Awan sedang berjalan keluar dari kantor saat hujan turun dengan deras dan petir menyambar.
“Sial, aku tak membawa payung,” runtuk Awan kesal.
Dengan berlari Awan mendapati mobilnya di parkiran. Tergesa dibukanya pintu mobil. Melesakkan dirinya ke balik kemudi dan mengibaskan air yang membasahi rambutnya.
Petir menyambar, guntur bergelegar. Awan bergidik ngeri. Sepertinya alam sedang menumpahkan emosinya. Dengan sekali hentak diputarnya kunci membuat mesin mobil berbunyi. Jarak pandang yang menjadi terbatas membuat Awan berhati-hati mengeluarkan mobil dari area parkir.
“Dengan kondisi seperti ini, akan lama mencapai Bukit Tiga,” kata Awan pada dirinya sendiri.
Pergerakan aneh di Bukit Tiga dari beberapa hari yang lalu sudah membuat kantornya kewalahan untuk meneliti. Banyak pertanyaan muncul ke call center mereka.
Awan bekerja di laboratorium fisika, yang memfokuskan diri ke bagian Fisika Kuantum.
Diputarnya radio untuk mendapatkan berita tentang cuaca dan lalu lintas.
“Sebuah kejadian aneh terjadi di kawasan Bukit Tiga, petir tak berhenti menyambar. Pepohonan tampak terbakar dari kejauhan. Para petugas tidak berani mendekati lokasi,” pembaca berita dari radio melaporkan kejadian janggal.
“Bukit Tiga, apa yang sebenarnya kamu simpan,” kata Awan.
Awan sudah keluar dari kota, bukit Tiga sudah tampak. Banyak mobil menepi tak meneruskan perjalanannya.
“Petugas yang berada di sekitar Bukit Tiga berupaya mengevakuasi warga sekitar ke tempat aman,” lanjut pembaca berita.
“Hmmm … ini sepertinya menarik. Apakah terjadi reaksi kuantum yang menyebabkan entitas yang ada di sana bergejolak?” tanya Awan pada dirinya sendiri.
Begitu mendekati Bukit Tiga banyak orang memberi tanda untuk tidak melanjutkan perjalanan. Awan mengabaikan mereka.
“Aku harus tahu apa yang terjadi di sana. Ranah fisika kuantum membuatku terobsesi dengan hal yang berhubungan dengan entitas asing,” batin Awan.
Awan meninggalkan mobilnya di ruang terbuka. Hujan masih deras, bahkan petir tak berhenti menyambar. Karena sudah kepalang basah, Awan berhujan-hujanan menaiki tangga Bukiy Tiga. Dari kejauhan tanda morse dari senter petugas menyatakan bahaya jangan mendekat. Tapi bagi Awan, itu bukan halangan untuk terus melangkah.
“Wahai alam, apa yang sudah kau lakukan? Kau bakar pepohonan hanya untuk menunjukkan amarah atau apa?” kata Awan saat melihat pepohonan di sekitarnya terbakar.
Begitu berada di atas bagian datar dari Bukit Tiga. Awan melihat petir yang bersautan. Gelegar guntur terdengar memekakkan telinga. Saat sedang menikmati dansa dari kekuatan dahsat yang dilihatnya, sekelabat bayangan hitam mendekatinya tanpa suara.
Memperhatikan Awan dengan tatapannya yang nyalang. Bukan, bukan nyalang penuh amarah, tetapi nyalang dengan tekad yang bulat.
“Waktumu untuk kembali,” bisik bayangan hitam itu membuat Awan menoleh ke belakang.
Nyala mata merah terang kontras dengan pekatnya bayangan itu mendorong Awan ke tengah tanah lapang.
Awan terguling, petir masih menyambar bersahutan. Tapi aneh, Awan tak merasakan kesakitan apapun.
“Siapa kamu?” teriak Awan berusaha mengalahkan gelegar guntur yang meningkahi sunyi.
“Tak ada yang perlu kamu ketahui tentangku. Waktumu telah datang. Rentang masamu harus kembali pulang. Jelajahmu sudah cukup. Buktikan bahwa kamu layak diperhitungkan,” ucap sosok itu seraya mendekati Awan.
Awan beringsut mundur perlahan. Akan tetapi semacam tembok tak terlihat membuatnya tertahan.
“Apa maumu?!” teriak Awan berusaha meredam ketakutannya.
“Bukan apa mauku. Tapi apa maumu,” ucapan sosok itu membuat Awan berpikir keras.
