Share

Keluargamu bukan Keluargaku
Keluargamu bukan Keluargaku
Penulis: Ilyas One

Pinjam uang

Keluargamu bukan Keluargaku

Part 1

Pov Kania

"Iya, Ma. Mama tenang aja, aku yakin kok Mas Noval pasti bakalan kasih," ucapku pada Mama di telepon.

Pagi ini Mama menelpon, padahal aku baru saja shalat subuh dan ingin memasak nasi goreng untuk sarapan Mas Noval. Tapi karena tidak biasanya Mama menelpon, makanya aku memilih mengangkat telpon dari Mama dulu. Aku khawatir jika terjadi apa-apa, karena sekarang Papa lagi sakit.

"Tapi Mama tetap aja nggak enak, Sayang. Kalian baru menikah satu tahun tapi Mama udah minta pinjaman sama Noval," sahut Mama sungkan.

Mama menelpon karena ingin meminjam uang pada Mas Noval. Untuk pengobatan Papa yang sekarang sakit. Dan butuh biaya yang tidak sedikit. Dulu Mama dan Papa mempunyai usaha tekstil yang cukup maju. Hanya saja karena Papa sakit-sakitan, tidak ada yang mengurusnya.

Aku anak ke dua, anak yang pertama Bang Ruli. Tetapi saat ini dia sedang menemani Istrinya melahirkan. Istrinya orang Turki, jadi mereka lebih memilih melahirkan di sana. Makanya Bang Ruli tidak bisa pulang untuk mengurus usaha Papa.

"Ya Allah, Mama. Nggak banyak itu, karena aku tau uang Mas Noval cukup kalau cuma segitu," jawabku sambil terkekeh.

Aku menjawab begitu bukan karena untuk menyenangkan hati Mama saja. Tapi memang itulah kenyataannya. Uang Mas Noval itu banyak, bahkan jika untuk membeli rumah mewah lagi pun cukup. Karena selain bekerja sebagai manajer di perusahaan besar. Mas Noval juga punya usaha sampingan. Yaitu usaha sebagai pengecer bahan bakar ke seluruh tempat di kota ini.

Makanya setelah menikah dengannya. Mas Noval menyuruhku untuk berhenti bekerja sebagai sekretaris. Dia mengatakan hidupku sudah terjamin di tangannya. Walaupun dengan berat hati, aku memilih keluar dari perusahaan yang sudah memberikan aku banyak pengalaman itu. Demi mengabdi pada suami.

"Kania, mana sarapanku," teriak Mas Noval dari luar. Ah aku sampai lupa jika belum menggoreng nasi untuk sarapannya ke kantor.

"Udah dulu ya, Ma. Nanti aku telpon kalau uangnya udah aku kirim." Tidak menunggu jawab dari Mama, aku langsung mematikan sambungan telepon sepihak. Lalu setelah itu aku langsung berjalan setengah berlari ke arah dapur.

Di sana sudah ada Mas Noval yang sedang duduk di meja makan. Dia sedang menikmati kopi pagi yang sempat aku buat tadi.

"Maaf, Mas. Aku telat, soalnya Mama nelpon," ucapku memberi alasan. Bukankah itu benar, aku memang menerima telepon dari Mama.

"Aku udah telat ini. Kira-kira dong kalau mau teleponan," jawab Mas Noval ketus.

"Iya," balasku sambil merengut lalu mengambil nasi yang sudah aku siapkan tadi kemudian menggorengnya dengan udang. Akhirnya nasi goreng seafood kesukaan Mas Noval jadi. Aku menaruhnya di atas piring dan memberikannya pada Mas Noval.

Dulu semasaasih gadis, aku tidak bisa memasak sama sekali. Karena memang di rumah Mama tidak menyuruhku untuk mengurus rumah. Aku terbiasa bangun pagi, sarapan lalu berangkat ke kantor. Makanya setelah menikah dengan Mas Noval, aku berusaha belajar memasak. Karena Mas Noval tidak suka makanan yang dibeli dari luar. Belum tentu bersih katanya, apalagi jika ada penyedap rasa.

"Dimakan Mas," ucapku pada Mas Noval yang dari tadi asik main ponsel. Entah chat siapa yang dia balas. Aku hanya duduk memperhatikan.

"Ini, Ibu minta kita datang ke rumahnya nanti malam. Katanya Siska akan menikah," jawab Mas Noval yang membuat senyumku mengembang.

"Alhamdulillah," jawabku antusias. Sudah lama sekali rasanya aku tidak bertemu dengan keluarga suami. Karena akhir-akhir ini Mas Noval sangat sibuk. Sehingga kami jarang bisa meluangkan waktu untuk sekedar pulang kerumahnya.

"Ibu juga minta uang untuk biaya pernikahan Siska," ucap Mas Noval lagi. Aku hanya mengangguk kepala mengerti, karena menurutku sama sekali bukan masalah jika keluarga sendiri yang meminta uang.

Bukankah harta yang paling berharga itu adalah keluarga. Jadi uang bukanlah suatu masalah yang berarti bagiku.

"Oh iya, Mas. Tadi Mama juga nelpon. Katanya Papa sakit dan harus cuci darah," ujarku ketika kamu sedang sarapan bersama. 

