Share

Kembali Bersama Waktu
Kembali Bersama Waktu
Penulis: Crearuna

Kembali Kepadamu

Awan sedang berjalan keluar dari kantor saat hujan turun dengan deras dan petir menyambar. 

“Sial, aku tak membawa payung,” runtuk Awan kesal.

Dengan berlari Awan mendapati mobilnya di parkiran. Tergesa dibukanya pintu mobil. Melesakkan dirinya ke balik kemudi dan mengibaskan air yang membasahi rambutnya.

Petir menyambar, guntur bergelegar. Awan bergidik ngeri. Sepertinya alam sedang menumpahkan emosinya. Dengan sekali hentak diputarnya kunci membuat mesin mobil berbunyi. Jarak pandang yang menjadi terbatas membuat Awan berhati-hati mengeluarkan mobil dari area parkir.

“Dengan kondisi seperti ini, akan lama mencapai Bukit Tiga,” kata Awan pada dirinya sendiri.

Pergerakan aneh di Bukit Tiga dari beberapa hari yang lalu sudah membuat kantornya kewalahan untuk meneliti. Banyak pertanyaan muncul ke call center mereka. 

Awan bekerja di laboratorium fisika, yang memfokuskan diri ke bagian Fisika Kuantum. 

Diputarnya radio untuk mendapatkan berita tentang cuaca dan lalu lintas.

“Sebuah kejadian aneh terjadi di kawasan Bukit Tiga, petir tak berhenti menyambar. Pepohonan tampak terbakar dari kejauhan. Para petugas tidak berani mendekati lokasi,” pembaca berita dari radio melaporkan kejadian janggal.

“Bukit Tiga, apa yang sebenarnya kamu simpan,” kata Awan.

Awan sudah keluar dari kota, bukit Tiga sudah tampak. Banyak mobil menepi tak meneruskan perjalanannya.

“Petugas yang berada di sekitar Bukit Tiga berupaya mengevakuasi warga sekitar ke tempat aman,” lanjut pembaca berita.

“Hmmm … ini sepertinya menarik. Apakah terjadi reaksi kuantum yang menyebabkan entitas yang ada di sana bergejolak?” tanya Awan pada dirinya sendiri.

Begitu mendekati Bukit Tiga banyak orang memberi tanda untuk tidak melanjutkan perjalanan. Awan mengabaikan mereka.

“Aku harus tahu apa yang terjadi di sana. Ranah fisika kuantum membuatku terobsesi dengan hal yang berhubungan dengan entitas asing,” batin Awan.

Awan meninggalkan mobilnya di ruang terbuka. Hujan masih deras, bahkan petir tak berhenti menyambar. Karena sudah kepalang basah, Awan berhujan-hujanan menaiki tangga Bukiy Tiga. Dari kejauhan tanda morse dari senter petugas menyatakan bahaya jangan mendekat. Tapi bagi Awan, itu bukan halangan untuk terus melangkah. 

“Wahai alam, apa yang sudah kau lakukan? Kau bakar pepohonan hanya untuk menunjukkan amarah atau apa?” kata Awan saat melihat pepohonan di sekitarnya terbakar.

Begitu berada di atas bagian datar dari Bukit Tiga. Awan melihat petir yang bersautan. Gelegar guntur terdengar memekakkan telinga. Saat sedang menikmati dansa dari kekuatan dahsat yang dilihatnya, sekelabat bayangan hitam mendekatinya tanpa suara. 

Memperhatikan Awan dengan tatapannya yang nyalang. Bukan, bukan nyalang penuh amarah, tetapi nyalang dengan tekad yang bulat.

“Waktumu untuk kembali,” bisik bayangan hitam itu membuat Awan menoleh ke belakang.

Nyala mata merah terang kontras dengan pekatnya bayangan itu mendorong Awan ke tengah tanah lapang.

Awan terguling, petir masih menyambar bersahutan. Tapi aneh, Awan tak merasakan kesakitan apapun.

“Siapa kamu?” teriak Awan berusaha mengalahkan gelegar guntur yang meningkahi sunyi.

“Tak ada yang perlu kamu ketahui tentangku. Waktumu telah datang. Rentang masamu harus kembali pulang. Jelajahmu sudah cukup. Buktikan bahwa kamu layak diperhitungkan,” ucap sosok itu seraya mendekati Awan.

Awan beringsut mundur perlahan. Akan tetapi semacam tembok tak terlihat membuatnya tertahan. 

“Apa maumu?!” teriak Awan berusaha meredam ketakutannya.

“Bukan apa mauku. Tapi apa maumu,” ucapan sosok itu membuat Awan berpikir keras.

