Share

Ibu mertua

Keluargamu bukan Keluargaku

Part 4

POV Kania

"Kamu sudah siap?" tanya Mas Noval saat aku sedang menyisir rambut.

"Hampir ini," jawabku singkat. Aku terus menyisir rambut tanpa melihat ke arahnya. Masih kesal rasanya, mengingat semua kelakuan dan perkataan dia padaku tadi.

"Jangan lama-lama, kita makan malamnya di sana aja. Katanya Ibu udah masak buat kita," ucap Mas Noval lagi yang hanya aku balas dengan anggukan. Kemudian dia langsung keluar dari kamar.

Setelah semuanya selesai, aku mengambil tas kecil di dalam lemari. Kemudian mengisinya dengan ponsel dan dompet. Kulihat sekali lagi penampilankh di cermin, rasanya aku masih cantik. Aku berjalan ke luar kamar untuk menemui Mas Noval yang mungkin sudah menungguku dari tadi.

"Kamu tenang aja, ini kami mau berangkat." Mas Noval berbicara di telepon. Entah dengan siapa dia bicara, membuat jiwa wanitaku meronta-ronta rasanya. Jelas aku penasaran, dia kan suamiku. Kalau dia sampai selingkuh seperti di novel-novel gimana.

"Mas, siapa yang nelpon?" tanyaku setelah melihat Mas Noval mematikan sambungan teleponnya.

"Siska. Dia tanya kita udah pergi apa belum. Soalnya mereka udah lapar nungguin kita," jawab Mas Noval kemudian berlalu begitu saja dari hadapanku. Aku hanya mencebikkan mulut ketika melihat sikap Mas Noval yang semakin membuatku kesal.

Sepanjang perjalanan menuju ke rumah Ibu tidak ada satu katapun yang keluar dari mulutku. Aku lebih memilih diam dan menikmati pemandangan malam. Begitu juga dengan Mas Noval, dia lebih memilih diam dan fokus menyetir.

Aku sudah memikirkan bagaimana caranya agar tanah itu tidak harus dijual. Tanah itu atas namaku, jadi jika Mas Noval ingin menjual tanah tersebut. Harus aja persetujuan dariku, entah bagaimana nanti respon Ibu dan Siska. Selama ini mereka bersikap cukup baik padaku.

Sama dengan sikap Mas Noval sebelum Mama meminta uang untuk pengobatan Papa. Tapi sifatnya bisa langsung terlihat dalam sekejap mata. Dia sangat perhitungan dengan keluargaku, tapi sangat royal dengan keluarganya sendiri.

"Nanti kamu nggak usah kasih komentar apa-apa. Cukup diam dan jadilah Istri yang penurut," ucap Mas Noval saat kami sudah sampai di depan rumah Ibu. Aku langsung turun tanpa menanggapi perihal ucapan Mas Noval barusan. Jadi untuk apa aku kemari jika memberikan saran atau komentar saja tidak boleh. Untuk jadi pajangan, ah aku terlalu cantik untuk itu.

"Akhirnya kalian sampai juga," sambut Ibu saat melihat kami memasuki rumah. Kusambut pelukan Ibu sambil tersenyum ramah. Begitu juga dengan Mas Noval, akhirnya kami langsung masuk untuk menikmati makan malam.

Ternyata di dalam sudah ada Maa Seno dan Istrinya. Mas Seno adalah anak angkat Ibu dan Ayah mertua. Tapi dia sudah dianggap seperti anak sendiri di rumah ini. Dulu Ibu katanya susah memiliki anak, atau istilahnya telat hamil. Makanya Ibu memilih Mas Seno sebagai anak pancingan. Tidak lama setelah mengadopsi Mas Seno, akhirnya Ibu hamil Mas Noval.

"Eh, Mas. Udah lama nyampenya?" tanya Mas Noval pada Mas Seno yang sudah duduk di meja makan.

"Baru aja, ini baru duduk di sini," jawab Mas Seno sambil tersenyum ke arah kami berdua. Aku memilih duduk di dekat Mas Noval. Sementara Ibu duduk paling ujung meja, tapi Siska sama sekali tidak kelihatan.

