Dengan menguatkan lutut yang sudah gemetaran dan tidak ada tenaga, Najwa mencoba berlari tidak tentu arah, dalam kegelapan.
"Toloong ... tolong!" Najwa berteriak lagi namun, suaranya tidak terdengar oleh siapapun.
Berkali-kali terjatuh, lalu mencoba bangkit lagi. Hanya ada setitik sinar terang, jauh di ujung sana. Sekuat tenaga Najwa menggerakan kaki menuju cahaya itu.
"Najwa!" terdengar suara Mak Darmani memanggil. Najwa merasakan pipinya ditepuk-tepuk beberapa kali namun, tidak ada orang di sekitar.
"Najwaa!" Kali ini suara itu terdengar naik satu oktaf, di telinga. Mengganggu degub jantung yang tidak beraturan.
"Emak …." Lirih Najwa memanggil Emak. Akhirnya terdengar juga suaranya keluar dari kerongkongan.
Najwa berulang kali mengerjapkan matanya, mencoba memperjelas pandangan yang masih remang-remang. Di sisi kiri kepalanya ada emak, di sebelahnya ada bapaknya.
"Mak, Najwa, takut!" Nada suara Najwa bergetar. Air bening itu akhirnya tumpah, menganak sungai menuruni pipi.
Mak Darmani mengelus-elus rambut Najwa dan menariknya dalam dekapannya, "enggak ada apa-apa, Najwa," ucapnya, menenangkan Najwa.
"Kamu kenapa kok semaput (pingsan) di sebelah kamar mandi Mbok Sri?" tanya Mak Darmani dan dia menatap dengan pandangan penuh tanya.
Najwa kembali mengingat-ingat kejadian sebelum kepalanya terasa berat dan pusing.
"Mbak Wulandari, Mak di-dia …," kata-kata Najwa terpotong. Gadis itu langsung memeluk tubuh Mak Darmani mencari perlindungan, rasa ketakutan yang tadi dirasakannya menjalar kembali.
"Mbak Wu-Wulandari, di-dia menampakkan diri di depan Najwa!" kata Najwa terbata-bata. Matanya terpejam takut, jika sosok yang dibicarakan akan datang lagi.
"Hust, opo to (apa sih). Dia sudah meninggal tidak mungkin berkeliaran dengan menggendong bayi!" Kata Mak Darmani sambil mendekap Najwa lebih erat, gadis berambut panjang dengan mata bulat itu dapat mendengar degup jantung si emak yang berdetak lebih kencang. Berbeda ketika dirinya memeluknya saat pertama tadi.
Mak Darmani melepaskan pelukannya, dia menyodorkan segelas air putih di meja sebelah dipan, tempat Najwa berbaring.
"Bener yang kamu lihat itu Wulandari?" Kali ini Bapaknya yang bertanya. Najwa mengangguk beberapa kali membenarkan kata-kata Bapak.
"Jangan-jangan ada sesuatu ini," ujar Bapak lagi. Alisnya berkerut seperti sedang berpikir, atau menyimpulkan sesuatu. "Wulandari menampakkan diri sambil menggendong anaknya?"
"Wes to Pak, sudah jangan dibahas lagi. Najwa baru siuman. Besok aja Bapak coba ngomong ke Mbok Sri atau suaminya, biar diadakan pengajian atau doa bersama gitu!" Najwa kembali mengangguk-angguk dengan cepat menyetujui usul Mak Darmani.
"Iki (ini) pasti ada yang salah!" Bapak mengulangi pembicaraan. Kemudian menatap anaknya, lalu ke arah yang berlawanan. "Mbok Sri masih tidak percaya dengan yang di ucapkan warga desa, apalagi ucapan Najwa! Harus diselidiki, ada apa sebenarnya. Sampai-sampai, dia gentayangan tidak jelas."
"Yo dicubo (ya dicoba), Pak. Siapa tahu, kalau bapak yang menyampaikan, Mbok Sri mau mendengarkannya.
"Bapak iki opo to, Bu. Pak RT ngomongae ora di gubris je, opo maneh bapak!"
(Bapak ini apa, Bu. Pak RT yang bicara saja tidak di gubris, apa lagi bapak!)?
"Bapak iki loh! Membantu orang itu tidak ada salahnya, kita ini sedang di ganggu. Jika memang Wulan seperti itu, berarti dia mengharapkan doa dari keluarganya. Siapa tau, bapak yang menyampaikan mereka mau mendengar, bapakkan orang yang di segani oleh Mbok Sri sekeluarga!" Mak Darmani kesal dengan suaminya yang selalu kaku, di setiap keadaan.
Bulu halus di tengkuk Najwa kembali berdiri membicarakan tentang Wulandari. Masih teringat jelas di ingatan wajah menyeramkannya, tawa melengking juga nada ia menyanyikan lagu nina bobo untuk sesuatu di gendongannya.
"Bu-bukan hanya Mbak Wulandari pak, tapi ada sesuatu yang dia gendong dan itu bergerak!"