“Apa-apaan ini. Dia sepertinya mengenalku. Tapi aku sama sekali tak bisa melihat wujudnya secara utuh,”  batin Awan.

Ada apa sebenarnya di bukit ini. Gejolak yang terjadi belakangan dan malam ini seperti puncaknya. Alam seakan menumpahkan semua perasaannya pada bumi. Menyakiti untuk meminta kembali. Meningkahi untuk melembutkan hati.

“Sungguh jangan bermain-main sekarang. Saya sama sekali tak tahu apa yang terjadi di sini. Siapa Anda? Saya ke sini untuk meneliti apa yang terjadi. Mungkin Anda salah orang,” kata Awan berusaha menjernihkan pikiran.

“Kamu yang telah lama bermain-main. Sekarang waktunya untuk kembali ke tujuanmu,” sergah sosok itu semakin nyalang.

Awan semakin kebingungan. Apa maksudnya. Siapa dia? Pikiran Awan sudah membentur logikanya sendiri. 

Ada sesal kenapa dia nekat ke Bukit Tiga melihat kejadian ini. Seharusnya dia bisa menahan rasa penasarannya untuk tetap bersikap waras.

“Apakah kamu dari perusahaan yang telah kami batalkan kerja sama karena cacat dalam logika proposal kalian?” tanya Awan berhati-hati mencoba memgingat siapa saja klien yang sudah mereka putus kerja sama.

“Aku bukan siapa-siapa. Hanya satu perkara yang mengingatkanmu untuk kembali luruskan pikiran,” kata sosok itu semakin dekat.

Awan sudah terdesak, tembok tak terlihat itu menahan langkahnya. Kepalanya semakin pening.

“Kenapa menyulitkan diri, kembalilah,” sosok itu makin mendekat, kini tinggal beberapa inci dari Awan.

Awan merasakan hembusan nafas dari sosok itu. Tapi tak merasakan massa tubuh menghimpitnya. Mahkluk apa sebenarnya dia?

Petir yang sempat mereda kembali memulai amarahnya. Guntur kembali bergelagar, memenuhi gendang telinga 

Awan yang sekarang merasakan pekak.

Posisinya sudah benar terdesak, ruang geraknya sudah tak ada lagi. Sosok itu mengintimidasi, Awan silau dengan mata merah menyala yang sekarang berada tepat di depannya.

“Tidak ada jalan untukmu lagi. Kembalilah. Seleseikan tugasmu. Buktikan kemampuanmu. Buat mereka tahu kamu yang layak diperhitungkan,” bisik sosok itu dengan nada penuh penekanan.

Kembali ke mana? Tugas apa? Kemampuan apa? Mereka siapa? Kepala Awan berdenyut mencerna informasi yang beruntun tetapi membingungkan ini. 

Awan yang masih mencoba untuk berlogika. Mungkin ini adalah halusinasi yang tercipta karena matanya lelah menerima bayangan petir yang berkilatan, sehingga otaknya memunculkan imajinasi yang tak terdeteksi.

Sosok itu seolah menyatu dengan tubuhnya. Menembus susunan daging dan tulang yang memadat menjadikannya sebagai manusia. Tapi sosok itu seperti cairan atau semacam mahkluk yang tak berwujud. Hanya bayangan yang bisa ditembus begitu saja.

“Tu-tunggu,” kata Awan berusaha memberontak, akan tetapi tubuhnya terasa membeku. Tak bisa digerakkan.

Otaknya berusaha mencari celah untuk keluar dari kejadian tak logis ini. Dia memejamkan matanya. Berusaha berafirmasi kalau ini semua hanyalah ilusi. Awan berusaha mengosongkan otaknya. Berharap saat dia membuka mata, keadaan akan kembali seperti semula. Hanya ada dia dan petir yang menyambar bukit Tiga.

“Kembalilah. Penuhilah takdirmu. Tunjukkan siapa dirimu,” suara sosok itu memenuhi rongga kepalanya. 

Awan membuka matanya dan sosok itu masih membayanginya. Semakin merangsek dan seolah semakin menyatu dengan tubuhnya. 

“Aku mengembalikanmu kemana seharusnya kamu berada. Agar dunia berjalan bagaimana semestinya,” Awan mencoba melawan, tapi semuanya sia-sia.

Dia semakin kewalahan dan kelelahan. Badannya tak mampu lagi melalukan perlawanan. Akhirnya dia menyerah dan sosok itu sudah menjadi satu dalam tubuhnya. Awan merasakan pergerakan.

“Aaargh …!” teriak Awan saat sebuah kekuatan menariknya ke dalam pusaran tarian petir yang tak henti berpendar.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
adiwahyubowo
This is one of the best story I've read so far, but I can't seem to find any social media of you, so I can't show you how much I love your work
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status