"Siska mana, Bu?" tanyaku pada Ibu saat kami sudah duduk di meja makan.

"Tau tuh, tadi dia udah di sini. Tapi tiba-tiba muntah, terus badannya juga panas banget. Kayaknya dia sakit," jawab Ibu menyendokkan nasi ke dalam piring.

Sudah menjadi kebiasaan di keluarga Suamiku, jika sedang makan maka kami akan mengobrol santai. Atau membahas sesuatu yang dianggap penting. Jadi yang terdengar di saat makan bukan hanya dentingan sendok dan garpu.

"Udah periksa belum, Bu?" tanya Sonya–istri Mas Seno.

"Belum, karena barusan Siska sakitnya," jawab Ibu lagi.

"Memang sekarang lagi musim kayaknya deh, aku juga kemarin sempat sakit. Tapi Alhamdulillah nggak drop banget. Karena langsung ada obat," timpal Mas Seno.

"Kalian tau kan kenapa Ibu nyuruh kalian kemari?" tanya Ibu pada kami semua setelah beberapa menit hening.

"Tau, Bu." Hanya Mas Noval yang menjawab, sedangkan kami hanya membalasnya dengan anggukan.

"Kamu mau nyumbang berapa, Seno. Untuk pernikahannya Siska?" tanya Ibu pada Mas Seno. Aku tetap fokus dengan nasi di depan. Bagiamana pun perut tetap harus terisi walaupun hati tersakiti.

"Memangnya Siska mau menikah sama siapa, Bu?" tanya Mas Seno tanpa menjawab pertanyaan Ibu.

"Sama pacarnya katanya. Anak orang kaya, katanya dia punya perusahaan sendiri," jawab Ibu antusias. Tidak henti-hentinya Ibu menyunggingkan senyum. Mungkin Ibu merasa sangat bangga karena Siska mendapatkan calon suami orang kaya.

"Ibu udah selidiki belum. Baik nggak dia? Akhlaknya, sama ibadahnya," balas Mas Seno lagi yang membuat Ibu mencebikkan mulutnya.

Mas Seno memang lebih berwibawa daripada Mas Noval. Malah dia tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Beserta kewajiban yang lain, bisa dikatakan jika Mas Seno adalah laki-laki idaman. Pantas saja Almarhum Ayah mertua sangat menyayangi Mas Seno.

Bahkan Ayah mertua memberikan warisan yang sama untuk ketiga anaknya. Padahal Mas Seno adalah anak angkat. Itulah sebabnya Ibu, Mas Noval dan Siska tidak terlalu menyukai Mas Seno. Bisa dikatakan jika mereka semua iri karena Ayah mertua lebih menyayangi Mas Seno.

Apalagi Mas Seno juga menikahi Kak Sonya. Menurut cerita Mas Noval, dulu Ibu tidak menyetujui pernikahan Mas Seno dan Kak Sonya. Karena Kak Sonya hanya berasal dari panti asuhan. Tidak ada keluarga ataupun orangtua. Dia dibesarkan di panti asuhan sampai dia menikah dengan Mas Seno.

"Ya pasti baiklah, Seno. Dia itu berasal dari keluarga yang jelas bibit bebet bobotnya. Bukan anak pungut," sindir Ibu pada Mas Seno dan Sonya.

Sontak gerakan tanganku terhenti, padahal yang sindir oleh Ibu bukan aku. Tapi entah kenapa rasanya hatiku juga ikutan sakit. Kulirik sekilas ke arah Mas Seno dan Sonya. Terlihat Mas Seno memegang tangan Sonya, aku iri. Andai saja Mas Noval seperti Mas Seno.

"Kalau kamu nggak punya banyak uang untuk nyumbang. Nggak masalah, ada Noval yang akan nanggung semuanya. Iyakan, Nak?" tanya Ibu menatap Mas Noval yang masih makan.

