Share

Kematian Wulandari
Kematian Wulandari
Penulis: BlackJoe

Kematian Wulandari

Beberapa hari ini Desa Sendang dihebohkan dengan berita tentang kematian Wulandari. Gadis belia yang masih duduk di kelas satu Sekolah Menengah Kejuruan Negeri Pelita Harapan Bangsa. 

Di umur enam belas tahun Wulandari ditemukan meregang nyawa bersimbah darah di dalam kamar mandi. Diduga ia menggugurkan kandungannya sendiri. Nyawanya tidak tertolong saat akan dilarikan ke bidan terdekat. Pendarahan hebat, merenggut nyawanya. Entah siapa ayah dari si jabang bayi yang dikandungnya. 

"Kamu hamil, Lan? Siapa yang menghamilimu, Wulan? Jawab!" Terdengar Mbok Sri membentak Wulan beberapa hari yang lalu di dalam kamar tidur rumahnya.

"Kenapa mbok peduli! Bukannya selama ini mbok tidak menganggap aku ada! Kenapa ini terjadi. Aku ... aku lelah! Aku sudah berusaha. Aku tidak bisa hidup lagi. Aku lebih baik ..."

"Apa maksud kamu, Lan!"

Wulandari hanya sesenggukan, dan menunduk. Tidak mengakui kehamilannya atau menyebutkan siapa nama ayah si jabang bayi. Padahal perutnya nyata semakin membuncit, walau sering ditutupi dengan jaket besar. Entah berapa usia kandungannya saat itu.

"Lebih baik aku berangkat sendirian saja! Kayak enggak mungkin Mbak Wulandari akan ke sekolah!" gumam gadis berseragam putih biru, yang sejak tadi berdiri di halaman rumah Wulandari. 

Tak ingin ikut campur urusan tetangga mereka, gadis itu hanya berlalu. Segera menuju jalan raya untuk berangkat ke sekolah. Dia adalah Najwa, gadis yang berusia terpaut tiga tahun di bawah Wulandari dan cukup akrab dengannya. 

****

Di hari ketiga, berita kematian tentang Wulandari dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru desa dari mulut ke mulut. Dari pojok, menyebar hingga ke desa-desa sekitar.

Najwa melihat sekumpulan ibu-ibu yang terkenal suka bergosip. 

"Tu anak, akhirnya benaran bawa aib untuk keluarganya! Sampai hamil besar, baru ketahuan!" celana salah satu ibu. 

"Sampai mati, dia enggak ngasih tau siapa laki-laki yang hamilin dia! Untung anak saya alim!" timpal ibu bertubuh tinggi. 

Seorang ibu menyadari keberadaan Najwa, dia memandang sini kearah gadis itu. Lalu, 

"Makanya, Bu. Kita harus jaga anak-anak kita, jangan sampai terjerumus hal-hal yang tidak terduga! Cari teman juga jangan hanya bisa numpang tenar, tapi teman terjerumus diam aja!" ucap ibu-ibu berjilbab kuning. 

Najwa menghela napas panjang, dia melangkahkan kakinya menjauh. Hatinya cukup sakit mendengar ocehan mereka. 

****

Ketika Najwa sampai di depan pos ronda, ramai para pemuda dan bapak-bapak yang sedang nongkrong membicarakan masalah ini. Mereka menerka-nerka siapa yang sudah mereguk manisnya madu Wulandari, tanpa mau bertanggung jawab atau hadir saat Wulandari tiada. 

"Mungkin saja, pelaku yang menghamili Wulandari ada di antara kita!" ujar salah satu bapak-bapak. 

Sejenak mereka diam dan saling melemparkan pandangan penuh selidik. 

"La, piye (gimana) mau enak-enak dengan cewek lain! Kalau diawasi terus!" keluh bapak berjanggut. 

Tawa dan canda kembali terdengar, membenarkan ucapan sahabat mereka. Pasalnya, mereka semua masuk dalam ikatan suami takut istri. 

Najwa lari, dan menyeka air matanya yang luruh. Dia tidak menyangka, jika mulut mereka tajam. Tidak hanya pada manusia yang masih hidup, yang sudah mati pun tidak terlewat untuk jadi bahan gosip dan candaan. 

***

Santer terdengar kabar, dari dalam kamar mandi Mbok Sri ada suara perempuan menangis. Terdengar menyedihkan, menyayat hati dan membuat bulu kuduk siapapun yang lewat di sekitarnya tegak berdiri. Membuat para warga enggan keluar rumah setelah magrib menjelang, mereka memilih menutup semua celah yang ada di rumah mereka. 

'Ah, paling berita hoax' Najwa membatin. Mencoba tidak mempercayai kabar-kabar burung yang beredar dan ramai dibicarakan orang. Karena Najwa tidak percaya akan hal itu, menurutnya hantu atau apalah itu, hanya bualan orang yang kurang kerjaan. 

