Awan terbangun pagi itu, saat membuka mata yang terlihat adalah atap yang tersusun rapi diantara kayu yang palang melintang. Ini bukan rumahnya, ini di mana?
Ingatannya kembali semalam dia lari dari kejaran prajurit yang entah dari mana dan siapa. Lalu memasuki rumah orang yang mengaku abdinya.
Kepingan kejadian membuat Awan merasakan pening yang sangat. Apalagi kakinya terasa nyeri.
“Pangeran sudah bangun?” tanya Patik membuat Awan tersadar dari lamunan.
Dia tak sedang bermimpi maupun berhalusinasi.
“Pangeran mau membersihkan diri dulu di pakiwan atau mau langsung sarapan? Saya sudah memasak bahan yang kebetulan masih tersedia,” lanjut Patik.
Awan mencoba berdiri dan badannya sedikit goyang. Pening yang membuat kepalanya serasa berbeban.
“Hati-hati, kalau belum bisa biar saya bawakan air kesini untuk menyeka tubuhmu. Nanti saya ambilkan baju Pangeran yang masih ada,” kata Patik.
Awan mengangguk, karena masih belum bisa memaksakan tubuhnya untuk bergerak banyak. Rasanya campur aduk, antara lelah, sakit dan pening. Kenyataan yang melemparkannya ke alam yang entah di mana semakin membuat otaknya terasa harus bekerja lebih banyak.
Patik membawa baskom yang berisi air dan kain untuk mengelap tubuhnya yang terasa lengket.
Kemudian Patik masuk ke ruangan yang berada di sisi lain ruangan ini. Mengambil beberapa helai baju, celana dan kain.
Awan sedang membasuh dirinya saat Patik kembali membawa seperangkat baju untuknya.
“Ini baju lamamu,” kata Patik sambil meletakkan baju itu di sampinga Awan.
Baju lengan pendek berwana krem, jahitan tangan, celana pendek hitam khas jaman dulu dan kain untuk melengkapi kesan dahulu kala.
“Bagaimana mengikat kainnya?” tanya Awan pasrah.
Patik dengan sabar membantu Awan memakai kainnya melapisi celana pendek itu. Sekarang Awan benar-benar teelihat seperti Pangeran yang dia kenal.
“Pangeran masih muat memakai baju ini,” kata Patik.
“Paman, sungguh aku masih belum paham apa yang terjadi. Tapi sepertinya kamu salah paham. Aku bukan pangeran,” kata Awan.
“Apakah Pangeran membentur sesuatu hingga lupa denganku?” tanya Patik menautkan alisnya
“Ah bukan begitu. Sepertinya aku sedang mengalami yang namanya halusinasi,” kata Awan.
“Apa itu halusinasi?” tanya Patik kemudian.
Patik memapah Awan ke dapur dan menyiapkan sarapan, urap kenikir, sambel terasi dan ikan asin.
“Maaf seadanya, aku belum berbelanja,” kata Patik.
“Tak apa,” jawab Awan sambil menyuap nasinya.
“Oh ya, tadi, apa itu halusinasi?” tanya Patik penasaran.
“Halusinasi itu semacam berkhayal tentang sesuatu yang terjadi tapi tak terjadi, jadi hanya ada dipikiran saja,” kata Awan berusaha menjelaskan dengan bahasa yang mudah dipahami.
“Berkhayal? Oh seperti kita berangan-angan begitu?” kata Patik mengangguk-angguk.
“Benar, semacam itulah,” kata Awan seraya mengisyaratkan dia butuh minum.
Tergesa Patik mengambil kendi di dekat perapian dan siberikannya kepada Awan.
Awan menegak isinya. Segar.Dia sepertinya harus menyesuaikan diri dengan keberadaannya sekarang. Mau tak mau harus menerima bahwa dia terdampar di dunia paralel yang tak dikenalinya.
“Setelah ini saya akan ke pasar. Pangeran bisa menunggu saja di rumah. Pakaian yang kemarin akan saya bakar agar tidak menimbulkan kecurigaan,” kata Patik.
“Ya,” jawab Awan singkat. Dia sedang tak ingin berdebat.
Setelah menghabiskan sarapannya Awan melangkah tertatih kembali ke ruang tengah. Merebahkan kembali tubuhnya di amben. Dia merindukan kasur empuknya yang nyaman.
