Share

Rentang Waktu

Awan tak bisa mengingat apa yang telah terjadi padanya. Dia tersadar di reruntuhan bangunan yang tak dikenalinya. Dia hanya ingat sedang berjalan ke atas Bukit Tiga. Otaknya mencerna. Tak ada reruntuhan apapun di Bukit Tiga. Itu hanya tanah lapang di atas bukit.

“Cari orang itu, cepat temukan!” teriakan seseorang diiringi dengan langkah kaki yang setenggah berlari membuat Awan memegang kepalanya yang masih pening.

“Kanjeng Sultan mengatakan kita harus membawa orang itu hidup-hidup untuk mempertanggung jawabkan tindakannya,” kata seorang berbaju prajurit.

Awan menyembunyikan dirinya sambil berpikir. Dia melesakkan dirinya ke ceruk reruntuhan yang sedikit tertutup. Memastikan tubuhnya muat.

“Siapa mereka? Kenapa pakaian mereka seperti prajurit kesultanan jaman Mataram kuno,” pikir Awan sambil sesekali melirik untuk kemastikan tidak ada yang menyadari keberadaannya.

Tombak yang dihentakkan ke tanah membuat Awan berjingkat dan perlahan masuk ke rerimbunan pepohonan. Menyembunykan dirinya di gelapnya bayang pohon. 

Kaki kanannya terasa nyeri. Saat diraba ternyata ada tancapan kaca di sana. Awan memcabutnya dan menahan teriakan. Ada apa ini sebenarnya?

Terpincang-pincang Awan semakin masuk ke dalam rimbunan pohon yang semakin rapat. Seingatnya pepohonan di Bukit Tiga tidak sebanyak ini. Semakin lama bahkan belukar semakin banyak. Awan menyibak dengan tangannya, terkadang ada belukar berduri yang membuatnya mengaduh tertahan.

“Di mana aku sebenarnya,” batin Awan penasaran.

Orang-orang berpakaian prajurit tadi kini makin dekat. Suara mereka menyibak belukar dengan tombak membuat Awan tersadar. Entah siapa yang mereka cari, tapi nalurinya mengatakan dia harus melarikan diri.

Awan merangsek maju. Pepohonan makin jarang. Ada sebuah jalan setapak yang terlihat samar di gelapnya malam. Mata Awan  menelusuri bayangan pepohonan dibelakangnya. Prajurit itu masih jauh sepertinya. Awan berjalan maju. Bayangan bangunan terlihat di depan. Dia menyeret kakinya ke sana.

Terlihat sebuah rumah joglo kuno . Pagar rendah tanpa regol. Seseorang berdiri di depan pintu rumah itu, seperti sengaja menunggu kedatangan Awan.

“Akhirnya kamu pulang juga Pangeran,” kata orang itu membuat Awan menoleh ke kiri dan kanan. 

Memastikan orang itu tidak memanggilnya. Tapi hanya dia yang ada di sana.

“Mendekatlah, mari masuk. Orang-orang dari kasultanan akan menemukanmu kalau kamu masih berdiri di sana,” kata orang itu lagi.

Awan mau tak mau mendekat. Orang itu membuka pintu kayu yang terlihat kokoh dan berat. 

“Masuklah Pangeran. Aku akan mengatakan kebohongan pada orang yang mengikutimu,” orang itu kembali menutup pintu dan menghampiri prajurit yang mendekat.

Awan berusaha mengintip keluar dari celah dinding yang terbuat dari kayu. Terlihat orang tadi sedang berbicara dengan prajurit yang mengejarnya. Awan merasakan kakinya semakin perih. Diedarkan pandangnya ke ruangan itu. Lampu minyak yang temaram memberikan kesan bahwa ruangan itu adalah ruang tengah dari bangunan ini. Amben diletakkan di sudut. Kursi bersejajar di tengah.

“Ada apa kisanak?” tanya orang itu.

“Aku mencari seorang buronan yang melarikan diri,” prajurit itu memberi tanda kepada temannya untuk menyebar.

“Maaf kisanak. Saya tidak melihat orang yang datang ke sini. Kalian tahu aku hidup sendiri dalam pengasingan ini,” kata orang itu membuat prajurit itu menarik teman-temannya untuk kembali mencari di tempat lain.

Orang itu memastikan keadaan aman dan masuk ke dalam rumah. Menyelarak pintu dan kemudian menghampiri Awan yang masih kebingungan.

