakan uangku kemana saja. Tidak setelah aku menikah dengannya. Dia bahkan sangat mengatur kemana saja uang yang harus aku gunakan. Padahal uang itu adalah uangku sendiri.

Dulu aku biasa saja menghadapi tingkah aneh Mas Noval. Malah aku menganggap jika itu salah satu bentuk perhatiannya padaku. Maklum dulu masih pengantin baru. Tapi tidak sekarang, aku tidak mau dia atur lagi.

Aku menyibak kembali kain gorden. Melihat jauh ke sana, harapan baru akan dimulai. Aku harus bisa bangkit agar aku tidak selalu direndahkan seperti ini. Apa gunanya aku, jika membantu Papa untuk pengobatan saja tidak bisa.

Ddrrtt

Ponselku bergetar tanda ada pesan yang masuk. Segera aku mengambil ponsel yang semula aku isi saya. Melihat siapa yang mengirimkan pesan untukku pagi-pagi begini.

Senyumku mengembang karena membaca pesan tersebut. Ternyata benar Mas Noval membayar uangku tempo hari. Buktinya sekarang dia sudah mentransfer uang dengan nominal yang sama dengan dia pinjam dulu. Dengan begini aku langsung bisa mentransfer kembali ke rekening Mama.

Sebenarnya jika aku ingin memberikan langsung pada Mama bisa. Hanya saja sepertinya hari ini aku harus mencari pekerjaan. Mungkin aku akan sibuk menyiapkan semua berkas yang dibutuhkan. Dan juga mungkin membeli beberapa baju terbaru untukku ke kantor.

[Ma, uangnya udah Kania transfer ya. Maaf kalau telat, tadi aku mandi dulu.]

Aku mengirimkan pesan untuk Mama. Dan tidak lama kemudian langsung dibaca oleh Mama. Terlihat di layar atas jika Mama sedang mengetik balasan.

[Terimakasih, Sayang. Maaf kalau Mama merepotkan. Insha Allah Mama ganti setelah usaha Papa kembali berjalan.] Balas Mama yang membuat hatiku terenyuh.

Sebenarnya Mama dan Papa sudah menyuruhku untuk melanjutkannya usahanya. Hanya saja aku tidak mengerti tentang dunia kain. Dulu ketika Papa mau mengajari aku dan Bang Ruli. Hanya Bang Ruli yang mau belajar. Sedangkan aku, sibuk dengan pekerjaan kantor sebagai sekretaris.

Seandainya ada Bang Ruli di sini, pasti Mama dan Papa tidak akan kesulitan yang seperti ini. Aku sudah menghubungi Bang Ruli, katanya dia juga akan pulang dalam bulan ini. Hanya saja dia tidak tau itu kapan. Karena Kak Emine–kakak iparku, dia akan melahirkan dalam Minggu ini. Jadi perlu waktu untuk masa penyembuhan setelah melahirkan.

[Kata Mas Noval, tidak perlu dibayar, Ma. Itu untuk Papa dan Mama. Sengaja aku kirim lebih, perintah Mas Noval.] 

Balasku sambil kembali duduk di pinggir ranjang. Aku sengaja mengatakan jika itu dari Mas Noval. Semua wanita begitu bukan? Tidak ingin melihat suaminya cacat di depan kedua orang tuannya. Karena aku tau Mama dan Papa pasti akan sangat senang jika mengetahui uang itu dari Mas Noval.

Aku masih ingin mempertahankan rumah tangga ini. Selama ini sikap Mas Noval dan keluarganya baik padaku. Hanya saja dia perhitungan dengan keluargaku. Tapi dia tidak perhitungan denganku, makanya aku tidak ingin membuat masalah kecil menjadi besar. Seperti kata Mama, jika ada masalah kecil itu dihilangkan bukan malah diperbesar. Jika ada masalah besar itu dikecilkan, agar secepatnya bisa terselesaikan.

Jika aku ingin memberikan lebih untuk Mama dan Papa. Maka aku akan cari sendiri uangnya. Aku akan membahagiakan Mama dan Papa. Karena aku tau, hanya aku dan Bang Ruli harapan Mama dan Papa.

*

Selesai mandi, akupun bersiap-siap untuk memakai baju. Hari ini sudah aku putuskan untuk segera mencari pekerjaan. Bukan hal mudah memang mencari pekerjaan sekarang. Dan untuk menghubungi Pak Sugiono pun rasanya tidak mungkin.