Dia masih mencoba mencerna apa yang terjadi sebenarnya. Kalau ini dunia paralel berarti dia sedang berada pada posisi yang mengantikan tokoh utama di sini, yang disebut Patik Pangeran. Tapi kenapa namanya kebetulan sama dengannya, Awan Saga. Kepalanya berdenyut hebat, membuatnya meringgis dan mencoba mengosongkan pikiran.
Entah kapan Awan terlelap yang kemudian dia dengar adalah suara seseorang mengetuk pintu.
“Paman, Paman Patik, apakah kamu di rumah?” teriak seseorang, suara perempuan.
Awan bangkit dan menyeret kakinya untuk membuka pintu, terlihat seorang gadis dengan bakul ditangannya berisi sayuran berdiri mematung saat pintu terbuka.
“Patik sedang ke pasar,” kata Awan membuat gadis itu terkejut dan menjatuhkan bakulnya, lalu berbalik berlari meninggalkan Awan yang terkejut dengan reaksi gadis itu.
“Hei barangmu!” Awan berusaha memanggil gadis itu, tapi dia sudah berlari menjauh.
Mau tak mau Awan memunggut sayuran itu dan mengumpulkannya kembali ke dalam bakul, membawa masuk dan menutup lagi pintu. Diletakkannya bakul itu di meja.
“Ini sungguh aneh, jaman ini seperti cerita sejarah tentang masa kerajaan,” kata Awan pada dirinya sendiri.
Patik mendapati Awan melamun di ruang tengah.
“Dari siapa ini Pangeran?” tanya Patik melihat sayuran di dalam bakul.
“Oh, entahlah, tadi ada gadis yang ke sini membawa itu. Saat kubukakan pintu dia malah lari meninggalkannya,” kata Awan.
“Ya, pasti Dayu. Dia memang sering ke sini untuk mengantar sayuran. Pasti dia kaget melihat Pangeran,” kata Patik terkekeh.
“Kenapa?” tanya Awan penasaran.
“Karena sudah lama kamu pergi, mungkin dia kaget melihatmu lagi,” kata Patik.
“Kami dekat?”
“Kalian sering bermain bersama dulu, dia tinggal di desa sebelah. Keluarganya bertani sayur mayur dan dijual ke pasar. Mereka akan menyuruh Dayu membawakan padaku setiap 4 hari sekali,” papar Patik.
“Kalau boleh tahu, kenapa rumah ini berdiri sendirian di sini?” tanya Awan penasaran, karena tak ada tetangga yang dekat.
“Pangeran lupa? Kita ke sini karena terbuang. Tak ada yang tahu bahwa Pangeran adalah keturunan terakhir dari Sultan Harga Radja. Yang mereka tahu, aku dan Pangeran adalah ayah dan anak. Tetapi semenjak Pangeran pergi, mereka mengira Pangeran pergi untuk berkelana,” papar Patik membuat kepala Awan semakin berdenyut.
“Lalu kenapa kalian menyingkir? Maksudku kamu dan Pangeran ini.”
“Kita harus pergi dari istana agar Pangeran aman. Semua anggota keluarga Pangeran mati di tangan Pangeran Adiraja,” imbuh Patik.
Awan merasa kepalanya berputar. Mendadak matanya menggelap. Perasaan berat dan menindih membuatnya limbung.
“Pangeran!” teriakan Patik yang terakhir masih sempat didengarnya.
Ingatan Awan berputar, tumpang tindih dengan semua perkataan yang belakangan ini didengarnya. Ada perasaan yang seakan ingin meledak tapi Awan tak tahu apa yang sebenarnya dirasakannya. Kelebatan bayangan berlompatan dan membuatknya merasa pusing dan mual. Desakan ingatan yang asing menguasai pikirannya.
“Pangeran tidak apa-apa?” tanya Patik seraya menepuk pipi Awan.
Awan mengerjapkan matanya.
“Kenapa? Apa aku pingsan?” tanya Awan seraya berusaha bangkit.
“Tidak usah bangkit terlebih dahulu. Berbaring saja,” kata Patik membuat Awan kembali merebahkan tubuhnya.
“Tadi Pangeran tiba-tiba pingsan tadi. Apa Kamu merasa sakit?” tanya Patik membuat Awan menggeleng.
Dia masih belum jelas apa yang terjadi dengannya. Dia masih harus memastikan semuanya.
“Pangeran mau makan apa? Aku akan memasak sekarang,” tanya Patik membuat Awan tersadar dari lamunannya.
“Apa saja. Aku ingin istirahat sekarang, mungkin nanti menjelang sore bangunkan aku,” jawab Awan.