Mas Noval masih sibuk dengan ponselnya. Padahal aku juga sedang bicara dengannya, begitulah. Mas Noval sangat sibuk, kami bahkan tidak sempat pergi bulan madu dulu karena pekerjaan Mas Noval yang tidak bisa ditinggal.

"Terus Mama minta pinjam uang katanya, Mas. Nggak banyak sih, sekitar sepuluh juta," lanjutku lagi. Walaupun Mas Noval tidak menanggapi ucapanku tadi. Aku tetap melanjutkan pembicaraan. Karena Mama memang sedang butuh uang.

"Mas kamu dengar nggak sih?" tanyaku kesal karena Mas Noval sama sekali tidak menanggapi ucapanku tadi.

"Eh, sori-sori. Gimana tadi?" tanya Mas Noval sambil menyimpan ponselnya di atas meja. Kemudian melanjutkan makan yang sempat tertunda.

"Tadi Mama nelpon, katanya dia mau pinjam uang sama kita. Sepuluh juta, buat Papa berobat," ujarku lagi mengulang ucapan tadi.

"Aku nggak ada uang, Ka," balas Mas Noval yang membuatku berhenti menyuapkan nasi goreng ke dalam mulut. Apa barusan aku tidak salah dengar. Mas Noval tidak ada uang.

"Cuma sepuluh juta lho, Mas. Dan itu juga dipinjam, nanti kalau Mama dan Papa dan yang pasti dikembalikan," sanggahku cepat. Karena selama ini aku tahu jika Mas Noval mempunyai uang yang sangat banyak.

Aku sering melihat buku tabungan Mas Noval yang disimpan di dalam lemari. Bukan hanya satu buku tabungan, tapi banyak. Bahkan isinya itu lebih dari cukup jika hanya meminjamkan uang pada Mama.

"Tetap aja aku nggak ada uang, Nay. Kamu kan tau Siska mau nikah. Dia butuh biaya banyak. Lagian Ibu mana ada uang untuk menanggung biaya pernikahan itu," jelas Mas Noval dengan nada ketus. Aku sungguh tidak percaya mendengar perkataan Mas Noval barusan.

Padahal selama menikah, tidak pernah sekalipun dia memberikan uang pada Mama dan Papa. Karena selama ini Mas Noval selalu berpikir jika Mama dan Papa mempunyai uang sendiri. Dan itu juga tidak menjadi masalah buat Mama dan Papa. Juga buatku, karena selama ini hidup Mama dan Papa juga tidak kekurangan.

Gaji Mas Noval setengahnya diberikan pada Ibu mertua. Untuk biaya hidup mereka katanya. Juga biaya kuliahnya Siska. Sedangkan aku, hanya diberikan sekitar dua juta. Untukku dan kebutuhan dapur. Karena untuk biaya listrik, air dan lainnya dibayar oleh Mas Noval.

Bagiku itu juga tidak menjadi masalah. Karena selama itu tidak mengurangi jatah untukku setiap bulannya. Tapi kali ini aku sangat tersinggung, padahal baru kali ini Mama meminta bantuan kami. Apa yang harus aku jelaskan pada Mam dan Papa jika Mas Noval tidak mau memberikan pinjaman uang.

"Tapi kan nggak akan habis semuanya, Mas. Masak untuk keluargaku kamu perhitungan banget," ketusku kesal. Hilang sudah selera makanku pagi ini. Tega sekali Mas Noval padaku.

"Iya memang nggak habis. Lagian buat apa sih pinjam uang segala. Uang Mama dan Papa kamu kan banyak," balas Mas Noval sengit. Dadaku mulai naik turun menahan emosi. Bagaimana tidak, Mas Noval selalu menyebut begitu untuk orang tuaku. Seolah-olah Mama dan Papa bukan orang tuanya. Padahal selama ini aku selalu menganggap Ibu mertua sebagai Ibu kandungku sendiri.

"Kamu kan tau sendiri usaha Papa lagi nggak berjalan selama Papa sakit. Gimana sih!" 

"Nah kan. Gimana mau balikin uang aku kalau usaha Papa kamu sudah bangkrut begitu," ejek Mas Noval yang semakin membuat darahku mendidih.

"Mas. Tega sekali kamu," bentakku kesal.

"Lah memang benar kan. Tadi kata kamu mereka mau ngutang. Sepuluh juta itu gede, mau bayar pakek apa mereka. Sedangkan kamu tau sendiri usahanya mulai bangkrut," sambung Mas Noval lagi yang kembali mengejek kedua orangtuaku.

"Tega kamu, Mas. Orang tuaku itu juga orang tua kamu, Mas. Lagian uang ini untuk pengobatan Papa."

"Dengar Kania! Kamu itu sudah menjadi istriku. Yang jadi tanggung jawabku itu kamu. Bukan orang tua kamu. Kalau aku mau memberikan uang pada Ibu dan Adikku. Itu hakku, lah uang juga uangku. Mereka itu orang tua kamu. Bilang sama mereka, jangan jadi beban dong buat kita," maki Mas Noval yang membuat seluruh sendiku lemas. Beginikah sifat laki-laki yang sudah menjadi suamiku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status