"Iya, ini, kalau ngirim pesan ke Ibunya Mafayzah saja. Kalau ke Ayahnya Mafayzah jam segini kurang sopan, Lif. Nanti juga biar Ibunya Mafayzah yang akan ngasih tahu ke Ayahnya Mafayzah." "Nggih, Umi."***Bukankah Mafayzah cantik? Hanya saja kalau seperti ini aku tak melihat cerewetnya seperti apa. Ketika matanya terpejam, seakan kediaman bagai membungkamnya. Inikah istri yang kelak akan menjadi Ibu dari anak-anakku? Lantas aku kapan menghalalkanmu? Mafayzah itu sabar, seperti halnya istri nabi. Tetapi aku tak bisa sabar seperti nabi. Beberapa kali hatiku bergejolak berasa ingin menyentuhmu, apalagi ingin memberikan kecupan pertamaku. Hanya saja aku tahu, aku tak akan bisa sebelum pada akhirnya kita sah pada jalur nikah. Ah, bagaimana aku bisa meninggalkanmu. Jasamu pada Abah itu berharga, bahkan aku tak mengira bahwa peristiwa seperti tadi mampu terjadi. Dan aku bersyukur ada malaikat sebaik dirimu yang membantu Abahku. "Mas, pean sejak kapan di sini? Aku pamit pulang ya ...."
Gadis itu entah kenapa bisa terpental dengan mobil yang terbakar itu. Aku pun tak mengerti, bagaimana kronologi jelasnya. Namun aku yakin, dia pasti masih merasa kesakitan."Nggih, Umi.""Tidak usah repot-repot, Umi. Kulo bisa pulang sendiri." Mafayzah yang merapikan mukenahnya Umi, sepertinya tidak sengaja mendengar keputusan Umi yang menyuruhku untuk mengantarkannya pulang. Dia tahu sendiri, kalau aku orangnya bagiamana? Apapun perintah Umi, tidak kan pernah aku tolak selama perintah itu mengandung kebaikan. "Halah, Nduk. Diantar Alif saja loh, naik angkutan umum itu mahal. Apalagi rumahmu ke rumah sakit ini cukup jauh." "Ya sudah, kulo patuh ke Umi saja. Biar Mas Alif yang ngantar.""Nah, begitu lak enak. Lif, cepat anterin pulang!" ***Pagi ini, rumah sakit sudah sangat ramai kunjung. Sampai parkiran mobil saja sudah sangat penuh."Mas, pean masih mencintai aku?"Hampir saja Mafayzah membuatku tersedak. Kenapa juga dia menanyaiku dengan pertanyaan itu? Apa karena tadi malam ak
Gus Iqbal "le, yang daftar jadi santri di pesantren kita makin banyak ya?" Umi menghampiriku yang tengah menikmati secangkir kopi moka yang panas. Hari ini, sebenarnya aku menginginkan untuk meminum kopi hitam, hanya saja aku cari di dapur tidak ada. Dan di dapur, yang ada hanya kopi susu sama kopi moka dalam kemasan instan. Maka kupilih yang ada di dapur saja. Dari pada, tidak meminum kopi sama sekali. Lantai tiga, bagaikan tempat bersantai paling nyaman. Angin seakan berembus dua kali lipat. Dan di sini, dapat pula menikmati pemandangan lautan biru kehijauan bersama pasir putih yang berjarak kurang lebih delapan hingga sepuluh kilo dari sini. Meski sesaat di balik kediaman yang melambat. Dan waktu yang memang terasa berjarak. Panorama yang terlihat, seakan mengambil jenuh yang pernah berpijak. "Nggih e Umi, Kulo sampai kebingungan buatin data sebanyak itu. Apa perlu kita buat tarjet tetap di setiap tahun? Kalau kita, tidak membatasi jumlah santri bisa-bisa kita semakin banya
Umi adalah guru Madrasah Diniah juga, sama sepertiku. Hanya saja, Umi mengajar di bagian kitab dasar seperti kitab alala dan kitab safinatun najah. Tetapi Umi belakangan ini tidak begitu sepenuhnya untuk mengisi jam pelajaran yang ada di Madrasah Diniah, karena Umi juga sedang sakit. Alhasil, terkadang kelas Umi banyak jam kosongnya. Dan bila ada waktu, akulah yang mengisi kelasnya Umi. "Iya, tapi nanti bukannya samean itu mau mrivat anaknya Abah Haris?" "Anaknya Abah Haris sedang ingin libur katanya, Umi. Tadi pagi sempat mengirim pesan!" Umi masih ingat saja siapa murid yang aku privat untuk pelajaran bahasa inggris. Padahal Umi juga lama tidak aku bilangin kalau habis dari kantor aku langsung mampir untuk mrivat. Sebenarnya sudah lama aku membuka diri untuk mengajar privat dengan cara mendatangi rumah dari anak yang aku privat tersebut. Dan sebenarnya sudah lama juga, aku ingin berhenti untuk mengajar privat karena kalau jadwalku padat seperti ini, ujung-ujungnya malam langsun