Yang lebih membuat jantung Najwa hampir copot adalah sesuatu berbungkus kain putih yang ada di gendongan Wulandari itu pun bergerak-gerak, layaknya bayi yang sedang tidur dalam keadaan gelisah. Bau busuk bercampur harum melati, menerobos masuk ke dalam hidung Najwa dan bertahan cukup lama, sehingga membuatnya mual namun, tidak bisa langsung memuntahkan apa yang ada di dalam perut.
"Kamu banyak-banyak zikir, yo, Nduk!" ujar Pak Kuswan. "Jika benar itu adalah arwah dari Wulandari, pasti ada sesuatu yang membuatnya tidak beristirahat dengan tenang, seperti yang bapak katakan tadi. Apakah ada sesuatu yang coba disampaikannya lewat penampakannya itu, tapi apa?" Pak Kuswan mencoba menebak.
Mak Darmani kesal dengan suaminya, dia memilih berlalu dari hadapan Najwa dan suaminya menuju dapur. Selintas bayangan berkelebat di belakangnya. Mata Najwa membulat dan mulutnya menganga, ketika bayangan itu nampak jelas dalam penglihatan gadis itu.
"Pak, ada sesuatu di belakang emak!" ujar Najwa gemeteran.
"Pak!" panggil Najwa lirih.Pak Kuswan menepuk punggung tangan anaknya, mencoba menenangkan. Gadis itu duduk bergeser ke samping bapaknya dan tidur dengan menggenggam tangannya erat, takut jika ditinggal sendirian.****Hari ini, Najwa enggan keluar dari rumah. Memilih menghabiskan waktu bersama Emak dan mereka pun tidak dapat melarangnya. Ada beberapa tetangga datang untuk berkunjung, bertanya keadaan Najwa dan mempertanyakan apa yang dilihatnya, benar atau tidak."Kamu enggak bohong, 'kan Wa?" tanya ibu-ibu yang berkunjung, Najwa menggelengkan kepalanya."Bukan karena kamu ingin dibilang baik, karena enggak bisa ngasih tau Wulandari. Sampai teman kamu itu mati!"Jleb.Najwa mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkannya, hanya bisa diam. Sedangkan Mak Darmani tidak mau membalas, karena mereka memang biang gosip di desa."Maaf, ibu-ibu. Najwa biar istirahat dulu, baru minum obat. Untuk apa
"Sawan?"Najwa mengerutkan alis, benarkah sawan itu ada? Ah, emaknya hanya terlalu serius menanggapi kemunculan arwah Wulandari."Sawan, 'kan hanya pada bayi atau anak kecil?" lirih Najwa bergumam sendiri. Sering dia mendengar jika anak bayi tetangga menangis terus tak berhenti dan badannya terasa panas, si Ibu mengatakan anaknya kena sawan.Setelah penampakan arwah Wulandari yang pertama kali, malamnya tubuh Najwa juga langsung panas. Padahal sebelumnya dia tidak sakit apa-apa. Apa itu termasuk sawan?Benar juga, sudah dua kali ini mereka mengganggu. Pertama penampakan Wulandari, kedua entah benar atau tidak bayinya yang menjahili Najwa. Walaupun tidak menampakkan diri secara langsung. Hanya sekelebatan bayangan bayi yang tangannya menyentuh kaki Najwa, semua itu membuat mata tidak bisa terpejam, apalagi untuk tertidur dengan pulas.Najwa memejamkan mata berusaha mengingat-ingat lagi apa saja yang telah terjadi. Adakah kaitan kematian
"Kesurupan, Pak?" tanya Mak Darmani. Najwa dan Emaknya memperhatikan wajah Pak Kuswan dengan seksama menunggunya melanjutkan cerita."Iya, tadi setelah Pak Haji Ramli membuka acara tahlil. Baru beberapa ayat yasin dilantunkan, si Ardi kerasukan." Pak Kuswan duduk di kursi, memulai cerita."Ardi, yang anaknya Pak Munir itu, Pak?" sela Mak Darmani memotong perkataan suaminya, yang ditanya mengangguk membenarkan kata-kata istrinya."Najwa sering melihat Mas Ardi membonceng Mbak Wulandari, kalo mau berangkat sekolah," lontar Najwa. Semua tahu selain tetangga dekat, Wulandari dan Ardy juga teman sepermainan. Mungkin Karena sekolah mereka sama-sama di kota jadi Ardi mengantarkannya sekalian."Jangan-jangan Pak, ada sesuatu di antara mereka?" terka Mak Darmani."Mungkin aja arwah Wulandari memang sengaja memilih Ardi untuk dimasukinya, untuk menunjukkan sesuatu?" duga Mak Darmani lagi.Najwa mendengarkan percakapan mereka dengan seksama, mencoba berkonsent