Dulu dia memintaku untuk tidak keluar dari pekerjaan. Tapi karena ingin berbakti pada Mas Noval. Aku tetap keluar, dan sekarang tidak mungkin aku kembali lagi ke sana. 

Ku siapkan semua berkas, saat sedang menyiapkan berkas. Akupun melihat beberapa mal lainnya. Ternyata isi mapnya adalah sertifikat tanah tempo hari. Ah, aku harus bisa mengamankan ini juga.

*

"Kamu dari mana? Kok rapi?" tanya Mas Noval saat aku baru saja sampai rumah. Seharian ini aku pergi bertemu dengan beberapa teman dulu, untuk menanyakan lowongan pekerjaan. Setelah itu aku menghabiskan waktu ke mall untuk belanja. Sudah lama rasanya aku tidak memanjakan diri.

"Jalan-jalan, Mas. Aku bosan dirumah," jawabku sambil melenggang masuk ke dalam kamar. Diikuti oleh Mas Noval dari belakang, ternyata Mas Noval juga baru pulang dari kantor.

"Kamu beli apa aja? Kok banyak?" tanya Mas Noval lagi sambil melihat beberapa paper bag yang aku taruh di atas tempat tidur.

"Oh itu aku beli parfum, sama beberapa baju. Aku juga beli baju buat kamu," jawabku sambil melepaskan kalung dan anting.

"Kamu jadi transfer uang tadi buat Mama?" tanya Mas Arman lagi menatapku.

"Jadi dong, Mas. Kenapa?" tanyaku lagi tanpa melihat ke arah Mas Noval.

"Kira-kira kapan dikembalikan?" tanya Mas Arman yang membuatku menghentikan aktivitas. Aku membalikkan badan menghadap ke arahnya.

"Aku bilang sama Mama uang itu dari kamu. Terus aku bilang juga kalau uangnya nggak usah dikembalikan," jawabku santai. Kemudian melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda. Aku melepaskan baju, kemudian mengambil handuk. Rasanya aku sangat lelah seharian ini.

"Kok gitu sih? Kamu tau kan aku lagi butuh uang. Tolong mengerti," sungut Mas Noval kesal.

"Kenapa sih, Mas? Itu uangku kenapa kamu yang sewot? Ingat, Mas. Aku aja tidak pernah ngelarang kamu buat ngasih uang pada Ibu dan Siska. Jangan egois," berangku emosi.

"Kamu yang egois, Kania. Kamu tau kan Siska akan menikah. Dan akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apa yang harus aku katakan pada Ibu nanti malam?" bentak Mas Noval. Jelas ada gurat marah di wajahnya, sekarang saja dia mengepalkan kedua tangannya kuat.

"Aku egois? Aku? Oke kalau gitu aku akan minta uang itu kembali pada Mama. Tapi kamu juga harus meminta semua uang yang sudah kamu kasih pada Ibu. Biar adil, gimana?" tanyaku kesal.

"Ya nggak bisa gitu lah. Kamu itu harusnya tau bagaimana tanggung jawab anak laki-laki pada Ibunya," balas Mas Noval yang semakin membuatku kesal.

"Itu aja terus yang kamu bahas. Bosan aku, Mas. Lagian nih ya, uang yang aku kasih sama Mama itu uangku. Bukan uang kamu, Mas. Jadi jangan ikut campur," tegasku sambil menunjuk kearahnya.

"Oke. Nggak masalah. Nanti juga kalau uangnya nggak cukup, aku akan jual itu tanah kita," ancam Mas Noval sambil menyeringai. Dia pikir aku takut, kamu saja tidak tau dimana sertifikat itu.

"Silahkan," ucapku santai.

"Lagian mau resepsi mahal dan mewah tapi merepotkan orang lain," gumamku pelan. Tapi aku yakin Mas Noval masih bisa mendengar.

"Dia adikku. Lagian malu lah kalau acaranya kecil-kecilan, yang datang itu orang penting semua," jawab Mas Noval lagi.

"Begitulah kalau gengsi sudah di atas akal sehat," ejekku sambil berlalu ke kamar mandi.

"Heran aku sama kamu. Nggak bisa ya kalau kamu nggak ngelawan suami?" marah Mas Noval.

Brak!

Aku menutup pintu kamar mandi dengan keras. Biarlah dia mengomel sendirian di luar. Sekarang aku harus memikirkan bagaimana caranya agar Mas Noval tidak menjual tanah itu. Masak ingin pesta mewah tapi harus menjual tanah segala.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status