*** Neng Lia "Mbak, besok hari balik ke pesantren. Kalau mbak mau balik besok, atau nanti sore?" Pagi yang sedingin ini, dia sudah sampai di rumahku dan langsung menanyakan kapan aku kembali ke pesantren. Sementara aku yang ditanyai, masih belum mempersiapkan apa-apa. Bagaimana tidak? Kesibukan pada pagi hari ini belum semuanya terselesaikan. Aku yang memang setiap hari bangun lebih awal, menjadi tidak sempat membaca alquran karena harus terlebih dahulu mengurus rumah yang mirip kapal pecah. Belum lagi, membereskan mainan adikku yang berserak di mana-mana. Meja yang dibiarkan lusuh dan taplaknya entah ke mana. Dan sofa yang muasalnya bersudut menjadi pola yang entah itu apa namanya. Aku juga harus mampir ke dapur, dan seketika itu pun, aku melihat piring-piring bekas makanan yang berpesta pora. Melihat pula gelas kotor di mana-mana, sehingga meja dapur bagai tidak terlihat lagi permukaannya. Bila mampir ke kamar TV, isinya cucian berbak-bak besar yang mulai menggunung da
Aku masih mengingat benar, sebuah tekadku yang ingin belajar dan mengarumi dunia pesantren saat Madrasah Ibtidaiyah. Entahlah, saat itu gerangan apa yang membuatku memiliki tekad yang seperti itu. Padahal waktu itu, usiaku masih belum seberapa. Bahkan belum masuk syarat awal untuk berada di pesantren. Sampai karena tekad itulah, Papi rela mencarikan pesantren yang di mana pesantren itu mau menerimaku. Lalu tidak lama, sepekan berlalu dan Papi akhirnya menemukan pondok pesantren Al-Qomar. Namun sayangnya, aku juga masih belum bisa memasuki pesantren tersebut. Karena umurku yang memang masih benar-benar kurang. Setidaknya pesantren saat itu memberikan kesempatan untuk lebih cepat masuk pesantren, dan itu adalah peribtah untuk menunggu satu tahun lagi agar bisa masuk ke pesantren. Iya, aku kelas lima Madrasah Ibtidaiyah. Dan memang benar, pada kelas lima itulah aku mengarumi dunia pesantren. Aku santriwati yang paling minim usinya, bahkan melewati batasan minim. Tetapi aku bangga
"Mbak, bagaimana kalau aku tidak lanjut mondok lagi, biar bisa pulang ke rumah setiap hari tanpa harus nunggu jadwal sambang?" Benar bukan? Tidak salah. Sudah aku duga juga Zizi akan melanjutkan pembicaraannya tentang itu. Aku juga bingung sama Zizi, apakah dari awal dia ke pesantren tidak ada niat sama sekali? Atau memang ada niat, tetapi bukan niat mencari ilmu, tetapi semata-mata karena menuruti keinginan orang tuanya. "Ke pesantren saja Zi, bukannya malah repot sendiri, harus bolak-balik jalan untuk sekolah pagi iya, kan? kamunya nanti akan kurang pondasi kalau ke pesantrennya tidak dilanjut. Tetap lanjut saja, Zi ...." "Mbak, di pesantren itu banyak masalah ini itu." Aku menatapnya kembali, setelah beberapa detik ada keheningan berpadu di antara kami. "Ada masalah ya diselesaikan, aku malah bolak-balik terkena masalah tetapi aku coba selesaikan baik-baik. Tapi kalau kamu, masalah seperti apa memang?" "Ya pokoknya masalah dari Mbak-mbak kamar. Ada saja yang diributkan, en
"Baru tahu, kalau laki-laki sepintar dirimu harus berbelanja sendiri." Aku tersenyum tipis, mungkin saja Mu'in tidak pernah melihatku belanja sebelumnya. Untuk itu dia berkata seperti itu. "Bagaimana kabar anak kecilmu?" Aku teringat saja, anak yang digendongnya saat melakukan pemakaman istrinya itu. Aku mengira, itu adalah adik kecilnya. Tetapi anak kecil itu, bukanlah seorang adik untuknya. Melainkan anak kecil itu adalah anak kandung dari istri yang waktu itu harus pergi meninggalkannya karena panggilan sang pencipta. "Alhamdulillah sehat. Lalu samean kapan jadinya?" Mungkin Gus Mu'in sempat dengar, kalau aku sedang menjalani persahabatan yang menjadi cinta dengan Mafayzah. Menceritakan tentang Mafayzah adalah hal yang begitu langkah untuk aku perbincangkan dengan seseorang. Bukan maksud aku tak menginginkan Mafayzah masuk ke dalam kehidupanku. Akan tetapi, aku belum mampu saja kapan harus memberikan sebuah kepastian untuk Mafayzah. Dan yang aku inginkan, biarkanlah wakt