“Apa-apaan ini. Dia sepertinya mengenalku. Tapi aku sama sekali tak bisa melihat wujudnya secara utuh,” batin Awan.
Ada apa sebenarnya di bukit ini. Gejolak yang terjadi belakangan dan malam ini seperti puncaknya. Alam seakan menumpahkan semua perasaannya pada bumi. Menyakiti untuk meminta kembali. Meningkahi untuk melembutkan hati.
“Sungguh jangan bermain-main sekarang. Saya sama sekali tak tahu apa yang terjadi di sini. Siapa Anda? Saya ke sini untuk meneliti apa yang terjadi. Mungkin Anda salah orang,” kata Awan berusaha menjernihkan pikiran.
“Kamu yang telah lama bermain-main. Sekarang waktunya untuk kembali ke tujuanmu,” sergah sosok itu semakin nyalang.
Awan semakin kebingungan. Apa maksudnya. Siapa dia? Pikiran Awan sudah membentur logikanya sendiri.
Ada sesal kenapa dia nekat ke Bukit Tiga melihat kejadian ini. Seharusnya dia bisa menahan rasa penasarannya untuk tetap bersikap waras.
“Apakah kamu dari perusahaan yang telah kami batalkan kerja sama karena cacat dalam logika proposal kalian?” tanya Awan berhati-hati mencoba memgingat siapa saja klien yang sudah mereka putus kerja sama.
“Aku bukan siapa-siapa. Hanya satu perkara yang mengingatkanmu untuk kembali luruskan pikiran,” kata sosok itu semakin dekat.
Awan sudah terdesak, tembok tak terlihat itu menahan langkahnya. Kepalanya semakin pening.
“Kenapa menyulitkan diri, kembalilah,” sosok itu makin mendekat, kini tinggal beberapa inci dari Awan.
Awan merasakan hembusan nafas dari sosok itu. Tapi tak merasakan massa tubuh menghimpitnya. Mahkluk apa sebenarnya dia?
Petir yang sempat mereda kembali memulai amarahnya. Guntur kembali bergelagar, memenuhi gendang telinga
Awan yang sekarang merasakan pekak.Posisinya sudah benar terdesak, ruang geraknya sudah tak ada lagi. Sosok itu mengintimidasi, Awan silau dengan mata merah menyala yang sekarang berada tepat di depannya.
“Tidak ada jalan untukmu lagi. Kembalilah. Seleseikan tugasmu. Buktikan kemampuanmu. Buat mereka tahu kamu yang layak diperhitungkan,” bisik sosok itu dengan nada penuh penekanan.
Kembali ke mana? Tugas apa? Kemampuan apa? Mereka siapa? Kepala Awan berdenyut mencerna informasi yang beruntun tetapi membingungkan ini.
Awan yang masih mencoba untuk berlogika. Mungkin ini adalah halusinasi yang tercipta karena matanya lelah menerima bayangan petir yang berkilatan, sehingga otaknya memunculkan imajinasi yang tak terdeteksi.
Sosok itu seolah menyatu dengan tubuhnya. Menembus susunan daging dan tulang yang memadat menjadikannya sebagai manusia. Tapi sosok itu seperti cairan atau semacam mahkluk yang tak berwujud. Hanya bayangan yang bisa ditembus begitu saja.
“Tu-tunggu,” kata Awan berusaha memberontak, akan tetapi tubuhnya terasa membeku. Tak bisa digerakkan.
Otaknya berusaha mencari celah untuk keluar dari kejadian tak logis ini. Dia memejamkan matanya. Berusaha berafirmasi kalau ini semua hanyalah ilusi. Awan berusaha mengosongkan otaknya. Berharap saat dia membuka mata, keadaan akan kembali seperti semula. Hanya ada dia dan petir yang menyambar bukit Tiga.
“Kembalilah. Penuhilah takdirmu. Tunjukkan siapa dirimu,” suara sosok itu memenuhi rongga kepalanya.
Awan membuka matanya dan sosok itu masih membayanginya. Semakin merangsek dan seolah semakin menyatu dengan tubuhnya.
“Aku mengembalikanmu kemana seharusnya kamu berada. Agar dunia berjalan bagaimana semestinya,” Awan mencoba melawan, tapi semuanya sia-sia.
Dia semakin kewalahan dan kelelahan. Badannya tak mampu lagi melalukan perlawanan. Akhirnya dia menyerah dan sosok itu sudah menjadi satu dalam tubuhnya. Awan merasakan pergerakan.
“Aaargh …!” teriak Awan saat sebuah kekuatan menariknya ke dalam pusaran tarian petir yang tak henti berpendar.