“Tak usah bingung. Kamu telah lama meninggalkan aku dalam kesendirian. Kini kamu telah pulang,” kata orang itu seraya membimbing Awan untuk duduk di amben yang terletak di sudut ruangan.

“Luka ini harus segera diobati sebelum menjadi busuk,” kata orang itu seraya menyobek celana Awan. 

Memperlihatkan kaki Awan yang masih mengucurkan darah.

“Maaf, siapa anda? Dan ini di mana?” tanya Awan berusaha mendapatkan jawaban.

“Aku abdimu, Patik Sawiji, orang yang mendampingimu tumbuh sedari kecil di pengasingan ini,” kata Patik membuat Awan semakin bingung.

“Tapi aku tidak berasal dari sini,” bantah Awan.

Patik membubuhkan serbuk yang dia ambil dari bumbung bambu kecil. Awan menggigit bibirnya menahan perih yang menyengat. 

“Ini akan membuat darahnya pampat. Kamu adalah Pangeran Awan Saga yang seharusnya menjadi raja di kasultanan. Tetapi Pangeran Adiraja membuatmu menyingkir untuk merebut tahtamu,” terang Patik.

Awan semakin bingung. Pikirannya bercampur antara kebingungan dengan dimensi waktu dan perih yang menjalar di kakinya.

“Ini tahun berapa?” tanya Awan.

“Ini tahun Jenggolo Pangeran,” jawab Patik malah bertambah absurd bagi Awan.

Ini bukan jaman Mataran Kuno seperti bayangannya. Ini dunia paralel yang entah di mana, kapan, dan apa hubungannya dengan petir yang terus menyambar di Bukit Tiga. 

Kepala Awan serasa berputar. Informasi yang diberikan Patik membuatnya merasa tercampur dalam sejarah. Entah sejarah mana, dan ada dalam catatan negara mana. 

“Pangeran waktu itu pamit untuk mencari ilmu ke bukit di seberang gunung. Karena Pangeran mendapat mimpi untuk bertemu dengan Resi yang ada di sana. Aku masih menunggu Pangeran pulang. Sampai hari ini Pangeran kembali dalam pakaian yang tak kukenali,” kata Patik menelisik pakaian Awan.

Kemeja flanel dan celana bahan, pakaian semi formal yang selalu dipakainya saat bekerja di kantor penelitian Fisika Kuantum di pusat kota.

“Tidurlah Pangeran. Besok mungkin kamu akan menemukan jawaban atas keraguanmu,” kata Patik meninggalkan Awan sendirian.

“Tunggu, apakah kamu mengetahui sesuatu tentang sosok yang bermata merah menyala? Tak berwujud hanya seperti bayangan?” tanya Awan teringat sebelum pingsan dia melihat sosok itu.

“Tidak Pangeran. Saya tidak mengetahui tentang sosok yang Pangeran sebutkan. Saya di sini sendirian. Menunggu kepulangan Pangeran dari bukit seberang,” jawab Patik.

Bukit seberang, apakah bukit itu Bukit Tiga yang tadi dia datangi? Kalau benar, apa sekarang dia sedang terjebak dalam dimensi waktu lain?

Lampu minyak tanah yang temaram membuat Awan ingin memejamkan matanya lebih cepat. Berharap esok dia bangun di kamar rumahnya berselimutkan kain tebal kedinginan karena AC yang dia pasang dengan suhu terendah.

Otaknya masih menyalahkan logikanya yang tak berjalan. Ini hanya ilusi atau mungkin mimpi. Mungkin sekarang tubuhnya sedang terbaring di bukit Tiga karena tersambar petir yang tak berhenti. Mati atau mungkin koma, hingga sekarang dia berada di sini. Dunia paralel yang tak diketahui.

Patik menghela nafasnya, antara lega dan bingung dengan kepulangan Pangeran yang diasuhnya itu. Apa yang terjadi selama dia menuntut ilmu pada Resi di bukit itu? Pangerannya bersikap aneh. Setelah 10 tahun menghilang kini dai kembali dan terlihat berbeda. Bahkan tak mengenalinya. Tapi Patik yakin itu Pangerannya. Pangeran Awan Saga, putra satu-satunya dari Sultan Harga Radja yang kini sudah mangkat. Kesultanan yang kosong karena mencari Pangeran Awan diisi oleh Pangeran Adiraja, adik dari Sultan Harga Radja.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Danang Kusuma
kembalikan masa2 indah saya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status