Patik mengangguk dan berjalan ke dapur. Keadaan Awan membuatnya khawatir. Selama dia pergi ke bukit itu apa yang sudah terjadi padanya?
Awan terbangun karena mendengat suara orang bercakap di depan rumah. Dengan susah payah Awan mencoba bangkit. Suara Patik sedang berbincang dengan perempuan. Apakah perempuan tadi?“Iya Nduk, Awan sudah kembali. Paman juga bingung, dia sepertinya lupa denganku. Coba kamu bicara dengannya. Siapa tahu dia mengingatmu. Kalian kan cukup dekat dulu,” kata Patik membuat Awan hampir tersungkur karena terkejut.“Lho kok bangun. Istirahat saja kalau masih merasa pusing,” kata Patik seraya menahan tubuh Awan.Gadis bernama Dayu itu menyelidik ke arah Awan. Matanya tajam. Membuat Awan merasa dikuliti.“Kamu mau duduk di sini?” tanya Patik menunjuk bangku panjang yang terletak di emperan rumah.Awan mengangguk dan berjalan tertatih. Berat kepalanya dan kakinya yang masih sakit membuat dia terlihat lemah.“Nduk temani dia. Aku harus menyelesaikan masakanku,” kata Patik membuat Dayu mendekat deng
Ketukan pintu membangunkan Awan. Patik terlihat bergegas keluar dari dapur.“Oh kamu Nduk,” kata Patik melihat Dayu sudah berada di depannya pagi ini.“Aku bawakan sarapan Paman, Ibu membuat pecel kembang turi kesukaanmu,” kata Dayu menyerahkan bungkusan daun jati ke tangan Patik.“Terima kasih, seharusnya kamu tidak usah repot. Awan belum mandi, tunggulah di sini,” kata Patik membuat Awan bergegas ke kamar mandi yang disebut pakiwan oleh Patik.Bangunan segi empat tanpa atap, berisi pancuran untuk mandi.Kakinya sudah membaik. Kepalanya sudah tak sepening kemarin. Sepertinya dia harus pelan-pelan menelaah apa yang terjadi di sini.Sesudah memakan sarapannya Awan menemui Dayu yang duduk di kursi panjang di emperan rumah.“Kamu sudah membaik?” tanya Dayu begitu Awan duduk di sampingnya.“Lumayan,” jawab Awan singkat.“Kamu ingin berj
Perjalanan Menemukan IngatanPagi sekali Dayu sudah tiba di rumah. Patik yang sedang menyapu halaman terkejut karena Dayu sudah membawa bungkusan baju siap untuk bepergian.“Nduk, kita tidak akan berangkat hari ini. Aku harus mempersiapkan uang saku dan lain-lainnya. Aku juga harus bilang pada Ayahmu untuk berpamitan dan menitipkan rumah ini,” kata Patik membuat Dayu kehilangan semangatnya.“Paman ikut?” tanya Dayu memastikan.“Iya, kalian tidak boleh melakukan perjalanan hanya berdua saja,” kata Patik tegas.“Baiklah,” kata Dayu pasrah seraya duduk di emper.“Kalian ini dari dulu memang selalu saja suka bikin aku jantungan,” kata Patik dambil melirik Dayu yang kini tertawa.“Ah, Paman saja yang terlalu cemas terhadap kami,” sergah Dayu disela tawanya.“Ya sudah, tunggu di sini. Kita akan berangkat ke rumahnu sebentar lagi. Awan mungkin sedang bersiap,” kata Patik diangguki oleh Dayu.Awan keluar dari dalam rumah dengan heran mel
Setelah merasa cukup beristirahat mereka melanjutkan perjalanan. Mereka harus sampai di padukuhan sebelah sebelum malam. Patik mempertimbangkan Dayu yang ikut mereka, sebisa mungkin tidak bermalam di alam terbuka.“Paman, kira-kira berapa lama kita akan sampai di tujuan?” tanya Dayu memecah kebisuan di antara mereka.“Aku juga tidak tahu Nduk, kita masih harus menyusuri hutan itu dan melewati gunung,” kata Patik membuat Dayu membayangkan betapa jauhnya itu.“Aku terpaksa mengajakmu, karena aku merasa kamu bisa membantuku menahan gejala yang terjadi saat pikiranku bergejolak,” Awan berterus terang, membuat Dayu berhenti melangkah karena kaget.“Maksudmu?” tanya Dayu setelah kembali menyejajarkan diri dengan Awan.“Aku kesulitan mengatasi pertautan pikiranku dengan kenyataan yang sekarang aku hadapi, tubuhku menolak dengan semua