Awan tak bisa mengingat apa yang telah terjadi padanya. Dia tersadar di reruntuhan bangunan yang tak dikenalinya. Dia hanya ingat sedang berjalan ke atas Bukit Tiga. Otaknya mencerna. Tak ada reruntuhan apapun di Bukit Tiga. Itu hanya tanah lapang di atas bukit.“Cari orang itu, cepat temukan!” teriakan seseorang diiringi dengan langkah kaki yang setenggah berlari membuat Awan memegang kepalanya yang masih pening.“Kanjeng Sultan mengatakan kita harus membawa orang itu hidup-hidup untuk mempertanggung jawabkan tindakannya,” kata seorang berbaju prajurit.Awan menyembunyikan dirinya sambil berpikir. Dia melesakkan dirinya ke ceruk reruntuhan yang sedikit tertutup. Memastikan tubuhnya muat.“Siapa mereka? Kenapa pakaian mereka seperti prajurit kesultanan jaman Mataram kuno,” pikir Awan sambil sesekali melirik untuk kemastikan tidak ada yang menyadari keberadaannya.Tombak yang dihentakkan k
Awan terbangun pagi itu, saat membuka mata yang terlihat adalah atap yang tersusun rapi diantara kayu yang palang melintang. Ini bukan rumahnya, ini di mana?Ingatannya kembali semalam dia lari dari kejaran prajurit yang entah dari mana dan siapa. Lalu memasuki rumah orang yang mengaku abdinya.Kepingan kejadian membuat Awan merasakan pening yang sangat. Apalagi kakinya terasa nyeri.“Pangeran sudah bangun?” tanya Patik membuat Awan tersadar dari lamunan.Dia tak sedang bermimpi maupun berhalusinasi.“Pangeran mau membersihkan diri dulu di pakiwan atau mau langsung sarapan? Saya sudah memasak bahan yang kebetulan masih tersedia,” lanjut Patik.Awan mencoba berdiri dan badannya sedikit goyang. Pening yang membuat kepalanya serasa berbeban.“Hati-hati, kalau belum bisa biar saya bawakan air kesini untuk menyeka tubuhmu. Nanti saya ambilkan baju Pangeran yang masih ada,” kata Patik.Awan mengangguk, karena masih belum bisa mem
Awan terbangun karena mendengat suara orang bercakap di depan rumah. Dengan susah payah Awan mencoba bangkit. Suara Patik sedang berbincang dengan perempuan. Apakah perempuan tadi?“Iya Nduk, Awan sudah kembali. Paman juga bingung, dia sepertinya lupa denganku. Coba kamu bicara dengannya. Siapa tahu dia mengingatmu. Kalian kan cukup dekat dulu,” kata Patik membuat Awan hampir tersungkur karena terkejut.“Lho kok bangun. Istirahat saja kalau masih merasa pusing,” kata Patik seraya menahan tubuh Awan.Gadis bernama Dayu itu menyelidik ke arah Awan. Matanya tajam. Membuat Awan merasa dikuliti.“Kamu mau duduk di sini?” tanya Patik menunjuk bangku panjang yang terletak di emperan rumah.Awan mengangguk dan berjalan tertatih. Berat kepalanya dan kakinya yang masih sakit membuat dia terlihat lemah.“Nduk temani dia. Aku harus menyelesaikan masakanku,” kata Patik membuat Dayu mendekat deng
Ketukan pintu membangunkan Awan. Patik terlihat bergegas keluar dari dapur.“Oh kamu Nduk,” kata Patik melihat Dayu sudah berada di depannya pagi ini.“Aku bawakan sarapan Paman, Ibu membuat pecel kembang turi kesukaanmu,” kata Dayu menyerahkan bungkusan daun jati ke tangan Patik.“Terima kasih, seharusnya kamu tidak usah repot. Awan belum mandi, tunggulah di sini,” kata Patik membuat Awan bergegas ke kamar mandi yang disebut pakiwan oleh Patik.Bangunan segi empat tanpa atap, berisi pancuran untuk mandi.Kakinya sudah membaik. Kepalanya sudah tak sepening kemarin. Sepertinya dia harus pelan-pelan menelaah apa yang terjadi di sini.Sesudah memakan sarapannya Awan menemui Dayu yang duduk di kursi panjang di emperan rumah.“Kamu sudah membaik?” tanya Dayu begitu Awan duduk di sampingnya.“Lumayan,” jawab Awan singkat.“Kamu ingin berj
