Share

Uang bersama

Keluargamu bukan Keluargaku

Part 5

POV Kania

Setelah selesai makan, seperti biasa aku dan Sonya membereskan piring kotor dan sisa makanan. Kadang aku berpikir jadi menantu itu seperti menjadi seorang pembantu. Bagaimana tidak, ketika kami kesini. Ada saja pekerjaan rumah yang harus kami kerjakan. Seperti membuang sampah, menyapu, mengepel dan bahkan mencuci piring kotor bekas Siska makan.

Jika piring kotor itu milik Ibu tidak apa. Tapi ini milik Siska, yang notabene sudah dewasa dan bisa mengerjakannya sendiri. Dulu hal seperti ini sama sekali bukan masalah untukku. Tali setelah pertengkaran tadi dengan Mas Noval. Membuatku tersadar, jika aku tidak harus menganggap keluarganya seperti keluargaku.

Mungkin laki-laki akan menganggap sepele setiap pertengkaran yang terjadi antara dia dan istrinya. Tapi tidak bagi wanita, aku akan ingat sampai kapanpun semua perkataan dan peristiwa yang membuatku sakit hati dan kecewa.

"Bicaralah, ungkapkan semua uneg-uneg itu," ucapku pada Sonya saat kami sedang mencuci piring kotor. Seperti biasa, dia yang mencuci sedangkan aku yang membilas.

"Bicara apa? Ucapan wanita miskin sepertiku tidak berguna untuk mereka," jawab Sonya tanpa melihatku. Kuhembuskan nafas panjang, benar yang dikatakan oleh Sonya. Mereka tidak akan sudi mendengar keluh kesah Sonya dan Mas Seno. Karena bagi mereka, Sonya bukanlah keluarga.

"Ayolah. Setidaknya mereka harus tau kamu tidak bisu," imbuhku lagi yang membuat Sonya tersenyum. Selalu begini, dia akan lebih memilih diam dan mengalah. Karena katanya Mas Seno tidak ingin membuat Ibu murka. Mungkin inilah definisi istri Soleha. Tapi tidak bagiku, entah kenapa jika aku tidak mencela hal yang menurutku di luar kewajaran. Aku tidak akan bisa tidur dengan nyenyak malamnya.

Setelah selesai dengan perkakas dapur, aku dan Sonya kembali ke ruang keluarga. Dengan membawa teh manis hangat, aku berjalan pelan ke tempat Mas Noval dan Ibu kumpul. Begitu juga dengan Sonya, dia membawakan kue kering di tangannya. Kue yang aku beli ketika ke sini tadi.

"Silahkan diminum dulu, mumpung masih hangat," ucapku pada mereka semua. Entah apa yang mereka bicarakan tadi, tiba-tiba mereka semua diam ketika aku dan Sonya sampai. Aku memilih duduk di dekat Mas Noval, sedangkan Sonya duduk di dekat Mas Seno.

"Jadi Seno, kamu harus tetap menyumbang. Kalau kamu tidak punya cukup uang, sebaiknya kamu ngutang atau pinjam dulu di kantor," ucap Ibu sambil kemudian mengambil satu cangkir teh dan menyesapnya pelan. Setelah selesai, Ibu kembali menaruh gelasnya di atas meja. Sehingga menimbulkan bunyi ketika gelas keramik itu bertemu dengan meja kaca.

"Tapi, Bu. Lima puluh juta itu terlalu besar untuk kami," sela Mas Seno lembut. Lima puluh juta, aku saja syok mendengar ucapan Ibu barusan. Uang lima puluh juta itu jika disuruh cari sekarang di era ini. Bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan atau bahakan satu tahun jika pegawai kantoran biasa.

Bagaimana bisa Ibu mengungkapkannya dengan begitu santai. Apa dia tidak memikirkan bagaimana caranya Mas Seno mendapatkan uang itu.

"Kan Ibu sudah bilang tadi. Kalau kamu nggak cukup uang, sebaiknya kamu pinjam dulu sama orang atau kantor. Atau paling tidak kamu bisa menggadaikan tanah warisan," balas Ibu. Dan lagi-lagi ucapannya membuatku harus mengurut dada.

"Ya nggak bisa gitu juga, Bu. Hanya itu satu-satunya kenangan dari Ayah. Aku nggak bisa menggadaikannya begitu saja," jawab Mas Seno lagi sendu. Dar raut wajahnya terlihat jelas jika dia sangat keberatan untuk memberikan lima puluh juta itu. Jelas keberatan, karena uang tidak ada ditangan.

