Share

Sepertiku

"Owalah, apa pesanannya dibatalkan ae ya, Lif?"

Aku menduduki rotan yang di sebelah timurnya tempat Umi duduk. 

"Mboten bisa kayaknya, Umi. Kan sudah terlanjur di bayar lunas." 

"Iya c, Lif."

"Nggih, Umi. Sementara pakai bahan dapur yang tak beliin ini."

Aku sudah lama tak membelanjakan barang dapur untuk pesantrennya Abah Umiku ini, mungkin sudah lewat dua bulan kalau aku hitung dari terakhir pengeluaran di dompet keuanganku. 

Aku baru tahu, harga-harga barang dapur pada naik drastis. Terutama telur sama beras. Kalau beras, alasannya naik katanya banyak petani yang lagi gagal panen. Kalau telur, katanya ada yang bilang banyak ayam yang pakannya mahal, kalau tidak begitu ada banyak peternak ayam yang kehilangan ayamnya karena penyakit unggas. 

Abah sama Umi mungkin agak pontang-panting saat belanjain barangnya pesantren di dua bulan terakhir ini. Kalau tahu begini, aku tidak akan ikut rapat di Wonogiri sama teman-teman guru. Tetapi kalau tidak ikut juga, aku pasti juga akan ketinggalan materi buat pembelajaran kurikulum baru buat semester depan. 

"Lif, Mafayzah tadi ke sini. Dia mau pamit buat ke rumah neneknya yang di Tenggang Timur." 

Hatiku seperti melompat-lompat kalau mendengar Mafayzah katanya ke mari, tetapi langsung agak kecewa mendengar kalau ke sininya lagi pamit dan tidak ketemu sama akunya langsung. 

"Sekarang Mafayzah sudah berangkat, Umi?" 

Umi mungkin tahu kangennya aku ke Mafayzah seperti apa? Bagaimana lagi, dia barusan lulus kuliah beberapa bulan kemarin dan bulan itulah aku bertemu dengannya setelah empat tahun lamanya. 

Rasanya senang, berasa pingin langsung meluk. Cuma aku sadar diri, aku tidak bisa melakukan itu karena aku sama Mafayzah belum halal. Kalau bukan karena amanah Abah Umiku, aku pasti sudah jadikannya permaisuri hatiku. Melamarmya terus menikahinya. 

"Ya wes toh, Lif. Tadi dianya ke sini ituloh samean e barusan berangkat selisih lima menitan. Sekarang mungkin sudah naik kereta."

Aku menggeleng kepala. Serasa menyesal kalau tadi langsung cepat-cepat ke toko pusat. Tahu kalau Mafayzah mau pamit aku pasti tunggu bentar. Mungkin dianya sudah ngirim pesan, cuma karena gawaiku mati jadi belum bisa lihat pesannya. 

"Nggih, mungkin sudah separuh perjalanan Umi. Kalaupun nunggu kulo juga, pasti lama. Tadi soalnya juga ngurusin kebutuhan dapur. Niatnya cuma beli garam sama kecap yang Umi suruh, tapi berhubung toko pusat langganannya Abah belum bisa ngirim ya harus beli keperluan dapur sementara di toko lain. "

"Gak popo, Lif. Lain kali ketemu lagi." 

"Nggih.."

***

Neng Lia

Secercah impian kian mengena. 

Seberkas kesempurnan mulai tercipta

Bukan hanya sekedar fatamorgana

Namun kegemilangan yang kan jadi nyata

Di sini …

Di lubuk hati ini

Kamu kan tumbuh dengan keindahan tak terperi

Membawa kesejukan yang membuat lupa diri

Dan kan menepi

Jika tak disayangi

Kurang dicintai

Apakah engkau mengerti?

Segala rasa dalam sanubari

Yang memintamu tuk hadir di sini

Tuk menenemani

Agar mengasihi

Karenamu .…

Ku jadi begini

Kuharus dapatkanmu

Apapun yang terjadi!

Kenapa aku membaca puisi ini, seolah puisi ini untukku? Siapa yang membuatnya? Semua karangan puisi yang aku buat, aku tidak pernah menemukan puisi yang seindah ini. 

"Neng, lhang siap-siap. Katanya papi suruh balik pesantren nanti malam loh!" Adikku Tika mengingatkanku, kali ini dia teriak dari Ruang tengah. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status