Entah mengapa perasaanku jadi tidak enak. Entah apa yang akan terjadi jika aku membantah Ibu dan Mas Noval. Mungkin nasibku akan sama seperti Sonya. Yang akan dibenci oleh mertua sendiri. Tapi sama sekali bukan masalah bagiku. Mungkin dulu iya aku selalu menuruti semua kemauan Ibu. Tapi sekarang, ogah. Anaknya saja tidak menganggap Mama dan Papaku orangtuanya sendiri.

"Iya dong, Ma. Jelas itu," jawab Mas Noval pongah.

"Memangnya resepsi pernikahan Siska bakalan mewah banget ya, Bu?" tanyaku pada Ibu.

"Iya dong, kan dia anak bontot. Malu kalau nikah kecil-kecilan. Memangnya kalian nggak malu kalau teman-teman kalian datang tapi pestanya kayak acara syukuran?" sela Ibu dengan nada sinis. Aku tau Ibu sedang menyindir Mas Seno dan Sonya. Karena mereka dulu menikah hanya dengan acara syukuran saja. Aku hanya mengelus dada mendengar ucapan Ibu.

Tega sekali Ibu menyindir Mas Seno dan Sonya dengan kata-kata pedas. Padahal Mas Seno dan Sonya sangat baik pada Ibu.

"Iya, Mas. Benar kata Ibu, aku malu kalau rekan kerjaku atau Bosku kesini. Tapi acaranya kayak acara tahlilan," ledek Mas Noval lagi yang semakin menyudutkan Mas Seno.

"Nah itu benar. Siska itu anak kuliahan, teman-temannya pasti banyak yang datang. Apalagi Siska itu kan nikahnya sama anak orang kaya, nggak mungkin kan kita sajikan makanan ala tahlilan," sahut Ibu lagi yang dibarengi tawa pecah Mas Noval. Aku hanya mengelus dada yang terasa nyeri. Ternyata begini kelakuan wanita yang selama ini aku hormati.

Aku jarang bercengkrama dengan Ibu dan juga Siska. Jadi aku tidak terlalu tau bagaimana sifat mereka yang sebenarnya. Karena aku sudah mengatakan pada Mas Noval, jika sesudah menikah aku maunya langsung tinggal di rumah sendiri. Tidak harus satu atap dengan mertua ataupun Mamaku.

"Kalau memang Ibu punya banyak uang dan tabungan, aku sih nggak masalah. Malah senang, berarti nanti aku bisa ngundang teman-temanku," imbuhku lagi. Kemudian aku mengambil tisu dan mengelap sedikit tangan yang terkena saus.

"Makanya Ibu ngundang kalian kemari. Ya untuk membicarakan hal ini," sambung Ibu. Aku tahu kemana arah pembicaraan Ibu sebenarnya. Hanya saja aku berusaha santai dan sok polos. Jika memang Mas Noval mau memberikan semua uangnya untuk resepsi pernikahan Siska. Silahkan, lagian itu juga bukan uangku. Hanya saja aku seperti kurang rela jika Mas Noval harus menjual tanah demi gengsi.

"Aku paham kok. Aku dan Sonya akan memberikan uang semampu kita. Karena Ibu tau sendiri bagaimana keuangan kami," terang Mas Seno tenang.

Dari tadi Sonya terlihat lebih pendiam dari biasanya. Aku tau bagaimana perasaannya saat ini. Pasti sangat muak dengan semua anggota keluarga di sini. Tapi sayangnya dia terlalu sabar menghadapi Ibu dan Siska. Seandainya aku ada di posisinya, mungkin saat ini Ibu sudah tidak bisa lagi berbicara karena kuberi ra*cun tikus.

"Ya nggak masalah. Lagian Ibu masih ada Noval yang bisa Ibu andalkan," jawab Ibu meremehkan Mas Seno. Lagi-lagi kulihat wajah Sonya dan Mas Seno berubah masam. Malam ini, akan aku tunjukan pada Sonya bagaimana menghadapi keluarga suami. Ah ayolah jadi Istri yang sedikit tegas dan kejam, untuk apa menahan diri untuk sabar jika harga diri sudah diinjak-injak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status