"Jadi Mas Seno nggak mau nyumbang untuk pernikahan aku?" tanya Siska yang tiba-tiba keluar dari kamarnya. Penampilannya sedikit pucat, benar kata Ibu. Siska sepertinya sedang sakit.

Kami semua sontak melihat ke arah wanita yang sedang memakai baju piyama bercorak bunga. Siska kemudian berjalan ke arah kami semua. Kemudian duduk di samping Ibu dan bergelayut manja. Kami sebenarnya seumuran, hanya saja dia tetap harus memanggilku dan Sonya Kakak. Karena kami menikah dengan Abangnya.

"Bukan begitu, Siska. Kamu kan tau sendiri kalau Mas nggak ada uang sebanyak itu," bela Mas Seno menjelaskan.

"Tapi kan benar kata Ibu tadi. Harusnya Mas Seno minjam kek," seru Siska lagi dengan wajah ditekuk. Terdengar helaan nafas dari mulut Mas Seno.

"Udahlah, Bu. Kan dari awal aku udah bilang. Jangan mengharapkan uang dari Mas Seno. Dia nggak ada uang, biar aku saja yang menanggung semuanya," sahut Mas Noval yang membuatku terkejut. Mudah sekali dia berkata begitu sama keluarganya sendiri.

Padahal baru tadi pagi kami bertengkar masalah ini. Jelas sekali kalau Mas Noval sangat perhitungan dengan keluargaku. Sedangkan pada keluarganya sendiri sangat royal. Padahal pengobatan Papa jauh lebih darurat ketimbang pesta pernikahan Siska yang masih satu bulan lagi.

"Lihat, Seno. Adikmu, bagaimana dia bisa mengelola keuangan dengan baik. Jadi pas Ibu dan Siska butuh begini, dia selalu ada untuk kami," puji Ibu yang membuat Mas Noval tersenyum bangga.

"Iya, semoga Noval selalu sukses dan mudah rejeki," sahut Mas Seno lesu, tapi dia tetap menyunggingkan senyum paksa. 

"Jadi kira-kira semuanya habis berapa?" tanya Mas Noval pongah. Aku hanya bisa mencaci maki Mas Noval di dalam hati. Begini rupanya sikap kamu, Mas. Aku masih tidak menyangka jika sifat asli kamu seperti ini.

"Beneran, Mas? Mas mau penuhi semuanya?" tanya Siska antusias. Jelas dia antusias, pernikahan mewah tapi gratis. Siapa juga yang bakal menolaknya.

"Iya, kamu tinggal bilang aja apa-apa saja yang kamu butuhkan. Nanti Mas akan penuhi semuanya," jawab Mas Noval lagi yang membuat Ibu dan Siska kegirangan.

Mas Noval mengambil keputusan sendiri tanpa meminta persetujuan dariku. Karena selama ini dia berpikir jika hanya dia yang bekerja. Sedangkan aku dirumah tidak melakukan apa-apa. Sonya melirik ke arahku, entah apa yang dia pikirkan. Tapi aku tidak akan diam seperti dia.

"Makasih, Mas. Kamu memang Abang terbaik," puji Siska sambil memeluk Mas Noval lagi.

"Memangnya kamu punya banyak uang, Noval?" tanya Mas Seno yang membuat Mas Noval melihat kearahnya.

"Punya dong, Mas."

"Kira-kira butuh berapa biaya pernikahannya?" tanya Mas Noval lagi pada Ibu.

"Kalau secara kasar mungkin lebih seratus juta deh. Karena anak teman Ibu habisnya juga segitu," jawab Ibu santai. Aku hanya melongo mendengar nominal yang dikatakan oleh Ibu.

Kulirik ke arah Mas Noval, wajahnya juga sedikit tegang. Karena mungkin dia tidak menyangka biayanya akan habis sebanyak itu. Apalagi tadi pagi dia sudah mengembalikan uangku yang lima puluh juta. Aku yakin dia tidak akan ada yang segitu. Karena selama ini gajinya sudah habis untuk kebutuhanku, Ibu dan Siska. Belum lagi biaya kuliah Siska yang sangat mahal.

Padahal dia sudah kuliah sekitar lima tahun, tapi belum ada kabar jika dia akan lulus atau wisuda. Entahlah, aku juga tidak ingin ikut campur selama dia tidak mencampuri urusanku.