****

Hari ini, bertepatan dengan malam jumaat Kliwon dan hampir pukul 20.00, Emak Darmani kehabisan beras saat akan memasak. Sebagai anak pertama mau tidak mau Najwa yang disuruhnya membeli di warung depan. 

"Kasian Bapak dan adik-adikmu, takut mereka kelaparan!" Begitu ucap mak Leha khawatir. "Beliin beras sekilo dulu, sama telur tiga biji, Wa. Bapakmu belum dapat uang dari mandor tempat kerjanya, kalo uangnya kurang bilang ngutang dulu sama, Pak Joko." imbuh Mak Darmani. 

Najwa meraih selembar uang sepuluh ribu, yang diulurkan Emak Darmani. Segera menapaki sendal jepit dan keluar menuju jalan raya. Najwa lupa untuk sampai ke jalan raya dia harus melewati samping rumah Mbok Sri, dan kamar mandi tempat Wulandari meregang nyawa ada di sebelah jalan setapak yang akan dilewatinya.

Tidak ada yang ganjil saat Najwa melewati sebelah rumah Mbok Sri. Tidak ada suara tangisan seperti yang didengarnya dari para warga. 

"Najwaa ...."

Deg. 

Jantung Najwa rasanya berhenti berdetak, angin sepoi-sepoi menyapanya hingga bulu kuduknya merinding. Desahan napas, terdengar di belakang telinga. Siapa itu? Siapa yang memanggil Najwa? Kenapa suaranya seperti ….

Najwa masih berdiri mematung, tidak berani bergerak. Sebetulnya ingin sekali dia menoleh ke belakang, melihat siapa yang memanggil, namun kepalanya terasa kaku tidak dapat bergerak. 

"Najwaaa …." 

Lagi suara itu terdengar, begitu pelan dan menyayat hati. Darah Najwa berdesir, keringat dingin mulai menetes.

Dibacanya ayat-ayat Alquran sebisanya, lalu menyebut nama-nama kebesaran Allah yang terlintas di kepala. 

"Ya Allah, tolong hambamu ini," lirih Najwa bergumam.

"Mbah, amit putune liwat!" 

(Mbah, permisi cucunya lewat!) 

Ingin rasanya segera lari dari tempat ini namun, kaki Najwa terasa berat. Seperti ada yang menariknya. 

"To--tolong …." Suara Najwa tercekat di tenggorokan. "Tolong!" Kembali dia mencoba berteriak meminta tolong, bibirnya membulat membentuk huruf O namun, tidak ada suara yang keluar. 

"Najwaaa!" Lagi, namanya dipanggil. Kali ini suara yang mendayu terdengar lebih jelas dan terasa seseorang sedang ada di dekat gadis berambut panjang itu. Sedangkan di sini tidak ada orang yang lewat. 

Entah mengapa, mata Najwa menatap ke satu sudut. 

'Astaghfirullah.' Sontak Najwa beristiqhfar. 

Tiba-tiba di atas dahan pohon sawo yang tingginya hanya dua meter itu, Wulandari menampakkan diri dan menghadap ke Najwa, kemudian menatap tajam gadis belia yang juga sahabatnya dulu. Dia asik mengayun-ayunkan kakinya. 

"Nina Bobo, ooh nina bobo. Kalau tidak bobo digigit ...."

Untuk beberapa detik, Najwa mendengar suara nyanyi meskipun lirih. Sambil menepuk-nepuk sesuatu yang ada di dalam gendongannya. 

'Ya Tuhan tolong aku.' Najwa kembali meratap dalam hati, berharap Tuhan atau siapa saja menolongnya dari situasi yang membuatnya ketakutan. 

'Ya Allah.'

'Emak.'

'Bapak.'

'Pak Haji.'

'Pak Joko.'  

Dalam hati, gadis itu mencoba memanggil siapa saja yang diingatnya, berharap suaranya dapat nyaring terdengar oleh siapa pun. 

Tiba-tiba sosok Wulandari yang berbaju putih itu turun. Seperti melayang di udara dan tidak menapak pada tanah. Tentu saja membuat Najwa gemeteran, akan tetapi dia tetap berusaha berdiri, menopang tubuhnya yang hampir limbung karena lemas. 

Mata Wulandari membulat menatap Najwa tajam. Wajah itu terlihat sangat pucat, pembuluh darah berwarna biru terlihat jelas di bawah kulit arinya. Di bawah matanya ada cekungan hitam, membuat wajah Wulandari semakin terlihat menyeramkan.

"Hi … hi … hi … hi …."

Tiba-tiba Wulandari mendekat dan tertawa, bukan ... bukan tawa bahagia yang terdengar namun, tawa yang terdengar pilu dan menyayat hati. Wulandari semakin mendekati Najwa, hingga gadis itu dapat mendengar hembusan napas dari wanita berwajah pucat itu. 

Kemudian, Najwa merasa kepalanya begitu berat. Tubuhnya terkulai dan pandangannya mulai menggelap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status