Seketika tubuh Najwa menegang, matanya membulat, dahinya berkeringat, dan suaranya tercekat.Arwah Wulandari menatap tajam ke arah Najwa dengan seringainya yang membuat hati gadis itu bergetar hebat. Kedua arwah itu mendekat ke Najwa dan melewatinya begitu saja. Namun, lirikan Wulandari mampu membuat lutut Najwa lemas tidak bertenaga dan tubuhnya luruh ke lantai."Maaak!" teriak Najwa ketika suasana kembali ke semula.Mak Darmani datang dengan tergopoh-gopoh, lalu mendekati Najwa yang diam kaku di lantai. Disentuhnya dahi anak sulungnya, dan beralih ke kaki Najwa yang sangat dingin. Mak Darmani memanggil suaminya, untuk mengangkat tubuh anaknya ke dipan. Dipandangi wajah pucat pasi Najwa, lalu Mak Darmani memegang kaki anaknya."Pak, Najwa kenapa lagi, yo?" tanyanya sembari memijat kaki Najwa, berharap remaja itu segera tersadar."Iki (ini) malam Jumat, apa Wulandari nongol lagi, yo Mak?" Pak Kuswan malah balik bertany
Pak Kuswan mencoba menghapus jejak itu, bukannya hilang jejak itu malah makin banyak bertebaran di dinding.Suasana semakin mencekam, terdengar suara rintihan dari kamar Najwa. Membuat Pak Kuswan dan Mbok Darmani bergegas ke kamar anak sulungnya, Ratih pun mengikuti langkah kedua orang tuanya."Kami tidak mengganggu kalian, jangan ganggu kami!" ujar Pak Kuswan.Semua menatap ke arah Najwa yang berbaring namun, wajahnya berubah sangar dan menakutkan."Wulan?" tanya Mbok Darmani lirih.Kepala Najwa melihat ke arah orang-orang yang baru saja masuk ke dalam kamar. Terlihat rona kebencian di matanya, seakan-akan itu bukanlah Najwa."Wu--wulan?" Suara Pak Kuswan bergetar.Mata Najwa melotot sempurna, menandakan amarah yang siap meledak. Tubuh Najwa yang tadinya berbaring, kini sudah duduk kaku di tepi ranjang dengan tatapan nyalang.Mbok Darmani mencoba mendekati anaknya itu namun, Najw
Setelah berbicara, tubuh Najwa lunglai tidak berdaya. Lalu, tawa histeris terdengar dari bibirnya. Beberapa tetangga mulai bermunculan, karena mendengar suara gaduh di rumah Mak Darmani. Pak Kuswan hanya bisa menatap anaknya miris tanpa bisa berbuat banyak. Seorang tetangga menepuk pundaknya, "Kita ruqyah saja," saran sang tetangga. Entah mengapa di situasi seperti ini, Pak Kuswan tidak berpikir jernih. Dia seakan-akan lupa, ilmu agama yang dia punya. Suara orang mengaji semakin banyak dan rumah pun terlihat adem. Namun, tidak dengan Najwa. Dia meronta-ronta. Bahkan ingin mencekik orang yang ada disekitarnya. "Nduk, eling... Eling!" Mak Darmani mengguncang tubuh anaknya. "Iya, pak. Sampai lupa!" ucapnya. Pak Kuswan langsung berlalu, mengambil air wudhu dan kembali lagi ke kamar Najwa. Mengambil kitab Alquran dan membaca pelan, penuh penghayatan. "Ayo, kita juga," sahut yang lain
Rasa ngeri mulai terasa, akibat suara-suara dari alam ghoib dan juga bau anyir serta bau busuk bercampur menjadi satu.Setiap mata saling memandang tanpa berani berkomentar, lalu pandangan mereka menyapu sekitar. Mencari asal muasal suara-suara yang menggema. Hingga,"I--itu!" tunjuk salah satu tetangga Mak Darmani, yang melihat bayangan kecil berkelebat tidak tentu arah.Membuat Wanita renta yang ingin membantu, sedikit gentar. Namun, dia cekatan mengelilingi Najwa dengan garam yang diambilkan oleh Mak Darmani."Kalian teruskan membaca ayat-ayat suci Al-Quran, agar bisa mengusir setan-setan yang menyerupai almarhumah." Suara teriakan terpaksa di gemakan oleh wanita renta yang biasa mereka panggil Mak Yus.Namun, pandangan mereka kini kembali
Semua mata menuju ke asal suara, dan nampak seorang lelaki gagah dan tampan masuk ke dalam bersama beberapa ajudannya. Usianya sudah tidak lagi muda dan . Dia adalah kades di desa itu, sudah lama menjabat dan belum tergantikan atau tidak bisa digantikan. Begitulah kata para penduduk di sana."Ma-maaf, Pak Kades." Salah satu orang yang ada di sana menjawab.Rasa ngeri mulai terasa, akibat suara-suara dari alam ghoib dan juga bau anyir serta bau busuk bercampur menjadi satu.Setiap mata saling memandang tanpa berani berkomentar, lalu pandangan mereka menyapu sekitar. Mencari asal muasal suara-suara yang menggema. Hingga,"I--itu!" tunjuk salah satu tetangga Mak Darmani, yang melihat bayangan kecil berkelebat tidak tentu arah.Membuat Wanita rent