"Seratus juta?" tanya Mas Noval mengulang lagi jawab dari Ibu tadi.

"Iya, tapi bisa jadi lebih. Karena nanti kita akan jahit baju seragam keluarga. Belum lagi Siska mau bajunya dijahit oleh desainer ternama. Belum biaya katering dan pelaminan. Biaya fotografer dan tetek bengeknya," jawab Ibu lagi mengatur semuanya. Aku hanya bisa tersenyum sinis mendengar Siska mau menjahit baju pada desainer ternama.

Aku saja dulu hanya menyewa baju untuk menikah dengan Mas Noval. Bukan tidak punya uang, tapi aku berpikir. Untuk apa menjahit baju mahal-mahal tapi digunakan untuk sekali pakai. Setelah itu, baju yang harganya puluhan juta itu akan disimpan di dalam lemari.

"Kenapa, Mas? Kamu nggak punya uang ya?" tanya Siska dengan raut wajah sedih. Mungkin dia bertanya seperti itu karena melihat Mas Noval yang masih diam. Tidak terlihat seantusias tadi.

"Ada, tapi kayaknya nggak cukup. Karena kemarin udah dipinjam sama Kania," jawab Mas Noval melihatku. Tentu saja aku terkejut mendengar penuturannya barusan. Sekarang semua mata tertuju ke arahku.

"Maksud kamu apa, Mas?" tanyaku pada Mas Noval meminta penjelasan.

"Kan kemarin kamu minta uang padaku lima puluh juta untuk pengobatan Papa kamu. Iya kan?" tuduh Mas Noval lagi padaku. Banyak sekali kejutan malam ini, entah bagaimana bisa selama ini aku tertipu dengan tampang Mas Noval yang polos.

"Kok banyak banget sih? Mana mau dipakek buat pesta aku lagi," rajuk Siska dengan wajah merengut.

"Iya, Kania. Kenapa harus pinjam segala. Kan Papa dan Mama kamu banyak uang," tanya Ibu lagi dengan tampang tidak suka.

"Kok Ibu tanyanya gitu sih? Ya wajar kalau Mama dan Papaku minta pinjam uang buat pengobatan. Lah aku anaknya," jawabku kesal. Ternyata penyakit satu keluarga ini sama saja. Padahal aku cuma transfer sepuluh juta saja untuk Mama. Sisanya masih ada di rekeningku. Karena hutang Mas Noval memang hanya lima puluh juta. Itu artinya masih ada sisa empat puluh juta lagi di tabungan. Itu adalah uang hasil tabungan selama aku bekerja di kantor Pak Sugiono dulu sebelum menikah.

"Ya itu terlalu banyak. Seharusnya Mama sama Papa kamu mengerti. Kalau uangnya mau dipakai untuk pestanya Siska," sanggah Ibu.

"Jadi menurut Ibu pestanya Siska lebih penting dari pengobatan Papaku?" tanyaku menantang.

"Kania. Jaga omongan kamu, jangan bicara keras-keras sama Ibuku," bentak Mas Noval sambil menarik tanganku.

"Sekarang tolong jelaskan pada Ibu dan semua yang ada di sini. Kalau uang yang aku berikan pada Mama adalah uangku. Bukan uang kamu, Mas!" aku membentak balik Mas Noval di depan keluarganya sendiri. Sonya sampai terperangah melihatku marah-marah. Begitu juga Ibu dan Siska, karena selama ini aku tidak pernah marah-marah pada Mas Noval.

"Maksud Kania apa, Noval?" tanya Ibu tidak mengerti. Jelaslah dia tidak mengerti, yang dia tau selama ini kan hanya anaknya saja yang punya uang.

"Nggak tau, Bu. Apa maksud kamu, Kania? Kamu lupa atau amnesia," ejek Mas Noval yang semakin membuatku marah.

"Yang amnesia itu kamu, Mas. Kamu ingat nggak pernah minjam uangku dulu untuk buka usaha. Dan sekarang aku ambil kembali karena orangtuaku lagi butuh," cercaku lagi.

"Kania! Mana ada pinjam meminjam dalam ikatan rumah tangga. Semua uang itu ya milik bersama. Dan itu 0. Kok kamu perhitungan gitu sih sama suami sendiri!" bentak Ibu.

Dari mana asalnya uang istri adalah yang suami?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
ITSXHERO GTI
mirip yg ak alami
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status