Perjalanan Menemukan IngatanPagi sekali Dayu sudah tiba di rumah. Patik yang sedang menyapu halaman terkejut karena Dayu sudah membawa bungkusan baju siap untuk bepergian.“Nduk, kita tidak akan berangkat hari ini. Aku harus mempersiapkan uang saku dan lain-lainnya. Aku juga harus bilang pada Ayahmu untuk berpamitan dan menitipkan rumah ini,” kata Patik membuat Dayu kehilangan semangatnya.“Paman ikut?” tanya Dayu memastikan.“Iya, kalian tidak boleh melakukan perjalanan hanya berdua saja,” kata Patik tegas.“Baiklah,” kata Dayu pasrah seraya duduk di emper.“Kalian ini dari dulu memang selalu saja suka bikin aku jantungan,” kata Patik dambil melirik Dayu yang kini tertawa.“Ah, Paman saja yang terlalu cemas terhadap kami,” sergah Dayu disela tawanya.“Ya sudah, tunggu di sini. Kita akan berangkat ke rumahnu sebentar lagi. Awan mungkin sedang bersiap,” kata Patik diangguki oleh Dayu.Awan keluar dari dalam rumah dengan heran mel
Setelah merasa cukup beristirahat mereka melanjutkan perjalanan. Mereka harus sampai di padukuhan sebelah sebelum malam. Patik mempertimbangkan Dayu yang ikut mereka, sebisa mungkin tidak bermalam di alam terbuka.“Paman, kira-kira berapa lama kita akan sampai di tujuan?” tanya Dayu memecah kebisuan di antara mereka.“Aku juga tidak tahu Nduk, kita masih harus menyusuri hutan itu dan melewati gunung,” kata Patik membuat Dayu membayangkan betapa jauhnya itu.“Aku terpaksa mengajakmu, karena aku merasa kamu bisa membantuku menahan gejala yang terjadi saat pikiranku bergejolak,” Awan berterus terang, membuat Dayu berhenti melangkah karena kaget.“Maksudmu?” tanya Dayu setelah kembali menyejajarkan diri dengan Awan.“Aku kesulitan mengatasi pertautan pikiranku dengan kenyataan yang sekarang aku hadapi, tubuhku menolak dengan semua
Entah bagaimana akhirnya Dayu dan Awan kembali ke bilik masing-masing dengan perasaan yang tak karuan.Bagi Dayu ini semacam penolakan dengan berbagai alasan. Kenyataan bahwa rasa sakit saat diabaikan itu nyatanya lebih perih lagi. Namun, dengan semua tekadnya, dan seperti apa yang dikatakannya, dia tak akan menghadirkan penyesalan apapun untuk pilihannya.Awan kini bahkan semakin berperang batin. Rasa yang seakan akrab saat bercakap dengan Dayu, dan rasa nyaman itu bahkan membuatnya tak bisa lagi mengelak. Kenyataan bahwa hidupnya kini berubah dan logika akal sehatnya masih belum bisa bertemu. Penolakan demi penolakan pada akalnya membuat pening kembali mendera. Tarik menarik kenyataan dan logika yang sedang dipertahankannya membuat tubuhnya kembali bereaksi berlebihan.Pukul berapa akhirnya mereka memejamkan mata, pagi ini terbangun dengan ketukan pintu.“Bangunlah, sudah pagi, kita harus melanjutkan perjalanan,” kata Patik membuat Awan membuka matanya
“Maaf bila sikap dan keterus teranganku malah membuat jengah,” kata Awan.“Bukan, bukan salahmu. Mungkin hanya aku yang terlalu terbawa suasana,” kata Dayu seraya mencoba tersenyum.“Berjanjilah tak akan lagi memikirkan perasaanku. Lakukan apa yang membuatmu nyaman. Aku tak akan mengharapkan lebih dari sekedar menjadi obat untukmu,” lanjut Dayu semakin membuat Awan merasa tak enak.Tipe gadis yang akan melakukan apapun untuk orang dicintainya seperti Dayu selalu membuat Awan tak bisa bernapas lega. Kini, dia yang mengalaminya sendiri. Inilah yang membuat Awan selalu menghindar terlibat dalam romansa. Jengah yang hadir malah membuat mereka berjeda.“Aku bahkan tak tahu harus bagaimana. Aku bukan menolakmu. Aku bukan tak memikirkanmu. Aku hanya menghindari hal buruk yang mungkin terjadi nanti,” kata Awan mencoba berkompromi dengan perasaannya sendiri.“Jangan pikirkan nanti. Aku tak akan menyesali apapun yang akan terjadi. Aku memikirkan yang sekarang. Ak