Entah bagaimana akhirnya Dayu dan Awan kembali ke bilik masing-masing dengan perasaan yang tak karuan.Bagi Dayu ini semacam penolakan dengan berbagai alasan. Kenyataan bahwa rasa sakit saat diabaikan itu nyatanya lebih perih lagi. Namun, dengan semua tekadnya, dan seperti apa yang dikatakannya, dia tak akan menghadirkan penyesalan apapun untuk pilihannya.Awan kini bahkan semakin berperang batin. Rasa yang seakan akrab saat bercakap dengan Dayu, dan rasa nyaman itu bahkan membuatnya tak bisa lagi mengelak. Kenyataan bahwa hidupnya kini berubah dan logika akal sehatnya masih belum bisa bertemu. Penolakan demi penolakan pada akalnya membuat pening kembali mendera. Tarik menarik kenyataan dan logika yang sedang dipertahankannya membuat tubuhnya kembali bereaksi berlebihan.Pukul berapa akhirnya mereka memejamkan mata, pagi ini terbangun dengan ketukan pintu.“Bangunlah, sudah pagi, kita harus melanjutkan perjalanan,” kata Patik membuat Awan membuka matanya
“Maaf bila sikap dan keterus teranganku malah membuat jengah,” kata Awan.“Bukan, bukan salahmu. Mungkin hanya aku yang terlalu terbawa suasana,” kata Dayu seraya mencoba tersenyum.“Berjanjilah tak akan lagi memikirkan perasaanku. Lakukan apa yang membuatmu nyaman. Aku tak akan mengharapkan lebih dari sekedar menjadi obat untukmu,” lanjut Dayu semakin membuat Awan merasa tak enak.Tipe gadis yang akan melakukan apapun untuk orang dicintainya seperti Dayu selalu membuat Awan tak bisa bernapas lega. Kini, dia yang mengalaminya sendiri. Inilah yang membuat Awan selalu menghindar terlibat dalam romansa. Jengah yang hadir malah membuat mereka berjeda.“Aku bahkan tak tahu harus bagaimana. Aku bukan menolakmu. Aku bukan tak memikirkanmu. Aku hanya menghindari hal buruk yang mungkin terjadi nanti,” kata Awan mencoba berkompromi dengan perasaannya sendiri.“Jangan pikirkan nanti. Aku tak akan menyesali apapun yang akan terjadi. Aku memikirkan yang sekarang. Ak
Awan menahan teriakannya. Sesaat setelah Dayu memeluknya, perasaannya mulai mengendap. Ingatan yang sedari tadi mencoba keluar dari pikirannya, seolah mulai menjalari otaknya dengan pelan. Kilatan saat dia menyusuri sungai dan mengukur berapa banyak batu yang bisa dia pergunakan untuk membendung sungai itu perlahan memenuhi pikirannya. Rasanya tak asing. Dayu mulai menangis. Membuat Awan tersadar dan mengendurkan pelukannya.“Maaf,” bisik Awan lirih.“Jangan meminta maaf. Tenangkan saja dirimu. Aku tak bisa melihatmu kesakitan seperti tadi,” kata Dayu melepaskan pelukannya dan menyusut air matanya.Awan masih mencerna ingatan yang mendadak jernih tentang dirinya di masa ini. Kalau benar dia berada di sini, dan juga di sana, berarti dia berada di dua dunia yang berbeda secara bersamaan. Bagaimana bisa? Awan kembali meraih lontar itu, kembali menyimak isinya, dan benar it
Dayu terbangun mendapati Awan sudah tidak ada di tempat, begitu juga Patik. Setelah keluar dari bilik dia melihat mereka sudah berkumpul di joglo. Dia segera membersihkan diri ke pakiwan dan menyusul mereka ke joglo.“Maaf aku terlambat bangun,” kata Dayu malu.“Tidak apa-apa Nduk, semalam kamu pasti kelelahan menjaga Awan,” kata Patik.“Kenapa tidak membangunkanku,” desis Dayu di dekat Awan.Awan hanya tersenyum dan mengambilkan wadah untuk Dayu makan.Mereka membereskan setelah selesai makan. Dayu membantu Nyi Demang dan putrinya membawa semua alat ke belakang.“Ki Demang, kami mengucapkan terima kasih banyak sudah menampung kami, dan memaklumi keadaan kami,” kata Patik.“Tidak apa-apa Ki, kami hanya bisa memberikan ini untuk membalas kebaikan Awan kepada kami,” jawab Ki Demang